KONSEPSI JILBAB DI DALAM AL-QUR’AN

Posted in Kamis, 31 Mei 2012
by ANAN SMILE
Ada baiknya uraian ini diawali dengan teks ayat 59 dari surat al-Ahzab yang disebut di atas: dalam surat al-ahzab ayat 59 yang artinya: Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, putri-putrimu, dan istri-istri orang beriman: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka”. Dengan pakaian serupa itu, mereka lebih mudah untuk dikenal, maka mereka tidak diganggu lagi dan Allah senantiasa Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Kata jibab, jamaknya jalabib, berasal dari Al-Qur’an seperti termaktub di dalam surat al-Ahzab ayat 59. Secara lughawi, kata ini berarti “pakaian (baju kurung yang longgar)”. Dari pengertian lughawi ini, Prof. Quraish Shihab mengartikannya sebagai “baju kurung yang longgar dilengkapi dengan kerudung penutup kepala”. Menurut Ibnu Abbas dan Qatadat, sebagaimana dikutip oleh Abu Hayyan, Jilbab ialah: “pakaian yang menutup pelipis dan hidung meskipun kedua mata permakainnya terlihat, namun tetap menutup dandan dan bagian mukanya”. Meskipun banyak pendapat yang dikemukakan berkenaan dengan pengertian jilbab ini, namun semua pendapat tersebut mengacu pada satu bentuk pakaian yang menutup sekujur tubuh pemakainya. 1. Asbabun Nuzul Ahli-ahli tafsir meriwayatkan tentang sebab turunnya ayat yang mulia ini, yaitu bahwa (dahulu) perempuan merdeka dan amat (hamba sahaya) biasa keluar malam untuk menunaikan hajat (buang air) di antara dinding-dinding dan pohon-pohon kurma, tanpa ada (ciri-ciri) pembeda antara yang merdeka dan amat (dari segi pakaian mereka), sedang pada waktu itu di Madinah banyak orang-orang fasiq yang biasa menganggu hamba-hamba perempuan (amat, jamak: ima’) dan kadang-kadang juga kepada perempuan-perempuan merdeka. Kalau mereka ditegur, maka jawabnya: Kami hanya menganggu hamba-hamba perempuan. Maka perempuan-perempuan merdeka disuruh membedakan diri dalam hal pakaian dengan amat, agar supaya mereka dihormati, disegani dan tidak merangsang keinginan orang-orang yang jiwanya berpenyakit (hidung belang). Kemudian turunlah firman Allah: “Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrinya….dst. Ibnul Jauzi berkata: Sebab turunnya ayat ini ialah, bahwa orang-orang fasiq biasa mengganggu perempuan-perempuan pada waktu mereka keluar malam, tetapi kalau mereka melihat perempuan-perempuan yang berjilbab mereka enggan mengganggunya mereka melihat seseorang perempuan tanpa jilbab, mereka berucap: Inilah amat! Lalu mereka mengganggunya. Kemudian turunlah ayat yang mulia ini. Kita katakan, al-Qur’an tidak mewajibkan satu model tertentu dalam berpakaian, karena ayat 59 dari al-Ahzab tidak memberikan ketegasan tentang model tersebut. Ayat itu hanya berkata (ذٰلِكَ أَدْنٰى أَنْ يُعْرَفْنَ), cara yang demikian (pakai jilbab) adalah yang paling mudah untuk mengenal mereka”. Ucapan tersebut mengandung arti, bahwa untuk ukuran bangsa Arab pada masa itu model jilbab lebih mudah untuk membedakan antara perempuan merdeka dari budak, sehingga mereka tidak diganggu oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Pada tempat lain, atau di kalangan masyarakat tertentu, barang kali model pakaian wanitanya tidak serupa dengan model jilbab tersebut. Berdasarkan kedua ayat itu, maka mereka boleh saja memakai berbagai model pakaian yang mereka sukai, selama pakaian tersebut dapat menutupi aurat. Artinya, pakaian tersebut selain longgar, tidak pula tipis, sehingga bentuk tubuh dan warna kulit tidak kelihatan dari luar. Jadi, sekali lagi al-Qur’an tidak membicarakan model, tapi yang diwajibkan ialah menutup aurat. Namun dalam menutupi aurat itu model pakaiannya harus berbeda antara pakaian perempuan dengan pakaian