Mengirim Ulama untuk Berdakwah
Sekalipun berkedudukan sebagai seorang raja di Surabaya, tetapi Raden Rahmat bertindak sebagaimana raja pendahulunya, Arya Lembu Sura, yang sangat bersemangat dalam mengembangkan dakwah Islam. Meski kedudukannya sebagai raja tidak memungkinkan bagi Raden Rahmat untuk berdakwah di luar Surabaya, ia mengirimkan putera-putera dan sanak kerabatnya untuk mendakwahkan Agama Islam kepada penduduk di bekas wilayah Majapahit. Babad Daha-Kediri, misalnya, menuturkan bagaimana gerakan Susuhunan Bonang di pedalaman Kediri mendapat tantangan berat dari para penguasa. Babad Pasir juga menuturkan bahwa Pangeran Mahdum Ibrahim adalah Susuhunan Bonang telah berdakwah di Pasir dan mengislamkan raja Pasir yang bernama Banyak Belanak.
Putera Sunan Ampel yang bernama Pangeran Hamzah (dalam cerita disebut Syaikh Kambyah) berdakwah di pedalaman Tumapel dan dikenal dengan sebutan Pangeran Tumapel. Putera beliau yang bernama Raden Qasim atau dikenal di kalangan penduduk Cirebon dengan nama Masaih Munat, menjadi Wali Nagari Caruban Girang dan beroleh gelar Pangeran Kadarajat. Raden Qasim kemudian menjadi Adipati Paciran. Putera beliau yang bernama Raden Mahmud, menjadi kepala wisaya (buyut) di Sepanjang dan dikenal dengan nama Pangeran Sepanjang. Saudara sepupu Sunan Ampel, Khalifah Husein, dikirimnya ke Pamekasan untuk menikah dengan puteri Arya Baribin, Putera Arya Lembu Sura. Khalifah Husein diminta berdakwah di Sumenep, Balega dan Surabaya.
Gerakan dakwah dari ulama yang dikirim Sunan Ampel dilakukan juga ke luar Jawa. Masyarakat Bayan dari Suku Sasak di Sumbawa, misalnya, mengaku bahwa leluhur mereka diislamkan oleh Sunan Ampel dari Jawa. Sisa peninggalan dari masa silam, mereka tunjukkan dalam bentuk mata air Lokok Jawa, mata air Ampel Duri dan mata air Ampel Gading yang diyakini dibuat oleh kekeramatan Sunan Ampel (Budiwanti, 2000: 289). Bahkan sejumlah naskah lontar yang disimpan oleh pemangku adat Bayan menunjuk pada naskah berbahasa Jawa seperti Jatiswara, Layang Ambiya, Lontar Kawitan, Petung Bayan, dan Alim Sejiwa.
Di antara sejumlah ulama yang dikirim Sunan Ampel untuk berdakwah yang menunjukkan hasil sangat baik adalah Datuk Abdul Jalil yang masyhur dikenal dengan nama Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Siti Jenar. Tokoh ulama yang masih sepupu jauh Sunan Ampel itu, ditugasi untuk mengajarkan Sasahidan (syahadat) kepada penduduk Jawa. Tetapi keberhasilan Syaikh Lemah Abang mensyahadatkan penduduk Jawa itu tidak berhasil diimbangi usaha pengajaran syariat yang dilakukan ulama-ulama berikutnya, sehingga berujung pada perselisihan antara umat Islam pengikut Syaikh Lemah Abang dengan umat Islam yang disyariatkan ulama-ulama pasca Syaikh Lemah Abang. Akibat berlarut-larutnya perselisihan itu, maka umat Islam terpecah menjadi dua kubu besar yakni golongan abangan (pengikut Syaikh Lemah Abang) dan golongan putihan (muslim yang menjalankan syariat).
Meski secara umum ulama yang dikirim Sunan Ampel berhasil, namun tidak semua usaha itu berhasil baik. Ketika beliau mengirim saudara sepupunya, Syaikh Maulana Ishak, saudaranya lain ibu, ke Blambangan berakhir dengan kegagalan, di mana Syaikh Maulana Ishak harus pergi dari Blambangan dengan meninggalkan istri yang sedang hamil 7 bulan. Babad Tanah Jawi mengisahkan perjalanan Syaikh Maulana Ishak yang dikenal dengan nama Syaikh Wali Lanang itu sebagai berikut:
“Kacarios wonten maolana saking negari Djuldah ngejawi, anami Seh Wali Lanang. Ingkang dipun jujug ing Ngampel Denta, areraos bab ngelmi kalih sunan ing Ngampel Denta. Sareng sampun antawis lami nggenipun wonten ing Ngampel Denta, lajeng alelampah maleh ngetan leres, anjog ing Blambangan, ratune kagungan putera estri, saweg gerah banget. Mboten wonten ingkang saged nyarasaken. Sareng dipun jampeni seh Wali Lanang, saras. Anunten karsaning sang nata, ingkang putera kadaupaken kalih seh Wali Lanang. Lami-lami ingkang prabu dipun purih Islama dateng ingkang putera mantu. Nanging mboten purun. Seh Wali Lanang lajeng kesah dateng ing Malaka; ingkang garwa dipun tilar, panuju wawrat sepuh”.
“Kepergian Syaikh Maulana Ishak dari Blambangan ada yang menganggap akibat diusir oleh mertuanya, prabu Menak Dadali Putih (Oetomo, 1987: 22). Namun ada pula yang menganggap kepergian itu akibat adanya usaha-usaha untuk membunuh Maulana Ishak yang dilakukan oleh mertuanya, prabu Menak Sembuyu (Hasyim: 25). Apa pun kenyataan yang dialami Syaikh Maulana Ishak, yang jelas gerakan dakwahnya mendapat tantangan yang tidak ringan, sehingga pada gilirannya ia kembali ke Ampel dan selanjutnya kembali ke Malaka. Putera Maulana Ishak yang bernama Raden Paku, menjadi murid terkasih Sunan Ampel dan kelak menjadi raja Giri dengan gelar Prabhu Satmata”.
Sumber tulisan:
Agus Sunyoto, Sunan Ampel Raja Surabaya: Membaca Kembali Dinamika Perjuangan Dakwah Islam di Jawa Abad XIV-XV M., Surabaya: Diantama, 2004.
0 komentar:
Posting Komentar