Bunga Gresik

Posted in Kamis, 15 November 2012
by Unknown
 AL IMAM AL QUTHUB AL HABIB ABU BAKAR BIN MUHAMMAD ASSEGGAF

( Gresik )

Inilah… seorang Imam Al Quthub yang tunggal dan merupakan qiblat para auliya’ di zamannya, sebagai perantara tali temali bagi
para pembesar yang disucikan Allah jiwanya, bagai tiang yang berdiri kokoh dan laksana batu karang yang tegar diterpa samudera, seorang yang telah terkumpul dalam dirinya antara ‘Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin,Beliau adalah Al Imam Al Quthub Al Habib Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Umar binAbu Bakar bin Al Imam Wadi Al Ahqof Al Habib ‘Umar bin Seggaf Asseggaf. Nasab yang mulia ini terus bersambung dari para pembesar ke kelompokpembesar lainnya, bagai untaian rantai emas hingga sampailah kepada tuan para pendahulu dan yang terakhir, kekasih yang agung junjungan Nabi Muhammad Saw. Habib Abubakar Asseggaf dilahirkan di kota Besuki, sebuah, kota kecil di kabupaten Situbondo Jawa Timur, pada tanggal 16 Dzulhijjah 1285 H. Dalam pertumbuhan hidup beliau yang masih kanak-kanak, ayahanda beliau tercinta telah wafat dan meninggalkan beliau di kota Gresik. Sedang disaat-saat itu beliau masih membutuhkan dan haus akan kasih sayang seorang ayah. Namun demikian beliau pun tumbuh dewasa di pangkuan Inayah Ilahi dalam lingkungan keluarga yang bertaqwa yang telah menempanya dengan pendidikan yang sempurna, hingga nampaklah dalam diri beliau pertanda kebaikan dan kewalian. Konon diceritakan bahwa beliau mampu mengingat segala kejadian yang dialami beliau ketika dalam usia 3 tahun dengan secara detail. Hal ini tak lain sebagai isyarat akan kekuatan ruhaniah beliau yang telah siap untuk menampung luapan anugerah dan futuh dari Tuhannya Yang Maha Mulia. Pada tahun 1293 H segeralah beliau bersiap untuk melakukan perjalanan jauh menuju kota asal para leluhurnya, “Hadromaut”. Kota yang bersinar dengan cahaya para auliya’. Perjalanan pertama ini adalah atas titah dari nenek beliau (Ibu dari ayah beliau) seorang wanita sholehah “Fatimah binti ‘Abdullah Allan”. Dengan ditemani seorang yang mulia, As Syeikh Muhammad Bazmul, beliaupun berangkat meninggalkan kota kelahiran dan keluarga tercintanya. Setelah menempuh jarak yang begitu jauh dan kepayahan yang tak terbayangkan maka sampailah beliau di kota “Seiwun”. sedang paman beliau tercinta “Al Allamah Al Habib ‘Abdullah bin Umar” beserta kerabat yang lain telah menyambut kedatangan beliau di luar kota tersebut. Tempat tujuan pertamanya adalah kediaman seorang Al ‘Arifbillah yang terpandang di masanya, yaitu “Al Habib Syeikh bin ‘Umar bin Seggaf”. Sesampainya di sana Habib Syeikh langsung menyambut seraya memeluk dan menciumi Habib Abu Bakar Asseggaf, tanpa terasa air mata pun bercucuran dari kedua matanya, sebagai ungkapan bahagia atas kedatangan dan atas apa yang dilihatnya dari tanda-tanda wilayah di wajah Habib Abu Bkar Asseggaf yang bersinar itu. Demikianlah seorang penyair berkata: “hati para auliya’ memiliki mata yang dapat memandang apa saja yang tak dapat dipandang oleh manusia lainnya”. Dengan penuh kasih sayang, Habib Syeikh mencurahkan segala perhatian kepadanya, termasuk