BAB I
A. Pendahuluan
Islam di abad ini telah berkembang menjadi salah satu agama terbesar di dunia. Islam tidak hanya menjadi hak milik penduduk Jazirah Arabia saja yang menjadi titik tolak awal muncul dan perkembangan Islam, namun juga diikrarkan dan didengungkan di berbagai pelosok tempat di saentero planet Bumi. Perkembangan kwantitas pemeluk Islam tersebut juga diikuti oleh perkembangan pemahaman terhadap aplikasi hukum Islam yang termaktub dalam al-Quran dan al-Sunnah. Seiring dengan itu, silang pendapat di antara muslimin (baca: ulama) tidak bisa dihindarkan. Dan bahkan tidak jarang terjadi perbedaan pemahaman dalam satu nash (al-Quran dan al-Sunnah) yang sama, sehingga muncul dua solusi hukum yang berbeda padahal dalilnya sama. Bagaimana hal ini bisa terjadi? banyak faktor yang melatar balakangi, antara lain adalah kecondongan sementara ulama mengedepankan ro'yu (nalar), sedangkan ulama lain lebih mendahulukan nash yang dia ketahui kebenarannya (keshohihanya).
Realita ini kemudian memunculkan berbagai madzhab dengan coraknya masing-masing. Tidak hanya dalam al-masāil al-furûiyah (ranah kajian fiqh) saja, namun juga dalam al-masâil al-ushûliyah (theology) banyak bermunculan ulama-ulama terkenal dengan corak dan gaya pemikiran yang tidak sama. Seperti yang kita kenal sekarang, terdapat empat madzhab yang mu'tabaroh dalam dunia fiqh Sunni, dan di dalam lingkup theology, golongan Sunni lebih condong mengikuti cara berfikir al-Asy'ari, al-Mathuridi dan Ahamad bin Hanbal yang dianggap sebagai tokoh Salafiah.
Selain tiga aliran di atas, terdapat banyak madzhab usuluddin yang sudah dianggap melenceng oleh kalangan Sunni, seperti Mu'tazilah, Qodariyah, dan Jabariyah. Bahkan ada juga yang bisa dikatakan telah keluar dari garis besar Islam, seperti aliran Mujassimah.
Terkait dengan fenomena di atas, kiranya sangat penting bagi kita untuk merenungkan kembali identitas diri kita, jalur manakah yang sedang kita lewati sekarang?, dengan pemikiran siapakah kita terbawa?. Dan juga tidak kalah urgent-nya ialah untuk mengenal kelompok lain, dengan begitu akan terbuka atmosfir tasâmuh di antara sesama muslimin dan dimungkinkan untuk saling berdiskusi sebagai bentuk saling menasehati antar sesama kaum beriman dengan dasar mencari kebenaran untuk kemudian diikuti. "Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran."
Sangat berkaitan dengan halaqoh kita kali ini, yaitu diskusi membahas aliran Wahhabiyah, dan mengenal lebih dekat dan lebih mendalam siapakah sebenarnya Wahabi/Wahhabi, adakah mereka madzhab baru?, ataukah mereka partai politik yang dibentuk untuk merebut kekuasaan?, atau, siapakah mereka sebenarnya?. Dengan mengetahui Wahabiyah lebih dalam, kita tidak akan mudah terprovokasi sentilan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, sekaligus tidak mudah terbawa arus fanatisme literalis kelompok tertentu. Semoga setelah pertemuan ini, Allah membuka hati kita untuk kebenaran yang diridlo-Nya.
B. Awal Mula Munculnya Wahhabiyah
Wahabi / Wahhabi bila kita runut dari asal katanya mengacu kepada tokoh ulama besar di tanah Arab yang bernama lengkap Syeikh Muhamad bin Abdul Wahhab At-Tamimi Al-Najdi (1115-1206 H atau 1703-1791 M) . Beliau lahir di Uyainah dan belajar Islam dalam madzhab Hanbali. Belliau telah menghafal Al-Quran sejak usia 10 tahun. Dakwah beliau banyak disambut ketika beliau datang di Dir`iyah bahkan beliau dijadikan guru dan dimuliakan oleh penguasa setempat dimana pada saat itu pangeran Muhammad bin Su`ud yang berkuasa 1139-1179. Oleh pangeran, dakwah beliau ditegakkan dan akhirnya menjadi semacam gerakan nasional di seluruh wilayah Saudi Arabia hingga hari ini. Uyainah adalah desa yang sangat sederhana dan jauh dari keramaian kota serta masih berada dalam kondisi yang primitif, situasi dan kondisi ini pada akhirnya sangat mempengaruhi gaya berfikir Ibnu Abdul Wahhab. Ia sendiri termasuk anak yang ber-IQ tinggi, sebelum usianya menginjak sepuluh tahun, ia telah hafal 30 Juz al-Quran.
Maka tidak heran kalau sejak usia dini ia mulai mendalami agama dari ayahnya sendiri yang juga terkenal sebagai ahli fiqh madzhab Hanbali pada masanya. Setelah menginjak dewasa, Ibnu Abdul Wahab pergi meninggalkan Uyainah menuju kota Makkah, selain menjalankan ibadah Haji, di kota tersebut ia juga menimba ilmu dari ulama Tanah Haram. Kemudian ia melanjutkan perjalanan tolabul ilmi-nya ke kota Madinah. Banyak ulama yang dituju oleh ibnu Abdul Wahhab di kota tersebut, antara lain yang terkenal ialah; Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif al-Najdi dan Syaikh Muhammad Hayat al-Sindi . Begitu juga banyak cabang ke-ilmuan yang ditemuinya di Madinah, namun sesuai dengan gaya berfikir Ibnu Abdul Wahab yang sederhana, ia hanya dapat menerima pelajaran-pelajaran yang selaras dengan gaya hidup kesederhanaan dan menolak jauh-jauh ilmu kalam, mantiq dan sejenisnya. Kemudian ia melanjutkan perjalananya menuju Iraq, tepatnya di kota Basroh ia mulai menampakan kedalaman pemikiranya. Dalam perjalananya tersebut, Ibnu Abdul Wahhab menemukan berbagai ritual keagamaan di tengah-tengah masyarakat yang menurutnya sudah sangat melenceng dari aqidah Islam, dengan pengetahuan yang dimiliki, ia berusaha meluruskan masyarakat menuju jalur yang dianggapnya benar.
