Membangkitkan Ajaran Kapitayan
Menurut Soekmono (1959) yang menjadi dasar dan pokok kebudayaan Indonesia zaman madya adalah kebudayaan purba (Indonesia asli), tetapi telah diislamkan. Yang dimaksud kebudayaan purba, dalam konteks ini adalah kebudayaan Malaio-Polinesia pra Hindu yang oleh Prof Dr C. C. Berg (1938) dan Prof Dr G. J. Held (1950) disebut animisme dan dinamisme, yaitu kebudayaan yang lahir dari kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap memiliki ‘daya sakti’ dan kepercayaan terhadap arwah. Sementara menurut Sunyoto (2003), yang dimaksud kepercayaan pra Hindu di indonesia adalah Kapitayan, yakni sebuah agama lokal yang memuja Dewa utama yang disebut Sanghyang Taya (Jawa Kuno: Suwung, Hampa, Tak Tergambarkan).
Di dalam ajaran Kapitayan, disebutkan bahwa Sanghyang Taya itu adalah kekuatan Ilahi yang tak tergambarkan dan tak dapat dibandingkan dengan sesuatu keberadaan-Nya. Orang Jawa memberi batasan singkat tentang Sanghyang Taya dengan istilah ‘tan kena kinaya ngapa’, yaitu tidak bisa diapa-apakan; tak bisa dipikir, tak bisa dijangkau pancaindera dan tak bisa dibandingkan dengan segala sesuatu. Meski tak tergambarkan keberadaan-Nya, namun Sanghyang Taya memancarkan ‘daya sakti-Nya’ pada benda-benda yang memiliki akar kata Tu atau To seperti: wa-tu, un-tu, tu-gu, tu-nggul (bendera), tu-buh, tu-lang, tu-mpeng, tu-mbal, tu-k (mata air), tu-lup (sumpit), tu-huk (bambu runcing), tu-kad (sungai), tu-ban (air terjun), tu-mbu (keranjang wadah kenduri), tu-mbak, tu-nggal, pi-tu, tu-ju (tenung), pin-tu, tu-mbuhan, to-peng, to-san (pusaka), to-pong (mahkota), to-wok (lembing), to-ya, dan sebagainya. Daya sakti Ilahi dari Sanghyang Taya itu, memancar pula pada manusia yang memiliki tu-buh, tu-tud (hati), tu-lang, dan un-tu terutama manusia-manusia pilihan yang digelari sebutan ra-tu atau dha-tu. Daya sakti itulah yang disebut tu-ah (keramat) dan tu-lah (kutuk).
Konsep Sanghyang Taya yang mirip konsep Allah dalam Islam itu, dimanfaatkan oleh para penyebar Islam abad 14 dan 15 sebagai sarana untuk menyampaikan ajaran kebenaran Islam kepada masyarakat. Istilah sembahyang – dipungut dari kata ‘sembah Hyang’ – yang merupakan istilah kapitayan, digunakan untuk mengganti istilah sholat. Melalui istilah sembah Hyang itu, istilah bhakti yang digunakan umat Hindu menjadi tergeser sehingga di dalam asumsi masyarakat yang dimaksud sembah Hyang adalah sholat. Tempat menyembah Sanghyang Taya di sanggar pun, dijadikan pengganti istilah mushola dengan diganti huruf awalnya yaitu menjadi langgar. Melalui istilah langgar itulah, masyarakat beramai-ramai melakukan sembah Hyang. Sementara istilah tempat ibadah Hindu yang disebut pura, perlahan-lahan dilupakan masyarakat.
Usaha para penyebar Islam abad 14 dan 15 dalam mendakwahkan agama melalui pembangkitan ajaran purba Kapitayan inilah yang mempermudah agama Islam diterima penduduk terutama penduduk kalangan bawah. Namun sebagai akibatnya, Islam yang berkembang di Jawa dan Nusantara, hingga saat ini tetap mencerminkan citra ajaran Kapitayan. Maksudnya, umat Islam di Jawa dan Nusantara diam-diam masih setia melestarikan ajaran Kapitayan yang terbukti dari dijalankannya adat kebiasaan membuat tu-mpeng, meyakini kesaktian to-san (keris, tombak, duwung, dsb), khasiat wa-tu, tu-mbal, tu-lang, un-tu, takut terhadap han-tu, memuja arwah leluhur, mempercayai tu-ah dan tu-lah, di mana semua kepercayaan itu sebagian besar tak dikenal dalam ajaran Islam.
Sumber tulisan:
Agus Sunyoto, Sunan Ampel Raja Surabaya: Membaca Kembali Dinamika Perjuangan Dakwah Islam di Jawa Abad XIV-XV M., Surabaya: Diantama, 2004.
0 komentar:
Posting Komentar