Gelar bagi orang berilmu adalah warasatul anbiya’ (pewaris para nabi), karena merekalah yang memegang tongkat estafet wahyu yang diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla kepada para nabi. Sedangkan ilmu sendiri mempunyai kedudukan diatas manusia, bahkan diatas kekuasaan. Kekuasaan mengatur manusia; sedangkan ilmu mengatur kekuasaan dan manusia (Abul Aswad). Maka para ulama selalu mengambil jarak dengan kekuasaan, agar tidak terkooptasi olehnya. Mereka kebanyakan lebih memilih berada di luar lingkar kekuasaan, dan mencela kepada ulama yang hanya dijadikan alat oleh penguasa.
Lebih-lebih para mutashawwifiin. Imam Ghazali misalnya, beliau sangat mencela ulama yang kemroyok berebut tumpengnya penguasa. Maka saya heran ketika seorang kenalan yang aktifis tasawuf pamer kepada saya karena telah ketemu dengan pejabat anu dan dikasih syai’un adzim plus proposalnya disetujui. Saya mbatin kok tidak malu dia? Mbok ya dirahasiakanlah kalau 'berselingkuh'.
Kata ayah saya, kiyai Zubair dan kiyai Imam Sarang -yang tidak lain adalah gurunya- tidak pernah mau menerima sumbangan dari pemerintah. Pertama, karena keduanya adalah wara’: mereka sangat hati-hati meneliti asal-usul uang. Menurut pandangan beliau-beliau ini, uang pemerintah bersumber dari segala macam; ada yang pajak bioskop, minuman keras, rumah bordir, hasil tambang, retribusi pasar, dan sebagainya. Masing-masing ada yang halal dan ada pula yang haram. Dan itu pantangan bagi beliau. Ora barokah.Yang kedua, karena sebagai pembawa tongkat estafet nabi, beliau tidak mau menjadi kambing congek bagi penguasa gara-gara sering menerima amplopnya. Al ihsan yasta’bidul insan (suatu keabaikan bisa memperbudak manusia), sabda Kanjeng Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Lalu selanjutnya orang akan bertanya, darimana mereka memperoleh dana untuk pembangunan pesantren dan segala kegiatan yang membutuhkan dana ? Jawabnya dari koceknya sendiri dan min haitsu laa yahtasib ( dari sumber yang tidak pasti dan tidak terduga datangnya). Secara garis besar kita bisa melihat bahwasannya mereka adalah punjer umat, umat akan bergotong-royong memikul segala kebutuhan bersama mereka yang tersentral di punjernya.
HM. Sholeh Shofiyudin, seorang mubaligh terkenal di Jombang bercerita kepada saya: Ketika hendak menyelenggarakan hajatan haul kubro, al-maghfurlah kiyai Ismail Kedungmaling, Sooko, Mojokerto baru memiliki seekor kambing. Jelas kurang. Kemudian beliau menuntun kambingnya itu berputar-putar mengelilingi masjid. Masyarakat penasaran melihat ulah kiyai karismatik ini dan menanyakan alasan beliau mentawafkan kambingnya mengelilingi masjid sampai berkali-kali.
“ O ini kambing yang mau saya sembelih untuk acara haul kubro, ia mencari teman.”
Paham dengan maksud Mbah Isma’il, masyarakat berbondong-bondong menyerahkan kambing kepada beliau sehingga kambingnya terkumpul puluhan.
nice.. terus perkaya psotingan bermanfaat sob... mampir juga ke http://4referensiku.blogspot.com ya...
Sudah tadi, hehehehehe
semuanya bisa terjadi atas kuasa Allah.