Setelah sekian lama meninggalkan Najd, Ibnu Abdul Wahhab kembali lagi ke daerah tersebut tepatnya di kota Huraimala pada pertengahan abad 12 Hijriah, pada saat itu ayahnya menjadi Qodli (hakim-red) di kota tersebut. Selama ayahnya menjadi Qodli, Ibnu Abdul Wahhab ikut membantu dengan mengajar dan berdakwah di tengah-tengah masyarakat. Namun ayahnya sendiri melarangnya terlalu keras berdakwah, melihat penduduk kota tersebut banyak yang tidak sepaham dengan Ibnu Abdul Wahhab. Akhirnya dia lebih benyak menulis disamping aktifitasnya sebagai pengajar.
Setelah ayahnya wafat pada tahun 1153 H., karena alasan keamanan, Ibnu Abdul Wahhab meninggalkan Huraimala menuju tempat asalnya, Uyainah.
Di kota ini, dakwah Ibnu Abdul Wahhab mulai menampakkan kesuksesan. Dia diterima dengan baik oleh penguasa kota setempat, Utsman bin Nashor bin Ma'mar. Dalam sambutanya kepada Ibnu Abdul Whahab, Utsman berkata, "Lanjutkanlah dakwah anda, kami mendukung dan berada di belakang anda." Dengan mendapat jaminan keamanan dan bantuan dari penguasa setempat, Ibnu Abdul Wahhab lebih giat menjalankan aktifitas keseharianya sebagai seorang pengajar dan da'i. Dan dia memiliki kesempatan untuk mengaplikasikan dakwahnya pada kehidupan realita masyarakat.
Sampai pada suatu ketika, Ibnu Abdul Wahhab berbincang kepada Utsman, "Biarkan kami merobohkan kubah kuburan Zaid bin Khottob ra. , bangunan itu tidak sesuai dengan hudalloh, dan sesungguhnya Allah SWT tidak meridloinya. Rasul SAW. juga melarang mendirikan bangunan di atas kuburan, dan menjadikanya sebagai masjid. Kubah itu telah menyebarkan fitnah di tengah-tengah masyarakat dan memelencengkan aqidah mereka. Dan tanpa sadar mereka telah berbuat syirik. Kita harus merobohkan kubah itu." Dengan tegas Utsman memberi lampu hijau kepada Ibnu Abdul Wahhab, "Tidak akan ada yang melarang anda menghancurkan kubah itu.", "Tapi saya khawatir penduduk Jubailah –desa tempat makam Zaid bin Khottob- marah dan menyerang." Timpal Ibnu Abdul Wahhab. Akhirnya, Utsman berangkat beserta sekitar 600 perajurit untuk mendampingi Ibnu Abdul Wahhab menghancurkan kubah makam Zaid bin Khottob. Sesuai dengan prediksi sebelumnya, penduduk setempat mengahalang-halangi usaha tersebut, namun mereka akhirnya mundur teratur setelah melihat prajurit pemerintah yang menyertai Ibnu Abdul Wahhab .
Selain kubah makam Zaid, dengan bantuan penguasa juga, Ibnu Abdul Wahhab mengahancurkan tempat-tempat yang dianggap keramat oleh penduduk Uyainah. Dan dengan alasan menegakkan Syari'at sesuai dengan ajaran ulama Salaf –menurut pemahaman Ibnu Abdul Wahhab-, ia menjatuhkan hukum rajam kepada seorang wanita bersuami yang telah berkali-kali mengaku berzina.
Sepak terjang ibnu Abdul Wahhab ini menggegerkan masyarakat dan para pemimpin daerah di sekitar tempat tinggalnya. Sebagian kalangan mendukung, namun tidak sedikit yang menentangnya, termasuk di antara penguasa daerah yang menentang ialah Sulaiman bin Mohammad bin Ghorir, pejabat kota Ihsâ.
Dalam suratnya yang dikirim kepada Utsman bin Ma'mar –kepala pemerintahan Uyainah-, ia mengancam tidak akan menyetorkan pajak tahunan kepada Utsman jika Ibnu Abdul Wahhab tidak diusir dari wilayah Uyainah. Ibnu Abdul Wahhab akhirnya terusir dari kota Uyainah, dia kemudian meneruskan dakwahnya di wilayah Dir'iyah, dipilihnya wilayah tersebut karena berbagai faktor, antara lain, jarak perjalanan yang tidak terlalu jauh dari Uyainah, serta penguasanya yang terkenal baik dan tidak tertekan di bawah kekuasaan penguasa wilayah lain.
Pilihan Ibnu Abdul Wahhab pindah ke Dir'iyah sangatlah tepat untuk mengembangkan dakwahnya, penguasa wilayah tersebut, Muhammad bin Sa'ud menerimanya dengan tangan terbuka dan bahkan berjanji melindunginya seperti melindungi keluarga sendiri. Kata Ibnu Sa'ud saat menyambut Ibnu Abdul Wahhab, "Di sini (Dir'iyah), semoga anda menemukan tempat yang lebih baik dari sebelumnya dan mendapatkan kemulian serta kebahagian." Sebaliknya, Ibnu Abdul Wahhab mendoakan Ibnu Sa'ud, "Dan semoga anda mendapat kemuliaan, kemenangan dan pertolongan. Aku datang dengan membawa ajaran Tauhid seperti yang diajarkan oleh para Rosul, barang siapa berpegang teguh denganya, mengamalkan serta menolong penyebaranya, dia akan menguasai seluruh negara dan penduduknya. Anda sendiri melihat seluruh penjuru Najd telah dipenuhi dengan praktek syirik, kebodohan, perpecahan dan peperangan di antara sesama ummat, saya berharap semoga anda dan keturunan anda menjadi pemimpin yang dapat menyatukan mereka." Demikian temu muka itu terjadi yang kemudian terkenal disebut dengan Ittifâq al-Dir'iyah (Pertemuan Dir'iyah), tepatnya pada tahun 1157 H./1744 M. Detik-detik itu menjadi saat yang bersejarah bagi perkembangan dakwah Ibnu Abdul Wahhab di sekitar wilayah Najd dan seantreo Jazirah Arabia pada umumnya.
