Audisi Empat Calon Bintang

Posted in Senin, 30 Januari 2012
by Unknown


Dalam sebuah audisi Calon bintang........

“Untuk menjadi seorang artis tidak hanya dibutuhkan wajah CANTIK dan tubuh BAHENOL saja. Tapi lebih dari itu, seorang publik figur harus punya KEPRIBADIAN yang baik dan BERWAWASAN luas…,” kata si bos pemilik rumah produksi.

Di dalam ruangan itu tinggal 4 orang gadis yang sudah lolos seleksi awal. Semuanya berparas cantik, berbadan sintal, dan berkulit halus mulus. Si bos merasa perlu untuk meng-interview sendiri. Ini berkaitan dengan sebuah sinetron yang akan segera diproduksinya.
“Mulut wanita itu sebenarnya ada berapa?”
“Dua…,” jawab keempat calon artis serempak.
“Betul!” sambut si bos. “Sekarang apa perbedaan dari kedua mulut itu?”
“Mulut yang satu berbentuk horizontal, Bos. Yang satunya lagi vertikal…,” ujar salah seorang gadis yang bernama Dewi.
“Betul! Kamu punya wawasan yang REALISTIS!”
“Yang atas bisa bicara, yang bawah tidak bisa!” ujar Mita.
“Hebat! Kamu sangat KOMUNIKATIf”
“Yang satu punya gigi, sedang yang satunya lagi tidak punya gigi!” ujar Anggi.
“Jempol untuk kamu! Kamu punya selera HUMOR yang bagus!”
Masih ada seorang gadis yang belum menyampaikan pendapatnya. Gadis bernama Anik ini tampak berpikir keras. Lalu katanya kemudian dengan suara lantang….
“Mulut yang satu biarlah aku sendiri yang pake. Tapi kalo mulut yang satunya lagi, Bos boleh pake deh….”
Kontan si bos langsung terperangah. “Besok kamu langsung ke lokasi shooting! Kamu jadi pemeran utama!” kata si Bos sambil senyum-senyum.

Abdurrahman Alif Sanjaya
Read More >>

Dibalik Label Kafir Untuk Ummat Islam Lain

Posted in Sabtu, 28 Januari 2012
by Unknown

Lamun ora ngerti mongko wajib pitakonan (Rifa’i)


Rifa’i merupakan seorang ulama sekaligus pahlawan kemerdekaan yang mempunyai pengikut atau jama’ah yang sekarang disebut sebagai Rifaiyah. Ceroboh, sombong patut disematkan pada diri saya karena berani ngomong tentang ajaran Rifaiyah yang belum terkuasai sepenuhnya, sedikit mengerti tentang Rifaiyah karena hidup dilingkungan Rifayah dan kebetulan Orang tua adalah ketua dewan Syuro Kota semarang jadi sering mendengar orang membaca kitab-kitabnya.



Waduh...kok malah nulisnya tidak fokus sihh..oke kembali ke ajaran Syeh Ahmad Rifa’i “  Lamun ora ngerti mongko wajib pitakonan” dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih “jika tidak tahu maka harus bertanya”. Bertanya bukanlah identik dengan orang bodoh, bahkan dalam ilmu filsafat bertanya merupakan pelajaran dasar. Bertanya merupakan awalan untuk mengajak dialog. Sungguh indah ketika segala permasalahan diselesaikan dengan dialog seperti Nabi Muhammad saat menaklukan lawan-lawannya (persia).



Namun sistem dialog sudah ditinggalkan, banyak kaum yang mengutamakan perang, membunuh, meja hijau bahkan sekarang lagi marak melabeli musuhnya dengan sebutan Kafir. Lo..lo..lo bukankah sesama orang muslim tidak boleh saling mengkafirkan. ada lagi modus penghakiman bagi kaum yang tidak sepaham (secara aqidah) yang kebetulan minoritas, yaitu tidak di gauli, bahkan mayatnya tidak boleh dikubur diwilayah itu. Peristiwa ini telah terjadi di lingkungan Rifaiyah Semarang (dekat dengan tempat tinggalku).



Hanya karena perbedaan aqidah membuat orang sesama Islam bermusuhan, jika Islam seperti ini, maka tungguhlah kehancurannya. Alahkah baiknya bercermin pada sejarah, kerajaan Islam di Spanyol di masa Umayah jaya, namun karena pertengkaran sesama kerajaan Islam (Granada, Andalusia dan Cordoba) Islam menjadi minoritas saat ini.



Beda Aqidah adalah Kafir



Label kafir mulai diperkenalkan di dunia pergulatan politik di negara-negara Arab.  Dalam buku Islam Progresif karya Sholahudin Al Jursy (Tunisia) telah dijabarkan. Bermula dari ajaran Syeh Qutub yang mengajarkan tentang Tauhid, berawal dari pernyataan bahwa pemerintahan yang menandingi kekuasaan tuhan adalah negara kafir.



Untuk bisa memberikan label kafir maka syariat Islam dijadikan ukurannya. Padahal masing-masing kaum mempunyai intreprestasi berbeda dalam mengartikan syari’at. Sungguh memaksakan kehendak jika harus semua disamakan dan diseragamkan, bukankah perbedaan adalah ramat tuhan. Perbedaan merupakan kekayaan yang dipunyai oleh umat Islam, apapun yang terjadi menggunakan metode paksaan tidak bisa dibenarkan dalam berdakwah. Perlu diketahui juga arti dakwah sesungguhnya adalah ajakan bukan paksaan.



Karena paksaan bisa menimbulkan permusuhan, tentunya sesuatu yang tidak akan diharapkan oleh semua orang, semua orang ingin hidup damai. Orang-orang yang giat memaksakan aqidahnya kepada orang lain selalu memimpikan negara Islam malah bisa mengingkari ajaran Islam itu sendiri yaitu perdamaian.



Mereka rela melakukan bom bunuh diri, merampok untuk pembiayaan pembuatan Bom dan cara-cara seperti ini mereka sebut sebagai jihad. Mungkin contoh seperti ini adalah ekstrim, mari menyelami permasalahan di lingkungan dirikita masing-masing. dalam lingkup pedesaan masih juga ditemukan konflik antar ulama yang diikuti oleh jamaahnya. Namanya ulama tentunya sudah banyak mengerti tentang agama namun masih saja ada bermusuhan, ya namanya ulama’ juga manusia.



Permusuhan karena berbeda pikiran atau pandangan masih diwajarkan namun kebanyakan konflik terjadi karena masalah kepentingan individu seperti beda  parpol (PPP, PKB,PKS, dll), lebih jijik lagi jika permusuhan terjadi karena sikap iri karena banyak jamaah yang biasa ngaji dengannya berkurang dan beralih ke ulama’ lainnya. Malah ada juga karena rebutan masjid ha ha ha ha.



Banyaknya peristiwa seperti itu yang terjadi menimbulkan tanda tanya, jangan-jangan mereka menyembah Jamaah bukan tuhan, jangan-jangan mereka gila hormat daripada menghormati agama Allah, ha ha ha ha ya.. lagi-lagi ulama juga manusia.



Pemuda Liberal Vs Konservatif

Untuk mengeliminasir konflik-konflik yang tidak berkewalitas seperti itu maka pemudahlah menjadi harapan. Lagi-lagi menukil ajaran Syeh Ahmad Rifa’i “Lamun ora ngerti mongko wajib pitakonan”. Nukilan itu juga bisa dimaknai bahwa Syeh Ahmad Rifa’i menyuruh umatnya untuk terus belajar “pitakonan”.
Akan sangat rugi jika masih muda tidak banyak belajar, sebaiknya orang-orang yang masih berusia muda tidak cepat-cepat untuk tampil dimuka umum. Nabi Muhammad berani memproklamirkan dirinya sebagai Rossul pada usia 40 tahun. Sebab masa muda adalah masa yang digunakan untuk memperdalam ilmunya.
Kemerosotan Islam saat ini karena tidak banyak kaum muda yang berani menemukan ide-ide baru, adapun ada tetapi tidak sepaham dengan mainstrim masyarakat lainnya pasti akan di caci-maki, sedangkan orang yang dianggap tua malah ikut-ikutan mencaci maki. Memang benar puisi Gus Mus “kau suruh aku berfikir, aku berfikir kau tuduh aku kafir”.

