SEPUTAR MASALAH KODIFIKASI HADITS

Posted in Minggu, 03 Juli 2011
by VIAN






Al-Qur’an al-Karim telah diyakini kebenarannya oleh kaum muslim, surat demi surat, ayat demi ayat, kata demi kata, bahkan huruf demi huruf. Semuanya telah disampaikan secara utuh kepada Nabi Muhammad saw, yang kemudian memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk menuliskan, menghapal dan mempelajarinya.
Beberapa saat setelah Rasulullah wafat, para sahabat mengumpulkan naskah-naskah Al-Quran yang telah ditulis itu, kemudian menyalinnya untuk disebarkan keberbagai penjuru dunia Islam. Hingga kini, apa yang mereka lakukan itu diterima dan dipelihara oleh generasi demi generasi. Dengan demikian, dapat dipastikan apa yang dibaca dalam mushaf dewasa ini tidak jauh berbeda sedikitpun dengan apa yang yang pernah dibaca oleh Nabi Muhammad dan para pengikutnya lima belas abad yang lalu.
Nabi Muhammad ditugaskan untuk memberikan penjelasan terhadap isi dari kandungan ayat-ayat al-Quran. Dengan demikian penjelasan-panjelasan Nabi tidak dapat dipisahkan dari maksud ayat-ayatnya. Beliau adalah satu-satunya manusia yang mendapat wewenang penuh untuk menjelaskan al-Quran. Penjelasan beliau dapat dipastikan kebenarannya. Tidak seorang muslim pun yang dapat menggantikan penjelasan Rasul dengan penjelasan manusia lain, apapun kedudukannya.
Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara Hadits dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Redaksi-redaksi al-Quran itu, dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak dterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara tawattur oleh sejumlah orang –yang menurut adat- mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar ini wahyu-wahyu al-Quran menjadi qath’iy al-wurud. Ini berbeda dengan hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itu pun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan Nabi Muhammad saw. Disamping itu, diakui pula oleh Ulama Hadits bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis hadits, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadits hanya berdasarkan hafalan para Sahabat dan Tabi’in. Ini menjadikan kedudukan hadits dari segi otentisitasnya adalah zhanniy al-wurud.[1]
Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadits. Karena sekian banyak faktor –baik yang ada pada diri Nabi maupun sahabat beliau, disamping kondisi sosial masyarakat ketika itu- yang saling topang menopang sehingga mengantarkan generasi berikutnya untuk merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya hadits-hadits Nabi Muhammad saw.

          I.    SEPUTAR MASALAH PENULISAN HADITS


Ulama-ulama ortodok berpendapat bahwa sedikit sekali hadits yang hilang, terpotong atau rusak. Keunggulan daya ingat bangsa arab yang terkenal itu dianggap dapat menjamin kelestarian hadis selama dua abad pertama, ketika penulisan hadis masih dilaksanakan secara kecil-kecilan. Penulisan bentuk ini sedemikian banyaknya, sehingga banyak pula dikenal naskah-naskah hadis , antara lain :

Al-Shahifah Al-Shahihah (Shahifah Humam), yang berisikan hadis-hadis Abu Hurairah yang ditulis langsung oleh muridnya, Humam Ibn Munabbih. Beliau adalah seorang tabi’in yang hidup 40-131 H, beliau berguru kepada Abu Hurairah dan banyak menulis hadis darinya. Naskah yang berisikan 138 hadis ini telah ditemukan oleh Prof. Dr. Muhammad Hamidullah dalam bentuk manuskrip, masing-masing ditemukan di Berlin (Jerman) dan Damaskus (Syiria) –Lihat Ushul Al Hadits, karya Muhammad Ajjaj Al Khatib h. 201

Al-Shahifah Al-Shadiqah, yang ditulis langsung oleh sahabat abdullah Ibn Amr Ibn Ash, seorang sahabat yang-menurut penilaian Abu Hurairah- paling banyak mengetahui hadis, dan sahabat yang mendapat izin langsung untuk menulis apa saja yang didengan dari Rasul, baik disaat Nabi Ridha maupun marah. Dan tampaknya beliaulah yang pertama kali menuliskan hadis di hadapan Rasul. Karenanya beliau bangga sekali dengan kitabnya tersebut, sampai beliau pernah mengatakan,”Tidak ada yang saya senangidi dunia ini kecuali Al-Shadiqah dan Al-Wahth, As-Shadiqah adalah Shahifah yang berisi hadis-hadis yang saya tulis dari Nabi saw, sedangkan al-Wahth adalah tanah yang diwakafkan oleh ayahku Amr Ibn ‘Ash”. -Lihat Ad-Darimi, Sunan al-Darimi,  I, h. 127-. Naskhah ini berisikan hadis sebanyak 1000 hadis, dan dihafal serta di pelihara olah keluarganya sepeninggal penulisnya. Cucunya yang bernama ‘Amr Ibn Syu’aib meriwayatkan hadis-hadis tersebut sebanyak 500 hadis.

