FILOSOFI TUKANG PARKIR

Posted in Jumat, 23 Desember 2011
by ANAN SMILE
Kang Mingun baru saja memberi aba-aba sebuah mobil yang ingin keluar dari tempat parkir yang ia kelola, dengan aba aba yang sigap ia mengantarkan mobil itu keluar dari tempat parkirnya dengan aman. Sesekali ia mengusap keringat, dan melambaikan tangan kepada sopir mobil itu dan memberikan selembar uang ribuan padanya. Lambaian itu disertai dengan lambaian tangan kepada pemilik mobil. Sehari itu ia mampu menerima ratusan motor dan mobil untuk ia jaga di tempat parkirnya. Saat sore menjelang, ia pulang, meski tampak lelah, ada binar bahagia di matanya. Kepuasan bathin pada hari itu sangat ia nikmati. Selanjutnya, dalam pikirannya, tiada ia sombong saat di tempat parkirnya ada ratusan mobil bermerk, motor gaul dan bergengsi nongkrong di tempat tugasnya. Ia seperti biasa, tetap menyapa orang-orang yang berlalu lalang di hadapannya, seraya melemparkan sesungging senyuman. Sikap rendah hati tetap ia praktekkan kepada siapa saja yang mau menitipkan mobil, mobil box, motor butut, motor mahal, atau bahkan becak dan sepeda onthel. Demikian pula saat ia mulai kehilangan satu persatu mobil, motor yang ngendon di tempat parkir yang ia jaga, ia gak merasa kehilangan sekalipun saat semua mobil dan semua kendaraan yang ia jaga, satu persatu pergi darinya. Ia tetap rendah hati, tanpa sakit hati saat semua kendaraan sudah bersih dari tempat parkirnya. Ia gak iba sama sekali saat mobil CRV meninggalkan tempat parkirnya, padahal dari pagi, ia sering melihat mobil keluaran baru itu. Dalam hatinya Cuma kagum dan takjub dengan mobil mewah itu. Dan saat CRV itu berlalu, ia tetap seperti hari hari biasanya, yaitu tanpa adanya perbedaan anggapan terhadap mobil yang baru saja berlalu dari hadapannya. Apa yang dapat kita petik dari hikmah kisah di atas? Sudahkah kita membayangkan bahwa kita ini sebenarnya adalah kang Mingun” dalam konteks yang lebih realistis?. Bagaimana tidak sama, kita yang hidup dengan “gratis” ini seringkali dititipi “mobil atau kendaraan” yang begitu banyak, cobalah kita maknai barang titipan itu kepada sebuah makna yang lebih luas, misalnya, harta, tahta, jabatan, wanita, anak, teman-teman, anggap pula tempat parkir itu adalah lahan, atau tempat dan rumah di mana kita bisa beraktifitas dan ibadah. Filosofi Kang Mingun ini begitu kuat dan “lillahi Ta’ala” bagaimana mungkin hal ini ada? Kita lihat, saat ia menerima titipan mobil, ia meletakkan dan memberi aba-aba ke pemilik mobil supaya ditempatkan sesuai dengan aba-aba dia, dan saat mobil itu ingin diambil pemiliknya, sekali lagi ia memberi aba-aba menuju jalan raya. Begitu seterusnya. Coba kita artikan saat kita diberi titipan jabatan, amanat, atau harta yang melimpah. Ketika titipan itu masuk ke kita, kita memberinya aba-aba ke tempat harusnya kita menempatkannya, untuk biaya anak, biaya makan, biaya sekolah, shodaqoh, donasi dan lain sebagainya sebagaimana hal itu berlaku dalam hidupnya, sehingga tidak terjadi tumpang tindih satu sama lain. Ia tidak menumpuk “mobil” satu dengan yang lain, karena hal itu akan membuat rangsek body mobilnya. Namun menata rapi sesuai dengan ukuran lahan yang pas dan tepat. Begitu pula saat barang titipan kita itu tercabut dan diambil oleh yang memilikinya, kita tidak merasa kehilangan dan iba atau bersedih hati atas kehilangannya, karena barangkali akan ada mobil atau bahkan pesawat yang akan turut parkir di tempat yang kita kelola, dan mungkin pesawat itu tidak lagi dititipkan ke tempat parkir kita namun dihadiahkan kepada kita selama-lamanya. Dan ketahuilah “pesawat” yang dihadiahkan kepada kita ini adalah “taqwa” yang bisa mengantarkan kita “terbang” ke mana-mana, ke alam imanen, transenden, atau pengetahuan intuitif sehingga kita bisa “musyahadah” melihat keber-ada-anNya dengan nyata. Dengan syarat, kita mampu menjaga pesawat “taqwa” itu sedemikian rupa, sehingga saat kita menggunakannya terbang, tidak terjadi kebocoran dan kerusakan mesin dalam rangka berkelana menuju ke arah-Nya semata. Wallahu a’lam bishawab.