Pada frase selanjutnya, Ibnu Abdul Wahhab tidak hanya berdakwah di dalam wilayah Dir'iyah saja, bahkan ia menyebarkan dakwahnya ke luar kota dengan mengirimkan surat ke berbagai tempat dan melakukan dialog dengan para ulama di saat musim Haji. Dan dengan dukungan dari penguasa Dir'iyah, ia juga mengangkat senjata melawan orang-orang yang menentang dakwahnya.
Setelah kematian Ibnu Abdul Wahhab, dakwah Wahabiyah / Wahhabiyyah kemudian diteruskan oleh keturunannya dan tetap mendapat bantuan dari keturuan Mohammad bin Sa'ud sebagai pihak penguasa.
C. Terminology Wahhabiyah
Secara umum, para pengikut Ibnu Abdul Wahhab tidak menerima dengan julukan Wahabiyah / Wahhabiyyah. Menurut penilaian mereka, sebutan itu dilontarkan oleh kelompok-kelompok yang tidak senang dengan dakwah Ibnu Abdul Wahhab. Para penentang itu ingin menimbulkan presepsi seolah-olah Wahabiyah / Wahhabiyyah adalah madzhab baru di luar Empat madzhab yang telah diakui kebenaranya. Mereka sendiri lebih enjoy disebut dengan Muwahhiddin atau Salafiyun, dan dakwah mereka adalah Dakwah Salafiyah.
Dari sisi bahasa, istilah Wahabiyah / Wahhabiyyah yang digunakan untuk menyebut pengikut Mohammad bin Abdul Wahhab juga kurang tepat, karena nisbat tersebut diambil dari nama ayahnya, semestinya mereka mendapat julukan Muhammadiah.
Meski demikian, banyak Orientalis yang menggunakan terminology ini, mereka menyatakan tidak ada unsur benci atau permusuhan yang mendorong mereka untuk tetap menggunakan istilah Wahabiyah, hal ini tidak lain karena untuk lebih memudahkan membedakan aliran dakwah Wahabiyah dengan kelompok lainya.
D. Corak Wahhabiyyah / Wahabiyah
Para ilmuwan ahli sejarah peneliti aliran-aliran Islam memiliki presepsi berbeda tentang identitas Wahabiyah sebenarnya. Ada sebagian kalangan yang mengatakan mereka adalah kelompok pembaharu Islam, yang bertujuan memurnikan agama dari segala macam bentuk praktek syirik dan bid'ah karena dalam pandangan mereka, bid'ah tidak akan bias dijadikan sebagai jalan menuju Allah SWT, tetapi bid'ah jalannya Syaithan . Sementara pendapat lain menyebutkan, Wahabiyah adalah gerakan politik yang menjadikan pemurnian agama sebagai jargonya, target utama mereka adalah mendirikan konstitusi sendiri di luar kekuasan Dinasti Utsmaniyah. Pendapat ketiga menyimpulkan, Wahabiyah adalah gerakan politik keagamaan, dengan bukti bahwa selain menyebarkan dakwah, mereka juga berusaha untuk mendiriikan daulah (konstitusi) sendiri . Mengikut pendapat DR. Muhammad Imaroh dalam bukunya, Tayarot al-Fikr al-Islami, Wahabiyah adalah aliran dakwah yang mengekor pada jalan berfikir Salafiyah. Kelompok ini bukanlah suatu madzhab baru dalam Islam, namun lebih pasnya mererka bisa dikatakan sebagai aliran dakwah yang menggunakan politik sebagai jalan untuk kesuksesan berdakwah. Selain itu, mereka juga adalah pengikut madzhab Salafiyah dalam urusan i'tikad dan mengikuti madzhab Hanbali dalam masalah fiqh, meski begitu mereka lebih mendahulukan nash yang dhohir, baik dari al-Quran atau Hadits, dibanding mengikuti pendapat para ulama.
Dari sini kiranya sangat perlu bagi kita untuk melihat kembali siapakah Salafiyah sebenarnya. Agar kita dapaat menarik benang merah antara Wahabiyah dengan mereka.
Secara etimologis, kata salaf sepadan dengan kata qoblu. Artinya, setiap sesuatu yang sebelum kita. Lawan kata salaf adalah kholaf, artinya generasi setelah kita. Kata ini (salaf) kemudian menjadi terminology yang digunakan untuk menunjuk generasi keemasan Islam, yaitu tiga generasi pertama Islam; para Sahabat, Tabi'in dan Tabi' Tabi'in, atau biasa disebut dengan Salaf Sholih.
Dari pemahaman ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa salaf bukanlah merupkan nama sebuah aliran tertentu, juga bukan merupkan personafikasi terhadap madzhab tertentu, namun secara umum salaf adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan orang-orang yang hidup sebelum masa kita, dan secara khusus, ungkapan salaf dapat diartikan masa Sahabat dan dua masa setelahnya.
Setelah Nabi SAW. wafat, peradaban Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat pada masa Dinasti Abbasiyah, yang juga mencakup kemajuan dalam bidang pengetahuan. Didorong dengan adanya pemerintah yang gemar dengan ke-ilmuan, halaqoh ilmiah dan dirosah pada masa itu berjalan sangat kondusif, sehingga menghasilkan ulama-ulama yang produktif dan banyak karya kontemporer mereka yang bisa kita nikmati hingga sekarang. Tidak hanya sebatas memberi fasilitas untuk studi pengetahauan yang diambil dari al-Quran dan al-Sunnah, pemerintah (Dinasti Abbasiyyah) juga mendorong digalakkanya penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab. Dan periode penerjemahan buku mencapai puncaknya pada masa kepemimpinan al-Ma'mun bin Harun al-Rosyid . Pada masa al-Ma'mun juga, Mu'tazilah menjadi madzhab yang diakui oleh pemerintah, bahkan pemerintah terkesan mengayomi para pengikut aliran ini. Pertalian itu bisa dibuktikan saat salah seorang pemimpin Mu'tazilah mengeluarkan pernyataan kontroversial bahwa al-Quran adalah makhluk Alloh. Pendapat ini kemudian di blow-up dan di-amini oleh penguasa saat itu (al-Ma'mun) dan bahkan dengan menggunakan alat kekuasanya, dia memaksa ulama lain untuk mengakui kebenaran pernyataan kontroverial tersebut.