Shahifah Sumarah Ibn Jundub, yang beredar di kalangan ulama yang – oleh Ibn Sirin – dinilai banyak mengandung ilmu pengetahuan.
Shahifah Jabir Ibn Abdullah, seorang sahabat yang, antara lain, mencatat masalah-masalah haji dan Khutbah rasul yang disamaikan pada Haji Wada’ dan lain-lain.

Nuskhah Suhail Ibn Abu Shalih (w. 138 H). Beliau menulis hadis yang ia terima dari ayahnya yang berguru kepada Abu Hurairah. Naskah ini ditemukan oleh Muhammad Mustafa Azami dalam bentuk manuskrip pada tahun 1966 di perpustakaan al-Dhahiriyyah Damascus Syiria. Kemudian beliau meneliti, mengedit dan menerbitkannya bersama desertasinya untuk meraih gelar doktor dari Universitas Cambridge Inggris. Lihat: Ya’kub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Pustaka Firdaus : Jakarta 2000. h 71
Naskah-naskah tersebut membuktikan bahwa Hadis-Hadis Rasul telah ditulis atas prakarsa  para sahabat dan Tabi’in  disamping penulisannya secara resmi yang diperintahkan oleh Umar Ibn Abdul Aziz.
Pada saat Shahih Bukhari dan Muslim ditulis, kritik terhadap isnad telah menjadi semakin akurat, sehingga hanya hadis yang tidak shahih saja yang tidak dapat terdeteksi, sementara pada praktiknya semua hadis shahih sudah dikompilasi.
Beberapa pihak yang menentang menyatakan bahwa generasi pertama yang saleh membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk mengatasi ketidakberanian mereka untuk menuliskan sesuatu selain al-Quran. Meskipun mereka memiliki reputasi yang diakui, daya ingat orang arab tak dianggap mampu meriwayatkan sedemikian banyak bahan untuk waktu yang sedemikian lama, tanpa membuat kekeliruan atau tanpa mengalami perubahan.
 Pada dasarnya, banyak contoh yang dapat menegaskan bahwa daya ingat yang luar biasa adalah watak yang inheren orang arab. Daya ingat ini merupakan jaminan yang sah bagi periwayatan secara lisan yang hampir sempurna selama dua abad pertama setelah Nabi wafat. Lagi pula, kebanyakan orang arab pada masa itu buta huruf. Adalah kenyataan yang termasyur bahwa daya ingat orang yang buta huruf hampir selalu tinggi dibanding dengan mencatat informasi.
Terlepas dari itu dapat ditegaskan bahwa banyak sekali bahan yang sudah ditulis selama dua abad pertama Islam. Bahkan sebelum kedatangan Islam, penulisan sudah dipraktikkan di jaziraharab : tujuh mu’allaqat, yaitu Syair liris pra Islam, ditulis diatas kain dan digantungkan di Ka’bah. Pada masa hidup Nabi, wahyu-wahyu al-Quran dicatat di atas apapun yang mungkin digunakan untuk menulis. Dan Rasulpun telah memberikan izin penulisan selain al-Quran.
Semua hadis yang menyebutkan dibolehkannya melakukan pencatatan, kalau tidak lemah, dirujukan kesatu kasus yang di mana Nabi telah membolehkannya bagi seseorang. Hadis yang berada dalam Jami’ al-Bayan al-‘Ilm wa fadhlihi  karya Ibn Abd al-Barr, dikatakan dari Anas Ibn malik Nabi bersabda : “qayyid al-ilm bil kitab” menurut al-‘Azm adalah lemah. –At Tadwin Fil Islam, Al Manar –
Hadis berikutnya yang berasal dari Abdullah Ibn Amr Ibn Ash r.a. Beliau pernah ditegur oleh orang Quraisy, ujarnya :” Apakah Kau tulis semua yang kau dengar dari Nabi? Sedangkan Beliau sendiri seorang manusia, kadang-kadang berbicara dalam keadaan suka dan terkadang dalam suasana duka?”Atas teguran tersebut Ia segera menanyakan hal tersebut kepada baginda Rasul.
Maka jawab Rasulullah saw :
“Tulislah! Demi Dzat yang nyawaku ada ditangan Nya, tidaklah keluar dari pada-Nya, Selain Hak”. (HR. Abu Daud)[2]
Kemudian hadis senada yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
Hadis ini juga mendapatkan kritik dari Ridha.[3] Hadis ini memiliki dua Isnad. Dia mengutip dari Ahmad Ibn Hanbal yang berkata bahwa salah satu dari Isnad-Isnad ini : ‘Amr Ibn Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya (Abdullah Ibn ‘Amr) dapat digunakan atau dapat dicampakkan; tidak dapat dijadikan Hujjah.[4] Dan juga isnad hadis ini tidak terlepas dari cacat atau cela.
Diantara hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw melarang penulisan hadis, yang paling Shahih adalah yang berasal dari Abu Sa’id Al-Khudriy, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, dan Imam Hakim dalam Mustadraknya. Diriwayatkan:

“Rasulullah saw bersabda : Janganlah engkau menulis apa-apa dari ku kecuali Al-Quran, maka siapa saja yang menulis apa puan dariku (selain Al-Quran) maka dia harus menghapusnya.”[5]