pendidikannya yang maksimal telah membuahkan kebaikan dalam diri Habib Abu Bakar yang baru beranjak dewasa. Bagi Habib Bakar Asseggaf menuntut ilmu adalah segala-galanya dan melalui pamannya “Al Habib ‘Umar” beliau mempelajari ilmu fiqih dan tasawwuf. Ketika menempa pendidikan dari sang paman inilah, pada setiap malam beliau dibangunkan untuk sholat tahajjud bersamanya dalam usia yang masih belia. Hal ini sebagai upaya mentradisikan qiyamullail yang telah menjadi kebiasaan orang-orang mulia di sisi Allah atas dasar keteladanan dari Baginda Rosulillah Saw. Hingga apa yang dipelajari beliau tidak hanya sebatas teori ilmiah namun telah dipraktekkan dalam amaliah kesehariannya. Rupanya dalam kamus beliau tak ada istilah kenyang dalam menuntut ilmu, selain dari pamannya ini, beliau juga berkeliling di seantero Hadromaut untuk belajar dan mengambil ijazah dari para ulama’ dan pembesar yang tersebar di seluruh kota tersebut. Salah seorang dari sederetan para guru beliau yang paling utama adalah seorang Al ‘Arifbillah yang namanya termasyhur di jagad raya, guru dari para guru dizamannya ” Al Imam Al Quthub Al Habib ‘Ali bin Muhammad Al Habsyi” sebagai Syaikhun Nadzar. (Guru Pemerhati). Perhatian dari maha gurunya ini telah tertumpahkan pada murid kesayangannya jauh sebelum kedatangannya ke Hadromaut, ketika beliau masih berada di tanah Jawa. Hal ini terbukti dengan sebuah kisah yang sangat menarik antara Al Habib ‘Ali dengan salah seorang muridnya yang lain. Pada suatu hari Habib ‘Ali memanggil salah satu murid setianya. beliau lalu berkata “Ingatlah ada tiga auliya’ yang nama, haliah dan maqom mereka sama”. Wali yang pertama telah berada di alam barzakh, yakni Qutbul Mala’ Al Habib Abu Bakar bin ‘Abdullah Al ‘Aydrus, dan yang kedua engkau pernah melihatnya di masa kecilmu, yaitu Al Habib Abu Bakar bin ‘Abdullah Al ‘Atthos (yakni guru ku sendiri), adapun yang ketiga akan engkau lihat dia di akhir usia kamu. Habib ‘Ali pun tidak menjelaskan lebih lanjut siapakah wali ketiga yang dimaksud olehnya. Selang waktu beberapa tahun kemudian, tiba-tiba sang murid tersebut mengalami sebuah mimpi yang luar biasa. Dalam sebuah tidurnya ia bermimpi bertemu dengan Rosulullah Saw, kala itu dalam mimpinya Nabi Saw menuntun seorang anak yang masih kecil sembari berkata kepada orang tersebut, lihatlah ..aku bawa cucuku yang sholeh “Abu Bakar bin Muhammad Asseggaf”! Mimpi ini terulang sebanyak lima kali dalam lima malam berturut-turut, padahal orang tersebut tak pernah kenal dengan Habib Abu Bakar Asseggaf sebelumnya kecuali setelah diperkenalkan oleh Nabi Saw. Pada saat ia kemudian bersua dengan Habib Abu Bakar Asseggaf, iapun menjadi teringat ucapan gurunya tentang tiga auliya’ yang nama, haliah dan maqomnya sama. Lalu ia ceritakan mimpi tersebut dan apa yang pernah dikatakan oleh Habib Ali Al Habsyi kepada beliau. Kiranya tak meleset apa yang diucapkan Habib ‘Ali beberapa tahun silam bahwa ia akan melihat wali yang ketiga di akhir usianya, karena setelah pertemuannya dengan Habib Abu Bakar ia pun meninggalkan dunia yang fana, berpulang ke Rohmatullah, Tak diragukan lagi perhatian yang khusus dari sang guru yang rnulia ini telah