TAFSIR ALA MUSTANSIR

Posted in Selasa, 21 Februari 2012
by ANAN SMILE
Penjelasan al-Quran terkenal dengan istilah tafsir, focus dari artikel ini akan membahas tafsir kaum sunni tetapi tafsir syiah juga akan didiskusikan. Quran dianggap sebagai firman Tuhan membutuhkan tafsir, sebagai penjelas, penyingkap dan komentar untuk alas an yang tepat, dan ini harus dipahami dengan jelas dan cermat sehingga perintah-perintah bisa dilakukan seperti kemauan Tuhan, sehingga keinginan Tuhan bisa dilaksanakan dengan baik. Hal yang paling penting adalah, kata-kata Tuhan tampaknya merupakan usaha usaha yang menciutkan nyali pada tafsir untuk dua perbedaan, tapi ada alasan-alasan yang melengkapinya. Pertama, qur’an muncul dari Tuhan. Alqur’an harus diasumsikan sebagai sesuatu yang perlu dijelaskan makna dan maksudnya, sehingga meniadakan kepentingan pribadi, demi penjelasan yang terperinci. Kedua, bagaimana Al-Qur’an dapat membatasi kemampuan manusia yang mampu mengklaim ia dapat menemukan makna sejati dari makna teks quran itu yang berasal dari penguasa maha bijaksana dan tak terbatas?. Hanya ada sedikit sekali tafsir yang berasal dari Nabi secara langsung dan juga para sahabat dan biasanya terdapat penjelasan yang berani untuk merespon pertanyaan yang ditanyakan. Akan tetapi hal ini sudah cukup melegakan keinginan lingkungan yang tidak hanya tumbuh di jazirah Arab saja tetapi juga di wilayah yang memiliki perbedaan mencolok dengan Arab dalam hal tradisi dan adat istiadatnya. Pada masa setelah shahabat (masa tabi’in) sudah terdapat tafsir-tafsir makkah, madinah, dan Irak yang eksis. Sementara itu tafsir Irak lebih melawan gaya tafsir Makkah dan Madinah dengan tipikal tafsir bi al-ra’y-nya. Selanjutnya ada empat metode yang menjadi pilar dalam menafsirkan ayat al-qur’an, Sebagaimana defenisi tafsir bi al-ma’tsur diatas, yakni dengan memperhatikan batasan wilayah cakupannya. Maka: Bila merujuk defenisi tafsir bi al-ma’tsur daiatas, ada empata otoritas yang menjadi sumber penafsiran bi al-ma’tsur. Yaitu: a. Al-Qur’an. Sebagai pemahannya bahwa, jika kita hendak mengetahui makna atau maksud dari suatu ayat al-Qur’an, maka langkah yang pertama sekali yang harus kita tempuh adalah mencari makna yang telah di jelaskan oleh al-Qur’an itu sendiri. Sebagai contoh dalam surat Al-Maidah ayat 1.Jadi ayat diatas bercerita tentang binatang ternak yang halal, tanpa pambatas kehalalannya. dijelaskan oleh ayat lain yang artinya Diharamkan begimu (memakan) bangkai,darah dan daging babi…(QS. Al-Ma’idah: 3). Dan banyak ontoh-contoh ayat lain-nya. b. b. As-Sunnah (al-Hadits). Karena tidak semua nash al-Qur’an dijelaskan oleh al-Qura’n, maka keberadaan as-Sunnah menjadi sangat penting untuk menjelaskan tujua-tujuan atau maksud yang dikehendaki oleh al-Qur’an.Sebagai contoh: Para sahabat tidak memahami betul makna kata-kata “asy-syirk” dalam rangkaian ayat berikut yang artinya Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adaukkan iaman mereka dengan kedhaliman.Para sahabat bertanya, siapakah diantara kami yang tidak pernah melakukan kedhaliman ya Rasulullah? Lalu Rasulullah menjawab bahwa kaedhaliman tersebut maksudnya adalah kemusyrikan, dan membaca ayat yang artinya