laki-laki sebagaimana dijelaskan Nabi di dalam hadits-hadits berikut: عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْدَفَ الْفَضْلَ ابْنَ عَبَّاس يَوْمَ النَّحْرِ خَلْفَهُ وَفِيْهِ قِصَّةُ الْمَرْأَةِ الْوَضِيْئَةِ الْخَثْعِيَّةِ-فَطَفَقَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا فَأَخَذَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَقْنِ الْفَضْلِ فَحَوَّلَ وَجْهَهُ عَنِ النَّظُرِ إِلَيْهَا (رواه البخاري) Dari Ibnu Abbas r.a.: “Sesungguhnya Nabi SAW menunggang unta bersama al-Fadhal bin Abbas pada waktu haji wada’ dan ketika itu ada wanita cantik lalu al-Fadhal menatapnya terus-menerus, maka nabi memegang dagu al-Fadhal dan memalingkannya dari melihat wanita cantik tersebut” (H.R. Bukhari) Disamping hadits di atas, mereka juga menggunakan ayat al-Qur’an sebagai argumen, misalnya ayat 53 dari al-Ahzab: .....وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ..... “Dan apabila kalian ingin meminta sesuatu (keperlua) kepada mereka (istri-istri nabi), maka lakukanlah hal itu dibelakang tabir” Berdasarkan pada keempat argumen itu, maka pendukung pendapat ini menyatakan bahwa sekujur tubuh wanita itu pada hakikatnya adalah aurat yang wajib ditutupi dengan rapi. Oleh sebab itu, sedikitpun tak boleh tampak oleh orang-orang yang bukan muhrimnya, kecuali bila keterbukaan itu disebabkan oleh hal-hal yang di luar kontrol pemakainya, seprti ditiup angin dan sebagainya. Dalam kondisi serupa ini seorang hanya diberi toleransi pada pandangan pertama dan ia harus segera mengalihkan pandangannya ke objek lain. Penganut mazhab Hanafi dan Maliki menafsirkan ayat (إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا ) “yang biasa tampak” itu dengan “muka dan telapak tangan”. Dengan demikian, kedua anggota badan yang tidak wajib ditutup ditutup, sesuai dengan ayat tersebut. Bahkan menurut Abu Hanifah, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Muhammad ’Ali al-Says, “Telapak kaki wanita pun tidak termasuk aurat, khususnya bagi wanita miskin di pedesaan yang dalam mencari penghidupan mereka terpaksa bekerja keras tanpa menutup kaki. Jika mereka harus menutup menutup kaki, niscaya hal ini akan sangat menyulitkan dan membuat susah; lebih susah lagi dari pada menutup tangan. Malah Abu Yusuf (murid Abu Hanifah) lebih longgar lagi. Menurutnya, kedua tangan wanita bukan aurat, karena itu tak perlu ditutupi”. Pendapat ini pada dasarnya merujuk kepada ucapan Nabi SAW berkenan dengan kasus Asma’ putri Abu Bakar, Suatu hari Nabi berkata kepadanya: يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيْضَ لَمْ يَصْلُحُ لَهَا أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هٰذَا وَهٰذَا وَأَشَارَ إِلىَ وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ (رواه أبو داود وعائشة) “Hai Asma’! Sesungguhnya apabila wanita telah mencapai umur haid, maka tidak patut lagi terlihat darinya selain ini dan ini. Lalu Nabi menunjuk kepada muka dan kedua telapak tangannya.” (H.R. Abu Daud dari ’Aisyah) 2. Pengertian Pengertian jilbab sebagaimana dinukilkan kepada kita bahwa jilbab adalah model pakaian wanita yang menutup keseluruhan tubuhnya, sehingga yang terlihat hanya kedua matanya saja. Sesuai dengan maksud ayat 59 dari al-Ahzab, bahwa yang wajib memakai jilbab ialah para wanita, bukan pria. Apabila mode jilbab seperti yang digambarkan itu ditetapkan pemakaiannnya di seluruh dunia, maka di dini akan timbul permasalahan, terutama dikalangan masyarakat yang kaum wanitanya belum terbiasa memakai pakaian serupa itu. Kendala ini makin mencekam bila dikaitkan dengan adat istiadat dan budaya suatu bangsa atau masyarakat tertentu. a. Jilbab dan Syarat-syaratnya Kata ‘jilbab’ jamaknya ‘jalabibb’, yaitu pakaian yang menutup seluruh tubuh sejak dari kepala sampai ke kaki; atau menutup sebagian besar tubuh, dan dipakai di bagian luar sekali seperti halnya baju hujan. Jilbab mempunyai beberapa syarat tertentu, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Albani dalam bukunya Hijabul Maratil Muslimah fi Kitabi was Sunnah, yaitu: 1. Menutup seluruh badan selain yang dikecualikan, seperti muka dan dua telapak tangan. 