... Apakah umat Islam bisa menjadi seorang fanatis dan berpihak?
Tentu saja hal itu sangat mungkin dan kebanyakan mereka menjadi seperti itu dalam waktu serta kondisi yang berbeda. Sampai batas-batas tertentu, kita biasanya menyakiti diri sendiri dan orang lain ketika menyalahgunakan kemampuan berpikir yang kita punya. Tapi kita mampu, dan harus memperbaiki kesalahan-kesalahan serta belajar dari padanya. Dari waktu ke waktu, saya menyaksikan kekuatan pendamai yang diperankan syahadat (La Ilaaa Illa Allah) terhadap umat Islam. Saya melihat berbagai pertikaian politik, budaya, ekonomi dan rasis yang memisahkan mereka. Tapi saya melihat syahadat mampu mengumpulkan mereka bersama-sama seperti saudara seagama. Kejadian berikut terjadi setahun setelah saya masuk Islam;
Di Eropa dan Amerika, masjid dan Islamic Center adalah tempat berkumpul komunitas-komunitas kecil yang begitu banyak dari semua masyarakat dunia Islam. Sering kali satu masjid memiliki anggota yang berasal dari berbagai budaya. Mereka terdiri dari kelompok-kelompok kecil. Tak ada yang mayoritas. Secara khusus, ini terjadi pada berbagai masjid di berbagai universitas Barat yang dipegang oleh para mahasiswa muslim. Komunitas semacam ini, yang memiliki bermacam budaya, sangat potensial untuk menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat yang bisa dengan mudah mengarah pada perdebatan keras dan pengelompokan-pengelompokan dalam masyarakat.
Seperti pertengkaran yang terjadi pada suatu malam di masjid San Fransisco. Saya tak ingat betul apa yang menyebabkan pertengkaran ini. Sepertinya berhubungan dengan selebaran-selebaran anti Syiah yang tertinggal di masjid. Ini terjadi saat memuncaknya perang Iraq-Iran. Kedua belah pihak dan para sekutunya banyak melakukan propaganda-propaganda politik-keagamaan. Saya ingat betul bagaimana kondisi saat itu begitu memanas.
Para mahasiswa Saudi menyatakan anti Kuwait dan Iran. Mahasiswa Pakistan bersekutu dengan Saudi. Amerika putih membela Iran dan mahasiswa Afro-Amerika melawan mahasiswa Amerika kulit putih. Mahasiswa-mahasiswa Afrika Timur dan Palestina sepertinya menyalahkan sebagian mereka dan semua orang. Mahasiswa Malaysia ketakutan. Bermacam kata-kata buruh, rendah, rasis dan privasi saling keluar.
"Kalian Syiah, orang-orang kafir!!"
"Kalian orang-orang Saudi menyembah raja!!"
"Apa yang diketahui orang Amerika perihal Islam?!"
"Masyarakat kami telah beragama Islam jauh sebelum kalian, anak-anak kecil kulit putih!!"
"Kalian bangga mengikuti haji Muhammad!!"
"Palestina harus memperoleh apa yang menjadi haknya!!"
Wajah-wajah memerah karena marah. Teriakan-teriakan itu telah berubah menjadi ancaman. Mahasiswa-mahasiswa Amerika telah mengepalkan tinju dan menggerakkan lengannya. Siap memulai peperangan!
Tentu saja hal ini akan menjadi akhir dari komunitas kami.
Dari salah satu pojok ruangan terdengan teriakan lemah;
"La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah."
Itu adalah suara Ilyas yang selalu diam, mahasiswa kurus pendek dari Indonesia. Ia tak pernah mengucapkan sepatah kata pun Ruangan menjadi tenang.
"Apa yang dikatakannya?!" Orang-orang saling bertanya.
Sekali lagi Ilyas berteriak sekuat yang ia bisa;
"La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah"
"Katakan!," teriak Ilyas lantang. "Katakan!!"
Kebanyakan mengucapkannya dengan bergumam.
