‘Membumikan’ Islam Sesuai Budaya Setempat
Islam sesungguhnya sudah masuk ke Pulau Jawa sejak perempat akhir abad ke-7 Masehi, yakni saat di Jawa berdiri kekuasaan Ratu Simha di Kalingga sebagaimana diberitakan oleh sumber-sumber Cina dari Dinasti Tang. Namun Islam kurang mendapat tanggapan baik, mungkin orang Arab (tazhi) yang datang di Kalingga menimbulkan ulah konyol yang mengakibatkan kaki putera mahkota dipotong (Groeneveldt, 1877). S. Q. Fatimy (1963) mencatat bahwa pada abad ke-9 Masehi, terdapat perpindahan suku-suku dari Persia ke Jawa yaitu suku Lor, Yawai dan Sabangkara. Orang-orang Lor mendirikan pemukiman-pemukiman yang disebut Loram atau Leran. Perpindahan suku-suku Persia itu, terutama Lor sangat menarik jika dikaitkan dengan serangan Haji Wura-wari (raja kulit merah) dari Loram yang menyerang Maharaja Darmawangsa di Wotan Mas sebagaimana ditulis prasasti Klagen sebagai raja dari Loram itu adalah orang-orang Lor, berarti penduduk Islam pada abad-abad tersebut mengenalkan Islam melalui kekerasan sehingga mendapat tantangan keras dari raja-raja setempat.
Menjelang kemunduran Majapahit, di mana rentang waktu Sunan Ampel hidup, Islam disampaikan melalui cara-cara yang lebih damai melalui prinsip maw’izhatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan dengan metode penyampaian ajaran Islam melalui bahasa yang dimengerti oleh suatu kaum. Dewasa itu, ajaran Islam dikemas sebagai ajaran yang sederhana dan dikaitkan dengan pemahaman masyarakat setempat atau ‘dibumikan’ sesuai adat budaya dan kepercayaan penduduk setempat. Itu sebabnya, istilah-istilah yang digunakan untuk piranti peribadatan Islam pun dipungut dari bahasa setempat seperti istilah sembahyang untuk mengganti shalat, langgar untuk mengganti musholla, pasa (upawasa) untuk mengganti shaum, neraka untuk mengganti naar, swarga untuk mengganti jannah, bahkan dalam naskah-naskah suluk tertua nama Allah disebut tetapi diganti dengan sebutan Hyang Suksma, Hyang Manon, Hyang Tunggal, Hyang Widi, dan di depan nama Nabi Muhammad Saw ditambah gelar kanjeng yang bermakna junjungan atau raja.
Upacara-upacara tradisi terkait usaha pengislaman penduduk Jawa melalui ‘pembumian’ ajaran Islam, sedikitnya masih tersisa pada upacara Garebeg Suro dan Garebeg Mulud, yakni upacara peringatan Hari Asyuro, tahun baru Islam di bulan Muharram dan upacara peringatan hari lahir (maulid) Nabi Muhammad Saw yang diselenggarakan di keraton-keraton Jawa. Tradisi ini sudah dijalankan sejak masa Kadipaten Demak di perempat akhir abad 14 Masehi. Bahkan usaha pembumian ajaran Islam yang dilakukan para penyebar Islam itu, terlihat pada upaya-upaya mengalihkan amaliah ibadah yang meliputi tiga hal pokok ke arah Islam, yaitu: (1) Kebiasaan samadhi sebagai puji mengheningkan cipta diubah menjadi shalat wajib ; (2) Kebiasaan sesaji dan ketutug diubah menjadi pemberian shodaqoh ; (3) – yang meniru dewa dalam upacara perkawinan seperti menanam pohon Klepu Dewa – daru, menabuh gamelan Lokananta, nyanyian wanita yang mengelu-elukan kehadiran dewa dalam gerak tari “tayuban” dihilangkan dengan jalan kebijaksanaan sehingga dapat membuka hati rakyat banyak (Zarkasi, 1977: 63-64).
Penyampaian akidah dan hukum Islam pun, banyak dilakukan melalui naskah-naskah bernuansa tasawuf seperti suluk dan serat dalam bentuk tembang seperti Suluk Wujil, Suluk Malang Sumirang, Suluk Kadis, Suluk Ngasmara, Suluk Sukarsa, Serat Niti Mani, Serat Cebolek, Serat Wirid, dsb. Bahkan penyebaran ajaran Islam yang paling cepat mendapat sambutan positif dari penduduk setempat adalah yang dilakukan melalui pertunjukan-pertunjukan seni seperti wayang purwa, wayang krucil, kentrung, jemblung, rebana, sintren, jaranan, yang sebelumnya tak dikenal masyarakat di era Majapahit.
Sumber tulisan:
Agus Sunyoto, Sunan Ampel Raja Surabaya: Membaca Kembali Dinamika Perjuangan Dakwah Islam di Jawa Abad XIV-XV M., Surabaya: Diantama, 2004.
0 komentar:
Posting Komentar