2. Tidak ada hiasan pada pakaian itu sendiri. Kata Imam Adz-Dzahabi dalam bukunya Al-Kabaair, “Di antara perbuatan terkutuk yang sering dilakukan wanita ialah menampakkan perhiasan emas dan permata yang dipakainya di bawah kerudung; memakai harum-haruman kesturi dan ‘anbar bila keluar rumah; memakai pakaian warna-warni, sarung sutera, baju luar yang licin, baju panjang yang berlebih-lebihan panjangnya. Semua itu termasuk jenis pakaian yang dibenci Allah, di dunia dan akhirat. 3. Kain yang tebal dan tidak tembus pandang Diriwayatkan pula, beberapa orang wanita Bani Tamim datang ke rumah Aisyah Radhiyallahu Anha, berpakaian tipis semuanya. Maka berkata Aisyah kepada mereka, “Jika kamu wanita mukmin, tidak begini caranya wanita-wanita Mukmin berbusana. Jika kamu bukan wanita Mukmin, kalian boleh puas dengan busana yang kalian pakai. 4. Lapang dan tidak sempit. Karena pakaian yang sempit dapat memperlihatkan bentuk tubuh seluruhnya atau sebagian. 5. Tidak menyerupai pakaian laki-laki. 6. Tidak menyerupai pakaian orang kafir. Rasulullah Shallahu Alaihi Wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ (رواه الحاكم والطبرانى) “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk mereka”. (Diriwayatkan Hakim dan Thabrani) 7. Pakaian yang tidak menyolok Rasulullah Shallahu Alaihi Wasallam bersabda, مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شَهْرَةٍ فِى الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، ثُمَّ أَلْهَبَ فِيْهِ نَارًا. “Siapa yang memakai pakaian yang menyolok (pakaian kebesaran atau pakaian kemegahan), maka Allah memakaikan pakaian kehinaan kepadanya pada hari kiamat, kemudian dinyalakan api pada pakaiannya itu. b. Bagaimana cara berhijab itu? Allah memerintahkan mukminat supaya berhijab dan berjilbab demi menjaga dan memelihara mereka, tetapi ulama masih berbeda pendapat tentang cara menutup tubuh tersebut. Dalam hal ini ada beberapa pendapat antara lain: 1) Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan dari Ibnu Sirin, bahwa ia berkata: Aku pernah bertanya kepada ‘Abidah as-Salmani tentang ayat “Hendaklah ia mengulurkan jilbabnya”. Lalu ia mengangkat jilbab yang ada padanya kemudian menutupkannya ke tubuhnya, yaitu menutup kepalanya sampai kedua bulu matanya, menutup wajahnya dan memperlihatkan matanya sebelah kiri dari sisi wajahnya sebelah kiri. 2) Ibnu Jarir dan Abu Hayyan meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: jilbab diangkat di atas kening lalu diikat kemudian ditutupkan di atas hidung, meskipun mata tetap terlihat, tetapi dada dan sebagian besar wajah tertutup. 3) As-Suda meriwayatkan tentang cara berhijab dan berjilbab, sebagai berikut: Salah satu mata tertutup, juga wajah dan sisi lain (dari wajah) kecuali mata. Abu Hayyan berkata: Begitulah adapt kebiasaan (berjilbab) di negeri Andalusia (Spanyol), dimana tidak nampak dari seorang perempuan melainkan matanya yang sebelah. 