Banyak ulama yang harus menerima penyiksaan akibat menolak keinginan penguasa, termasuk di antaranya adalah imam Ahmad bin Hanbal . Namun, meskipun harus menghadapi ancaman dari penguasa, keteguhan Ibnu Hanbal akhirnya menyadarkan ummat Muslim bahwa mereka harus kembali berpegangan dengan manhaj al-Salaf al-Sholih untuk menjaga kemurnian agama dan akidah Islam. Ibnu Hanbal dan pengikutnya kemudian dikenal dengan sebutan ahlul Hadis atau Hanbaliyah.
Beberapa tahun kemudian, mucul al-Asy'ari yang tidak hanya mengambil referensi dari nash al-Quran dan al-Sunnah untuk menjaga kemurnian aqidah Islam dan membentenginya dari serangan musuh, namun ia juga menggunakan metode mantiqi (pemahaman nalar) untuk tujuan mulia tersebut Banyak ulama yang mendukung al-Asy'ari, karena dia menggabungkan metode tekstual dengan penjabaran secara rasional. Para pengikut al-Asy'ari kemudian disebut dengan Asy'ariyah, selain itu mereka juga disebut dengan kelompok ulama kholaf, karena mereka memodifikasi manhaj al-Salaf dalam merefleksikan isi al-Quran dan al-Sunnah yang berkaitan dengan aqidah Islam. Hal ini berbeda dengan pengikut Ibnu Hanbal yang secara utuh mengikuti manhaj al-Salaf.
Menanggapi gerakan Asy'ariyah ini, para pengikut Ibnu Hanbal akhirnya memplokramirkan mereka dengan sebutan Salafiyah, anonim dari Kholafiyah . Setelah Ibnu Hanbal wafat, di antara ulama berpengaruh dari aliran Salafiyah adalah Syaikh Ibnu Taimiyah dan Syaikh Ibnu Qoyyim al-Jauziyah .
Mencermati perjalanan sejarah di atas, kami sepakat dengan pernyataan Dr. Mohammad Ramadhan Buthi dalam bukunya, al-Salafiyah; Marhalah Zamaniyah Mubarokah Lâ Madzhab Islamy, bahwa hampir tidak ada pemisah yang tegas antara generasi Salaf dan Kholaf. Sekalipun masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda, mereka tetap menjadikan al-Quran dan al-Sunnah sebagai sumber hukum. Mereka pun melakukan ijtihad sesuai dengan perkembangan dan kemajuan teknologi dan terus berdinamika agar posisi yang shaleh (baik) beranjak menuju yang aslah (lebih baik).
Kata salaf sendiri sejatinya adalah personifikasi atas generasi terbaik Islam yang disabdakan dalam hadits Nabi saw:
. أخرجه الشيخان وغيرهما أحاديث عن أبي هريرة وابن مسعود وعمران بن حصين : ( أن رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ قال : خير القرون قرني ثم الذين يلونهم, ثم الذين يلونهم
Dalam hadis itu, Nabi mengajak kita untuk menjadikan metode berpikir dan cara bersikap mereka sebagai sumber inspirasi. Kita diperintahkan untuk meneladani keteguhan sekaligus tasamuh mereka ( Sahabat, Tabi'in, dan tabi'ut tabi'in-red) dalam berdakwah.
Hal ini, seolah berbalik 180 derajat ketika makna Salafi berada di tangan Wahabiyah. Seolah-olah mereka telah membuat kerangkeng arti kata Salafi pada permasalahan furu'iyah dan perdebatan-perdebatan lama ulama klasik, baik dibidang ilmu Fiqh, ilmu Kalam, maupun Tasawwuf. Dalam fiqh mereka lebih konsen untuk mem-bid'ah-kan tradisi maulid Nabi, ziarah, tawassul dan yang sejenisnya. Dalam ilmu Kalam, alih-alih menanamkan hakikat makna tauhid, mereka justru memperdebatkan kembali tentang asmâ wa shifât dan bahayanya men-ta'wil. Mereka juga akan dengan mudah mengecam –bahkan menyerang- siapa pun yang tidak sejalan dengan alur pemikiranya. Tak heran kalau dicermati karya-karyanya, kita akan menemukan daftar-daftar bid'ah mulai yang klasik sampai bid'ah kontemporer. Sebagai contoh, buku yang ditulis oleh ulama Wahabi Yaman, Syaikh Muqbil tentang haramnya memakai sendok.
E. Ajaran dan Penyebarannya
Telah dimaklumi, bahwa gerakan Wahabiyah mendobrak masalah yang dianggap takhayyul, bid'ah, berbau mistik, dan khurafat. Wahabi menguasai Makkah dan Madinah dengan berbagai cara, termasuk kekerasan melalui peperangan. Banyak ulama yang menjadi korban. Kalau dibaca dari buku-buku sejarah Arab modern, memang para pengikut Wahabi memakai cara-cara yang disebut dengan istilah ‘Badui-Wahabi’, yakni cara-cara barbar, kekerasan, dan agresif. Seperti di Indonesia juga ada penghancuran kuburan dan diratakan dengan tanah. Karena menurut keyakinan mereka, itu sesat, bid’ah, dan syrik.
Mungkin memang sebagian umat Islam ada yang merasakan arogansi dari kalangan pendukung dakwah wahabiyah ini. Hal itu mungkin disebabkan oleh beberapa hal berikut:
1. Syeikh Abdul Wahhab dan Penguasa
Sebagaimana kita ketahui, di jazirah Arabia, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkolaborasi dengan penguasa. Maka lewat tangan penguasa, beliau melancarkan dakwahnya. Dan ciri khas penguasa, segala sesuatu ditegakkan dengan kekuasaan. Karena penguasa pegang harta, wewenang dan hukum, maka wajar bila pendekatannya lebih bersifat vonis dan punnishment.
