Berbicara tentang Al-Qur’an, tentu secara jamak tidak dapat dilepaskan dari konsep wahyu dalam budaya Arab, baik pra maupun pasca Islam mengingat umat Islam kebanyakan meyakini bahwa Al-Qur’an adalah teks yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Besar Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril dengan menggunakan bahasa Arab.[1] Oleh karena itu, buku hasil olahan dari desertasi ini dimulai dengan kata pengantar ayatullah tafsir Al-Qur’an Indonesia paling masyhur saat ini, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA, sangat menarik untuk ditelaah.
Buku Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan fazlur Rahman karya Ahmad Syukri ini, terdiri dari Pengantar dan lima bagian. Dalam pengantar, Quraish Shihab menekankan bahwa Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam menempati posisi sentral dalam berbagai hal, termasuk pada maju mundurnya umat Islam.[2] Terlebih Al-Qurr’an itu sendiri senantiasa dibaca, direnungkan artinya, dipelajari, didiskusikan hukum-hukum yang tertulis di dalamnya, sementara yang lain mendalami tafsirnya.[3]
Bagian pertama sebagai pendahuluan menggambarkan tentang mengapa Ahmad Syukri (selanjutnya pengarang) tertarik terhadap pandangan Fazlur Rahman serta motivasi pengarang sebagaimana orang kebanyakan dalam membuat suatu karya ilmiah, dalam hal ini desertasi. Tidak ada hal yang signifikan dalam “bab” pendahuluan ini. Pengarang sepertinya tidak mengubah sama sekali tulisannya sedemikian rupa sehingga kesan yang muncul yang dihadapi pembaca bukan bacaan umum, tetapi khas akademik dengan segala metodologi dalam membuat suatu karya ilmiah, seperti pembatasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah kepustakaan, dan metode penelitian.
Bagian kedua menjelaskan, atau tepatnya menceritakan sepak terjang Fazlur Rahman mulai ketika masih tinggal di tanah kelahiran, yakni Pakistan, sampai dengan kehidupan dan pergumulan intelektual beliau setelah “berhijrah” ke Amerika Serikat. Bagian ini menjadi penting bagi yang belum mengenal Fazlur Rahman, tetapi bagi mereka yang sudah terbiasa, maka bagian ini dapat saja dilewatkan.
Pengarang membagi tiga periode pemikiran Fazlur Rahman: 1) Periode rintisan; 2) Periode Pakistan; 3) Periode Chicago.[4] Pada Periode Rintisan, Fazlur Rahman menurut pengarang masih berkutat pada bidang teologi dan filsafat yang bersumber pada Islam Klasik. Dalam hal ini Fazlur Rahman mengemukakan revitalisasi dan reformasi dalam memahami tradisi keagamaan. Fazlur Rahman menambahkan, apabila terjadi konflik dalam memahami sesuatu, termasuk dalam hal memahami ajaran Islam, maka harus kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah[5]. Upaya revitalisasi dan reformasi ini berlanjut pada periode kedua atau Pakistas tatkala Fazlur Rahman dipercaya sebagai Direktur Lembaga Riset Islam pada masa Presiden Ayub Khan. Di samping itu, Fazlur Rahman juga ditunjuk sebagai anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam. Pada masa ini Fazlur Rahman memasuki wilayah rawan mengingat masyarakat Pakistan terkotak-kotak dalam berbagai karakteristik ideologis yang saling berbut kekuasaan. Sekedar menyebut contoh seperti kaum tradisionalis yang ingin menghidupkan kembali tradisi historis keagamaan, sedangkan pada pihak lain para fundamentalis ingin menghadirkan Islam secara literal, kedua kelompok ini masih pula berhadapan dengan kaum modernis yang terkesan kebarat-baratan. Menyikapi hal ini Fazlur Rahman kembali mengemukakan untuk melakukan revitalisasi dan reformasi sesuai konteks Pakistan yang “kekinian” dalam berbagai bidang seperti masalah riba dan bunga bank, sistem ekonomi, politik, budaya, pendidikan, dan kesehatan sesuai perkembangan zaman. Revitalisasi dan reformasi kali ini dihadirkan Fazlur Rahman dengan kajian Islam normatif dan proaktif sesuai perkembangan zaman[6]. Akibatnya, Fazlur Rahman banyak ditentang, terutama dari kalangan tradisional dan konservatif Pakistan. Hal ini pula yang menyebabkan ia merasa tidak betah tinggal di tanah kelahiran. Ujung-ujungnya, Fazlur menganggap pemikirannya dikungkung sedemikian rupa sehingga ia berhijrah ke Amerika Serikat, tepatnya di Chicago, setelah sebelumnya sempat tinggal di California.