Jayanya Islam pada masa Ibnu Rush dan Imam Al-Ghozali dikarena beliau juga mengajarkan filsafat pada murid-muridnya. Namun banyak orang awam sekarang berfikir bahwa belajar filsafat adalah haram, padahal filsafat yang diharamkan oleh Imam Al-Ghozali adalah filsafat tentang teologi, sedangkan filsafat tentang kemanusian, alam dll tidak diharamkan.

Kembali ke anak-anak muda, semangat inovasi pemikiran anak muda kebanyakan memunculkan kontroversi terutama dengan golongan konservatif. Karena kubu konservatif merasa diserang akhirnya menggunakan dalil-dalil agama untuk menyerang. Kalau sudah seperti ini menjadikan niat para pemuda dalam belajar bukan mencari ilmu lagi akan tetapi untuk mengisi amunsi guna dijadikan alat berperang sesama umat Islam sendiri.
Sibuk berperang di dalam intern sendiri (umat Islam) menyebabkan kita lupa dengan perjuangan sesungguhnya yaitu mengembangkan Islam, padahal tanpa disadari musuh sudah dekat. Dengan kesibukan perang dengan kaum sendiri membuat kita lupa bahwa ternyata negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam masuk dalam kategori miskin ha ha ha ha menyedihkan.
Alangkah baiknya jika kita memakai prinsip rahmatal lilalamin tadi, pemikiran boleh berbeda tapi yakinlah tujuan tetap sama yaitu mengembangkan Islam. Seburuk-buruknya manusia tetap masih ada kebaikannya karena dalam filsafat Cina manusia digambarkan mempunyai sifat ying dan yang (Baik dan jahat) seimbang.

Muhtar Said

Putra ketua Dewan Syuro Rifaiyah Semarang
Read More >>

GERAKAN WAHABI ABAIKAN KONSEP AGAMA RAHMATAN LIL ALAMIN...

Posted in
by Unknown


GERAKAN Wahabi pada awalnya merupakan gerakan permurnian (puritanisme) terhadap ajaran Islam yang mulai kehilangan elan vitalnya. Namun, pada titik tertentu, aktivis gerakan tersebut melakukan penyebaran ide dan gagasan baru tersebut dengan cara pemaksaan dan mengabaikan konsep Islam rahmatan lil alamin.

Hal itu diutarakan secara terpisah oleh pengamat Timur Tengah dari Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, Hasibullah Satrawi dan pemerhati social keagaaman Faisal Djindan kepada Indonesia Monitor, Kamis (20/8).

Menurut Hasibullah Satrawi, Muhammad bin Abdul Wahab sebagai pendiri aliran Wahabi menyebarkan permikirannya dengan menggunakan tangan kekuasaan Raja Saudi. Makanya Wahabi menjadi ajaran yang begitu kuat dan mayoritas di Arab Saudi.

Gerakan Wahabi bisa berkembang pesat di Timur Tengah karena ditunjang dengan modal yang penuh karena melimpahnya minyak di sana. “Wahabi mempunyai motif kekuasaan. Jadi, slogan pemurnian yang dibawa Wahabi sangat politis, sekaligus ekonomis, dan bekerjasama dengan penguasa, sehingga slogan pemurnian ala Wahabi bercorak otoritarianistik,” ujar Satrawi.

Gerakan Wahabi, kata dia, cenderung menghabisi semua tradisi-tradisi yang ada dan menganggap kelompok yang berbeda pandangan dengan mereka sebagai “kafir”. Karena gerakan ini tadinya bekerjasama dengan militer penguasa, maka ada pemaksaan, pemberantasan besar-besaran terhadap tradisi lokal.

Sebenarnya, kata dia, nuansa-nuansa ekstrem di tubuh Wahabi terjadi di tengah jalan yang cenderung menyalahkan pihak lain, clan mengkafirkan orang lain serta tidak toleran sama orang lain.

“Nah, ini yang kemudian berkembang di Indonesia. Karena budaya masyarakat kita kadang-kadang kurang selektif terhadap gerakan yang dibawa ke Indonesia, kemudian menjadi gerakan yang ekstrem seperti tindakan teror seperti sekarang,” paparnya.

Menurut Faisal Djindan, paham Wahabi sering disebut sebagai neo-Khawarij, yaitu paham yang timbul pada awal abad lahirnya Islam, persisnya di zaman kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ciri mencolok dari paham ini adalah penuh kesalehan clan kehati-hatian dalam melaksanakan ibadah formal, pemahaman agama secara harfiah (tekstual), dan berlaku hitam-putih dalam pemahaman keagamaan yang berakibat mudah menuduh kepada yang selain mereka sebagai “kafir”, “sesat”, “ahli bid’ah”, dan sebagainya.

Setelah lima belas tahun memproklamasikan jihad mereka, kata Faisal, Wahabi sudah menguasai sebagian besar jazirah Arab, Hijaz, serta Yaman. Hal ini tidak terlepas dari cara-cara brutal, bahkan pemaksaan dengan ancaman senjata yang membuat setiap muslim saat itu terpaksa menerima praktik-praktik Wahabi. Salah satu agenda mereka adalah merobohkan makam-makam keluarga serta sahabat Nabi, situs-situs peninggalan sejarah Islam, semua itu dengan alasan untuk “pemurnian agama”.

“Dewasa ini jika kita mengunjungi Mekah atau Madinah, maka akan kita saksikan bagaimana tidak ada satupun dari bekas peninggalan Islam yang tersisa, karena sudah dirobohkan oleh mereka,” ujar Faisal Djindan.

Sejarah Wahabi, kata dia, tidakpernah pernah lepas dari aksi-aksi kekerasan, baik doktrinal, kultural, maupun sosial. Dalam penaklukan jazirah Arab tahun 1920, lebih dari 400 ribu umat Islam dibunuh. Selain itu, kekayaan dan para wanita dari daerah yang mereka taklukkan diambil sebagai pampasan perang.
Read More >>

Alamat Kenabian

Posted in Rabu, 25 Januari 2012
by Unknown
SCAN kitab shohih bukhari hlm.173 juz IV Bab “ALAMATIN NUBUWWAH FIL ISLAM”


Redaksi hadits nya cukup menarik yang memuat kejadian ganjil pada jaman nabi, sehingga bagi manusia yang bodoh akan di anggap cerita tahayul dan mengada ngada seperti film/sinetron ala Indonesia.

Terjemahan hadits tersebut kurang lebihnya seperti ini:

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim,
Telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid bin Aiman.
Dia berkata:”Saya mendengar dari ayahku, yang bersumber dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhuma bahwa;

Nabi sholollohu alaihi wa sallam pada suatu hari jum’at berdiri (khutbah) pada sebuah pohon atau pohon kurma, kemudian ada seorang perempuan atau lelaki dari anshar mengatakan:”Wahai Rasulallah… perkenankanlah kiranya kami membuatkan untukmu sebuah mimbar?”
Beliau menjawab:”Kalau kalian mau…(silahkan-pent).

Maka kemudian mereka membuatkannnya sebuah mimbar itu untuk nabi.
Ketika hari jum’at tiba, nabi menaiki mimbar itu, dan tiba tiba pohon kurma itu menjerit dan menangis seperti jeritan anak kecil, maka nabi-pun turun dari mimbarnya kemudian memeluk erat pohon kurma itu, ia pun merintih seperti rintihan anak kecil yang ingin ditenangkan.

Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhuma berkata;
“Pohon kurma itu menangis atas apa yang ia dengarkan dari isi khutbah nabi itu yang berada disisinya”.
-------------------------------------------------------

TERUSAN dihalaman berikutnya dari hadits diatas sbb:

حدثنا اسمعيل قال حدثني أخى عن سليمان بن بلال عن يحي بن سعيد قال أخبرنى حفص بن عبيدالله بن أنس بن مالك انه سمع جابر بن عبد الله يقول كان المسجد مسقوفا على جذوع من نخل فكان النبي صلى الله عليه وسلم اذا خطب يقوم الى جذع منها فلما صنع له المنبر وكان عليه فسمعنا لذلك الجذع صوتا كصوت العشار حتى جاء النبى صلى الله عليه وسلم فوضع يده عليها فسكنت.

Terjemahan langsung haditsnya:
Anas bin malik ra mendengar dari Jabir bin abdillah berkata:

“Kondisi masjid nabi dulu beratapkan dari batang batang pohon kurma.
Nabi jika berkhutbah berdiri ke sebuah batang pohon kurma, namun setelah beliau dibuatkan sebuah mimbar, beliau berkhutbah diatas mimbar tersebut dan tidak lagi dibatang pohon kurma itu,
Tapi tiba tiba kami mendengar pada batang pohon kurma itu sebuah suara seperti suara rintihan seekor unta yang sedang hamil 10 bulan, hingga kemudian nabi saw turun dari mimbarnya, lantas menaruh tangannya pada batang pohon kurma itu hingga batang pohon kurma itu tenang dan diam.
--------------------------------------------------------
Subhanallah…. La hawla walaquwata illa billah…


KOMENTAR ULAMA:

Hasan Bashri jika menceritakan kisah batang pohon kurma ini menangis seraya berkata:”Wahai manusia. Batang pohon kurma saja merintih merindukan Rasulullah saw meminta beliau agar kembali ke tempatnya… Kalian mestinya lebih merindukan pertemuan dengan Rasulullah saw” [Syarah Assyifa li Mula Ali Al Qari.3/63].


Imam Albaihaqy mengatakan:”Kisah rintihan batang kurma ini adalah kejadian nyata yang secara khusus diceritakan oleh ulama ulama kini dari ulama ulama salaf adalah bukti autentik bahwa terkadang benda mati oleh Allah dibuat memiliki insting seperti hewan. [Fathul Bari 6/603].


Dari Amr ibnu Sawwad, dari Imam Syafi’i, beliau berkata:”Allah tidak memberikan kepada seorang nabi-pun seperti yang diberikan kepada Rasulullah saw.

Aku berkata:”Tapi Dia berikan kepada Isa as mukzijat untuk menghidupkan orang mati?”

Imam Syafi’i menjawab:”Allah memberikan kepada nabi Muhammad saw suara rintihan batang kurma hingga terdengar, ini lebih besar dari pada yang diberikan kepada nabi Isa as. [sirah masjidin nabawi.116].

Oleh:
Kaheel Baba Naheel
Read More >>

Analisis Kebijakan Abu Bakar Memerangi Para Pembangkang Bayar Zakat

Posted in Minggu, 22 Januari 2012
by Unknown
Oleh Akhmad Sahal, Kader NU, kandidat PhD Universitas Pennsylvania

Pada tahun kesepuluh Hijriah, Nabi Muhammad SAW menerima surat dari seseorang yang mengaku jadi nabi. Namanya Musailamah bin Habib, petinggi Bani Hanifah, salah satu suku Arab yang menguasai hampir seluruh kawasan Yamamah (sekarang sekitar Al-Riyad). Dalam suratnya, Musailamah berujar: “Dari Musailamah, utusan Allah, untuk Muhammad, utusan Allah. Saya adalah partner Anda dalam kenabian. Separuh bumi semestinya menjadi wilayah kekuasaanku, dan separuhnya yang lain kekuasaanmu….”

Seperti dituturkan ahli tafsir dan sejarawan muslim terkemuka pada abad ketiga Hijriah, Imam Ibn Jarir Al-Tabari (838-923), dalam kitabnya Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Rasul dan Raja) atau yang dikenal sebagai Tarikh al-Tabari, Musailamah bukanlah sosok yang sepenuhnya asing bagi Nabi. Beberapa bulan sebelum berkirim surat, Musailamah ikut dalam delegasi dari Yamamah yang menemui beliau di Madinah dan bersaksi atas kerasulannya. Delegasi inilah yang kemudian membawa Islam ke wilayah asal mereka dan membangun masjid di sana.

Menerima surat dari Musailamah yang mengaku nabi, Rasul tidak lantas memaksanya menyatakan diri keluar dari Islam dan mendirikan agama baru, apalagi memeranginya. Padahal gampang saja kalau beliau mau, karena saat itu kekuatan kaum muslim di Madinah nyaris tak tertandingi. Mekah saja, yang tadinya menjadi markas para musuh bebuyutan Nabi, jatuh ke pelukan Islam. Yang dilakukan Rasul hanyalah mengirim surat balasan ke Musailamah: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Pengasih. Dari Muhammad, utusan Allah, ke Musailamah sang pendusta (al-kazzab). Bumi seluruhnya milik Allah. Allah menganugerahkannya kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Keselamatan hanyalah bagi mereka yang berada di jalan yang lurus.” Rasul menempuh dakwah dengan cara persuasi dan bukan cara kekerasan. Musailamah memang dikutuk sebagai al-Kazzab, tapi keberadaannya tidak dimusnahkan.

Namun, setelah Nabi wafat, ceritanya jadi lain. Umat Islam yang masih shocked karena ditinggal pemimpinnya berada dalam ancaman disintegrasi. Sejumlah suku Arab menyatakan memisahkan diri dari komunitas Islam di bawah pimpinan khalifah pertama, Abu Bakr al-Shiddiq. Sebagian dari mereka mengangkat nabi baru sebagai pemimpin untuk kelompok mereka sendiri. Musailamah dan sejumlah nabi palsu lain, seperti Al-Aswad dari Yaman dan Tulaikhah bin Khuwailid dari Bani As’ad, menyatakan menolak membayar zakat, suatu tindakan yang pada masa itu melambangkan pembangkangan terhadap pemerintah pusat di Madinah. Abu Bakr lalu melancarkan ekspedisi militer untuk menumpas gerakan pemurtadan oleh para nabi palsu tersebut, yang menurut dia telah merongrong kedaulatan khalifah dan membahayakan kesatuan umat. Perang Abu Bakr ini dikenal sebagai “perang melawan kemurtadan (hurub al-ridda).”

Tampaknya, “perang melawan kemurtadan” inilah yang diadopsi begitu saja oleh para pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah tanpa disertai pemahaman yang mumpuni terhadap duduk perkaranya. Penyerangan brutal di Banten minggu lalu, yang menewaskan tiga warga Ahmadiyah, secara luas memang telah dikecam bahkan oleh banyak kalangan muslim sendiri, entah dengan alasan menodai citra Islam yang damai, merusak kerukunan beragama, atau melanggar hak asasi kaum minoritas. Tapi bagi para pelaku penyerangan dan yang membenarkannya, seperti FPI, apa yang mereka lakukan semata-mata demi membela Islam dari noda pemurtadan. Jemaah Ahmadiyah dianggap telah murtad karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, dan karena itu mesti dikeluarkan secara paksa dari Islam.

Ironisnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Menteri Agama, dan pihak-pihak yang mengaku tidak menyetujui anarkisme terhadap Ahmadiyah, yang terus memaksa agar Ahmadiyah menjadi agama baru di luar Islam, sebenarnya juga memakai pendekatan “perang melawan kemurtadan” secara gegabah. Dalam hal ini, perbedaan MUI dan Menteri Agama dengan kaum penyerang Ahmadiyah hanya terletak dalam hal metode, tapi tidak dalam tujuan. Saya sebut ironis karena majelis ulama, yang berlabel “Indonesia” di belakang, ternyata merubuhkan prinsip kebinekaan Indonesia. Ironis karena seorang menteri yang merupakan hasil pemilu demokratis ternyata mempunyai pandangan yang melenceng dari konstitusi demokratis yang menjamin hak setiap warga menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Yang paling ironis, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membiarkan saja semua itu terjadi.