Ibn Qutaibah[6] berusaha menta’wilkal kedua hadis diatas (hadis Abdullah Ibn ‘Amr dan hadis Abu Sa’id al-Khudry) yang sekilas bertentangan satu sama lainnya. Beliau memiliki dua pandangan. Pertama,  hadis tersebut termasuk dalam Naskh Sunnah dengan Sunnah. Pada masa awal Rasul melarang penulisan hadis kemudiaN masa selanjutnya beliau memperbolehkannya. Kedua, Hadis Ibn ‘Amr merupakan hak khusus yang diberikan oleh Nabi kepadanya, karena beliau adalah seorang penulis yang baik. Beliau dapat menulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Suryani dan Arab. Adapun untuk sahabat lainnya pada umumnya tidak dapat membaca dan menulis, dan yang dapat menulis hanya beberapa orang saja yang jika tidak menulis mereka tidak dapat menghafal dengan cepat. Ketika dikhawatirkan terjadi kesalahan dalam apa-apa yang ditulisnya, maka Rasul melarangnya. Dan jika Rasul percaya seperti kepada Ibn ‘Amr, maka Rasul pun mengizinkan.[7]
Pada kesempatan lain, Imam Buchari meriwayatkan hadis yang berasal dari Abu Hurairah; di mana ketika Fath Makkah  Nabi manyampaikan khutbah. Kemudian seseorang berkebangsaan yaman bangkit dan bertanya apakah khutbah tersebut ditulis saja. Nabi bersabda: “Tulislah untuk Abi Syah”[8]
Ridha berusaha memberikan penafsiran terhadap hadis Abu Hurairah yang bertentangan dengan hadis Abu Sa’id Al-Khudry. Perintah menuliskan khuTbah untuk Abi Syah diberikan sebagai anugrah khusus bagi Abi Syah. Nabi telah memerintahkan kapada para shabatnya untuk menyebarkan khutbahnya kepada semua yang tidak hadir pada waktu itu. Abu Syah memandang serius perintah ini, namun mungkin terintangi oleh daya ingatnya yang kurang kuat. Kedua, adalah mungkin untuk menafsirkan hadis Abu Sa’id dengan cara tertentu sehingga menulis hadis hanya dilarang bagi orang-orang yang ingin melestarikan tulisan tersebut untuk selama-lamanya. Di lain pihak, dari hadis ini dapat dibaca bahwa orang yang ingin menulis hadis untuk menjaganya secara temporer agar dapat dihafal dengan baik, dibolehkan, dengan syarat bahwa catatan tersebut harus dihapus setelah berhasil menghafalnya.[9]
Ridha kemudian mengemukakan doktrin Naskh. Di mana hadis yang melarang penulisan datang lebih akhir di banding dengan hadis yang membolehkan penulisan hadis. Untuk itu dapat dikemukakan dua alasan. Pertama-tama kelihatan bahwa mayoritas sahabat tidak melakukan penulisan, bahkan setelah wafatnya Nabi. Kedua, tak mungkin terjadi pembuatan daftar tertulis dengan segera setelah wafatnya Nabi. Kalau kemungkinan itu ada maka akan banyak sekali hadis Mutawattir yang sampai kepada kita. Kemudian Ridha menambahkan pertimbangan bahwa para shahabat sering meMperlihatkan enggan dan hati-hati dalam meriwayatkan hadis. Dengan fakta ini Ridha cenderung beranggapan bahwa para sahabat tidak ingin memandang hadis memiliki otoritas ilahiyyah, abadi dan universal.
Namun, murid Ridha memberikan solusi lain untuk hadis-hadis “yang melarang dan mengizinkan” dibanding yang diberikan oleh gurunya. Ia juga cenderung menerapkan doktrin Naskh pada dua macam hadis ini. Tetapi ia memandang bahwa hadis yang membolehkan muncul lebih belakangan dibanding hadis yang melarang penulisan. Dengan kata lain yang pertama menghapus yang belakangan. Pendapat seperti ini juga dipegang oleh para ulama terkemudian, diantaranya Muhammad Abu Zahw. Penulis Al-Hadits wa Al-Muhadditsun.
Sebelum memasukkan metode naskh, Abu Zahw menekankan bahwa Nabi kiranya melarang penulisan penulisan hadis pada waktu yang bersamaan dengan proses turunnya al-quran. Kemudian Abu Zahw mengutip hadis yang mengatakan: ketika Nabi sakit (pada waktu sakitnya yang terakhir), Nabi bersabda “bawakan aku sesuatu untuk menulisagar aku dapat menulis sebuah catatan(kitab), sehingga kamu tidak akan tersesat sepeninggalku”.[10] Dengan demikian izin untuk membolehkan penulisan hadis menghapus larangan untuk menulis. Ada pun -hadis yang menyebutkan bahwa Abu Hurairah menegaskan bahwa dirinya meriwayatkan lebih banyak hadis dibanding siapapun kecuali Abdullah Ibn Amr Ibn Ash, “...yang menuliskan hadis sedangkan aku (Abu Hurairah) tidak,” - ada versi lain yang mengatakan Ibn Amr meminta izin kepada Nabi untuk menulis dan izin itu diberikan.[11]
Mustafa As-Siba’i berpndapat bahwa tidak ada pertentangan antara hadis yang melarang dan yang mengizinkan pencatatan. Dia menolak adanya Naskh untuk menjelaskan keterkaitan hadis-hadis di atas satu sama lain.Doktrin Naskh selalu menjadi metode terakhir yang dapat diterapakan pada kontradiksi yang seakan-akan terjadi di antara hadis-hadis. Lanjutnya, karenanya membuat salah satu dari hadis-hadis tersebut kehilangan nilainya. Pertama harus dicoba dulu metode yang lain. As-Siba’i menuturkan bahwa pelarangan hanya menyangkut pembuatan daftar Resmi hadis-hadis, izin untuk  membolehkan penulisan hadis-hadis untuk digunakan sendiri dengan mudah diberikan. Yang dimaksud dengan pembuatan daftar resmi adalah memperlakukan hadis seperti Al-Quran. Dengan demikian peLarangan tersebut menunjukkan bahwa sudah ada penulisan sebelum itu.[12] Ditambah dengan penelitian seorang pakar di bidang hadis, Muhammad Mustafa Azami. Beliau meneliti sekaligus membuktikan bahwa tidak kurang dari 52 sahabat memiliki naskhah-naskhah catatan hadis. Demikian pula, tidak kurang dari 247 Tabi’in juga memiliki hal serupa.[13]
. Sehingga gagasan Ridha yang menganggap bahwa hadis yang melarang itu muncul belakangan setelah hadis mengizinkan penulisan, dengan mudah dapat ditolak hanya dengan menunjukkan sabda Nabi saw yang disampaikan ketika sedang sakit menjelang wafatnya.[14]