tercurahkan kepada murid kesayangannya, hingga suatu saat Al Habib ‘Ali Al Habsyi menikahkan Habib Abu Bakar bin Muhammad Asseggaf dengan salah seorang wanita pilihan gurunya ini di kota Seiwun, bahkan Habib ‘Ali sendirilah yang meminang dan menanggung seluruh biaya perkawinannya. Selain Habib ‘Ali, masih ada lagi yang menjadi “Syaikhut Tarbiyah” (Guru pendidiknya) yakni pamannya tercinta Al Habib ‘Abdullah bin ‘Umar Asseggaf. Adapun yang menjadi “Syaikhut Taslik” (Guru pembimbing beliau) Al Habib Muhammad bin ‘Idrus Al Habsyi. Sedang yang menjadi “Syaihkul Fath” (Guru pembuka) adalah Al Wali Al Mukassyif Al Habib ‘Abdul Qodir bin Ahmad bin Quthban yang acap kali memberinya kabar gembira dengan mengatakan: “Engkau adalah pewaris haliah kakekmu ‘Umar bin Seggaf”. Demikianlah beliau menghabiskan seluruh waktunya untuk belajar, mengambil ijazah serta ilbas dengan berpindah dari pangkuan para auliya dan pembesar yang satu dan yang lainnya di seluruh Hadromaut, Seiwun Tarim dan sekitarnya yang tak dapat di sebutkan satu persatu nama mereka. Setelah semuanya dirasa cukup dan atas izin dari para gurunya, beliaupun mulai meninggalkan kota para. auliya itu untuk kembali ke tanah Jawa, tepatnya pada tahun 1302 H. Dengan ditemani Al ‘Arif billah Al Habib ‘Alwi bin Seggaf Assegaf (bermakam di Turbah Kebon Agung Pasuruan) berangkatlah beliau ke Indonesia. Adapun tujuan pertama beliau adalah kota kelahirannya Besuki Jawa timur, setelah 3 tahun tinggal di sana, beliau lalu berhijrah ke kota Gresik pada tahun 1305 H dalam usia 25 tahun. Dan di kota inilah beliau bermukim. Mengingat usia beliau yang masih sangat muda, maka kegiatan menuntut ilmu, ijazah dan ilbas masih terus dilakoni beliau tanpa kenal lelah. Beliaupun terus menerus berkunjung kepada para auliya dan ulama yang telah menyinari bumi pertiwi (Indonesia) dengan ke sholehannya. Sebagaimana Al Habib ‘Abdullah bin Muhsin Al ‘Atthos, Al Habib Ahmad bin ‘Abdullah Al ‘Atthos, Al Habib Ahmad bin Muhsin Al Haddar, Al Habib ‘Abdullah bin ‘Ali Al Haddad, Al Habib Abu Bakar bin ‘Umar bin Yahya, Al Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdhor dan masih banyak lagi yang lainnya. Pada tahun yang sama tepatnya pada hari Jum’at, telah terjadi sebuah peristiwa yang di luar jangkauan akal manusia dalam diri beliau yaitu di saat beliau tengah khusyu’ mendengarkan seorang khotib yang menyampaikan khutbahnya di atas mimbar, tiba-tiba beliau mendapat lintasan hati Rohmani dan sebuah izin Robbaniy, ketika itu nurani beliau berkata agar beliau segera mengasingkan diri dari manusia sekitarnya. Hati beliau pun menjadi lapang untuk melakukan uzlah menjauhkan diri dari kehidupan dunia. Seketika itu juga beliau beranjak meninggalkan Masjid Jami’ Gresik langsung menuju rumah, dan sejak saat itu beliau tidak lagi menemui seorang pun dan tidak pula memberi kesempatan orang untuk menemuinya. Hal ini beliau lakukan tiada lagi hanya untuk mengabdikan diri dan beribadah kepada Tuhannya dengan segenap jiwa raganya dan berlangsung sampai 15 tahun lamanya. Hingga tibanya izin dari Allah SWT agar beliau keluar dari kholwatnya untuk kembali berinteraksi dengan manusia di sekitarnya. Pada saat