Di ceritakan oleh: Anggota WLML
Raden Kiyan Santang – putra Prabu Silih-Wangi – terkenal sakti, tanpa tanding.
Raden Kiyan Santang – putra Prabu Silih-Wangi – terkenal sakti, tanpa tanding.
Maka, sebagai ‘lelaki langit lelanang jagat’ ia tak bisa terima kalau ada jagoan lain di muka bumi ini. Ia akan menyantroninya, menantangnya tanding, dan selalu ia memenangkannya.
Arkian, suatu kali didengarnya dari para saudagar Arab, bahwa di jazirah Arab ada pahlawan padang pasir yang terkenal dengan pedang bermata-dua: Dzulfiqor. Namanya terkenal sebagai Sayidina Ali.
Maka, saking penasaran, berangkatlah Raden Kiyan Santang menaiki kapal laut ke negeri Arab. Turun di pelabuhan Jedah, ia berjalan kaki ke Makkah.
Sepanjang perjalanan, ia merasakan gersangnya gurun pasir. Tanpa seorang pun lewat. Untungnya, sebagai pendekar, ia terlatih tempaan keras semacam itu.
Tiba-tiba, dilihatnya seorang tua sedang berjalan sempoyongan sambil bertelekan tongkat. Maka, tegurnya, “Mau ke mana, Kek?”
“Ooh,” jawab orang tua itu, “Mau ke Makkah…”
“Kebetulan, saya juga mau ke Makkah… mau mencari Sayidina Ali… Kakek tahu?”
Orang tua itu tersenyum. Mengiakan. Lalu, mereka berjalan beriringan.
Tiba-tiba, si orang tua merandek. Katanya:
“Ooh, anak muda, tongkatku ketinggalan… maaf, tolong ambilkan…”
Raden Kiyan Santang menengok ke belakang, dilihatnya tongkat orang tua itu tak jauh tertancap di atas pasir.
Ia bersungut-sungut, kalau saja si orang tua tak berbaik mengantarnya ketemu Sayidina Ali, tak sudi ia mengambilkan tongkatnya.
Maka, dengan terpaksa, ia berjalan ke tongkat itu. Tapi, begitu akan diambilnya, tongkat itu tak bergeming!
Dengan penasaran Raden Kiyan Santang berusaha mencabut tongkat itu, tapi tetap tak bisa. Bahkan, ia mencoba merapalkan ajian-ajiannya, tapi tetap saja.
Tongkat itu bagai mengakar ke pasir. Semakin ia kerahkan kekuatannya, tongkat itu semakin bergeming.
Hingga, akhirnya dari tiap lubang pori-porinya keluar darah, dan tenaganya pun terkuras.
Habis sudah semua kesaktiannya.
Dan, tiba-tiba didengarnya si orang tua berkata, “Ah, dasar anak muda, begini saja tak bisa…”
Sambil berkata begitu, si orang tua mencabut tongkatnya dengan mudah. Rapalnya, “Bismillahir-Rahmanir-Rahim…”
Raden Kiyan Santang terkejut, lalu menangis.
Dirasakannya, tubuhnya lemas bagai dicopoti sensi-sendinya.
Ia merasa benar-benar taluk kepada orang tua itu. Akhirnya, tanpa daya dikatakannya, bahwa ia mohon diajarkan ilmu seperti yang dirapalkan orang tua tadi.
“Oho..,” jawab si orang tua sambil tersenyum. “Gampang, asal kau masuk Islam…”
“Islam?” tanyanya penasaran. “Islam itu apa… dan Kakek sebenarnya siapa?”
Si orang tua menjelaskan tentang apa itu Islam. Dan, dijelaskannya pula, bahwa ia sebenarnya adalah Sayidina Ali: orang yang dicari-cari oleh Raden Kiyan Santang.
Raden Kiyan Santang tertegun, jatuh, hilang daya -- tapi bibirnya lirih…
“Bis mil la hir -Rah ma nir -Ra hiiiiiiim…”
0 komentar:
Posting Komentar