        II.        MASA KODIFIKASI HADITS SECARA RESMI DAN FAKTOR PENDORONGNYA


Imam Muhammad Ibn Sirin (33-110 H) menuturkan bahwa, “Pada mulanya umat Islam apabila mendengar Sabda Nabi saw, berdirilah bulu roma mereka. Namun setelah terjadinya fitnah (terbunuhnya Khalifah Utsman Ibn Affan), apabila mendengar Hadis mereka selalu bertanya, dari manakah hadis itu diperoleh? Apabila diperoleh dari orang-orang Ahl as-Sunnah, hadis itu diterima sebagai dAlil dalam agama Islam. Dan apabila hadis itu dari orang-orang penyebar bid’ah, hadis itu ditolak”.[15]
Ungkapan tersebut mengisyaratkan bahwa sejak terbunuhnya Sayyidina Utsman (36 H) banyak terjadi pemalsuan hadis, dan hal ini dilakukan oleh kelompok penyebar bid’ah, yaitu orang-orang yang tidak mengikuti tradisi Nabi dan para sahabatnya. Lebih-lebih sejak terbunuhnya al-Husein Ibn ‘Ali (61 H), menyusul timbulnya kelompok-kelompok politik dalam Islam, pemalsuan hadis semakin menjadi-jadi. Karena untuk mendapatkan legitimasi, masing-masing kelompok perlu dalil-dalil pendukung berupa hadis dari Nabi saw. Jika yang dicari-cari tidak ditemukan, maka mereka berani mengatakan Nabi bersabda, sementara Nabi sendiri tidak pernah mengatakan hal itu.
Inilah yang menjadi salah satu pemicu utama mengapa Khalifah Umar Ibn Abdil Aziz[16] memerintahkan secara resmi kepada Ibn Syihab Az-Zuhri[17] untuk mengumpulkan hadis-hadis yang tersebar di kalangan umat Islam ketika itu, sekaligus menyalinnya kedalam lembaran-lembaran yang kemudia dikirim kepada masing-masing penguasa satu lembar di tiap-tiap wilayah[18]. Dan ini diperkuat oleh pernyataan Imam Malik bahwa, “orang yang pertama mengumpulkan hadis adalah Ibn Syihab Az-Zuhri”.[19] Pada awalnya Az-Zuhry enggan melakukan hal tersebut, beliau Mengatakan : “Kami tidak mau menuliskan pengetahuan sampai pangeran-pangeran ini mendesak kami untuk melakukannya. Setelah itu kami tidak melihat adanya alasan yang melarang kaum Muslim melakukan penulisan”.[20]
Selain perintah tersebut diinstruksikan kepada Az-Zhuhri, Khalifah juga memerintahkan kepada seluruh pejabat dan Ulama yang memegang kekuasaan di wilayahnya untuk mengumpulkan Hadis.[21] Seperti kepada walikota Madinah, Abu Bakar Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazm (w. 117 H) untuk mengumpulkan hadis yang ada padanya dan pada Tabi’in wanita yang bernama ‘Amrah Binti Abdurrahman[22] yang banyak meriwayatkan hadis ‘Aisyah ra. Intruksinya sebagai berikut :