menjelang keluar dari khalwatnya, beliau disambut oleh gurunya Al Habib Muhammad bin ‘Idrus Al Habsyi, seraya berkata. “Aku telah memohon dan bertawajjuh pada Allah selama tiga hari tiga malam untuk mengeluarkan Abu Bakar bin Muhammad Assegaf”. Habib Muhammad lalu menuntun beliau keluar dan membawanya berziarah ke makam seorang wali yang tersohor dan menjadi mahkota bagi segala kemuliaan di zamannya, yakni Al Habib ‘Alwi bin Muhammad Hasyim. Setelah ziarah, beliau berdua lalu berangkat menuju kota Surabaya ke kediaman Al Habib ‘Abdullah bin ‘Umar Asseggaf. Di tengah-tengah orang-orang yang hadir pada saat itu, berkatalah Al Habib Muhammad bin ‘Idrus sembari tangannya menunjuk ke arah Habib Abu Bakar “Ini adalah khasanah dari seluruh khasanah Bani ‘Alawi yang telah kami buka untuk memberi manfaat kepada orang khusus dan umum”. Pasca kejadian tersebut, mulailah Habib Abu Bakar menetapkan jadwal Qiro’ah (pembacaan kitab-kitab salaf) di rumah beliau. Dalam waktu yg singkat beliau telah menjadi tumpuan bagi umat di zamannya, bagaikan Ka’bah yang tak pernah sepi dari peziarah yang datang mengunjunginya dari berbagai penjuru dunia. Siapa saja yang datang kepada beliau disertai dengan Husnuddzon (berbaik sangka) maka ia akan beruntung dengan tercapai segala maksudnya dalam waktu yang dekat. Di majlis yang diadakan beliau itu beliau telah mengkhatamkan kitab “Ihya’ Ulumuddin” sebanyak lebih dari 40 kali. Dan disetiap mengkhatamkannya, beliau selalu mengadakan jamuan besar-besaran untuk orang yang hadir di majlisnya. Habib Abu Bakar dikenal sebagai orang yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sirah dan jejak para salafnya, bahkan pada segala adat istiadatnya. Seluruh majlis beliau senantiasa dimakmurkan dengan kajian-kajian ilmiah yang bersumber dari semua kitab karya para salafnya. Jika kita berbicara tentang maqom dan kedudukan beliau, maka tak satupun dari para Auliya’ pada masa beliau yang menyangsikannya. Beliau telah mencapai tingkatan “Asshiddiqiyyah Al Kubra” yang telah di isyaratkan sebagai “Shohibul Waqt” (panglima tertinggi para Auliya’ di masanya). Keluhuran maqamnya telah diakui oleh seluruh yang hidup di zaman beliau. Berkata Al Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdhor (Bondowoso) dalam sebuah suratnya kepada beliau (dengan mengutip beberapa ayat Alqur’an). “Demi fajar “Dan malam yang sepuluh” dan yang genap dan yang ganjil” (Sesungguhnya Saudaraku Abu Bakar bin Muhammad Asseggaf adalah permatayang lembut yang beredar dan beterbangan menjelajah seluruh maqom para leluhurnya). Berkata pula seorang panutan yang telah diakui keunggulan dan keilmuannya yakni Al Habib ‘Alwi bin Muhammad Al Haddad : “Sesungguhnya Habib Abu Bakar bin Muhammad Asseggaf adalah “Al Quthbul Ghouts” dan sesungguhnya ia adalah tempat tumpuan pandangan Allah”. Pada kesempatan lain Al Habib ‘Alwi bin Muhammad Al Haddad berkata: “Aku tidak takut (segan) kepada satu pun makhluk Allah kecuali kepada Habib Abu Bakar bin Muhammad Asseggaf”. Sebenarnya pada masa keemasan itu banyak sekali orang-orang yang patut disegani, namun kini mereka semua telah berpulang ke rohmat Allah SWT. Masih banyak lagi ungkapan-ungkapan