Pada periode Chicago inilah pengarang sepertinya mengarahkan pembaca bahwa Fazlur Rahman sebagai pemikir kontemporer dalam khazalah keislaman yang ditandai dalam empat paradigma: Pertama, penafsiran Al-Qur’an secara sistematis dan konprehensif. Kedua, penerapan metode hermeneutika dan kritik sejarah. Ketiga, pembedaan antara Islam normatif dan sejarah. Keempat, konvergensi antara tradisionalisme dan modernisme.[7]
Setelah menelaah bagian dua ini, penulis beranggapan tidaklah dapat dibenarkan memandang Fazlur Rahman sebagai seorang modernis sejati dalam arti teknis, tetapi tidak dapat juga dipersalahkan orang (termasuk Ahmad Sukri Saleh) yang mempelajari dan menganalisa pemikiran Fazlur Rahman dari kaca mata kontemporer.
Bagian ketiga, terdiri dari tiga sub bagian. Inti bahasannya seputar Pengertian, klasifikasi metodologi, pendekatan sejarah, serta hermeneutika tafsir. Penulis sepakat dalam kasus metodologi ternyata masih terdapat upaya pengklasifukasian tanpa melihat pada paradigma yang digunakan masing-masing mufasir yang cenderung menyesatkan. Hal ini dapat terbentuk karena penjustifikasian metode tafsir tertentu sebagai benar, pengkonfrontasian netode tafsir tertentu dengan metode lain, dan klasifikasi tidak jelas dari sudut epistemologi metodologisnya akan tetapi atas konsideran emosional seperti aliran tertentu.[8] Yang menjadi pertanyaan justru istilah kontemporer itu sendiri dipakai untuk zaman apa? Meminjam kata-kata pengarang, bahwa ini berkaitan dengan zaman yang relevan dengan kehidupan kekinian.[9] Akan tetapi, kalau mengingat istilah ini mempunyai arti “modern.” Atau ia tidak terikat dengan zaman, lantas? Apa hanya sekedar istilah yang bermakna “kekinian,” jadi dapat saja abad sekarang, bahkan akan datang. Sekedar urung rembuk, penulis lebih sepakat dengan Kees Bertens yang “memaknai” istilah kontemporer dengan suatu era di mana manusia sekarang hidup.[10]Kendati Fazlur Rahman sendiri sudah tidak ada lagi pada masa 20 tahun yang lalu, namun karena rentang waktu yang tidak begitu signifikan, tentu makna kontemporer dalam buku ini masih relevan digunakan.
Bagian keempat berisi pembahasan. Di sini pengarang menjelaskan terlebih dahulu bagaimana perspektif pemikiran Fazlur Rahman mengenai Al-Qur’an. Pemikiran atau pemahaman kontemporer Fazlur Rahman mengenai masalah Fundamental agama sebagaimana disinggung pada pada bagian terdahulu dalam bagian keempat ini ternyata memperlihatkan benang merah pergeseran dari periode pertama kepada periode kedua. Dengan perkataan lain, Fazlur Rahman membuka peluang aktualisasi diri yang selebar-lebarnya dengan menunjukkan keleluasaan dalam menafsirkan suatu ayat.
Mengutip Surat al-Syu’arâ’ [26] ayat 193-194:
Ruh terpercaya telah menurunkannya ke dalam hatimu agar kamu menjadi seorang pemberi peringatan.[11]
Fazlur Rahman mengakui bahwa Al-Qur’an memang dari Allah SWT, tetapi lebih jauh ia berpendapat bahwa bacaan atau Al-Qur’an yang dibaca manusia sekarang pada dasarnya secara redaksional tidak berasal dari Allah SWT tetapi meluncur dari lisan Rasulullah SAW berdasarkan wahyu yang turun ke dalam hati beliau. Sedangkan yang berkaitan dengan Malaikat (baca: Jibril) yang membawa pesan wahyu sebagaimana mana anggapan kebanyakan orang, menurut Fazlur Rahman kurang tepat dengan alasan bahwa malaikat tidak dapat dikirimkan kepada manusia.[12] Hal ini jelas termaktub dalam Surah al-Hijr [15] ayat 8:
Kami tidak menurunkan malaikat melainkan dengan benar dan tiadalah mereka itu diberi tangguh.[13]
Kalau demikian, bagaimana dengan hadits sebagai bagian dari sabda Rasulullah? Dalam hal ini, Fazlur Rahman, sebagaimana dikutip dari Suryadi, bahwa Fazlur Rahman menyebutkan “Sunnah yang hidup” dan oleh sebab ituharus diinterpretasikan secara situasional dan diadaptasikan ke dalam situasi aktual.[14]
Bagian kelima atau penutup berisi kesimpulan dan rekomendasi agar kajian mengenai pemikiran Fazlur Rahman dapat dilanjutkan oleh siapa pun demi khazanah intelektual keislaman.
