Ingat dengan pelajaran yang diberikan kepala sekolah MANU yang pertama, Almukarrom Almaghfurlah KH. Fuad Hasyim (semoga Allah menaburi beliau dengan segala harum-haruman kebaikan). Kala itu beliau membahas kalimat “Kullu bid’atin dlolalah wa kullu dlolalatin fin-naar”, setiap bid’ah itu kesesatan dan setiap kesesatan di neraka.
Kata beliau, kata “setiap” disini tidak berarti bahwa semua yang baru (bid’ah) itu kesesatan. Waktu itu beliau menyebutkan berbagai dalil yang membuat kalimat yang umum ini menjadi bermakna terbatas. Karena itu banyak para pendahulu dari kalangan ulama yang membagi bid’ah ini kepada yang baik dan yang buruk. Apalagi Khalifah Umar ra lebih eksplisit menyatakan “Ni’mal bid’ah haadizhii” dalam Sahih Bukhori. Kalimat ini bermakna bahwa “sebaik-baik bid’ah itu (ya) ini”. Maksudnya solat tarawih berjamaah dibelakang satu imam dengan rokaat yang ditentukan yaitu 21 rokaat. Jadi jelas tidak semua bid’ah buruk. Penulis senang menakwilkan perkataan Khalifah ini dengan: banyak bid’ah yang baik, dan diantaranya satu yang terbaik menurut beliau yaitu salat tarawih yang beliau tentukan cara dan polanya.
Menarik sekali, pelajaran ini. Direnung-renung, bahasa Arab ini mempunyai karakter sendiri yang khas. Dan anehnya, orang Arab sendiri mungkin tidak sadar dengan karakter bahasanya ini. Dalam bahasa Arab ada cara untuk menyatakan “seratus persen bulat-bulat” dan “tidak bulat-bulat seratus persen”. Hanya saja, pada zaman kanjeng Nabi –sollallaahu ‘alaihi wa aalihi wasallam– ungkapan seratus persen belum dikenal. Bilangan seratus persen dikenal baru pada masa keemasan Dinasti Abbasiyah di Bagdad.
Kalau kita perhatikan dari kalimat-kalimat bahasa Arab, ada dua cara mengungkapkan yang “bulat-bulat seratus persen“, yaitu dengan susunan “tidak – kecuali” atau “setiap – kecuali” dan “hanyalah – adalah”. Contoh untuk model pertama: Laa ilaaha illaa Allah, tidak ada tuhan kecuali Allah. Maknanya bahwa bulat-bulat seratus persen bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah. Sebaliknya, bulat-bulat seratus persen bahwa selain Allah bukanlah tuhan. Contoh untuk model kedua: innamal a’maalu binniyyat; terjemah kakunya: hanyalah amal-amal itu adalah dengan niyat-niyatnya. Maknanya, bahwa identitas amal itu bulat-bulat seratus persen ditentukan oleh niyatnya.
Mungkin sebagian orang tidak mudah menerima konsep ini. Karena bagaimanapun konsep ini dapat berimbas kepada pemahaman yang ada. Misalnya, orang percaya bahwa setiap orang akan mati, dalilnya: “kullu nafsin dzaiqotul maut” bahwa setiap orang akan mati. Begitu terjemahan bebas yang sering diterima banyak orang. Bila konsep di atas diterima, berarti tidak seratus persen orang itu akan mati, donk? Begitu tanda-tanya dalam diri sebagian orang.
Sebetulnya begitulah resiko sebuah pengetahuan. Pengetahuan dapat berimbas kepada pemahaman yang pernah mapan. Tidak jarang, pengetahuan yang baru dapat berakibat kepada koreksi sebuah kepercayaan. Bahkan, seseorang bisa mengoreksi pemahaman dirinya dalam beragama? Oh, iya donk. Inilah gunanya ilmu. Kalau ilmu bukan untuk memperbaiki, lalu untuk apa menuntut ilmu. Namun, tunggu dulu. Ada satu prinsip yang perlu dipegang dalam mengoreksi kepercayaan dengan ilmu. Yaitu, pegang dulu kepercayaan yang lama sewaktu kita memperbaiki kepercayaan dengan yang baru, sampai benar-benar diperoleh kenyataan tanpa fatamorgana bahwa yang baru itu benar-benar kebenaran yang tertinggi dan hakiki.