Lepas dari itu, kalau kita tinjau dari sudut doktrin dan sejarah Islam pun, pemakaian kerangka “perang melawan pemurtadan” untuk menyikapi Ahmadiyah sejatinya sama sekali tak berdasar. Patut diingat, sebutan “perang melawan kemurtadan” bukanlah kreasi Abu Bakr sendiri, melainkan penamaan belakangan dari para sejarawan muslim. Disebut demikian barangkali karena yang diperangi saat itu memang arus pemurtadan yang terkait dengan munculnya sejumlah nabi palsu. Dan gerakan nabi palsu pada masa itu berjalin berkelindan dengan upaya menggembosi kedaulatan kekhalifahan. Penolakan membayar zakat bukan hanya pelanggaran terhadap rukun Islam, tapi juga sebentuk aksi makar. Ini karena, berbeda dengan ibadah salat yang hanya melulu menyangkut hubungan hamba dan Tuhannya, urusan zakat berkaitan dengan negara. Tambahan pula, para nabi palsu tersebut juga membangun kekuatan militernya sendiri. Musailamah, misalnya, menggalang tidak kurang dari 40 ribu anggota pasukan untuk melawan pasukan muslim dalam perang Yamamah, sampai-sampai armada muslim di bawah Khalid bin Walid sempat kewalahan pada awalnya. Karena itu, perang Abu Bakr melawan kemurtadan mesti dibaca sebagai sebuah tindakan yang lebih bersifat politis ketimbang teologis, yakni berhubungan dengan penumpasan terhadap kelompok pemberontak.

Karena itu, “perang melawan kemurtadan” versi khalifah Abu Bakr tidak bisa begitu saja diterapkan dalam konteks Indonesia sekarang. Taruhlah memang jemaah Ahmadiyah telah murtad karena mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Tapi bukankah sejauh ini mereka belum pernah membangun kekuatan militer untuk merongrong umat Islam dan pemerintahan yang sah seperti Musailamah pada masa khalifah Abu Bakr? Bukankah sejauh ini warga Ahmadiyah hanya menuntut untuk diberi ruang menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya? Kalau memang begitu, apakah tidak keliru kalau mereka diperlakukan seperti para pemberontak?

Ditinjau dari perspektif kaidah fiqh “hukum berporos pada alasan”, gerakan pemurtadan oleh para nabi palsu pada masa Abu Bakr memang wajib diperangi, karena saat itu kemurtadan identik dengan pemberontakan yang mengancam kedaulatan khalifah dan integrasi umat. Adapun kalau sekadar murtad saja tanpa dibarengi pemberontakan, hukum yang berlaku tentu tidak sama. Pada titik inilah kita bisa mengacu pada peristiwa korespondensi antara Nabi Muhammad dan Musailamah seperti saya paparkan di awal tulisan.

Di sinilah pemahaman tentang metodologi hukum Islam mutlak diperlukan dalam melihat pokok soalnya. Tanpa pengetahuan yang mumpuni tentang metodologi hukum Islam, keputusan yang muncul dan tindakan yang diambil mungkin saja tampak sesuai dengan ajaran syariat, tapi bisa jadi esensinya bertentangan dengan maqashid al- syari’ah (tujuan-tujuan syariat) yang lebih bersifat universal, seperti perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia.

Lagi pula, satu-satunya dalil Al-Quran tentang kemurtadan sama sekali tidak menyeru kaum muslim untuk memerangi kaum murtad semata-mata karena kemurtadannya. Simaklah Surat Ali Imran ayat 90. Ayat ini tidak menyinggung soal perlunya menggunakan cara-cara kekerasan dan paksaan terhadap si murtad, karena Tuhanlah yang akan menjadi hakim atas perbuatannya di akhirat nanti.

Dalam kerangka Qurani semacam inilah kita bisa mengerti kenapa Nabi tidak menghukum Musailamah, yang tanpa tedeng aling-aling mengaku sebagai nabi. Bukan karena beliau mendiamkannya--toh Nabi melabelinya dengan gelar “Al-Kazzab”. Menurut saya, nabi bersikap seperti itu karena, dalam Al-Quran, hukuman terhadap si murtad memang sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah SWT. Nabi Muhammad hanyalah seorang manusia biasa yang bertugas menyampaikan risalah Ilahi. Beliau bukan Tuhan yang turun ke bumi. Itulah sebabnya Al-Quran menegaskan tidak ada paksaan dalam agama.

Kalau Nabi saja demikian sikapnya, alangkah lancangnya Front Pembela Islam (FPI), MUI, dan Menteri Agama yang merasa punya hak untuk mengambil alih wewenang Tuhan untuk mendaulat diri mereka sebagai hakim atas orang-orang yang dianggap murtad seperti terlihat dalam sikap mereka terhadap jemaah Ahmadiyah. Di sinilah saya kira umat Islam mesti memilih dalam bersikap, mau mengikuti cara-cara FPI, MUI, dan Menteri Agama, atau meneladan sikap Rasulullah.
Read More >>

Mengusik Amalan Orang Lain Dengan Menggunting Perkataan 'Ulama

Posted in Senin, 16 Januari 2012
by Unknown
Assalamu'alaikum. Wr. Wb.

MUQODDIMAH

Mengusik amalan seseorang Muslim dengan menukil pernyataan Ulama dari kitab Muktabar secara serampangan (mengguting-gunting kalimat) merupakan perbuatan keji dan sangat tidak berakhlak. Selain termasuk telah menyembunyikan kebenaran, juga termasuk telah memfitnah Ulama yang perkataannya telah mereka nukil, merendahkan kitab Ulama dan juga telah menipu kaum Muslimin. Dakwah mereka benar-benar penuh kepalsuan dan kebohongan. Mengatas namakan Madzhab Syafi’I untuk menjatuhkan amalan Tahlil, sungguh mereka keji juga dengki.

Kitab I’anatuth Thalibin (إعانة الطالبين) adalah kitab Fiqh karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh Al-Imam Abi Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyatiy Asy-Syafi’i, yang merupakan syarah dari kitab Fathul Mu’in, Kitab ini sangat masyhur dikalangan masyarakat Indonesia dan juga salah satu kitab yang menjadi rujukan pengikut madzhab Syafi’iyyah dalam ilmu Fiqh diseluruh dunia. Namun, sayang, ada sebagain kecil kalangan yang tidak bermadzhab Syafi’i (anti Madzhab), mengaku pengikut salaf, mencomot-comot isi kitab ini untuk mengharamkan Tahlilan yang merupakan amalan sudah masyhur dikalangan pengikut madzhab Syafi’i. Bukannya berdakwah secara benar namun yang mereka lakukan, malah menunjukkan kedengkian hati mereka dan ketidak jujuran mereka dalam menukil perkataan ulama. Ini hanya salah satu kitab yang kami coba luruskan dari nukilan tidak jujur yang telah mereka lakukan, masih banyak lagi kitab Ulama yang dicomot serampangan oleh mereka, seperti kitab Al-Umm (Imam Syafi’i), Al-Majmu’ Syarah Muhadzab Imam An-Nawawi, Mughni al-Muhtaaj ilaa Ma’rifati Ma’aaniy Alfaadz Al Minhaj, dan kitab-kitab ulama lainnya.

*PEMBAHASAN

Setidak-tidaknya ada 5 pernyataan yang kami temukan, yang mereka comot dari kitab I’anah at-Thalibin secara tidak jujur dan memelintir (mensalah-pahami) maksud dari pernyataan tersebut untuk mengharamkan Tahlilan. Ini banyak dicantumkan disitus-situs mereka dan dikutip oleh sesama mereka secara serampangan pula. Berikut ini yang mereka nukil secara tidak jujur, yang punya kitab i'anah at-tholibin silahkan di teliti langsung.
1. Teks arabnya ; 

(نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر)
 
“Ya, apa yang dilakukan manusia, yakni berkumpul di rumah keluarga si mayit, dan dihidangkan makanan, merupakan bid’ah munkarah, yang akan diberi pahala bagi orang yang mencegahnya, dengannya Allah akan kukuhlah kaidah-kaidah agama, dan dengannya dapat mendukung Islam dan muslimin” (I’anatuth Thalibin, 2/165)

2. Teks arabnya ;

وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
 
“Dan apa yang dibiasakan manusia tentang hidangan dari keluarga si mayit yang disediakan untuk para undangan, adalah bid’ah yang tidak disukai agama, sebagaimana datangnya para undangan ke acara itu, karena ada hadits shahih yang diriwayatkan dari Jarir Radhiallahu ‘Anhu: Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit, mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya, adalah termasuk nihayah (meratap) –yakni terlarang.