“Tulislah untukku hadis Rasulullah saw yang ada padamu dan hadis ‘Amrah. Sebab aku takut akan kepunahan  dan hilangnya ilmu” [23] HR. Ad-Darimi
Setelah pengumpulan hadis yang dilakukan oleh Abu Bakar Ibn Hazm dan Ibn Syihab az-Zuhry, muncullah para ulama-ulama penTadwin hadis yang di sponsori oleh Khalifah-khalifah Bani Abbasiyah. Di antaranya, Abdul Malik Ibn Abdul Aziz Ibn Juraij Al-Bashry di Makkah (w. 150 H),  Muhammad Ibn Ishaq (w. 151 H) dan Imam Malik (w. 179 H) di Madinah, Muhammad Ibn Abdurrahman Ibn Abi Dzi’ib (80-158 H) yang menyusun Al-Muwaththa’ yang lebih besar dari Imam Malik, Ar-Rabi’i Ibn Shabih (w. 16 H) dan Hammad Ibn Salamah (w. 167 H) di Bashrah, Sufyan ats-Tsauri (95-161 H) di Kufah, Abdurrahman Ibn ‘Amr Al-Auza’i (88-157 H) di Syam.
Oleh karena mereka hidup pada generasi yang sama, yaitu pada abad kedua hijriyyah, maka sulit untuk menentukan siapa yang lebih dahulu. Tetapi yang jelas bahwa mereka itu sama-sama berguru kepada Abu Bakar Muhammad Ibn ‘Amr Ibn Hazm dan Ibn Syihab Az-Zuhriy.[24]
Semua ulama sepakat mengenai kedudukan Khalifah Umar, menurut ahli sejarah, adalah orang yang pertama kali memerintahkan pembuatan daftar hadis secara resmi. Hanya Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib sajalah yang membuat pernyataan tambahan. Berdasarkan teks yang terdapat dalam Kitab al-Thabaqaat al-Kabir, karya Ibn Sa’d, ia berpendapat bahwa Gubernur Mesir, Abdul Aziz Ibn Marwan (w. 85 H), sebelum 75 H telah memberikan perintah kepada Katsir Ibn Murra Al-hadhramy unuk menulis semua hadis dari para sahabat yang pernah diterimanya, kecuali hadis dari Abu Hurairah, karena Gubernur sudah memilikinya.[25]
____
Berikut akan kami uraikan sedikit tentang faktor-faktor yang mendorong khalifah Umar Ibn Abdul Aziz memerintahkan pengumpulkan Hadis-hadis Nabi saw, diantaranya :
1.         Kemauan beliau yang sangat kuat untuk tidak membiarkan hadis seperti pada masa yang sudah-sudah. Karena beliau takut akan lenyapnya hadis dari perbendaharaan masyarakat, dikarenakan belum dilakukan pengumpulan hadis.
2.         Disamping para Ulama telah sepakat akan kesalehan dan ke’arifan Beliau, juga memiliki kemauan yang keras untuk membersihkan dan memelihara hadis dari hadis-hadis palsu yang dibuat-buat oleh orang-orang untuk mempertahankan ideologi kelompoknya dan untuk mempertahankan mazhabnya yang mulai tersiar pada masa Khalifah Ali Ibn Abi Thalib.
3.         Karena kekhawatiran akan tercampurnya hadis dengan al-Quran telah hilang, disebabkan Al-Quran telah terkumpul dalam satu mushhaf dan telah dihafal oleh ribuan umat Islam.
4.         Kalau dizaman Khulafaur Rasyidun belum pernah terbayang akan terjadi peperangan saudara yang kian hari semakin merebak di wilayah Islam, yang sekaligus mengakibatkan berkurangnya para Ulama Ahli Hadis. Maka pada saat itu pengkodifikasian hadis menjadi masalah yang sangat urgen.

Semua ahli teologi Muslim sepakat mengenai fakta bahwa perekayasaan hadis semakin kerap terjadi sejak pertengahan abad pertama hijri, sampaipenulis-penulis seperti Bukhari dan Muslim serta yang lainnya menyusun kitab himpunan hadis mereka yang hampir tanpa cacat. Dengan usaha mereka mengantarkan umat Islam kepada literatur hadis yang keshahihannya dapat dipertanggungjawabkan.
Ridha pernah membuat daftar/kriteria orang-orang yang memasukkan hadis-hadis palsu ke dalam Islam, dan daftar ini telah disepakati oleh kebanyakan ahli toelogi masa kini. Yaitu:[26]
1.     orang-orang yang menimbulkan kerugian paling besara terhadap Islam, dengan menyebarkan hadis-hadis palsu adalah kaum zindiq. Tujuan mereka adal menaburkan perpecahan dan perbedaan dikalangan kaum muslim.
2.     Orang-orang yang memperkuat teori-teori hukum dengan mereka-reka hadis dan mendapat tanggapan dari lawan-lawan dengan menggunakan senjata yang sama.
3.     Pengabaian, daya ingat yang buruk, pikiran yang lemah, tadlis, takabbur dan kelemahan akhlak manusia lainnya, telah memicu tumbuh suburnya Wadh’.[27]
4.     Orang-orang yang suka mendongeng, qushshsash, melihat adanya peluang untuk mendapatkan keuntungan dengan cara mudah, yaitu dengan mempermainkan kepercayaan pendengar mereka. Sebagian dari mereka ada yang berusaha merekayasa hadis karena terdorong untuk membuat pendengar mereka ta’jub dan ta’zhim.
5.     Sebagian orang berupaya mendapatkan dukungan dari para raja yang berkuasa saat itu, dengan cara mereka-reka hadis yang dapat menyenangkan hati para penguasa. Satu contoh termahsyur adalah hadis riwayat Ghiyats Ibn Ibrahim yang menghadap Khalifah Al-Mahdi (158 H/775 M-168 H/785 M) ketika penguasa sedang bermain dengan seekor burung merpati. Ghiyats membacakan untuknya Sabda Nabi saw :”Pacuan itu hanya dianjurkan dalm memanah, binatang berkuku dua, berkuku satu, dan yang bersayap”. Kata “yang bersayap” adalah tambhan Ghiyats sendiri.[28] Tujuannya untuk mengambil hati al-Mahdi yang memang senang bermain burung merpati. Kemudian Al-Mahdi memberi hadiah kepadanya supuluh ribu dirham. Tetapi ketika Ghiyats akan beranjak pergi, al-Mahdi berkata,  “Saya bersaksi bahwa tengkuk mu itu adalah tengkuk seorang pendusta kepada Nabi saw. Nabi tidak pernah bersabda seperti itu, hanya Ghiyats lah yang ingin menjilat dariku”. Akhirnya al-Mahdi mmerintahkan agar burung tersebut disembelih.[29]