Kalau masih remang-remang; Kalau masih terselimuti oleh halimun fatamorgana; Jangan dulu lepaskan kepercayaan yang awal. Kalau kita lepaskan kepercayaan yang awal, padahal kita dalam selimut fatamorgana, kita akan menjadi bagai layang-layang yang putus. Melayang terbang tak tentu arah menurut saja kepada angin kemana menghempaskan. Ini bahaya bagi harga diri, bagi akhir penghidupan dan juga menandakan tidak memahami makna berilmu.
Mengenai kullu nafsin dzaiqotul maut, sebetulnya terjemahan bebas itu yang tidak pas. Terjemahannya bukan mengatakan bahwa setiap orang itu akan mati. Tetapi: setiap orang itu pencicip kematian. Atau: setiap orang itu akan mencicip kematian. Penekanan makna disini terletak pada kata cicip. Terserah, mau yang mencicip atau pencicip. Kalau soal cicip-mencicip, penekanannya pada rasa atau pengalaman, bukan esensi kewujudan. Misal makan sambal. Mencicip sambal itu hanya memberi pengalaman rasa pedas. Namanya pengalaman, ya wujudnya tidak njlenggenek seperti batu atau sejenisnya.
Makna dari kalimat yang memuat kata “setiap” disini menunjukkan bahwa tidak seratus persen orang itu bakal mencicipi kematian. Apa begitu? Iya, donk. Ada dua keadaan seseorang itu tidak akan merasakan rasa kematian. Pertama orang meninggal dalam keadaan tidur. Tidak ada sakarotul maut bagi orang yang meninggal dunia sedang tidur. Bukankah sebagian orang tidur itu digambarkan sebagai orang dengan ruh yang sedang jalan-jalan? Nah, kalau ruhnya tidak dikembalikan oleh Allah kepada jasad yang tidur itu, maka jadilah orang tidur itu tak akan bangkit kembali sebagai orang yang bangun dari tidur. Kedua orang yang hilang rasa seperti saat mengalami kecelakaan. Penulis pernah terjatuh dari motor karena ditabrak dari arah yang berlawanan. Segala puji bagi Allah yang telah memberi hamba pelajaran yang berharga.
Kata orang yang melihat, saya terlempar sejauh sepuluh meter dengan keadaan yang mengenaskan. Tapi, rupanya Allah telah mengambil rasa sebelum badan terbanting di atas jalan aspal. Sehingga tak ada rasa sakit sedikitpun sampai baru tersadar pada saat akan dijahit oleh perawat.
Bisa dibayangkan, seandainya terbangun pada saat sudah didalam kubur, maka tidak ada lagi rasa mencicip rasa kematian. Dari pengalaman ini, orang yang terjatuh dari jurang sebab kecelakaan, bisa dibayangkan mungkin saja sudah dicabut rasa atau pingsan sebelum badannya dilumatkan oleh batu yang menyambutnya dibawah. Wallaahu a’lam.
Dari pemahaman seperti ini terhadap kullu nafsin dzaiqotul maut dapat merubah kepercayaan. Misalnya ada orang yang percaya bahwa kalau orang sudah mati tidak dapat mendengar seruan orang hidup. Coba perhatikan, bahwa pemahaman ini muncul dari anggapan bahwa orang mati itu sebagai wujud njlenggenek dari makhluk hidup berpindah menjadi benda mati seperti batu. Dia sangka, bahwa kematian itu sebuah peristiwa bergantinya keadaan zat dari makhluk hidup kepada benda mati.
Kalau dianggap seperti itu, memang benar bahwa benda mati itu tidak dapat merasa dan mendengar. Tapi kita harus ingat, bahwa kematian bukanlah esensi kewujudan, melainkan peristiwa pengalaman. Jadi, tidak ada transformasi pergantian benda hidup ke benda mati itu. Karena tidak ada transformasi, maka potensinya tetap dipertahankan utuh. Kalau semula mendengar, ya setelah mengalami kematian mendengar juga. Karena ruh manusia tidak bertransformasi sama sekali. Bahkan orang bukan beragama Islam yang meninggal dunia sekalipun, potensi yang dimiliki ruhnya masih utuh. Bagi yang menginginkan dalil-dalil tetang kemampuan mendengarnya ini, silahkan rujuk ke buntetpesantren.org mengenai pertanyaan orang kepada team tentang haul dan tahlil.