3. Teks arabnya ; وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم
 
“Dalam Kitab Al Bazaz : Dibenci menyediakan makanan pada hari pertama, tiga, dan setelah tujuh hari, dan juga mengirim makanan ke kuburan secara musiman".

4. “Dan diantara bid’ah yang munkarat yang tidak disukai ialah apa yang biasa dikerjakan orang tentang cara penyampaian rasa duka cita, berkumpul dan acara hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram. (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146).

5. “Dan tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa mencegah umat dari bid’ah munkarat ini adalah menghidupkan Sunnah Nabi SAW , mematikan BID’AH, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan, karena orang-orang memaksa-maksa diri mereka berbuat hal-hal yang akan membawa kepada hal yang diharamkan. (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146).


Point kelima itulah yang mereka comot secara serampangan dan menterjemahkannya dengan memelintir maknanya. Kami akan mulai membahas point-point diatas, sebagai berikut :
=====================================================

POINT PERTAMA (1) : Nukilan diatas merupakan bentuk ketidakjujuran, dimana orang yang membacanya akan mengira bahwa berkumpul di tempat ahlu (keluarga) mayyit dan memakan makanan yang disediakan adalah termasuk bid’ah Munkarah, padahal bukan seperti itu yang dimaksud oleh kalimat tersebut. Mereka telah menggunting (menukil secara tidak jujur) kalimat tersebut sehingga makna (maksud) yang dkehendaki dari kalimat tersebut menjadi kabur. Padahal, yang benar, bahwa kalimat tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan yang ditanyakan sebelumnya. Itu sebabnya, kalimat yang mereka nukil dimulai dengan kata “na’am (iya)”.

~Berikut teks lengkapnya;

وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام. وجواب منهم لذلك. (وصورتهما). ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة. فهل لو أراد رئيس الحكام – بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي – بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟
 
“Dan sungguh telah aku perhatikan mengeni pertanyaan yang ditanyakan (diangkat) kepada para Mufti Mekkah (مفاتي مكة المشرفة) tentang apa yang dilakukan oleh Ahlu (keluarga) mayyit perihal makanan (membuat makanan) dan (juga aku perhatikan) jawaban mereka atas perkara tersebut. Gambaran (penjelasan mengenai keduanya ; pertanyaan dan jawaban tersebut) yaitu mengenai (bagaimana) pendapat para Mufti yang mulya (المفاتي الكرام) di negeri “al-Haram”, (semoga (Allah) mengabadikan manfaat mareka untuk seluruh manusia sepanjang masa), tentang kebiasaan (urf) yang khusus di suatu negeri bahwa jika ada yang meninggal, kemudian para pentakziyah hadir dari yang mereka kenal dan tetangganya, lalu terjadi kebiasaan bahwa mereka (pentakziyah) itu menunggu (disajikan) makanan dan karena rasa sangat malu telah meliputi ahlu (keluarga mayyit) maka mereka membebani diri dengan beban yang sempurna (التكلف التام), dan (kemudian keluarga mayyit) menyediakan makanan yang banyak (untuk pentakziyah) dan menghadirkannya kepada mereka dengan rasa kasihan. Maka apakah bila seorang ketua penegak hukum yang dengan kelembutannya terhadap rakyat dan rasa kasihannya kepada ahlu mayyit dengan melarang (mencegah) permasalahan tersebut secara keseluruhan agar (manusia) kembali berpegang kepada As-Sunnah yang lurus, yang berasal dari manusia yang Baik (خير البرية) dan (kembali) kepada jalan Beliau (semoga shalawat dan salam atas Beliau), saat ia bersabda, “sediakanlah makanan untuk keluarga Jakfar”, apakah pemimpin itu diberi pahala atas yang disebutkan (pelarangan itu) ?

أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور. (الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده. اللهم أسألك الهداية للصواب. نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.
 
“Penjelasan sebagai jawaban terhadap apa yang telah di tanyakan, (الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده, Ya .. Allah aku memohon kepada-Mu supaya memberikan petunjuk kebenaran”.Iya.., apa yang dilakukan oleh manusia dari berkumpul ditempat ahlu (keluarga) mayyit dan menghidangkan makanan, itu bagian dari bid’ah munkarah, yang diberi pahala bagi yang mencegahnya dan menyuruhnya. Allah akan mengukuhkan dengannya kaidah-kaidah agama dan mendorong Islam serta umat Islam”

Betapa apa yang dikehendaki dari pernyataan diatas telah keluar konteks saat pertanyaannya dipotong sebagaimana nukilan mereka dan ini yang mereka gunakan untuk melarang Tahlilan. Ketidak jujuran ini yang mereka dakwahkan untuk menipu umat Islam atas nama Kitab I’anatuth Thalibin dan Al-‘Allamah Asy-Syekh Al-Imam Abi Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathiy Asy-Syafi’i.

Dalam pertanyaan dan jawaban diatas, yang sebenarnya termasuk bagian dari bid’ah Munkarah adalah kebiasaan pentakziyah menunggu makanan (بأنهم ينتظرون الطعام) di tempat ahlu (keluarga) yang terkena mushibah kematian, akal sehat pun akan menganggap bahwa kebiasaan itu tidak wajar dan memang patut untuk di hentikan. Maka, sangat wajar juga bahwa Mufti diatas menyatakan kebiasaan tersebut sebagai bid’ah Munkarah, dan penguasa yang menghentikan kebiasaan tersebut akan mendapat pahala. Namun, karena keluasan ilmu dari Mufti tersebut tidak berani untuk menetapkan hukum “Haram” kecuali jika memang ada dalil yang jelas dan sebab-sebabnya pun luas.
Tentu saja, Mufti tersebut kemungkinan akan berkata lain jika membahasnya pada sisi yang lebih umum (bukan tentang kasus yang ditanyakan), dimana pentakziyah datang untuk menghibur, menyabarkan ahlu (keluarga) mayyit bahkan membawa (memberi) bantuan berupa materi untuk pengurusan mayyit dan untuk menghormati pentakziyah yang datang.

Pada kegiatan Tahlilan orang tidak akan datang ke rumah ahlul mushibah dengan kehendaknya sendiri, melainkan atas kehendak tuan rumah. Jika tuan rumah merasa berat tentu saja tidak perlu mengadakan tahlilan dan tidak perlu mengundang. Namun, siapa yang lebih mengerti dan paham tentang “memberatkan” atau “beban” terhadap keluarga mayyit sehingga menjadi alasan untuk melarang kegiatan tersebut, apakah orang lain atau ahlu (keluarga) mayyit itu sendiri ? tentu saja yang lebih tahu adalah ahlu (keluarga) mayyit. Keinginan ahlu (keluarga) mayyit untuk mengadakan tahlilan dan mengundang tetangga atau orang lain untuk datang ke kediamannya merupakan pertanda ahlu (keluarga) mayyit memang menginginkannya dan tidak merasa keberatan, sementara para tetangga (hadirin) yang diundang sama sekali tidak memaksa ahlu (keluarga) mayyit untuk mengadakan tahlilan. Ahlu (keluarga) mayyit mengetahui akan dirinya sendiri bahwa mereka mampu dan dengan senang hati beramal untuk kepentingan saudaranya yang meninggal dunia, sedangkan hadirin hanya tahu bahwa mereka di undang dan memenuhi undangan ahlu (keluarga) mayyit.