Al Habib ‘Alwi bin Muhammad Al Haddad lainnya yang tak bisa di ungkapkan karena begitu banyaknya. Berkata juga seorang sumber kebaikan di zamannya, dan kebanggaan pada masanya, seorang Da’i yang selalu mengajak kejalan Allah dengan ucapan dan perbuatannya, Al Habib Ali bin ‘Abdurrahman Al Habsyi (Kwitang-Jakarta). Ketika itu di kediaman Habib Abu Bakar (Gresik), pada saat beliau menjalin persaudaraan dengannya, seraya memberi isyarat kepada Habib Abu Bakar dan air matanya berlinang, berkata kepada para hadirin saat itu “Ini (Habib Abu Bakar) adalah raja lebah (raja para auliya’) ia saudaraku di jalan Allah, lihatlah kepadanya! Karena memandangnya adalah ibadah”. Berkata seorang panutan orang-orang yang ‘Arifbillah Al Habib Husein bin Muhammad Al Haddad, sesungguhnya Habib Abu Bakar bin Muhammad Asseggaf adalah seorang kholifah, dialah pemimpin para auliya’ di masanya, ia telah mencapai “Maqom As Syuhud” hingga beliau mampu menerawang hakekat dari segala sesuatu. Beliau melanjutkan ungkapannya dengan mengutip sebuah ayat Al Qur’an “Sungguh patut jika dikatakan padanya; Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang kami berikan kepadanya nikmat (kenabian) (QS: Azzukruf ayat 59). Maksudnya beliau tidak lain hanyalah seorang hamba yang telah dilimpahi nikmat dan anugerah Allah SWT. Kiranya telah cukup sebagai bukti keluhuran maqom beliau yang telah mencapai kedudukan bersua dengan Nabi Saw. dalam keadaan terjaga. Berkata yang Habib Abu Bakar bahwa: “Nabi SAW telah masuk menemuiku sedang aku dalam keadaan terjaga, beliau lalu memelukku dan akupun memeluknya”. Para auliya’ bersepakat, bahwa Maqom Ijtima’ (bertemu) dengan Nabi Saw dalam waktu terjaga adalah sebuah maqam yang melampaui seluruh maqom yang lain. Hal ini tidak lain adalah buah dari Ittiba’ (keteladanan) beliau yang tinggi terhadap Nabinya Saw. Adapun kesempurnaan Istiqomah merupakan puncak segala karomah. Seorang yang dekat dengan beliau berujar bahwa aku sering kali mendengar beliau mengatakan: “Aku adalah Ahluddarak, barang siapa yang memohon pertolongan Allah melaluiku maka dengan izin Allah aku akan membantunya, barang siapa yang berada dalam kesulitan lalu memanggil-manggil namaku maka aku akan segera hadir di sisinya dengan izin Allah”. Pada saat menjelang ajalnya, seringkali beliau berkata “Aku berbahagia untuk berjumpa dengan Allah” maka sebelum kemangkatannya ke Rohmat Allah, beliau mencegah diri dari makan dan minum selama 15 hari, namun hal itu tak mengurangi sedikitpun semangat ibadahnya kepada Allah SWT. Setelah ajal kian dekat menghampiri beliau, diiringi kerinduan berjumpa dengan kholiqnya, Allah pun rindu bertemu dengannya, maka beliau pasrahkan ruhnya yang suci kepada Tuhannya dalam keadaan ridho dan diridhoi Dan wafatlah Habib Abu Bakar Asseggaf (seorang panutan ummat dan seluruh auliya di zamannya hingga sekarang) pada hari Ahad malam Senin, hari ke 17 di bulan Dzulhijjah 1376 H, dalam usia 91 tahun. Dan beliau dimakamkan di sebelah Mesjid Jami’ Gresik. Semoga kita semua dapat madad dan barokah beliau, hingga kita semua mati beriman dan berkumpul bersama beliau dan Al Musthofa Sayyidina Muhammad Saw.
Read More >>