Inilah barangkali yang unik dari dakwah wahabi dibandingkan dengan dakwah lainnya yang justru biasanya ditindas oleh penguasa.
2. Fenomena Kultur Masyarakat
Barangkali gaya yang lugas, kalimat yang menukik, vonis dan kecaman kepada para penyeleweng memang tepat untuk kultur masyarakat tertentu. Misalnya kultur masyarakat padang pasir di jazirah arab yang memang keras. Akan tetapi, ketika metode seperti ini masuk ke Negara lain mungkin sangat tidak cocok, apalagi ke Negara-negara Asia, khususnya Negara Indonesia, apalagi islam masuk ke Indonesia dengan yang halus dan lembut tanpa ada pertumpahan darah.
Kalau dakwah hanya menghimbau dan merayu, mungkin dianggap kurang efektif dan tidak mengalami perubahan yang berarti. Maka ketika pendekatan yang agak 'keras' dirasakan cukup efektif, jadilah pendekatan ini yang terbiasa dibawakan.
Sayangnya, ketika masuk ke negeri lain yang kultur masyarakatnya tidak sejalan, metode pendekatan ini seringkali menimbulkan kesan 'arogan'. Dan rasanya, memang itulah yang selama ini terjadi.
3. Aqidah Wahabiyah
Akidah-akidah yang pokok dari aliran wahabi pada hakikatnya tidak berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Taymiyah. Perbedaannya, dalam cara melaksanakan dan menafsirkan beberapa persoalan tertentu. Akidah-akidahnya dapat disimpulkan dalam dua bidang, yaitu bidang tauhid( pengesaan) dan bidang bid'ah.
Dalam ke-tauhidan mereka berpendirian sebagai berikut:
a. Dalam penyembahan kepada selain Allah SWT adalah salah, dan siapa yang berbuat demikian dia harus dibunuh.
b. Orang yang mencari ampunan Allah SWT dengan mengunjungi kuburan-kuburan orang shaleh (wali) termasuk golongan musyrikin
c. Termasuk dalam perbuatan musyrik memberikan pengantar kata dalam sholat terhadap nama Nabi-nabi, Wali-wali, atau Malaikat ( seperti Sayyidan Muhammad).
d. Termasuk kufur memberikan suatu ilmu yang tidak didasarkan atas al-quran dan sunnah atau ilmu yang bersumber kepada akal fikiran semata-mata.
e. Dilarang memakai buah tasbih dan dalam mengucapkan nama Allah SWT dan do'a-do'a (wirid)cukup dengan menghitung menggunakan jari.
f. Termasuk kufur dan ilhad juga mengingkari "Qadar" dalam semua perbuatan dan penafsiran Al-quran dengan jalan ta'wil (menafisiri al-quran dengan nalar akal-red).
g. Sumber syari'at islam dalam soal halal dan haram, hanyalah Al-quran semata dan sumber lain yang sesudahnya ialah Sunnah Rasul. Pendapat ulama mutakallimin dan fuqaha tentang halal dan haram tidak menjadi pegangan, selama tidak didasarkan atas kedua sumber tersebut. Jadi, jika hukum ditetapkan dengan ijma dan qiyas dalam padangan mereka, maka hukum tadi tidak wajib di lakukan atau ditinggalkan.
h. Pintu ijtihad masih terbuka dan siapapun boleh melakukan ijtihad asal sudah memenuhi syarat-syaratnya .
Setiap hal-hal baru oleh Wahabi dianggap bid'ah sehingga harus diberantas, antara berkumpul bersama-sama dalam peringatan mauludan, orang wanita mengiring jenazah, mengadakan dzikir bersama, tahlilan, dll. Mereka tidak cukup sampai disitu, bahkan kebiasaan sehari-hari juga dikatagorikn sebagai bid'ah, seperti merokok, minum kopi, memakai pakaian sutera bagi kaum laki-laki, bergambar, menggunakan tasbih dalam berdzikir, dan lain-lainnya yang termasuk dalam soal-soal yang kecil dan yang tidak mengandung atau mendatangkan faham keberhalaan. Pemikiran mereka ini berlandaskan pada hadits Nabi SAW:
"
فقال قائل يا رسول الله إن هذه لموعظة مودع فما تعهد إلينا قال "أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن كان عبدا حبشيا فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيرا فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجد وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة"
F. I'tiqad Kaum Wahabi Yang bertentangan Dengan I'tiqad Ahlussunnah
1. Mendo'a Dengan Bertawassul Syirik
Ulama-ulama Wahabi selalu memfatwakan bahwa mendo'a dengan bertawassul adalah syirik/haram. Hal ini tidak lain karena faham Wahabi itu adalah penerus yang fanatic dari fatwa-fatwa Ibnu Taymiyah. Sedangkan pendirian Ahlussunnah tentang "tawassul" sudah dianggap benar apa yang mereka lakukan karena telah mencocokkan dengan dalil-dalil al-quran dan hadits yang pada akhirnya dalam pandangan ahlussunnah "bertawassul" itu boleh.
2. Istighatsah Syirik
Tersebut dalam kitab karangan ulama Wahabi, berjudul " Alhidayatus Saniyah Wat Tuhfatul Wahabiyah" pada halama 66 yang berbunyi seperti ini:
" Barang siapa yang menjadikan Malaikat, Nabi-Nabi, Ibnu Abbas, Ibnu Abi Thalib, atau Mahjub perantara antar mereka dengan Allah SWT, karena mereka dekat dengan Allah SWT, sperti banyak yang banyak diperbuat orang di hadapan raja-raja, maka orang itu kafir, musyrik, halal darahnya dan hartanya, walaupun ia mengucapkan dua kalimah sahadat, walaupun ia bersembahyang, puasa, dan mengaku dirinya muslim". Jelas sekali dari kutipan diatas tadi, bahwa kaum Wahabi mengkafirkan sekalian orang islam yang sudah membaca dua kalimah sahadat kalau orang itu menjadi Malaikat, Nabi-Nabi, Ibnu Abbas, Ibnu Abi Thalib (Maksudnya Ali RA) atau Mahjub menjadi perantara antara mereka dengan Allah SWT.