Sungguh betapa sangat menyakitkan hati ahlu (keluarga) mayyit jika undangannya tidak dipenuhi dan bahkan makanan yang dihidangkan tidak dimakan atau tidak disentuh. Manakah yang lebih utama, melakukan amalan yang “dianggap makruh” dengan menghibur ahlu (keluarga) mayyit, membuat hati ahlu (keluarga) mayyit senang atau menghindari “yang dianggap makruh” dengan menyakiti hati ahlu (keluarga) mayyit ? Tentu saja akan yang sehat pun akan menilai bahwa menyenangkan hati orang dengan hal-hal yang tidak diharamkan adalah sebuah kebaikan yang berpahala, dan menyakiti perasaannya adalah sebuah kejelekan yang dapat berakibat dosa.

Disisi yang lain antara ahlu (keluarga) mayyit dan yang diundang, sama-sama mendapatkan kebaikan. Dimana ahlu (keluarga) mayyit telah melakukan amal shaleh dengan mengajak orang banyak mendo’akan anggota keluarga yang meninggal dunia, bersedekah atas nama mayyit, dan menghormati tamu dengan cara memberikan makanan dan minuman. Pada sisi yang di undang pun sama-sama melakukan amal shaleh dengan memenuhi undangan, mendo’akan mayyit, berdzikir bersama, menemani dan menghibur ahlu (keluarga) mayyit. Manakah dari hal-hal baik tersebut yang diharamkan ? Sungguh ulama yang mumpuni benar-benar bijaksana dalam menetapkan hukum “makruh” karena melihat dengan seksama adanya potensi “menambah kesedihan atau beban merepotkan”, meskipun jika seandainya hal itu tidak benar-benar ada.
Adanya sebagian kegiatan Tahlilan yang dilakukan oleh orang awam, yang sangat membebani dan menyusahkan, karena ketidak mengertiannya pada dalam masalah agama, secara umum tidak bisa dijadikan alasan untuk menetapkan hukum haram atau terlarang. Bagi mereka lebih pantas diberi tahu atau diajari bukan di hukumi.

Selanjutnya,

Point Kedua (2) : Juga bentuk ketidak jujuran dan mensalah pahami maksud dari kalimat tersebut. Kata yang seharusnya merupakan status hukum namun diterjemahkan sehingga maksud yang terkandung dari pernyataan tersebut menjadi berbeda. Ungkapan-ungkapan ulama seperti akrahu” (saya membenci), “makruh” (dibenci), “yukrahu” (dibenci), “bid’ah munkarah” (bid’ah munkar), “bid’ah ghairu mustahabbah” (bid’ah yang tidak dianjurkan), dan “bid’ah mustaqbahah” (bid’ah yang dianggap jelek), semua itu mereka pahami sebagai larangan yang berindikasi hukum haram mutlak. Padahal didalam kitab tersebut, berkali-kali dinyatakan hukum “makruh” untuk kegiatan berkumpul di rumah ahlu (keluarga) mayyit dan dihidangkan makanan,terlepas dari hokum-hukum perkara lain seperti takziyah, hokum mendo’akan, bersedekah untuk mayyit, dimana semua itu dihukumi sunnah.

~Terjemahan “mereka” :“Dan apa yang dibiasakan manusia tentang hidangan dari keluarga si mayit yang disediakan untuk para undangan, adalah bid’ah yang tidak disukai agama, sebagaimana datangnya para undangan ke acara itu, karena ada hadits shahih yang diriwayatkan dari Jarir Radhiallahu ‘Anhu: Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit, mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya, adalah termasuk nihayah (meratap) –yakni terlarang.


~Berikut teksnya (yang benar)

 وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
 
“Dan kebiasaaan dari ahlu (keluarga) mayyit membuat makanan untuk mengundang (mengajak) menusia kepadanya, ini bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh), sebagaimana mereka memenuhi ajakan itu, sesuai dengan hadits shahih dari Jarir ra, “Kami (sahabat) menganggap bahwa berkumpul ke ahlu (keluarga) mayyit dan menyediakan makanan (untuk mereka) setelah dikuburnya (mayyit) <adalah bagian dari meratap>

Mereka secara tidak jujur menterjemahkan status hukum “Makruh” pada kalimat diatas dan hal itu sudah menjadi tuntutan untuk tidak jujur bagi mereka sebab mereka telah menolak pembagian bid’ah. Karena penolakan tersebut, maka mau tidak mau mereka harus berusaha memelintir maksud bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh) tersebut.

Padahal bid’ah juga dibagi menjadi lima (5) status hukum namun mereka tolak, sebagaimana yang tercantum dalam kitab al-Imam an-Nawawi yaitu Syarah Shahih Muslim ;

أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة
 
“Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi 5 macam ; bid’ah yang wajib, mandzubah (sunnah), muharramah (bid’ah yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (mubah)” [Syarh An-Nawawi ‘alaa Shahih Muslim, Juz 7, hal 105]

Bila ingin memahami perkataan Ulama madzhab Syafi’I, maka pahami juga istilah-istilah yang ada dan digunakan didalam madzhab Syafi’i. Penolakan mereka terhadap pembagian bid’ah ini, mengandung konsekuensi yang besar bagi mereka sendiri saat dihadapkan dengan kitab-kitab ulama Madzhab Syafi’iyyah, dan untuk menghidarinya, satu-satunya jalan adalah dengan jalan tidak jujur atau mengaburkan maksud yang terkandung dari sebuah kalimat. Siapapun yang mengikuti pemahaman mereka maka sudah bisa dipastikan keliru.

Status hukum yang disebutkan pada kalimat diatas adalah “Makruh”. Makruh adalah makruh dan tetap makruh, bukan haram. Dimana pengertian makruh adalah “Yutsab ala tarkihi wala yu’aqabu ala fi’lihi, yaitu mendapat pahala apabila ditinggalkan dan tidak mendapat dosa bila di lakukan”. Makruh yang disebutkan diatas, juga terlepas dari hokum takziyah itu sendiri.
Kemudian persoalan “an-Niyahah (meratap)” yang pada hadits Shahih diatas, dimana hadits tersebut juga dikeluarkan oleh Ibnu Majah ;

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَرَى اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ
 
“Kami (para sahabat) memandang berkumpul di ahlu (keluarga) mayyit dan membuat makanan termasuk bagian dari meratap”“An-Niyahah” memang perbuatan yang dilarang dalam agama. Namun, bukan berarti sama sekali tidak boleh bersedih atau menangis saat ada anggota keluarga yang meninggal dunia, sedangkan Rasulullah saja menangis mengeluarkan air mata saat cucu Beliau (Fatimah) wafat. Disaat Beliau mencucurkan air mata, (sahabat) Sa’ad berkata kepada Rasulullah ;

فَقَالَ سَعْدٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذَا فَقَالَ هَذِهِ رَحْمَةٌ جَعَلَهَا اللَّهُ فِي قُلُوبِ عِبَادِهِ وَإِنَّمَا يَرْحَمُ اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ
 
“..maka Sa’ad berkata ; Ya .. Rasulullah (يَا رَسُولَ اللَّهِ) apakah ini ? “Ini (kesedihan ini) adalah rahmat yang Allah jadikan di hati para hamba-Nya, Allah hanya merahmati hamba-hamba-Nya yang mengasisihi (ruhama’)” [HR. Imam Bukhari No. 1284]

Rasulullah juga menangis saat menjelang wafatnya putra Beliau yang bernama Ibrahim, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin ‘Auf,
فَقَالَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ يَا ابْنَ عَوْفٍ إِنَّهَا رَحْمَةٌ ثُمَّ أَتْبَعَهَا بِأُخْرَى فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
 
“..maka Abdurrahmah bebin ‘Auf berkata kepada Rasulullah, “dan anda wahai Rasulullah ?, Rasulullah berkata, “wahai Ibnu ‘Auf sesungguhnya (tangisan) itu rahmat, dalam sabda yang lain beliau kata, “sesungguhnya mata itu mencucurkan air mata, dan hati bersedih, dan kami tidak mengatakan kecuali apa yang menjadi keridhaan Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang bersedih karena perpisahanku dengan Ibrahim”. [HR. Imam Bukhari No. 1303]

Rasulullah juga menangis di makam ibunda beliau sehingga orang yang bersamanya pun ikut menangis sebagaimana diriwayatkan di dalam hadis-hadis shahih [lihat Mughni al-Muhtaaj ilaa Ma'rifati Ma'aaniy Alfaadz Al Minhaj, Al-Allamah Al-Imam Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Dar el-Fikr, juz 1, hal. 356).