"Apa yang diinginkannya?!" Salah satu dari mereka bertanya.
"Katakan, sementara kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan itu," teriak Ilyas.
Mungkin karena ia mengucapkannya dengan begitu semangat dan berwibawa, serta karena sebab-sebab tertentu, kami sekarang merasa harus menuruti kata salah satu anggota kami yang pendiam, yang tak menonjol dalam masjid kami. Suara kami meninggi bersama-sama. Dipimpin Ilyas.
"La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah."
Anda bisa merasakan hilangnya kebencian dan marah. Semua pandang tertuju pada Ilyas. Wajah-wajah mereka terasa kaku. Sebagian tampak sedih, sebagian lagi tampak menyesal dan sebagian lagi tampak emosi. Semuanya membutuhkan arahan dari Ilyas sekarang ini.
"Ulangi," kata Ulyas. "Ulangi sekali lagi."
Kali ini suara kami meninggi dan menggema.
"La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah."
Kemudian dengan dipimpin Ilyas, kami meneriakkannya sekali lagi
"La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah."
Ilyas berhenti. Sepintas, ia membenarkan posisinya sementara air mata memenuhi kedua matanya. Ia melihat kami seperti pandangan seorang anak kepada kedua orang tuanya agar menghentikan pertengkaran.
"Inilah yang segalanya, wahai saudaraku." Ilyas memohon dengan sungguh-sungguh pada kami dengan suara serak. "Inilah yang mengikat dan mempertemukan kita semua."
Saat itu, semuanya nampak saling mendekat dengan pelan, tampak perasaan bersalah begitu kentara dalam wajah-wajah mereka. Apa yang tadinya hampir menjadi sebuah tontonan dari neraka, sekarang menjadi salaman tangan, pelukan persaudaraan, dan permintaan-permintaan maaf persahabatan.
Pada hari berikutnya, masjid kembali seperti biasa. Tak pernah ada seorang pun yang membicarakan pertengkaran ini lagi.
Tentu saja hal itu sangat mungkin dan kebanyakan mereka menjadi seperti itu dalam waktu serta kondisi yang berbeda. Sampai batas-batas tertentu, kita biasanya menyakiti diri sendiri dan orang lain ketika menyalahgunakan kemampuan berpikir yang kita punya. Tapi kita mampu, dan harus memperbaiki kesalahan-kesalahan serta belajar dari padanya. Dari waktu ke waktu, saya menyaksikan kekuatan pendamai yang diperankan syahadat (La Ilaaa Illa Allah) terhadap umat Islam. Saya melihat berbagai pertikaian politik, budaya, ekonomi dan rasis yang memisahkan mereka. Tapi saya melihat syahadat mampu mengumpulkan mereka bersama-sama seperti saudara seagama. Kejadian berikut terjadi setahun setelah saya masuk Islam;
Di Eropa dan Amerika, masjid dan Islamic Center adalah tempat berkumpul komunitas-komunitas kecil yang begitu banyak dari semua masyarakat dunia Islam. Sering kali satu masjid memiliki anggota yang berasal dari berbagai budaya. Mereka terdiri dari kelompok-kelompok kecil. Tak ada yang mayoritas. Secara khusus, ini terjadi pada berbagai masjid di berbagai universitas Barat yang dipegang oleh para mahasiswa muslim. Komunitas semacam ini, yang memiliki bermacam budaya, sangat potensial untuk menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat yang bisa dengan mudah mengarah pada perdebatan keras dan pengelompokan-pengelompokan dalam masyarakat.
Seperti pertengkaran yang terjadi pada suatu malam di masjid San Fransisco. Saya tak ingat betul apa yang menyebabkan pertengkaran ini. Sepertinya berhubungan dengan selebaran-selebaran anti Syiah yang tertinggal di masjid. Ini terjadi saat memuncaknya perang Iraq-Iran. Kedua belah pihak dan para sekutunya banyak melakukan propaganda-propaganda politik-keagamaan. Saya ingat betul bagaimana kondisi saat itu begitu memanas.