Karena arti "menjadi perantara" yang dilarang itu menurut faham Wahabi ialah beristighasah dengan mereka.
Mereka mencontohkan: Seorang muslim datang menziarahi kuburan(makam) Nabi di Madinah, lantas disitu dia berkata: " Wahai Rasulullah, kekasih Allah, hai penghulu kami Muhammad SAW Nabi akhir zaman, berilah kami syafa'at engkau di akhirat, mintakanlah kepada Tuhan supaya kami ini selamat dunia-akhirat .
BAB II
A. Hubungan Wahabi dan Madzhab-Madzhab Fiqih
Sebenarnya agak sulit juga untuk menjelaskan hubungan antara 'wahabi' dengan keempat madzhab fiqih. Sebab keduanya tidak saling terkait dan bukan dua hal yang bisa dibandingkan.
Kalau madzhab fiqih adalah gerakan ilmiyah dalam bidang ilmu fiqih, sehingga mampu membuat sistem dan metodologi ilmiyah dalam mengistimbath hukum dari dalil-dalil yang bertaburan baik dalam Al-Quran maupun As-Sunnah, maka gerakan wahabi lebih merupakan gerakan dakwah memberantas syirik dan bid'ah, ketimbang aktifitas keilmuan.
Kalau para ahli fiqih empat madzhab adalah pelopor di bidang ijtihad dan mereka hidup di awal perkembangan Islam, sekitar abad pertama dan kedua hijriyah, maka sosok Muhammad bin Abdul Wahhab adalah sosok yang hidup di akhir zaman, muncul menjelang masa-masa kemunduran dan kebekuan berpikir pemikiran dunia Islam.Sekitar 2 abad yang lampau atau tepatnya pada abad ke-12 hijriyah. Intinya, apa yang beliau lakukan adalah menyerukan agar aqidah Islam dikembalikan kepada pemurnian arti tauhid dari syirik dengan segala manifestasinya.
Fenomena umat yang dihadapi antara para imam madzhab dengan Muhammad bin Abdul Wahhab sangat berbeda konteksnya. Di zaman para fuqaha madzhab, umat Islam sedang mengalami masa awal dari kejayaan, peradaban Islam sedang mengalami perluasan ke berbagai penjuru dunia. Sehingga dibutuhkan sistem hukum yang sistematis dan bisa menjawab problematika hukum dan fiqih.
Sementara fenomena sosial umat di zaman Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab sangat berbeda. Saat itu umat Islam sedang mengalami masa kemundurannya.Salah satu fenomenanya adalah munculnya banyak penyimpangan dalam praktek ibadah, bahkan menjurus kepada bentuk syirik dan bid'ah. Banyak dari umat Islam yang menjadikan kuburan sebagai tempat pemujaan dan meminta kepada selain Allah. Kemusyrikan merajalela. Bid`ah, khurafat dan takhayyul menjadi makanan sehari-hari. Dukun, ramalan, sihir, ilmu ghaib seolah menjadi alternatif untuk menyelesaikan berbagai persoalan dalam kehidupan umat Islam. Itulah fenomena kemunduran umat saat di mana Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab hidup saat itu. Maka beliau mengajak dunia Islam untuk sadar atas kebobrokan aqidah ini.
Berbeda dengan para fuqaha fiqih di zaman awal yang mendirikan madrasah keilmuan sera melahirkan jutaan judul kitab fiqih dan literatur, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak pernah melahirkan buku berjilid-jilid, beliau hanya menulis beberapa risalah (makalah pendek) untuk menyadarkan masyarakat dari kesalahannya. Salah satunya adalah Kitab At-Tauhid yang hingga menjadi rujukan banyak ulama aqidah.
Dakwah Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab dibantu oleh penguasa, kemudian melahirkan gerakan umat yang aktif menumpas segala bentuk khurafat, syirik, bid`ah dan beragam hal yang menyeleweng dari ajaran Islam yang asli. Dalam prakteknya sehari-harinya, para pengikutnya lebih mengedepankan aspek pelarangan untuk membangun bangunan di atas kuburan, menyelimutinya atau memasang lampu di dalamnya. Mereka juga melarang orang meminta kepada kuburan, orang yang sudah mati, dukun, peramal, tukang sihir dan tukang teluh. Mereka juga melarang ber-tawassul dengan menyebut nama orang shaleh sepeti kalimat bi jaahi rasul atau keramatnya syiekh fulan dan fulan.
Dakwah beliau lebih tepat dikatakan sebagai dakwah salafiyah. Dakwah ini telah membangun umat Islam di bidang aqidah yang telah lama jumud dan beku akibat kemunduran dunia Islam.
B. Aliran Fiqih Pendukung Wahabi
Sebenarnya kalau mau dirunut di atas, para pendukung gerakan wahab ini -suka atau tidak suka- tidak bisa lepas dari sebuah metode penyimpulan hukum tertentu. Dan secara umum, yang berkembang secara alamiyah di negeri mereka adalah mazhab Al-Imam Ahmad bin Hanbal. Dan nama-nama tokokh ulama rujukan mereka, semuanya secara alamiyah bermazhab Hanbali.
a. Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H)
b. Ibnu Taimiyah (661-728 H)
c. Muhammad Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (6691-751H)
d. Muhammad bin Abdul Wahhab
Meski banyak dari pendukung wahabi ini mengaku tidak terikat dengan mazhab fiqih tertentu, namun tulisan, makalah, buku pelajaran serta fatwa-fatwa ulama mereka, nyaris tidak bisa dipisahkan dari mazhab Al-Hanabilah.
C. Apakah Wahabi Anti Madzhab?
Memang ada sebagian dari pendukung atau sosok yang ditokohkan oleh para pendukung gerakanini yang secara tegas memisahkan diri dari mazhab mana pun. Katakanlah salah satunya, Syeikh Nasiruddin Al-Albani rahimahullah. Beliau sejak muda telah mengobarkan semangat anti mazhab fiqih. Seolah madzhab-madzhab fiqih itu lebih merupakan sebuah masalah ketimbang solusi di mata beliau. Maka muncul perdebatan panjang antara beliau dengan para ulama fiqih mazhab. Salah satunya perdebatan antara beliau dengan Syeikh DR. Said Ramadhan Al-Buthy.
