ADZAN VERSI AHMADIYYAH

Posted in Selasa, 15 Mei 2012
by Unknown
Inilah Adzan versi Ahmadiyah, yang berbeda dengan versi Adzan pada umumnya di Dunia, versi Adzan Ahmadiyyah ini sudah jelas jelas mengakui kerasulan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Rasul, tidak sekedar nabi saja.

Bagaimana jika Adzan Versi Ahmadiyyah ini tiba tiba anda dengar di Masjid masjid atau di surau surau dimana anda tinggal?
Masihkah anda member toleransi ukhuwwah islamiyyah ketika anda sudah tahu isi daripada Adzan Versi Ahmadiyyah ini?


Berikut Adzan versi Ahmadiyah :

الله أكبر الله أكبر

الله أكبر الله أكبر

اشهد أن لا إله إلا الله

اشهد أن لا إله إلا الله

اشهد أن مرزا غلام أحمد رسول الله

اشهد أن مرزا غلام أحمد رسول الله

(Rosulnya bukan Muhammad SAW., tetapi Mirza)

Adzan Versi Ahmadiyyah

Meskipun Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah melarang perkembangan Ahmadiyah, namun yang namanya hukum dan aturan itu harus sejalan dengan apa yang ditulis di aturan tersebut. Dalam keputusan Pemprov Jatim, tidak dicantumkan pelarangan Adzan versi Ahmadiyah dengan pengeras suara. Sehingga, Ahmadiyah akan selalu dan selalu mengeraskan suara dalam adzan versi Ahmadiyyah, khususnya kalimat : “SAYA BERSAKSI BAHWA MIRZA GHULAM AHMAD ADALAH ROSULULLOH”, dan menolak keras untuk menghentikan semua ini.

Melihat keadaan seperti ini, saya jadi membayangkan, andai saja di RT saya mengalami kejadian yang sama. Mau saya larang, tidak ada dasar hukum. Lalu apa yang harus saya lakukan? Lapor polisi, tak ada gunanya. Lapor camat, tak ada gunanya. Lapor bupati, tak ada gunanya. Lapor gubernur, tak ada gunanya. Lapor presiden, tak ada gunanya. Saya jadi berfikir, sebenarnya yang menjadi pemimpin di Negara ini siapa? Dan harus ke mana saya melapor? Padahal benar-benar terganggu. (Mau membunyikan sound system dengan keras selama 24 jam sehari selama-lamanya tanpa henti di samping rumah pengikut Ahmadiyah biar saya tidak mendengar adzannya, dikatakan melanggar HAM. Nek wis kadung kalah iki yo ngene iki. Loro kabeh. Ape mengambil alih pemerintahan, pelanggaran hukum. Diam, diinjak-injak dengan di depan pejabat.) Dengan kekerasan? Opini masyarakat sudah didoktrin bahwa kekerasan itu adalah tetap larangan agama, meskipun kondisinya memaksa dan tidak ada pilihan lain. (Sekedar perbandingan, ketika misalnya dua orang terjebak di tengah lautan samudra arktik yang ganas, tidak bisa memakan apapun juga, badan sudah lemas, sekian bulan hanya minum tanpa makan, hingga sampailah ke titik puncak satu-satunya pilihan, kalau tidak makan daging manusia di depannya diprediksi akan mati, dan mati yang disebabkan tidak mau makan adalah termasuk melanggar ayat : JANGANLAH KALIAN BUNUH DIRI (sehingga kalau tidak memakan orang di depannya masuk kategori bunuh diri), maka masing-masing dari dua orang tersebut harus saling berusaha memakan).

Andai ada dua bersaudara yang masih anak-anak bertengkar, pasti mengadu pada orang tua. Sang orang tua pasti menyelesaikan pertengkaran tersebut, yang tentunya juga dengan mempertimbangkan permasalahan sang anak. Ketika sang kakak selalu menggoda sang adik saat hampir terlelap sehingga tidak bisa tidur, tentu bentuk penyelesaiannya berbeda dengan ketika sang adik memaksa meminta jajan yang dipunyai sang kakak.

Demikian juga pemimpin Negara ini. Ketika akar permasalahannya adalah tentang munculnya keyakinan “baru” dan membuat terganggunya pemilik keyakinan “lama” (pengikut Mirza membuat terganggunya pengikut Muhammad SAW), dan pemerintah pusat seakan diam membiarkan tanpa ada penyelesaian masalah, salahkah bila ada yang mengatakan bahwa Negara ini sedang dibajak (melalui proses demokrasi yang sah) oleh seseorang yang tidak pantas memimpin sebuah Negara?

Saya juga jadi membayangkan, andaisaja suatu ketika nanti ada Mr. X beserta seluruh jaringannya memenangkan pilpres, memenangkan pemilu legislative, lalu Mr. X dan kawan-kawan tersebut mengamandemen Undang-undang sehingga mengesahkan undang-undang dan menyatakan bahwa presiden, gubernur, bupati, dan camat harus dijabat oleh orang berfaham atheis agar tidak berat sebelah dalam menyikapi permasalahan agama di tengah-tengah masyarakat, bukankah itu juga sah secara hukum dan demokrasi? Tapi apakah itu bisa diterima oleh iman? Inilah letak bahwa berdemokrasi dan bernegara itu harus berdasarkan hati nurani. Negara dan agama harus berjalan beriringan. Hati nurani adalah kekuatan dan keyakinan teguh. Keyakinan adalah keimanan. Dan keimanan adalah agama. Sehingga, agama adalah yang menuntun kita dalam bernegara dan berdemokrasi, bukan malah sebaliknya, demokrasi dan Negara yang menentukan sah dan tidaknya suatu agama. Orang yang berpegang teguh pada agama-lah yang pantas menjalankan roda pemerintahan dan demokrasi, bukan malah sebaliknya, orang yang menang dalam proses demokrasi yang berhak membubarkan dan mengebiri agama agar musnah. Agama-agama yang dimaksud di atas, adalah agama yang sesuai dengan logika masyarakat pada umumnya, logika kitab suci, logika akal, dan logika iman. Dan yang sesuai dengan semua itu adalah logika al Qur’an dan al Hadits.

Buang air kecil saja diatur di dalam Islam, tetapi dalam bernegara, Islam harus dibuang. Itulah pendapat sebagian masyarakat yang mungkin juga orang-orang Mr. X. tentang Halal Haram adalah domain agama. Maka ketika agama dilepaskan dari aktifitas dan perbuatan kenegaraan, halal dan haram akan ikut lepas. Saat itulah tidak ada lagi halal haram, baik buruk, tercela terpuji. Yang ada hanyalah sah secara aturan Negara, sah secara KUHP, melanggar aturan Negara, melanggar KUHP. Seandainya aturan Negara dan KUHP (yang telah dibajak oleh Mr. X) menyatakan bahwa membawa-bawa agama di muka umum diancam dengan penjara kurungan 21 hari, maka ketika kita bertemu teman lama di terminal, lalu ditanyakan kabar dan menjawab “ALHAMDULILLAH MASIH DIBERI KESEHATAN OLEH ALLAH,” kita akan diancam dengan penjara 21 hari, karena Alhamdulillah dan Allah adalah wilayah agama, dan telah kita bawa di tempat umum. Hahahahaha.

Bila saat ini ada gejala ke arah sana, apakah benar saat ini negara sedang dikuasai oleh orang-orang Mr. X.? Sepertinya demikian.

Wallohu A’lam Bish Showab,

Asyhadu An La Ilaha Illa Allah, Wa Asyhadu Anna Muhammadan Rosululloh.