Para mahasiswa Saudi menyatakan anti Kuwait dan Iran. Mahasiswa Pakistan bersekutu dengan Saudi. Amerika putih membela Iran dan mahasiswa Afro-Amerika melawan mahasiswa Amerika kulit putih. Mahasiswa-mahasiswa Afrika Timur dan Palestina sepertinya menyalahkan sebagian mereka dan semua orang. Mahasiswa Malaysia ketakutan. Bermacam kata-kata buruh, rendah, rasis dan privasi saling keluar.
"Kalian Syiah, orang-orang kafir!!"
"Kalian orang-orang Saudi menyembah raja!!"
"Apa yang diketahui orang Amerika perihal Islam?!"
"Masyarakat kami telah beragama Islam jauh sebelum kalian, anak-anak kecil kulit putih!!"
"Kalian bangga mengikuti haji Muhammad!!"
"Palestina harus memperoleh apa yang menjadi haknya!!"
Wajah-wajah memerah karena marah. Teriakan-teriakan itu telah berubah menjadi ancaman. Mahasiswa-mahasiswa Amerika telah mengepalkan tinju dan menggerakkan lengannya. Siap memulai peperangan!
Tentu saja hal ini akan menjadi akhir dari komunitas kami.
Dari salah satu pojok ruangan terdengan teriakan lemah;
"La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah."
Itu adalah suara Ilyas yang selalu diam, mahasiswa kurus pendek dari Indonesia. Ia tak pernah mengucapkan sepatah kata pun Ruangan menjadi tenang.
"Apa yang dikatakannya?!" Orang-orang saling bertanya.
Sekali lagi Ilyas berteriak sekuat yang ia bisa;
"La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah"
"Katakan!," teriak Ilyas lantang. "Katakan!!"
Kebanyakan mengucapkannya dengan bergumam.
"Apa yang diinginkannya?!" Salah satu dari mereka bertanya.
"Katakan, sementara kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan itu," teriak Ilyas.
Mungkin karena ia mengucapkannya dengan begitu semangat dan berwibawa, serta karena sebab-sebab tertentu, kami sekarang merasa harus menuruti kata salah satu anggota kami yang pendiam, yang tak menonjol dalam masjid kami. Suara kami meninggi bersama-sama. Dipimpin Ilyas.
"La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah."
Anda bisa merasakan hilangnya kebencian dan marah. Semua pandang tertuju pada Ilyas. Wajah-wajah mereka terasa kaku. Sebagian tampak sedih, sebagian lagi tampak menyesal dan sebagian lagi tampak emosi. Semuanya membutuhkan arahan dari Ilyas sekarang ini.
"Ulangi," kata Ulyas. "Ulangi sekali lagi."
Kali ini suara kami meninggi dan menggema.
"La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah."
Kemudian dengan dipimpin Ilyas, kami meneriakkannya sekali lagi
"La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah."
Ilyas berhenti. Sepintas, ia membenarkan posisinya sementara air mata memenuhi kedua matanya. Ia melihat kami seperti pandangan seorang anak kepada kedua orang tuanya agar menghentikan pertengkaran.
"Inilah yang segalanya, wahai saudaraku." Ilyas memohon dengan sungguh-sungguh pada kami dengan suara serak. "Inilah yang mengikat dan mempertemukan kita semua."
Saat itu, semuanya nampak saling mendekat dengan pelan, tampak perasaan bersalah begitu kentara dalam wajah-wajah mereka. Apa yang tadinya hampir menjadi sebuah tontonan dari neraka, sekarang menjadi salaman tangan, pelukan persaudaraan, dan permintaan-permintaan maaf persahabatan.
Pada hari berikutnya, masjid kembali seperti biasa. Tak pernah ada seorang pun yang membicarakan pertengkaran ini lagi.
0 komentar:
Posting Komentar