Para ulama fiqih tentu tidak terima kalau dikatakan bahwa madzhab fiqih itu merupakan bentuk kebodohan, kejumudan, taqlid serta suatu kemungkaran yang harus diperangi.Sayangnya, sebagian dari murid-murid beliau ikut-ikutan memerangi para ahli fiqih dengan berbagai literatur madzhabnya dan hasil-hasil ijtihad para fuqaha'.. Padahal di sisi lain, pendapat-pendapat Syeikh Al-Albani pun tetap merupakan ijtihad dan tidak bisa lepas dari penafsiran dan pemahaman, meski tidak sampai berbentuk sebuah madzhab.Yang sering dijadikan bahan kritik adalah beliau melarang orang bertaqlid kepada suatu madzhab tertentu, namun beliau membiarkan ketika orang-orang bertaqlid kepadadirinya .
Awalnya, oleh banyak kalangan, gerakan ini dianggap sebagai pelopor kebangkitan pemikiran di dunia Islam, antara lain gerakan Mahdiyah, Sanusiyah, Pan Islamisme-nya Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh di Mesir dan gerakan lainnya di benua India.
Namun para penerusnya kelihatan lebih mengkhususkan diri kepada bentuk penghancuran bid'ah-bid'ah yang ada di tengah umat Islam. Bahkan hal-hal yang masih dianggap khilaf, termasuk yang dianggap seolah sudah bid'ah yang harus diperangi.
BAB III
A. Perkembangan Faham Wahabi di Indonesia
Di Indonesia ajaran Wahabi dibawa orang-orang muslim yang menunaikan ibadah haji di Makkah, tercacat beberapa nama pembawa pengaruh Wahabisme di Indonesia diantaranya Haji Miskin dari Luhak Agam, Haji Piobang dari Luhak 50 kota, dan Haji Sumanik dari Luhak Tanah Datar. Ketiga tokoh ini berasal dari kaum Paderi di Minangkabau menunaikan haji tahun 1803. Pada masa-masa selanjutnya, sebagian faham Wahabi yang telah dikemas oleh Syeikh Muhammad Abduh (golongan Wahabi Modern), melalui karya tulisnya, Al-Urwah Al-Wuthqa Al-Manar, dll, telah diminati oleh banyak pelajar-pelajar nusantara yang belajar di timur tengah, khususnya Mesir. Gerakan reformasi yang dilakukan ajaran Wahabi juga melalui cara-cara yang cukup ekstrim dan radikal. Beberpa aktifitas yang dipandang berbau bi’ad, khurafat, dan sesuatu yang tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ada di dalam Nash, yakni Alqur’an dan As-Sunnah yang harus disikat habis.
Selain melalui beberapa cara diatas, pada zaman sekarang ini banyak kitab-kitab dan karangan Wahabi yang sudah diterjemah kedalam bahasa Indonesia, sehingga mereka sangat mudah menyebarkan faham Wahabi. Wahabisme memberi hadiah buku-buku gratis di Saudi Arabia bahkan di Mesir juga demikian. Kejadian ini Penulis alami sendiri ketika masih di Mesir dan Saudi Arabia bagaimana mereka menyebarkan melalui 'terjmahan' buku-buku Wahabi. Sasaran mereka adalah jama'ah haji, sebagian, TKI yang memang terbilang awam pengetahuan agama, bahkan dari mereka tidak tahu menahu apa itu Wahabi, yang implikasinya ketika mereka sampai Indonesia serasa mendapatkan ilmu baru setelah berhaji dan wajib mengamalkannya. Jadi wajar jika radikalisme di Indonesia dedengkotnya banyak yang bergelar 'haji'. Tentunya, ini karena pemahaman mereka yang masih sempit dan jumud.
Jika kita telisik lebih teliti, zaman dulu, ada beberapa organisasi yang menganut paham Wahabisme di Indonesia antara lain : Jami’at Khair (1901), Sarikat Islam (1912), Muhammadiyah (1912), Persatuan Islam / Persis, Jami’iyyat Al Islah wal Irsyad Madrasah Salafiah di Indonesia, kalau yang terbaru termasuk dalam golongan Wahabisme dalam pandangan sebagian masyarakat adalah HTI, Ikhwan Muslimin Indonesia (IMI), dan FPI. Bahkan sekarang Wahabi mulai merambah dan masuk dalam partai-partai Islam.
B. Kritik Terhadap Wahabi
Sebagai kelanjutan dari faham aliran salaf, yang mengambil pokok-pokok akidahnya dari al-quran dan hadits saja, pada tiap-tiap gerakan baru yang disertai kekerasan, maka terhadap aliran faham Wahabi juga terdapat beberapa kritikan.
Pertama-tama ialah bahwa faham Wahabi tidak mengenal (tidak merewes) perasaan kaum muslimin, sebab kaum muslimin dimana pun juga berbangga dengan dengan kubur Nabinya dan mencintai sahabat-sahabatnya. Penelanjangan kuburan Nabi dari hiasan-hiasan yang dapat menimbulkan perasaan puas pada waktu menziarahinya, disamping pembongkaran kuburan sahabat-sahabatnya. Kesemuanya cukup menimbulkan kebencian kaum muslimin terhadap faham Wahabi, dimana keadaan tersebut kemudian disalahgunakan oleh penulis-penulis Barat, untuk lebih mempertajam permusuhan dikalangan umat islam .
Kritik selanjutnya ialah bahwa faham Wahabi melalaikan kemajuan mental dan pikiran di negeri mereka sendiri serta tidak berusaha mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan tekhnologi (Perkembangan zaman-red), sedang ajaran Islam yang sebenarnya tidak menghalang-halangi untuk selalu update ilmu pengetahuan dan bahkan menganjurkannya.