Memperhatikan daftar pustaka yang berjumlah seratusan (tidak sebanding dengan halaman yang ada) menyebabkan buku ini cukup melelahkan untuk dibaca. Meskipun demikian, salut atas upaya yang dilakukan Ahmad Syukri, terutama kejeliannya dalam mengungkapkan metodologi. Dus, kalau kita ingin mengetahui atau mengkaji lebih jauh tentang pemikiran Fazlur Rahman, termasuk tafsir, akan lebih “nyambung” jika kita membaca langsung buku-buku karangan sang tokoh itu sendiri. Akan tetapi sekedar mengenal pemikiran beliau, tentu tidak mengapa membaca lewat kaca mata orang lain.
Bagaimanapun juga, jika kita memang menemukan suatu teori yang lengkap, pada waktunya teori itu harus dapat dipahami pada garis besarnya oleh semua orang, tidak hanya beberapa ilmuwan saja. Lalu kita semua, filsuf, ilmuwan, dan kaum awam akan mampu mengambil bagian dalam diskusi mengenai mengapa kita dan jagad raya ini ada. Jika kita tahu jawaban pikiran itu, itulah kemenangan penghabisan pikiran kita.[15]
Memang, kajian mengenai Al-Qur’an sudah lama dan banyak dilakukan orang, baik oleh umat Islam maupun oleh orang di luar Islam, tentu saja dengan kaca mata masing-masing, tidak terkecuali dari kaca mata pengarang buku ini. Meskipun demikian perlu dicatat bahwa karya ini termasuk buku yang sangat penting. Terlepas dari kekurangan-atau kelebihan yang ada, keputusan Sulthan Thaha Press dan Gaung Persada Press menerbitkan buku yang diolah dari desertasi terbaik pertama kajian Islam tahun 2006 di tengah arus novel-novel kontemporer dan buku mengenai gaya hidup ini perlu diberi apresiasi. Menurut hemat penulis, buku ini sangat menarik untuk dibaca, bahkan untuk didiskusikan, terutama sekali bagi peminat pemikiran Islam kontemporer, terlebih lagi dalam bidang tafsir-Al-Qur’an. Selamat membaca!
___________________________________________________________________________________
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur’an Studi kompleksitas Al-Qur’an, Terj., Amirul Hasan dan Muhammad, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997.
Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Hawking, Stephen, Riwayat Sang Kala, Terj., A. Hatyana Pudhaatmaka, Jakarta: Pustka Utama Grafiti, 1995.
Moch. Nur Ichwan, Teori Teks dalam Hermeneutik Al-Qur’an Nasr Abu Zayd, dalam Esensia, Vol. 2, No. 1 Januari 2001, Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001.
Saleh, Ahmad Sukri, Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, Jambi dan Jakarta: Sulthan Thaha Press dan Gaung Persada Press, 2007.
Shihab, Quraish, 2007, Kata Pengantar, dalam Ahmad Syukri Saleh, Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, Jambi dan Jakarta: Sulthan Thaha Press dan Gaung Persada Press, 2007.
Suryadi, Teori Teks dalam Hermeneutik Al-Qur’an Nasr Abu Zayd, dalamEsensia, Vol. 2, No. 1 Januari 2001, Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001.
________________________________________
[1] Moch. Nur Ichwan, Teori Teks dalam Hermeneutik Al-Qur’an Nasr Abu Zayd, dalam Esensia, Vol. 2, No. 1 Januari 2001, (Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001), h. 82.
[2] Quraish Shihab, Kata Pengantar dalam Ahmad Syukri Saleh, Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jambi dan Jakarta: Sulthan Thaha Press dan Gaung Persada Press, 2007), th.
[3] Fahd Bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur;an Studi kompleksitas Al-Qur’an, Terj., Amirul Hasan dan Muhammad, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), h. 35.
[4] Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jambi dan Jakarta: Sulthan Thaha Press dan Gaung Persada Press, 2007), h. 24.
[5] Ibid., h. 25.
[6] Ibid., h. 26 dan 27.
[7] Ibid., h. 30-34.
[8] Ibid, h. 41.
[9] Ibid, h. 42.
[10] Kees Bertens, Filasafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 2.
[11] Q.S. al-Syu’arâ, [26]:193-194.
[12] Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an…, h. 111.
[13] Q.S. al-Hijr, [15]:8.
[14] Suryadi, Rekonstruksi Metodologis, dalam Esensia Vol.2 No.1 Januari 2001, (Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001), h. 93.
[15] Stephen Hawking, Riwayat Sang Kala dari dentuman Besar hingga Lubang Hitam, Terj., A. Hadyana Pudjaatmaka, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), h. 188.
Quraish Shihab kok dijadikan rujukan.. :hammer:
benerin dulu tuh... aurat anak sama perempuan sama istrinya aja masih kebuka...
sudah dari dulu saya mikir, ada yg engga beres dengan agama kalian ini... engga karuan.. blas !!!
Wacana kok di ikat2, selama di terima dalam dunia akademik, kenapa gak? masalah di pakai atau tidak itu adalah pilihan kita
Terima kasih postingannya,,,
http://kafebuku.com/metodologi-tafsir-al-quran-kontemporer-dalam-pandangan-fazlur-rahman/