       III.    HASIL DARI PENGUMPULAN HADITS


Terdorong oleh kemauan yang keras untuk mengumpulkan hadis sebanyak-banYaknya, mereka tidak menghiraukan atau belum sempat untuk menyeleksi manakah yang Marfu, Mauquf dan yang Maqtu’. Bahkan lebih jauh dari itu, hadits yang terkumpul belum terklasifikasir kandungan nash-nash menurut kelompok-kelompoknya. Serta belum terdapat mana yang Shahih, hasan dan Dha’if.
Sampai kira-kira pertengahan abad kedua hijry pembukuan hadis belum mengenal klasifikasi berdasarkan Tabwib. Baru lah sejak saat itu para penulis hadis dalam membukukan hadis menggunakan metode tabwib. Namun tidak ada kejelasan siapakah Uama yang pertama kali menggunakan metode tersebut. Ada yang menyebutkan nama Ibn Juraij (w. 150 H),[30] dan ada yang menyebutkan nama lain, As-Syafi’i,[31] misalnya.
Sebagai mana yang telah dikemukakan di atas, bahwa hasil usaha pengumpulan hadis yang di prakarsai oleh Ibn Syihab dan Ibn Hazm yang masih sangat sederhana dalam metode penyusunan, menjadi salah satu acuan dalam pengumpual hadis pada masa-masa selanjutnya. Kemudian pada tahapan selanjutnya, metode pengklasifikasian berkembang menjaDi berbagai metode. Dan pada akhirnya metode-metode tersebut menjadi nama sebuah kitab hadis. Karena, pada umumnya para penulis hadis tidak memberikan nama-nama tertentu untuk kitab-kitab tulisannya.
Metode-metode tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Muwatta’ adalah metode pembukuan hadis yang berdasarkan Abwab Fiqhiyyah dan tercantum di dalamnya hadis marfu’, mauquf, maqtu’.
  2. Mushannaf; metode pembukuan hadis yang sama dengan Muwatta’
  3. Musnad; adalh metode pengkalsifikasian hadis berdasarkan nama sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut.
  4. Jami’; adalah kitab hadis yang metode penyusunannya mencakup seluruh topik keagamaan, baik aqidah, hukum, adab, tafsir, manaqib, dan lain-lain. Misalnya seperti karya Imam Buchari (194-256 H) yang berjudul al-jami’ as-Shahih al-Musnad al-Mukhtashar min umur Rasul Allah saw wa  Sunanihi wa Ayyamih[32]. Dan karya Imam Muslim Ibn Hajjaj an-Naisapuri (204-201 H) yang dinamakan Shahih al-Muslim.[33]
  5. Mustakhraj; merupakan metode penyusunan kitab hadis berdasarkan penulisan kembali hadis-hadis yang terdapat dalam kitab lain, kemudian penulis mencantumkan sanad dari dia sendiri.
  6. Mustadrak; ini merupakan kebalikan dari meode mustakhraj, dimana mngeluarkan hadis dari kitab lain dan menantumkan sanad yang didapat penulis, maka mustadrak adalah peNyusunan kitab hadis yang mencantumkan hadis-hadis yang tidak terakomodasi oleh kitab lain. Namun, hadis yang diakomodir pada kitab pertama tadi mengikuti persyaratan periwayatan hadis yang dipakai oleh kitab lain itu.
  7. Sunan; metode penyusunan kitab hadis berdasakan abwab fiqhiyyah. Namun hanya mencantumkan hadis-hadis yang bersumber dari Nabi saja. Adapun hadis mauquf dan maqtu’ hanya sedikit yang tercamtum di kitab ini.
  8. Mu’jam; adalah penyusunan kitab hadis yang berdasarkan kepada nama-nama sahabat, guru-guru hadis, negeri-negeri atau yang lain. Dan lazimnya nama-nama itu disusun berdasarkan alfabet (mu’jam).
  9. Majma’;  yaitu metode yang menggabungkan beberapa kitab-kitab hadis yang sudah ada.
  10. Zawaid; terkadang suatu hadis ditulis oleh para penulis hadis secara bersama-sama dan mencantumkan dalam kitab-kitab hadis mereka. Adapula hadis yang hanya ditulis oleh seorang penulis hadis saja. Maka hadis jenis kedua ini kemudian menjadi lahan penelitian para pakar hadis yang datang kemudian. Hadis-hadis ini dihimpunnya dalam suatu kitab tersendiri. Metode seperti inilah yang dinamakan metode zawaid.