Kritik-kritik tersebut tidak berarti mengurangi penghargaan terhadap pribadi Muhammad Bin Abdul Wahhab yang berjuang untuk keagungan aqidah Islam dan pembersihan dari noda-noda yang mengikari dan meliputi Islam. Beliau sendiri juga hanya menyodorkan ajaran-ajarannya kepada orang untuk ditaatinya, baik dengan paksa atau suka rela, tetapi dia juga mengutus penganjur-penganjurnya untuk membincangkan ajaran-ajarannya itu, antara lain ke Mesir apada tahun 1815 M, di mana ajaran ini kemudian diperbincangkan bersama-sama dengan para ulama Al-Azhar dan perbincangan itu berakhir dengan saling pengertian dari ulama-ulama tersebut bahkan diantaranya, yaitu Syeikh Abdul Huda as-Sha'idi, mengatakan sebagai berikut: " Kalau keadaan faham Wahabi seperti yang kami dengar dan kami ketahui, maka kami adalah orang Wahabi" .
BAB IV
Penutup
Sebagai kelompok yang mengaku seabagi penganut dakwah Salafus shaleh, jelas Wahabiyah telah bergeser dari jalur yang semestinya. Konsentrasi Wahabiyah lebih terpusat pada permasalahan furu'iyah, yang sudah menjadi perdebatan sejak dulu. Namun sayangnya mereka menganggap ijtihad fiqh yang mereka yakini kebenaranya sebagai hasil absolute yang tidak bisa diganggu gugat, dan yang menolak dianggap bid'ah dan sesat.
Hal ini terjadi karena dasar pemikiran Wahabiyah yang banyak berlandaskan pada beberapa point berikut: Pertama, pembalikan skala prioritas pada cara berpikir dan bertindak. Misalnya, mereka terlalu asyik dengan permasalahan mukhtalaf fîh seperti ziarah kubur, maulid Nabi, dll. Dengan keras mereka meneriakan slogan bid'ah pada hal-hal tersebut, padahal sikap mereka itu berpotensi mengancam persatuan ummat. Kedua, menutup pintu kebenaran dari pendapat orang lain, seolah yang benar hanya kelompok mereka saja. Ketiga, terlalu mengagungkan tokoh-tokoh kuncinya, seperti Ibnu Taimiyah, Abdullah bin Bazz, Syeikh Utsaimin, dll. Terakhir, terlalu tekstualis, sehingga sering menyisihkan pentingnya akal dan kerap alergi dengan hal-hal baru.
Yang ingin penulis tegaskan disini adalah, bahwa memang kenyataannya banyak pengikut Wahabi yang masih dangkal ilmu agamanya, mereka niatnya mengamalkan ilmunya, akan tetapi salah merealisasikannya sehingga sangat mudah untuk mengkafirkan orang-orang yang tidak sepaham dengan pendapat mereka. Disini lain, perlu penulis tegaskan bahwa memang banyak sekali yang oleh siapapun, ilmu agamanya tinggi akan sependapat dengan para pembesar-pembesar Wahabi(Mereka yang mengerti ilmu) kalau sudah melihat kenyataan di lapangan, misalnya, pelaksaan ziarah kubur, tidak sedikit para peziarah bukan meminta kepada Allah SWT, melainkan pada orang telah meninggal, atau, di Mesir sebagian golongan mewajibkan Tawaf tujuh kali seperti halnya di Ka'bah. Begitu juga dengan pelaksaan Tahlil, Maulid, banyak dari masyarakat yang menganggap bahwa ritual ini adalah 'wajib' sehingga akan dengan bersusah payah untuk mencari pinjaman walau pinjaman itu 'ber-bunga'. Atau mengadakan acara dengan hanya fokus acara makan-makannya saja. Bahkan disuatu daerah, misalnya di Madura, tepatnya di Pamekasan, kegiatan ritual semacam ini justru dimanfaatkan oleh sebagian tokoh agama untuk mendapatkan banyak materi bukan tujuan utamanya, yaitu mengingat perjuangan Rasul.
Beberapa paparan di atas mengajak kita pada kesimpulan bahwa salafi-Wahabi mengalami krisis metodologis, dan krisis fiqh prioritas. Kesimpulan ini tentu tidak bisa digeneralisir begitu saja kepada semua Salafi-Wahabi, karena ini sikap yang tidak ilmiah dan tidak adil. Tapi, kalau kita mengamati buku-buku mereka yang beredar, juga milist atau website yang mereka kelola, sedikit banyak kita akan sepakat dengan kesilmpulan di atas.
Daftar Pustaka
Abbas, Sirojuddin, KH. I'tiqad Ahlussunnah Wal Jama'ah, jilid I, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, cet. I
Abu Muhammad Zahro' Tarikhul Madzahib, Al-Qahirah, Darul Fikri Al-'Araby. 2009,
Al-Salaman, Prof. DR. Mohammad bin Abdulloh, Da’wah Syaikh Mohammad bin Abdul Wahhab wa Atsaruha fil alam al-islamy, (maktabah al-Syamilah)
Al-Tuwaim, DR. Nashir bin Abdulloh, Syaikh Mohammad bin Abdul Wahab, Hayatuh wa Da’watuh fi Ru’yah al-Istisyroqiyah, (maktabah al-Syamilah)
Arifin, Abdullah Syamsul KH. M.HI. 2008, Membongkar Kebohongan Buku "Mantan Kiayi NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik", Surabaya, Khalista, cet. I
Bin Bazz, Abdul Azizbin Abdulloh, Mohammad bin Abdul Wahab, Da’watuh wa Sirotuh, (maktaabh al-Syamilah).
Bakr, Ala’ DR. Muhadloroh fi Salafiyah, (Alexandria: al-Dar al-Salafiyah, 2006)
Mohammad, Imaroh,DR. Tayarot al-Fikri al-Islamy, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2007)
Ghonam, Husain, Tarikh Najd, (tahqiq: Nasiruddin al-Asad) Jurnal Afkar, edisi XLII, 30 September – 15 Oktober 2007.
Khalid bin Abdullah bin Muhammad Mashlah, Syarah kitab Aqidatul Washitiyyah, (لشبكة الإسلامية).
Nasir, Sahilun, A. Prof. DR. KH. 2010, Pemikiran Kalam (Teologi Islam). Jakarta, Kharisma Putra Utama Offset, cet, I