Maka meratap yang sebenarnya dilarang (diharamkan) yang disebut sebagai “An-Niyahah” adalah menangisi mayyit dengan suara keras hingga menggerung apalagi diiringi dengan ekspresi berlebihan seperti memukul-mukul atau menampar pipi, menarik-narik rambut, dan lain sebagainya.

Kembali kepada status hokum “Makruh” diatas, sebagaimana juga dijelaskan didalam Kitab al-Mughniy ;

فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية
 
“Maka adapun bila ahlu (keluarga) mayyit membuat makanan untuk orang, maka itu Makruh, karena bisa menambah atas mushibah mereka, menambah kesibukan mereka (merepotkan) dan meniru-niru perbuatan Jahiliyah” [Al-Mughniy Juz II/215]

Makruh bukan haram, dan status hokum Makruh bisa berubah menjadi Mubah (Jaiz/boleh) jika keadaannya sebagaimana digambarkan dalam kitab yang sama, berikut ini ;

وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه
“Dan jika melakukannya karena ada (sebab) hajat, maka itu diperbolehkan (Jaiz), karena barangkali diantara yang datang ada yang berasal dari pedesaan, dan tempat-tempat yang jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tidak bisa (tidak mungkin) kecuali mereka mesti di jamu (diberi hidangan)” [” [Al-Mughniy Juz II/215]

Selanjutnya,

Point Ketiga (3) : Penukilan (pada point 3) ini juga tidak tepat dan keluar dari konteks, sebab pernyataan tersebut masih terikat dengan kalimat sebelumnya. Dan mereka juga mentermahkan status hukum yang ditetapkan dalam kitab Al-Bazaz.

~Terjemahan Mereka : “Dalam Kitab Al Bazaz: Dibenci menyediakan makanan pada hari pertama, tiga, dan setelah tujuh hari, dan juga mengirim makanan ke kuburan secara musiman.”

~Berikut teks lengkapnya yang benar :

وقال أيضا: ويكره الضيافة من الطعام من أهل الميت، لانه شرع في السرور، وهي بدعة. روى الامام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح، عن جرير بن عبد الله، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة. اه. وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم إلخ
 
“Dan (juga) berkata; “dan dimakruhkan penyediaan jamuan besar (الضيافة) dari Ahlu (keluarga) mayyit, karena untuk mengadakankegembiran (شرع في السرور), dan ini adalah bi’dah. Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan isnad yang dshahih, dari Jarir bin Abdullah, berkata ; “kami (sahabat) menganggap berkumpulnya ke (tempat) ahlu (keluarga) mayyit dan menyediakan makanan bagian dari merapat”. Dan didalam kitab Al-Bazaz, “diMakruhkan menyediakan makanan pada hari pertama, ke tiga dan setelah satu minggu dan (juga) dikatakan (termasuk) makanan (yang dibawa) ke kuburan pada musiman”

Apa yang dijelaskan didalam kitab Al-Bazaz adalah sebagai penguat pernyataan Makruh sebelumnya, jadi masih terkait dengan apa yang disampaikan sebelumnya. Namun sayangnya, mereka menukil separuh-separuh sehingga maksud dari pernyataan tersebut melenceng, parahnya lagi (ketidak jujuran ini) mereka gunakan untuk melarang Tahlilan karena kebencian mereka terhadap kegiatan tersebut dan tidak menjelaskan apa yang sebenarnya dimakruhkan.
Yang dimakruhkan adalah berupa jamuan besar untuk tamu (“An-Dliyafah/الضيافة”) yang dilakukan oleh ahlu (keluarga) mayyit untuk kegembiraan. Status hukum ini adalah makruh bukan haram, namun bisa berubah menjadi jaiz (mubah) sebagaimana dijelaskan pada point 2 (didalam Kitab Al-Mughniy).

Selanjutnya,

Point Ke-Empat (4) : Lagi-lagi mereka menterjemahkan secara tidak jujur dan memenggal-menggal kalimat yang seharunya utuh.

~Terjemahan mereka ; “Dan diantara bid’ah yang munkarat yang tidak disukai ialah apa yang biasa dikerjakan orang tentang cara penyampaian rasa duka cita, berkumpul dan acara hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram.” (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146). Mereka telah memotong kalimatnya hanya sampai disitu. Sungguh ini telah pembohongan publik, memfitnah atas nama ulama (Pengarang kitab I’anatuth Thabilibin).

~Berikut teks lengkapnya (yang benar) ;

وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك.
 
“Dan didalam kitab Hasiyatul Jamal ‘alaa Syarh al-Minhaj (karangan Al-‘Allamah asy-Syekh Sulaiman al-Jamal) ; “dan sebagian dari bid’ah Munkarah dan Makruh mengerjakannya, yaitu apa yang dilakukan orang daripada berduka cita, berkumpul dan 40 harian, bahkan semua itu haram jika (dibiayai) dari harta yang terlarang (haram), atau dari (harta) mayyit yang memiliki (tanggungan) hutang atau (dari harta) yang bisa menimbulkan bahaya atasnya, atau yang lain sebagainya”

Begitu jelas ketidak jujuran yang mereka lakukan dan penipuan terhadap umat Islam yang mereka sebarkan melalui website dan buku-buku mereka.

Kalimat yang seharusnya di lanjutkan, di potong oleh mereka. Mereka telah menyembunyikan maksud yang sebenarnya dari ungkapan ulama yang berasal dari kitab aslinya. Mereka memenggal kalimat secara “seksama” (penipuan yang direncanakan/disengaja) demi tercapainya tujuan mereka yaitu melarang bahkan mengharamkan Tahlilan, seolah olah tujuan mereka didukung oleh pendapat Ulama, padahal hanya didukung oleh tipu daya mereka sendiri yang mengatas namakan ulama. Bukankah hal semacam ini juga termasuk telah memfitnah Ulama ? menandakan bahwa pelakunya berakhlak buruk juga lancang terhadap Ulama ? Ucapan mereka yang katanya menghidupkan sunnah sangat bertolak belakang dengan prilaku penipuan yang mereka lakukan.

Selanjutnya,

Point Ke-Lima (5) : Terjemahan mereka : “Dan tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa mencegah umat dari bid’ah munkarat ini adalah menghidupkan Sunnah Nabi SAW , mematikan BID’AH, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan, karena orang-orang memaksa-maksa diri mereka berbuat hal-hal yang akan membawa kepada hal yang diharamkan. (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146) Kalimat diatas sebenarnya masih berkaitan dengan kalimat sebelumnya, oleh karena itu harus dipahami secara keseluruhan.

~Berikut ini adalah kelanjutan dari kalimat pada point ke-4 :

. وقد قال رسول الله (ص) لبلال بن الحرث رضي الله عنه: يا بلال من أحيا سنة من سنتي قد أميتت من بعدي، كان له من الاجر مثل من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئا. ومن ابتدع بدعة ضلالة لا يرضاها الله ورسوله، كان عليه مثل من عمل بها، لا ينقص من أوزارهم شيئا. وقال (ص): إن هذا الخير خزائن، لتلك الخزائن مفاتيح، فطوبى لعبد جعله الله مفتاحا للخير، مغلاقا للشر. وويل لعبد جعله الله مفتاحا للشر، مغلاقا للخير.
 