[1] Shihab, Quraisy. Mambumikan Al-Qur`an; Mizan ; Bandung. 1994 h. 122
[2] Nama lengkap beliau adalah Abu Dawud Sulaiman Ibn Al-Asy’at Ibn Ishaq As-Sijistaniy. Beliau dilahirkan di kota Sijistan pada tahun 202 H/ 817 M. Beliau mengaku telah mendengar hadis Rasul sebanyak 500.000 buah. Dari jumlah tersebut beliau seleksi dan ditulis dalam Sunan nya sebanyak 4.800 buah. Lihat :  Rahman, Drs.Fathur. Ikhtisar Mushthalah Hadis, PT. Al-ma’arif : Bandung (cet.5) 1987,   h. 332  
[3]  Sayyid Rasyid Ridha lahir di Qalamun, di pesisir Laut Tengah, tanggal 23 September 1865 M. Ia belajar di Al-Azhar tahun 1898 M. Dan beliau berguru kepada Syekh Muhammad Abduh, pada awalnya pemikirannya sama dengan gurunya. As-Siba’i menegaskan bahwa beliau sama dengan gurunya, sedikit perbendaharaan dalam hadis dan banyak tidak mengetahui ilmu-ilmu hadis. Tetapi setelah gurunya wafat, dimana beliau menerima tongkat estafet pembaharuan, beliau banyak mendalami ilmu hadis dan fiqih, sehingga beliau menjadi tempat bertanya umat Islam. Karena pengetahuan beliau tentang hadis semakin mendalam, sehingga beliau menjadi pengibar panji-panji Sunnah di Mesir. Lihat: as-Sibai, Mustafa. Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami, Al-Maktab al-Islam, Beirut, (cet.2) 1978, h. 30
[4]  Perhatikan Ta’wil Muktalaf al-Hadits karya Ibn Qutaibah, Beirut 1425 H/ 1995 H  . Dalam bab At-Tanbih ila al-Ahadits al-Dha’ifah h. 76-77 disebutkan bahwa isnad ini lemah, karena isnad ini bersambung ke Shahifah.
[5] Pada kenyataannya Imam BuchAri memandangnya tidak memiliki hujjiyyah, dugaannya bahwa itu mauquf (hadis yang mengatakan perihal sahabat, tetapi tidak mengatakan apa-apa tentang Nabi Muhammad saw). Lihat Fath al-Bari karya Ibn Hajar, h. 218. Namun, Muh. ‘Ajjaj Al-Khatib memandang hadIs ini Shahih.selain Imam Muslim mencantumkan dalam kumpulan Shahihnya, Beliau juga menemukan pembenaran pandangannya dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudry-dikutip dalam Taqyid al-‘Ilm karya Khatib Al-Baghdadi- mengatakan : “Aku minta izin kepada Nabi untuk menulis hadis, tetapi Nabi menolaknya”. Lihat As-Sunnah Qabla at-Tadwin, h. 306. Lihat pula Ushul Al-Hadis, h. 150 
[6]  Nama lengkap beliau adalah Abdullah Ibn Muslim Ibn Qutaibah ad-Dainury. Beliau adalah seorang yang Ahli di bidang adab. Beliau lahir di Baghdad pada tahu 213 H dan wafat pada tahun 276 H. Di antara karyanya adalah Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits.
[7]  Ibn Qutaibah, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits;Dar al-Fikr : Beirut 1415 H/1995 M h. 260
[8]  Al-Bukhari, Muhammad Ibn Ismail. Al-Jami as-Shahih. Mahkota Surabaya: Surabaya tth. II, h. 64
[9]  Pendapat ini diperkuat di dalam Jami’  BayaN al-‘Ilm wa Fadhlihi disebukan bahwa Zaid Ibn Tsabit, Ibn Mas’ud dan ‘Ali menghapus catatan mereka. Imam Malik Ibn Anas berkata ;”Siapa saja mencatat sesuatu, maka ia melakukannya untuk dapat menghafalnya, bila ia telah brhasil mengafalnya maka dia menghapusnya.” Lihat Jami’  Bayan al-‘Ilm wa Fadhlihi, I, h. 63
[10] Lihat Bukhari Kitab Jihad. Secara sambil lalu, “umar Ibn Khattab tidak mengizinkan Nabi bersusah payah dan menasehati agar tidak berbuat demikian.”
[11] Ibn Qutaibah, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits;Dar al-Fikr : Beirut 1415 H/1995 M h. 260. Lihat Abu Zahw, Al-Hadits wa Al-Muhadditsun    h. 122-125
[12] As-Sibai, Mustafa. Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami, Al-Maktab al-Islam, Beirut, (cet.2) 1978, h. 71-75
[13] Ya’kub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Pustaka Firdaus : Jakarta 2000. h  30 & 75. Lihat : Azami, Muh. Mustafa. Studies in Early Hadith literature with a Critical Edition of Some Early Texts, h. 92-142
[14] As-Sibai, Mustafa. Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami, Al-Maktab al-Islam, Beirut, (cet.2) 1978, h. 71-75
[15] Muslim Ibn Hajjaj, Shahih Muslim : Dar al-Fkr; Bierut: tth, I/9
[16] Beliau adalah salah seorang Khalifah ke-5 Bani Umayah yang berkuasa pada tahun  99 H-101 H. Lihat           Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Ushul al-Hadist: Dar al-FIkr : Beirut 1409 H/1989 M  h. 176
[17] Beliau adalah Muhammad Ibn Muslim Ibn Ubaydillah Ibn Abdullah Ibn syihab az-Zuhry. Lahir pada, menurut sebagian pihak, pada tahun 50 atau 51 H (670/1 M), sebagian yang lain memperkirakan pada tahun 58 H (678 M). dan wafat pada tahun 124/5 H (742/3 M)
[18] Rahman, Drs.Fathur. Ikhtisar Mushthalah Hadis, PT. Al-ma’arif : Bandung (cet.5) 1987,   h. 36  
[19] Ya’kub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Pustaka Firdaus : Jakarta 2000. h  30. mengutp dari Studies in Early Hadith literature with a Critical Edition of Some Early Texts,  Karya  Muhammad Mustafa Azami, h 252/253
[20] Lihat Jami’  Bayan al-‘Ilm wa Fadhlihi, I, h. 77. Lihat pula, Ushul Al-Hadits, h. 177
[21] Ahmad Amin dalam Fajr al-Islam  h. 210 & 221 memberikan penekanan terhadap usaha pengkodifikasian hadis. Dikatakan, “bagaimana mungkin proyek ini akan berhasil, mengingat bahwa setiap shahAbat (jumlahnya+114000 orang yang hidup diberbagai penjuru)  tentu akan mengutuip dari ingatan mereka tentang segala sesuatu yang pernah didengar dan dilihatnya dari Nabi selama 23 tahun masa kenabian, karena adanya pengekangan terhadap ingatan mereka, maka para shahabat dan generasi selanjutnya mulai membuat hadis untuk kepentingan mereka sendiri”.
[22] Merupakan saudara dari ibunya yang tumbuh di sisi Aisyah ra. Lihat,  Ushul Al-Hadits, h.179  
[23] Rahman, Drs.Fathur. Ikhtisar Mushthalah Hadis, PT. Al-ma’arif : Bandung (cet.5) 1987,   h. 36. Lihat,  Ushul Al-Hadits, h.178  
[24]  Ibid. Lihat,  Ushul Al-Hadits, h.182  