4) Abdurrazzaq dan segolangan ulama meriwayatkan dari Ummu Salamah r.a. bahwa ia berkata: Tatkala turun ayat ”hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya” itu, perempuan-perempuan Anshar keluar, sedang di atas kepala mereka seolah-olah dikerumuni burung gagak, dengan pakaian hitam yang mereka kenakannya. c. Kandungan Hukum - Apakah perintah berjilbab itu untuk seluruh wanita? Zhahir ayat yang mulia tersebut menunjukkan bahwa berjilbab itu diwajibkan atas seluruh wanita yang mukallaf (muslimah, balighah, dan merdeka) karena Allah berfirman: ”Hai nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin.....dst” Sedang perempuan kafir tidak terkena kewajiban ini sebab tidak dibebani melaksanakan syari’at Islam dan kita diperintahkan untuk membiarkan mereka mengikuti agama mereka, juga karena berjilbab itu termasuk beribadah, sebab dengan berjilbab berarti melaksanakan perintah Allah swt, dimana terhadap seorang muslim melaksanakan perintah tersebut sama dengan melaksanakan perintah shalat dan shaum, yakni manakala ditinggalkannya dengan secara menentang maka berarti mengkufuri perintah Allah yang dapat dikategorikan sebagai murtad dari Islam, tetapi kalau ditinggalkannya itu karena semata-mata mengikuti situasi masyarakat yang telah rusak dengan tetap yakin akan wajibnya- maka dianggap sebagai orang yang mendurhakai dan menyalahi perintah Allah yang berfirman dalam Al-Qur'an: وَلاَ تَبَرَّجَنَّ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ (Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti tingkah laku orang jahiliyah) Kemudian wanita non muslim –meskipun tidak diperintahkan berjilbab- tetapi tidak boleh dibiarkan merusak struktur masyarakat (muslim) dengan bertelanjang di hadapan kaum lelaki sebagaimana pemandangan yang lazim kita lihat di zaman kita sekarang ini, karena masih tetap ada kesopanan sosial yang harus dipelihara dan diterapkan untuk seluruh anggota masyarakat, baik yang muslimah atau non muslimah demi tertib sosial. Ini termasuk siasah syar’iyah (policy syara’) yang harus dilaksanakan pemerintah Islam (untuk mengaturnya). Adapun hamba-hamba perempuan maka anda telah mengetahui bagaimana pandangan ulama tentang kedudukannya, dan telah ditampilkan pendapat al-Allamah Abu Hayyan di bagian terdahulu, bahwa perintah menutup tubuh itu umum, meliputi perempuan merdeka dan hamba. Pendapat inilah yang sesuai dengan ruh Islam dalam memelihara kehormatan dan menjaga masyarakat dari kerusakan dan dekadensi moral, sedang usia baligh menjadi syarat bagi seseorang yang dibebani kewajiban-kewajiban agama sebagaimana telah diuraikan. 3. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Islam mensyariatkan pemakaian jilbab dalam upaya menjaga martabat, kesucian dan kehormatan kaum wanita. 2. Kewajiban memakai jilbab hanya bagi wanita-wanita muslimah yang sudah dewasa (telah mulai haid). 3. Islam sengaja tidak menentukan model tertentu dalam berjilbab agar umat lebih bebas dalam berkreasi sehingga tidak membosankan karena yang dipentingkan ialah menutup aurat, bukan model pakaiannya. 4. Berpakaian dengan busana muslimah merupakan wujud dari rasa patuh dan taat kepada perintah Allah. Dengan demikian, pemakaiannya memperoleh pahala dari-Nya selama diiringi dengan niat yang ikhlas. DAFTAR PUSTAKA Ali, A. Mukti (Pem. Red). Ensiklopedia Islam. Jakarta: Dep. Agama RI, Buku 2, 1993. Al-Says, al-Syaikh Muhammad Ali, Tafir Ayat Ahkam, Kuliah Syari’ah, t,th, t.tp Al-Wahidi, Abu al-Hasan ’Ali. Asbab Nuzul al-Qur'an, Tahqiq al-Sayyid Ahmad Shaqr. Dar al-Qiblat, cet. Ke-2, 1984. Al-Zawi, al-Thahir Ahmad. Tartib al-Qamus al-Muhith. Bairut: Dar al-Fikr I, cet. ke-33, t.th. Dep. Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: 1984. Hassan, Riffat. Feminisme Dalam Al-Qur'an. dalam jurnal “Ulumul Qur’an, No. 9, Vol, II, 1991. Hayyan, Abu. Tafsir al-Bahr al-muhith. Dar al-Fikr, VII, cet. Ke-2, 1978. Khallaf, Abd al-Wahhab. Ilm al-Fiqh. Al-Dar al-Kuwaytiyyat, cet. Ke-8, 1968. Majalah Mimbar Ulama. “Pedoman Pakaian Seragam”. N. 158 Th. XV, Maret 1991. Shihab, Quraish. Wawasan Al-Qur'an. Bandung: Mizan, cet. Ke-3, 1996. .