Kontroversi Sekitar Wali Songo
Masalah rumit yang banyak mengundang kontroversi dari para penyebar Islam di Jawa abad ke-14 dan ke-15 adalah menyangkut istilah Wali Songo. Sebab jika istilah Wali Songo itu dikenakan pada sosok para penyebar Islam di Jawa pada abad 14 dan 15 Masehi, akan tidak pas karena jumlahnya berlebih. Sementara yang lain berusaha menjustifikasi kebenaran asumsi jumlah wali yang sembilan itu dengan menyatakan bahwa setiap anggota wali yang meninggal akan diganti oleh wali lain, sehingga jumlah mereka jika diurutkan akan lebih sembilan orang. Masalah yang tak kalah rumit, adalah menyangkut asumsi bahwa para anggota wali songo itu adalah auliya’ Allah yaitu para kekasih Allah yang memiliki karomah. Dikatakan sangat rumit, sebab dalam keyakinan umat Islam keberadaan seorang auliya’ Allah atau kekasih Allah tidak diketahui oleh manusia umum kecuali sesama auliya’.
Kesimpang-siuran dan kerumitan masalah istilah Wali Songo itu, terbukti berasal dari kerancuan penulisan hitoriografi babad yang berjarak lebih dari duaratus tahun dari peristiwa ditambah merosotnya pengetahuan Bahasa Kawi dan diperparah oleh kerangka berpikir otak-atik mathuk yang berkembang pesat pasca runtuhnya Majapahit. Menempatkan Syaikh Maulana Malik ibrahim bersama Sunan Gunung Jati, Sunan kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat dalam masa yang sejaman di sebuah organisasi dakwah, jelas mengada-ada. Sebab menurut inkripsi yang tertulis pada makam Syaikh Maulana malik ibrahim, tarikh wafatnya adalah tahun 840 Hijriyah yang sama dengan tahun 1419 Masehi, di mana saat itu Sunan Gunung Jati, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan yang lain belum lahir.
Menurut Serat Walisana pupuh XXIX, disebutkan bahwa Walisana adalah julukan bagi wali-wali yang berkuasa pada suatu daerah. Ungkapan Serat Walisana itu, bisa ditafsirkan merujuk pada kekuasaan politik dan pemerintahan di masa itu. Sehingga wajar jika tokoh-tokoh Walisana tersebut memiliki gelar sunan, susuhunan, sinuhun, atau prabhu, yang secara tradisional merupakan gelar khusus bagi raja-raja. Dengan demikian, keberadaan Wali Sanga dapat ditafsirkan sebagai suatu tatanan kekuasaan yang terkait dengan sistem ikonografi dewasa itu, yakni penggambaran dari sembilan kekuasaan Syiwa yang disebut nawadewata atau nawasanga. Maksudnya, Paramasyima menjadi tokoh utama yang dikelilingi oleh delapan mata angin (Soekmono, 1974: 285) yang meliputi: Wisynu (utara), Sambhu (timur laut), Isywara (tenggara), Brahma (selatan), Maheswara (barat daya), Mahadewa (barat), Sangkhara (barat laut), dan Paramasyiwa (pusat). Penggunaan sistem ikonografi nawasanga itu, setidaknya terlihat pada gelar Prabhu Satmata yang digunakan Sunan Giri, padahal Satmata adalah nama lain dari Syiwa. Bahkan sebutan Ratu Giri yang disandang Sunan Giri, merujuk pula pada nama Syiwa yang masyhur yaitu Girinatha (Raja gunung) tanpa mengesampingkan bahwa keraton kakeknya dari pihak ibu terletak di Giri Kedhaton, Blambangan (sekarang Kecamatan Giri di kota Banyuwangi – pen).