dan ingatlah ketika lukman berkata kepada anaknya disaat mmberikan pelajaran kepada anaknya itu, “hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedhaliman yang sangat besar. (QS, Luqman: 13) c. c. Penjelasan Sahabat. Sebagaimana kita ketahui, para sahabat adalah satu-satunya otoritas yang sangat dekat dengan Rasulullah, dan selalu bergaul dengannya. Karena itu, otoritas penjelasan sahabat tentang maksud dan arti al-Qur’an, dipandang sebagai pernyataan yang di dasari pengetahuannya dari Rasulullah. Hal ini kita ketahui sesuai dengan penjelasan Alimin Mesra sebagai berikut: Kredibelitas para Sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an didasarkan pada kenyataan bahwa mereka menerima penjelasan al-Qur’an langsung dari Rasulullah. d. d. Penjelasan para Tabi’in. Para tabi’in adalah kelompok orang yang bertemu langsung dengan para sahabat, dan berguru atau memperleh ilmu pengetauan tentang al-Qur’an dara shabat. Karena itu, penjelasan tabi’in di anggap juga sebagai salah satu referensi sumber tafsir bi al-ma’tsur. Tetapi kendatipun demikian, sebahagian Ulama mufassir lainnya berpendapat bahwa aqwal (pendapat) orang tabi’in di golongkan kedalam tafsir bi al-ra’yi, jadi ia tidak dapat dijadikan sebagai salah satu daftar referensi rujukan tafsir bi al-ma’tsur. Pada awal penyusunan tafsir, aktifitas penyusun yang mencoba mengumpulkan keterangan yang asli Nabi, shahabat atau juga tabi’in. Ibn Jarir Al-Thabari merupakan salah satu penafsir terkenal dalam metode penafsiran klasik yang masih kita dapati sampai sekarang. Kitabnya ia beri nama Jami’ al-bayan. Metode dari tafsir Ibn Jarir adalah bi al-ma’stur (menggunakan dalil-dalil yang merujuk pada pendapat Nabi, shahabat atau bahkan tabi’in, tidak ada dominasi logika di dalam kitab yang ditulis dengan bentuk ini), dan beberapa penafsir lain yang juga menggunakan metode seperti ini seperti Abu Muhammad Al-Baghawi dengan Ma’alim al-tanzil-nya. Abu Ishaq al-tsa’laby, dengan al-Kasyf wa al-bayan ‘an tafsir al-Qur’an. Adapun tafsir milik Ibn Katsir bisa dikatakan lebih unggul dan mampu mengimbangi tafsir Ibn Jarir dalam hal seleksi haditsnya yang ketat, kelengkapan argumen, teruji dan mampu menyampaikan laporan atau kejadian secara otentik. Ada beberapa corak yang ditulis oleh mufassir berdasarkan kapasitasnya sebagai muafassir, mulai dengan bentuknya bi al-ra’y seperti tafsir milik al-Razy, Ahkamul qur’an milik al-Jassas, tafsir sufi, tafsir fiqhi, tafsir modern semuanya ditulis sesuai kemampuan para penulisnya dan juga basic keilmuan yang dimiliki penafsir. Kesimpulan. Keunggulan al-qur’an pada kehidupan muslim religious selalu dapat diterima. Pada era modern banyak sekali perhatian dilakukan oleh para ilmuwan muslim. Seringkali hal ini juga berhubungan dengan tantangan terhadap tradisi yang bisa diterima, dalam ilmu theology ataupun hukum dan sekitarnya.Tafsir tidak hanya penting untuk perkembangan kejayaan islam tapi juga merupakan proyek ide baru dan sebagai ulama’ dapat menggunakannya untuk berinisiatif dalam perubahan atau reformasi tatanan hukum. Pada akhirnya literature yang efektif akan mampu menghasilkan solusi yang memuaskan untuk pertanyaan yang diklaim mampu dijawabnya.