DEBAT CERDAS

Posted in Jumat, 02 November 2012
by Unknown
Al Ghazali
Ada yang menarik dari keberagaman aliran dalam islam seperti yang telah di lansirkan oleh Rasuulullah sebelum nya bahwa umatku akan terpecah menjadi 73 golongan.. dan diantaranya adalah Ahlus sunnah wal jamaa'ah ( golongan yang di katakan selamat oleh Rosuulullaah ), Mu'tazilah/Qodariyah/Murji'ah, dan Jabbaariyah, yang mana ketiga tiganya berlainan faham dalam mensifati dzat gusti Allah.. Mu'tazilah bersebrangan faham dengan jabbariyah, sedangkkan Ahlus Sunnah wal jamaa'ah berada ditengah tengah nya..

Mungkin tidak pernah terdengar oleh kita akan adanya suatu tokoh wanita yang pernah muncul dahulu, yang berhati sangat ikhlas dan benar benar menyerahkan seluruh harta jiwa raganya untuk kemajuan da'wah islam selain Khodijah.. Namun pernah ada dahulu tokoh yang sama seperti Khodijah yang Ikhlas dan rela menyerahkan seluruh jiwa raganya untuk kemajuan dan kebenaran Islam. umurnya masih sangat muda belia, tapi beliau mempunyai semangat serta kecerdasan otak yang menurun dari ayahnya,, Beliau adalah FATIMAH BINTI GHOZALIY .. seorang putri dari Imam yang ternama dari Ahlus Sunnah wal Jamaa'ah,, seorang yang di nisbatkan sebagai HUJJATUL ISLAAM pengarang dari berbagai kitab kitab ternama seperti Ihya' 'Uluumud Diin dan lain lain nya.. seorang yang ahli Kalam dalam perdebatan nya melawan faham faham Mu'tazilah yang menyesatkan.. Betapa tidak, beliau ikhlas merelakan kecantikan serta keremajaanya kepada seorang tua renta, Imam Zamakhsyari, pengarang tafsir al-Kasyaf yang fenomenal itu. Ia (Fathimah) melakukan semua itu demi tegaknya akidah Islam yang benar. Dan Imam Zamakhsyari adalah tokoh terpenting dalam aliran Mu'tazilah dimana beliau adalah sang kuda hitam di dalam kelompok nya..

Dahulu antara Imam Ghozali dengan Imam Zamakhsyari terlibat perdebatan sengit mengenai konsep fi’il (tindakan) Allah tentang Qudat dan iradat Nya kepada manusia dan manusia sebagai Makhluq dan objek itu sendiri. Imam Ghazali yang mewakili Madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaa'ah yang biasa di sebut SUNNY berpendapat bahwa fi’il (Qudrah Iradah) Allah itu absolut (mutlak) dan universal. Fi’il itu membawahi semua fi’il makhluk yang ada. Sebaliknya, fi’il manusia sangatlah terbatas. Bahkan tidak punya sama sekali. Akan tetapi, kita sebagai manusia harus ber ikhtiar (berusaha) sekuat tenaga dan semampunya sembari menyerahkan sepenuh hati hasilnya pada Allah Subhaanahu Wata'aalaa. Lantas Imam Zamakhsyari menentang pendapat itu yang mana beliau adalah mewakili dari faham Mu'tazilah. Beliau menentang dengan sangat lantang,, " Aku bersilangan pendapat dengan mu wahai Ghazaliy " Manusia mempunyai kehendak dan tindakan penuh atas dirinya sendiri atas qudrah dan iradah yang telah di serahkan Allah atas nya. Manusia independen dalam berbuat ( dalam ber fi'il) tanpa ada intervensi dan pengaruh sedikitpun dari pihak luar. termasuk intervensi dari Tuhan sekalipun. Sepenuh nya manusia berkuasa dan berkehendak atas dirinya sendiri. Jadi ada jarak diameteral yang membedakan antara fi’il Tuhan dan fi’il manusia. Keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri. Itulah sebab sebenarnya manusia dapat menentukan takdirnya sendiri. Nasib berada di tangan masing-masing manusia!”,Innallaaha yughoyyiru maa biqowmin hattaa yughoyyiruu maa bi anfusihim .