Berdasar uraian di atas, jelaslah bahwa istilah wali yang digunakan Wali Songo mengacu pada penguasa politis dan pemerintahan suatu daerah, yang lazim dikenal dengan sebutan Wali Nagari. Namun kekurang-fahaman terhadap istilah Wali Nagari, yang merupakan gagasan asimilatif antara istilah Bahasa Arab dan istilah Bahasa Kawi itulah, yang diduga menimbulkan asumsi untuk memaknai kata ‘wali’ dalam Wali Nagari itu dengan makna auliya’ yaitu kekasih Allah. Kemudian berkembanglah kisah-kisah fantastis tentang kekeramatan wali-wali yang melampaui mukjizat nabi-nabi. Asumsi yang tidak tepat itu pada gilirannya menempatkan keberadaan para raja muslim di abad 14 dan 15, hanya sebagai para ulama pengasuh pesantren dan bukannya penguasa suatu daerah. Bahkan yang belakangan berkembang di sinetron-sinetron, para anggota Wali Songo penyebar Islam itu digambarkan sebagai sekedar pendekar-pendekar muslim tukang berkelahi.
Keberadaan Wali Songo, tampaknya tidak terlepas dari usaha-usaha para penyebar Islam untuk mengubah tatanan sosial dan politik di era Majapahit yang menganut ajaran dewaraja agar menjadi tatanan yang Islami. Sebagaimana telah terurai di muka (dalam pembahasan awal buku ini –pen), bahwa seorang raja di dalam keyakinan masyarkat Jawa Kuno diyakini sebagai titisan dewa, sehingga saat sang raja meninggal dunia akan dipuja sebagai dewa oleh keturunan dan masyarakatnya. Tak berbeda dengan raja, para kepala wisaya (daerah setingkat kecamatan) yang disebut buyut dan para kepala desa yang disebut rama, jika meninggal akan dipuja oleh keturunan dan masyaraktnya. Makam-makam kepala wisaya dan kepala desa itulah yang disebut kabuyutan dan punden karaman. Tatanan ini adalah hasil asimilasi antara anasir pemujaan terhadap arwah leluhur dari ajaran Kapitayan dengan anasir Hindu dari bhagavatisme yang dianut oleh para pemuja Wisynu.
Di masa akhir Majapahit yang ditandai menguatnya pengaruh adipati-adipati muslim di pesisir utara jawa, terdapat perubahan-perubahan dalam menyebut para penguasa yang di dalamnya jelas terdapat maksud pengislaman terhadap anasir-anasir kepercayaan dewaraja. Sebutan ratu, adipati, narapati, prabhu, dan susuhunan yang semula dianggap berkaitan dengan titisan dewa, telah direduksi menjadi sekedar sahabat-sahabat Allah (Wali Allah). Raja bukan lagi dianggap titisan dan penjelmaan tuhan, tetapi hanya sahabat-sahabat Tuhan (Allah). Jabatan kepala wisaya yang semula adalah buyut, diganti menjadi Gede atau Ageng atau Umbul. Berbeda dengan para buyut yang jika meninggal dipuja di kabuyutan, para Ki Gede dan Ki Ageng atau Umbul, jika meninggal tidak dipuja. Begitu juga jabatan kepala desa yang disebut rama, diubah menjadi lurah yang jika meninggal tidak lagi dipuja sebagai punden.
Dengan uraian ini, jelaslah bahwa sebutan Susuhunan tidaklah dimaksudkan sebagai gelar formal bagi para Wali Allah, karena sepanjang sejarah Islam belum pernah ada seorang Wali Allah mendapat gelar formal yang bisa dikenal masyarakat umum untuk menunjukkan kedudukannya sebagai kekasih Allah. Keberadaan seorang Wali Allah, justru disembunyikan dari pengetahuan umum. Dengan demikian, dalam konteks makna Wali Songo dan sebutan susuhunan itu, sesungguhnya dapat dilihat jejak-jejak suatu strategi dakwah Islam untuk mengubah kepercayaan dewaraja menjadi tauhid Islam. Dalam pengertian bahwa para adipati atau raja itu bukanlah titisan Tuhan, tetapi sekedar sahabat-sahabat Tuhan. Itu tidak berarti keberadaan Sunan Ampel sebagai Wali Allah dinafikan oleh pandangan ini, sebab kedudukan Wali Allah di dalam keyakinan Islam tidak dibatasi oleh kedudukan orang sebagai raja atau tidak. Kewalian seseorang adalah rahasia Ilahi.
Sumber tulisan:
Agus Sunyoto, Sunan Ampel Raja Surabaya: Membaca Kembali Dinamika Perjuangan Dakwah Islam di Jawa Abad XIV-XV M., Surabaya: Diantama, 2004.
0 komentar:
Posting Komentar