[25] Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Ushul al-Hadist: Dar al-Fikr : Beirut 1409 H/1989 M  h. 176. Perhatikan As-sunnah Qabla at-Tadwin, h. 373
[26] Juynboll, G.H.A. The Authenticcity of The Tradition Literature Discussions in Modern Egypt ,(terj. Ilyas Hasan) Mizan : Bandung 1420 H/1999 M h.  146-147
[27] Istilah teknis yang digunakan untuk perekayasaan hadis yang di nisbahkan kepada Nabi saw agar hadis tersebut lebih otoritatif.
[28] Hadis yang Asli dapat dijumpai dalam Sunan Abi Dawud (jihad)  dan  Sunan An-Nasai (Khail)
[29] Ya’kub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Pustaka Firdaus : Jakarta 2000. h  84 mengutip dari Jami’ Ushul fi Ahadits al-Rasul karya Ibn Al-Atsir, I, h.137-138
[30] Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Ushul al-Hadist: Dar al-Fikr : Beirut 1409 H/1989 M  h. 182. Perhatikan As-sunnah Qabla at-Tadwin, h. 337
[31] Rahman, Drs.Fathur. Ikhtisar Mushthalah Hadis, PT. Al-ma’arif : Bandung (cet.5) 1987,   h. 37
[32] Menurut Ibn Hajar al-‘Asqallany, kitab ini berisikan 8.122 hadits yang terdiri dari 6.397 hadis yang asli dan yang mengalami pengulangan. Diantara jumlah tersebut terdapat 1.341 hadis mu’allaq (hadis yang terbuang sebagian sanadnya atau seluruhnya) dan 384 hadis muttabi’ (mempunyai sanad yang lain). Lihat  Rahman, Drs.Fathur. Ikhtisar Mushthalah Hadis, PT. Al-ma’arif : Bandung (cet.5) 1987,   h. 39
[33] Kitab ini berisikan hadis sebanyak 7.273 hadis termasuk yang mengalami pengulangan. Jika tanpa hadis yang berulang-ulang maka berjumlah 4.000 hadis. Rahman, Drs.Fathur. Ikhtisar Mushthalah Hadis, PT. Al-ma’arif : Bandung (cet.5) 1987,   h. 39