Seri Jejak Perjuangan Dakwah Islam Sunan Ampel 2

Posted in Senin, 19 September 2011
by Unknown



Mengenalkan Nilai-Nilai Islam

Keberadaan Majapahit sebagai sebuah imperium yang mempersatukan seluruh wilayah Nusantara, pada dasarnya tidak lepas dari nilai-nilai yang dianut dewasa itu sebagaimana tercermin pada Sumpah Amukti Palapa yang diucapkan Mahapatih Gajah Mada, yakni nilai-nilai tentang keagungan dan penaklukan, yang akarnya sudah terlihat sejak Prabhu Kertanegara melukai utusan Kaisar Cina yang meminta Singhasari takluk. Leluhur raja-raja Majapahit dari wangsa Rajasa, keturunan Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi (Ken Arok) dengan bangga, misalnya, menggunakan gelar kebesaran Rajasa, yang maknanya terkait dengan sifat rajas (Jawa Kuno: nafsu yang berkobar-kobar tak terkendali).

Nilai-nilai keagungan dan penaklukan yang dianut oleh orang-orang Majapahit itu jika diurai meliputi nilai: adhigana (keunggulan), adhigung (keagungan), adhiguna (superioritas), rajas, niratisaya (tak tertandingi), jaya (kemenangan), dan nirbhaya (tak kenal takut). Dengan nilai-nilai itu, orang-orang Majapahit memang dapat menjadi penguasa atas semua suku bangsa di Nusantara terutama saat dipimpin oleh tokoh-tokoh besar seperti Raden Wijaya, Tribhuwanatunggadewi, Gajah Mada, Hayam Wuruk, dan Wikramawardhana. Namun saat tahta Majapahit diwarisi oleh raja-raja yang lemah, nilai-nilai keagungan dan penaklukan itu menjadi malapetaka. Dalam proses suksesi tahta Majapahit, misalnya, para keturunan raja saling merasa lebih berhak untuk berkuasa. Mereka berhasrat kuat untuk menaklukkan pesaing-pesaingnya yang lain. Dan ujung dari suksesi itu, adalah pecahnya pertempuran antar keluarga yang berlarut-larut yang nyaris membuat penduduk Majapahit habis terbunuh dalam perang. Jatuh bangunnya kekuasaan raja-raja Majapahit setelah Prabhu Kertawijaya, adalah bukti bahwa nilai-nilai keagungan dan penaklukan yang menjadi kebanggaan Majapahit itu akhirnya akhirnya menimbulkan pertumpahan darah berkepanjangan.

Nilai-nilai keagungan dan penaklukan yang dianut orang-orang Majapahit, paling tidak masih dilihat oleh Diogo Do Couto yang datang ke Jawa tahun 1526, yaitu setahun sebelum jatuhnya Majapahit akibat serangan Sunan Kudus. Dalam tulisannya yang berjudul Decadas da Asia, Diogo Do Couto mencatat kesan tentang orang Jawa begini:

“The island of Java is abundantly with every thing necessary to human life; so much so, that from it Malacca, Acheen, and other neighbouring countries, derive their supplies. The natives, who are called Jaos (Javans), are so proud that they thing allmankind their inferiors; so that, if a Javan were passing along the street, and saw native of any other country standing on any hillock or place raised higher than the ground on which he was walking, if such person did not immediately come down until he should have passed, the Javan would kill him, for he will permit no person to stand above him; nor would a Javan carry any weight or burthen on his head, even if they should threaten him with death”.