“Dan sungguh Rasulullah bersabda kepada Bilal bin Harits (رضي الله عنه) : “wahai Bilal, barangsiapa yang menghidupkan sunnah dari sunnahku setelah dimatikan sesudahku, maka baginya pahala seperti (pahala) orang yang mengamalkannya, tidak dikurangi sedikitpun dari pahala mereka (orang yang mengamalkan) dan barangsiapa yang mengada-adakan (membuat) bid’ah dhalalah dimana Allah dan Rasul-Nya tidak akan ridha, maka baginya (dosa) sebagaimana orang yang mengamalkannya dan tidak dikurangi sedikitpun dari dosa mereka”. dan Nabi bersabda ; “Sesungguhnya kebaikan (الخير) itu memiliki khazanah-khazanah, khazanah-khazanah itu ada kunci-kuncinya (pembukanya), Maka berbahagialah bagi hamba yang telah Allah jadikan pada dirinya pembuka untuk kebaikan dan pengunci keburukan. Maka, celakalah bagi hamba yang telah Allah jadikan pada dirinya pembuka keburukan dan pengunci kebaikan”
ولا شك أن منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة، وإماته للبدعة، وفتح لكثير من أبواب الخير، وغلق لكثير من أبواب الشر، فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما. والله سبحانه وتعالى أعلم.
 
“dan tidak ada keraguan bahwa mencegah manusia dari bid’ah Munkarah ini, padanya termasuk menghidupkan as-Sunnah, dan mematikan bagi bid’ah, dan membuka pada banyak pintu kebaikan, dan mengunci kebayakan pintu keburukan.. Maka jika manusia membebani (dirinya) dengan beban yang banyak, itu hanya akan mengantarkan mereka kepada perkara yang diharamkan.”

Jika hanya membaca sepintas nukilan dari mereka, akan terkesan seolah-olah adanya pelarangan bahwa berkumpulnya manusia dan makan hidangan di tempat ahlu (keluarga) mayyit adalah diharamkan sebagaimana yang telah mereka nukil secara tidak jujur dipoint-4 atau bahkan ketidak jelasan mengenai bid’ah Munkarah yang dimaksud, padahal pada kalimat sebelumnya (lihat point-4) sudah dijelaskan dan status hukumnya adalah Makruh, namun memang bisa mengantarkan pada perkara yang haram jika membebani dengan beban yang banyak (تكلفا كثيرا) sebagaimana dijelaskan pada akhir-akhir point ke-5 ini dan juga pada point-4 yaitu jika (dibiayai) dari harta yang terlarang , atau dari (harta) mayyit yang memiliki (tanggungan) hutang atau (dari harta) yang bisa menimbulkan bahaya atasnya.



PENUTUP

Demikian apa yang bisa kami sampaikan sedikit ini untuk meluruskan nukil-nukilan tidak jujur dari “pendakwah salaf” yang katanya “pengikut salaf” namun sayang sekali prilaku mereka sangat bertolak belakang dengan prilaku salaf bahkan lebih buruk.
Kami menghimbau agar jangan terlalu percaya dengan nukilan-nukilan mereka, sebaiknya mengecek sendiri atau tanyakan pada ulama atau ustadz tempat antum masing-masing agar tidak menjadi korban internet dan korban penipuan mereka. Masih banyak kitab ulama lainnya yang mereka pelintir maksudnya. Maka berhati-hatilah, demikian dulu, Semoga bermanfaat.
Wallahu a'lam bis showab.


Sumber : http://peparingbongkar-ajaranwahabi.blogspot.com/2012/01/
Read More >>

Aku Tidak Sama Dengan Anjing

Posted in Sabtu, 07 Januari 2012
by Unknown
Sahabat, mari renungkan kisah ini...

Ada salah seorang sahabat yang mendengar akan kesabaran Usman bin Affan yang sangat tinggi, maka ia pun berniat untuk mengetes kesabaran beliau. Maka suatu hari Usman bin Affan di undang untuk jamuan makan malam di rumah sahabat tersebut.

Maka malam itu pun beliau datang ke rumah sahabat yang mengundangnya itu, ketika beliau hendak masuk ke dalam rumah, saha...bat itu berkata "SIAPA KAU??!! AKU TIDAK MENGUNDANGMU UNTUK MASUK KE DALAM RUMAHKU!! PERGILAH ENGKAU!!", maka mendengar ucapan itu beliau hanya terdiam dan melangkah pergi menjauhi rumah sahabat itu, namun ketika beliau mau pergi, sahabat itu berkata "Wahai Usman mengapa engkau pergi?? Masuklah ke rumahku, makanan sudah aku siapkan hanya buat engkau", mendengar ucapan itu maka Usman pun kembali ke rumah tersebut, ketika hendak masuk, si sahabat itu berkata lagi kepada Usman "SIAPA ENGKAU!! BERANI - BERANINYA KAU MAU MASUK KE RUMAHKU!! AKU TIDAK SUDI MELIHAT WAJAHMU!!, mendengar hal itu maka Usman pun pergi lagi, begitu terus sampai 5 kali namun Usman tetap saja diam.

Pada akhirnya sahabat itupun minta maaf terhadap Usman atas kelakuan nya dan mempersilahkan Usman masuk ke rumahnya. Ia berkata itu hanya untuk mengetes kesabaran beliau.

Lalu, ketika ditanya kenapa beliau tetap diam dan sabar ketika di begitukan, maka beliau pun menjawab "Anjing saja kalo dibegitukan pasti sangat marah, aku tidak marah karena aku bukan anjing".

sekali lagi mari renungkan, terutama bagi diriku sendiri yg Faqiir lagi Haqiir.
Read More >>

Hitler Di Balik Layar Gerakan Freemasonry Dan Pendirian Kerajaan Arab Saudi

Posted in Senin, 02 Januari 2012
by Unknown


“Anda pasti tahu tentang sepak terjang Adolf Hitler dengan Nazi-nya, John. Dalam ruang kuliah kita dicekoki pandangan satu arah jika Hitler telah menggerakkan mesin raksasa untuk membunuhi orang-orang Yahudi dan sangat anti dengan segala sesuatu yang berbau Yahudi. Di dalam ruang kuliah kita tidak pernah diberitahu jika sesungguhnya guru politik Adolf Hittler itu ternyata seorang Yahudi juga. (baca : Karl Haushofer, Tokoh Yahudi Dibalik Tragedi Holocaust)



Lawrence de Arabia

Tokoh inilah yang memprovokasi Hitler agar memburu orang-orang Yahudi Eropa, hal ini dilakukan agar orang-orang Yahudi Eropa bersedia meninggalkan Eropa dan pindah ke Tanah Palestina. Awalnya orang-orang Yahudi Eropa enggan memenuhi ajakan Theodore Hertzl, pemimpin organisasi Zionis Internasional, untuk pindah ke Palestina, namun berkat pengejaran Hitler-lah, akhirnya mereka mau dibawa ke Palestina. Ini semua terkait dengan kepentingan Geopolitik satu kekuatan besar di balik ideologi Zionisme.

Dan yang juga sangat menarik, juga terkait dengan gerakan ini, adalah pembentukan Kerajaan Saudi Arabia, yang ternyata juga diarsiteki oleh seorang perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence atau yang kita kenal selama ini dengan sebutan Lawrence of Arabia. Kerajaan Saudi Arabia bisa berdiri setelah melakukan pemberontakan terhadap Kekhalifahan Islam Turki Utsmani. Berdirinya Kerajaan Saudi Arabia dan hancurnya Turki Utsmani juga didalangi oleh Zionis Internasional.

Ini satu fakta sejarah. Fakta yang sesungguhnya. Sebab itu, sampai sekarang para penguasa Saudi Arabia sangat akrab dengan orang-orang Yahudi yang memakai kedok sebagai orang Amerika.



Di saat semua orang Amerika, termasuk mantan presidennya sekalipun, dilarang terbang di langit Amerika beberapa hari paska tragedi WTC, hanya kerabat raja Saudi yang diperbolehkan terbang di atas langitnya oleh Pentagon dan juga Bush junior. Mereka lebih berpengaruh ketimbang rakyat Amerika sendiri.” (Novel The Jacatra Secret, hal 47-48)

 Salam Warkoper
Read More >>

Hidangan Populer Warkop Pusat

Copyright 2011 @ Warkop Mbah Lalar