Kedua Imam besar tersebut berdebat tidak hanya mengajukan argumen Burhani (nalar logis) saja, melainkan juga fashih mencukil dalil-dalil shohih dari Al-Qur’an dan Hadits”

Setelah berlangsung perdebatan sengit, akhirnya Imam Ghozali berinisiatif untuk menyerah. Tapi bukan menyerah layaknya seorang pecundang. Melainkan penyerahan yang justru menjanjikan kemenangan tentunya. Toh, masih ada babak dua, tiga dan seterusnya. inilah salah satu kecerdasan imam Ghazaliy, lebih memilih kalah dan mencari inisiatif jalan kedua untuk menang ketimbang mempertahankan perdebatan yang tiada usai nya. Seberapapun dalil yang di lontarkan tak akan ada gunanya kalau memang orang itu sudah benar benar tertutup mata hati nya seperti ungkapan Imam Bushiri dalam Burdah nya:

قد ينكر العين ضوء الشمس من رمض وينـكر الـفـم طـعـم المــاء من سقـم

Sungguh terkadang orang yang sakit mata itu merasa bahwa matahari itu tak ada
Dan terkadang juga orang yang sedang demam (sakit) itu mulutnya mengingkari akan segarnya air yang ada ( yg terasa hanya pait )

Kita telah membuka kebenaran dengan sejelas jelasnya , tapi mereka masih saja mengingkari akan kebenaran itu ya karna yang sakit adalah hati mereka yang tertutup. Kita sebagai manusia berusaha menyadarkan kalaupun Allah belum memberikan hidayah maka tak akan bisa.

Imam Ghozali pun undur diri dan langsung beringsut ke rumah. Sesampainya di rumah, beliau disambut oleh istri dan putrinya, Fathimah. Sambil duduk beristirahat Imam Ghazali menuturkan semua kisah perseteruannya kepada dua matahari hidup nya tersebut. Tak ada secuilpun yang tersisa dari cerita Imam Ghozali, semua diutarakannya. Ajaib, entah dapat ilham dari mana, setelah bercerita Imam Ghozali spontan mendapat ide brilian. Apa itu? Yakni, untuk menguatkan pendapatnya tentang konsep fi’il harus dilandasi fakta dan bukti yang riil. Bukankah kaum Mu’tazilah begitu gemar dengan dalil-dalil logis plus praktis? Akhirnya beliau pun mecari-cari apa gerangan yang dapat membuat Imam Zamakhsyari tersadar?

Terpikir dalam benaknya, bukankah Imam Zamakhsyari sudah berumur uzur, bagaimana jika dinikahkan saja dengan putri jelitanya, Fatimah yang masih muda belia belasan tahun? Pasti sang Imam Mu’tazilah itu akan mau, dan sesegera mungkin mangakui “kekeliruannya”. Caranya? Bukankah energi seorang tua renta dengan anak remaja begitu terpaut jauh yang sangat (terutama dalam gairah biologis). Dan saya yakin, Imam akan ampun-ampunan dengan anak saya” pikir Imam Ghozali kala itu.

Imam Ghozali melakukan inisiatif itu bukan sebab hendak mengeksploitasi anak gadisnya, Fatimah. Tapi murni bertujuan agung nan suci: memperjuangkan ajaran akidah agama yang benar. Buktinya, beliau tidak memaksa Fatimah. Malahan, Fatimah sendiri yang langsung mengapresiasinya secara antusias dan positif. Karena Fatimah sadar sedari awal, bahwa dakwah agama lebih penting dari semuanya. Maka, pengorbanan harus menjadi suatu yang niscaya yang di berikan. Toh, jika dibandingkan dengan pengorbanan pejuang-pejuang Islam perempuan terdahulu (Siti Hajar, Siti Asyiah, Siti Khadijah, misalnya), pengorbanan yang dilakukan Fathimah tak ada apa-apanya. Sejujurnya, inilah visualisasi paling indah dan harmonis tentang sebuah epos perjuangan, pengorbanan, dan visi antara orang tua dan puterinya dalam kaitannya dengan agama. Sungguh suatu keluarga yang penuh di berkahi Allah...

Rencana jitu pun sudah tersusun, tinggal pelaksanaannya saja. Jadilah Imam Ghozali bertandang ke kediaman Imam Zamakhsyari guna membahas penawaran emas itu. Meski awal nya sang Imam Mu'tazilah itu agak enggan, tepatnya malu-malu, tapi pada akhirnya beliau mengiyakan juga. Siapa yang tak mau mendapat rizqi nomplok seperti itu? Lagian dia juga sudah tua dan belum menikah, kapan lagi, apalagi ini adalah seorang anak dari keluarga terpandang daalam hal 'Ilmu..