“(Pulau Jawa melimpah atas segala sesuatu yang terkait dengan kebutuhan hidup manusia. Begitu berlimpahnya, sehingga Malaka, Aceh dan semua negeri tetangga memperoleh pasokan kebutuhan dari situ. Penduduk pribuminya disebut orang Jawa (Jaos); mereka orang-orang yang sombong, selalu memandang orang bukan Jawa lebih rendah. Oleh sebab itu, jika ada orang Jawa melewati sebuah jalan, dan melihat suku lain atau penduduk asal negeri lain berdiri di atas sebuah bukit kecil atau tempat yang lebih tinggi dari pada jalan yang akan dilewati orang Jawa tersebut, dan orang bukan Jawa tersebut tidak segera turun sampai orang Jawa itu lewat, maka orang bukan Jawa itu akan dibunuhnya. Sebab, orang Jawa tidak akan membiarkan siapa pun berdiri lebih tinggi darinya. Bahkan tidak ada satu pun di antara orang Jawa yang sudi menyunggi barang atau beban di atas kepalanya, sekalipun ia diancam dengan hukuman mati)”.

Dengan memahami bagaimana nilai-nilai yang dianut orang-orang Jawa di masa Majapahit, sangat masuk akal jika munculnya kadipaten-kadipaten kecil pasca runtuhnya Majapahit, mengakibatkan pecahnya perang sipil yang berkepanjangan. Kadipaten satu berperang dengan kadipaten yang lain, sehingga jumlah penduduk Pulau Jawa dewasa itu menurun sangat tajam. Bahkan daerah Blambangan yang masih mengikuti nilai-nilai Majapahit hingga abad ke-18, penduduknya nyaris habis akibat dikoyak peperangan yang kejam, sehingga atas kebijakan pemerintah Belanda pada dasawarsa 1840-an kawasan itu diisi oleh orang-orang miskin dari Pulau Madura yang dipekerjakan di berbagai perkebunan (Kumar, 1979).

Keberadaan para penguasa muslim di pesisir, termasuk di dalamnya Sunan Ampel, raja Surabaya, tampaknya tidak bisa dilepaskan dari masuknya nilai-nilai keislaman ke dalam kehidupan penduduk Majapahit. Sebagaimana lazimnya nilai-nilai yang bersumber dari ajaran Islam, nilai-nilai keislaman yang dikembangkan di Majapahit dewasa itu berdiri di atas azas penghormatan dan keseimbangan. Nilai-nilai keislaman yang ditanamkan di kalangan penduduk Majapahit dewasa itu dapat dilihat jejaknya dari istilah-istilah yang dipungut dari Bahasa Arab seperti nilai kesabaran (as-shabar), keikhlasan (ikhlas), kerendah-hatian (tawadlu’), keadilan (‘adl), guyub rukun (ukhuwah), rilo (ridho), kesederhanaan (waro’), nrimo (qona’ah), ngalah (tawakkal), pasrah (lillah), ojo dumeh, dsb.

Boleh jadi, pada masa Sunan Ampel hidup nilai-nilai penghormatan dan keseimbangan yang bersumber dari ajaran Islam itu belum banyak berperanan dalam mengubah nilai-nilai keagungan dan penaklukan di Majapahit. Namun dalam kurun puluhan tahun setelah wafatnya Sunan Ampel, nilai-nilai keislaman itu telah menjadi mainstream dari arus bawah yang kelak dikenal orang dengan nama Kejawen, yang bermakna Kejawaan yaitu tatanan jalan hidup yang dianut masyarakat Jawa yang berdasarkan nilai-nilai penghormatan dan keseimbangan. Mereka yang berhasil dalam mengaplikasikan tatanan jalan hidup Kejawen itu akan dianggap sebagai orang Jawa dan yang gagal dianggap sebagai ‘ora Jawa’ atau ‘belum menjadi Jawa’. Dengan demikian, mereka yang beranggapan bahwa nilai-nilai Kejawen adalah nilai-nilai bid’ah yang merusak ajaran Islam sebenarnya adalah orang-orang picik yang berpikir ahistoris dan mengalami diskontinuitas sejarah.

Sumber tulisan:
Agus Sunyoto, Sunan Ampel Raja Surabaya: Membaca Kembali Dinamika Perjuangan Dakwah Islam di Jawa Abad XIV-XV M., Surabaya: Diantama, 2004.