Resepsi pernikahan pun digelar. Tamu-tamu dari seantero Bashrah dan Kuffah berdatangan hingga larut malam. Dan, tibalah saat di mana kedua mempelai itu harus menapaki malam terindah yang lazim disebut “malam pertama”. Malam pertama yang bakal menentukan laju sejarahnya konsep fi’il Khaaliq dan Makhluq di kalangan para Teolog Islam.

Peperangan terjadi kala malam itu, mempertaruhkan jiwa raganya sang gadis belia nan cantik jelita yang akan di bayar dengan sadar nya sang Imam ke adqidah kebenaran. jebreeeet jebreeet jebreeeeet............. aaaah... :D.

Ronde pertama sudah dilalui. Fathimah masih segar bugar. Sebaliknya sang Imam, nafasnya mulai terengah-engah tak terkendali. Setelah ambil jeda sejenak, Fathimah kembali merengek minta ronde kedua agar sesegera dilakukan. Disini lah kecerdasan Fatimah, bukan karna nafsu yang di kedepankan nya , akan tetapi niat nya untuk menyadarkan sang Imam. Sang Imam masih mampu mengabulkan, meski dengan setengah hati. Jebreeeet... jebreeet..... jebreeeeet............. aaaah... :D. Setelah perang yang begitu melelahkan berkecamuk akhirnya selesai juga ronde kedua, sang Imam pun lemas tak berdaya...

Pada titik ini Fatimah pun masih segar bugar, dan akal nya pun berjalan. Fathimah mengiba agar di adakan ronde yang ke tiga, sang Imam sudah ampun-ampunan tanda tak ada lagi daya yang tersisa. Ampuuuuun deeek,,, ampuuuuuun.... dengkulku sudah melocot, nafas ku tinggal sedikit tersisa... ujar sang imam Zamakhsyari.

Pada titik inilah, rencana fatimah itu digolkan dan berjalan mulus semulus tubuh belia nya. Fathimah menyela sang suami; “Bagaimana sampean ini? Katanya fi’il manusia itu independen dan kuat. Tapi kok,,,,keok?” heeeeeh.... apa itu...

Seperti tertimpa langit lapis tujuh, sang Imam tersadar dirinya telah dijadikan “kelinci percobaan” oleh rival pemikirannya yang tak lain adalah mertuanya sendiri, Imam Ghozali. Tapi meski begitu, berkat rahmat dan petunjuk-Nya, sang Imam menyadari kekeliruruan pemikirannya tentang fi’il selama ini: bahwa fi’il manusia memang dla’if dan terbatas. Dan akhirnya dia mengaku akan kebenaran aqidah yang di emban oleh mertua dan istrinya sendiri.. Fatimah pun berdecak senyum dan bersyukur kepada Allah atas hidayah dan pertolongan Nya.

Oleh sebab itu, manusia tidak usahlah belagu dan sok kuat. Karena memang keterbatasan dan kelemahan sudah menjadi fitrah kita dari semula. Termasuk keterbatasan dalam hal bertindak dan berupaya. Tidak ada itu namanya free will atau free ask untuk manusia. Apalagi Will to Power seperti yang dikhotbahkan Nietcszhe, Filsuf gila dari Jerman, seabad silam! Itu keblinger! Semua ada rambu-rambu dan batasnya!

Begitulah kisah Fatimah yang ikhlas seorang putri Imam kenamaan,, Semoga jadi renungan bersama bagi kita terutama bagi kaum wanita yang berkarir ataupun yang bercita cita menjadi seorang wanita yang sholihah.. Sudah seberapa besar kita berkorban untuk agama dan Rabb kita,,, kita sendirilah yang mampu menjawab...
Read More >>

Hidangan Populer Warkop Pusat

Copyright 2011 @ Warkop Mbah Lalar