Kalau begitu maknanya, apa donk dalil yang tepat bahwa semua orang itu pasti mati? Ha,ha, maksa amat dengan paham itu. Tidak ada dalil untuk paham begitu, ada juga yang mengatakan bahwa: setiap sesuatu itu (akan) hancur kecuali dzat Allah “Kullu syai-in haalikun illaa wajhaah”dan “Kullu man ‘alaihaa faan, wa yabqoo wajhu robbika dzul jalaali wal ikroom”.
Mengenai contoh “semua” tidak berarti seratus persen. Dalam Alquran disebutkan bahwa “innallaaha yaghfirudz-dzunuuba jamiian”, sesungguhnya Allah itu mengampuni dosa semuanya (QS 39:53). Maknanya, tidak seratus persen dosa dapat diampuni Allah. Apa yang tidak diampuni Allah? Yaitu dosa-dosa apapun sebab pemiliknya masih dalam kekufuran dan kesyirikan. Dosa kufur dan dosa syirik dapat diampuni Allah ketika orang tersebut sudah menyesali perbuatannya, artinya sudah melepaskan perbuatan syirik dan kufur.
Tetapi dosa mencibir tidak diampuni kalau yang minta ampun masih dalam kesyirikan atau kekufuran. Dalam kesempatan lain, ayat (QS 4:48) yang sering disalah-pahami orang sebagai dalil bahwa dosa syirik tidak diampuni perlu dibahas. Tapi sebaiknya dibahas saja oleh musyawarah santri MANU sebagai PR. Disini diberi saja kalimat kuncinya: cermati setiap amil yang ada. Hasilnya sangat mengejutkan. Berbeda dengan terjemahan dan keterangan Tafsir Alquran dari Departemen Agama. Cobalah.
Dalam (QS 32:13) disebutkan juga bahwa “la-amla-anna jahannama minal jinnati wan-naasi ajma-iina”, terjemahnya: sungguh benar-benar Aku penuhi jahannam dari bangsa Jin dan Manusia semuanya. Diam-diam santri bertanya-tanya, kalau begitu surga kosong donk, kalau semuanya ke jahannam? Itulah makanya, makna semuanya itu berarti tidak seratus persen. Moga-moga aja kebanyakannya dimasukkan Allah ke surga. Sebab Allah itu maha pengasih dan penyayang. Kan, begitu wara-wara Allah pada pembukaan Alquran dengan pernyataan yang monumental “Bismillaahir-rohmaanir-rohiim“. Bobot ayat bismillaah ini mesti didahulukan atas ayat-ayat yang lain. Karena Allah sendiri yang menempatkannya didepan.
Ujian berat bagi pelajar ilmu adalah ketika memaknai “wa alaa aalihii wa sohbihii ajmaiin“ setelah doa solawat kepada Nabi saaw. Semoga solawat dan salam juga diberikan bagi keluarganya dan sahabatnya semuanya. Dengan konsep ini kita akan memahami bahwa tidak seratus persen sahabat akan menerima limpahan karunia dengan sama. Ujian berat juga pada saat memahami “kullus-sohaabati uduul“, setiap sahabat itu adil. Ujian berat ini dapat menjerumuskan kita menjadi pengikut para pembenci sebagian sahabat. Bagaimanakah ini?
Kita dituntut adil dalam berpengetahuan. Tidak boleh menyembunyikan ilmu pada satu, tapi membeberkan pada yang lain yang enak buat sendiri. Ini tidak adil. Bagaimanapun ilmu itu untuk membuka misteri. Tapi, sebagaimana sudah disebutkan di depan, bahwa ketika kita melihat misteri, kepercayaan awal jangan dilepaskan, selama kita belum sampai kepada hakikat yang buram ini.
Sambil memegang kepercayaan awal, kita coba menguak-kuak misteri. Seperti kita di tepi sungai, sementara tangan satu berpegangan pada pohon atau akar, tangan yang lain memegang tongkat mengais-kais sesuatu di sungai. Pegangan ke pohon ini diperlukan agar kita tidak terjatuh ke sungai. Selama kita belum siap terjun ke sungai, mengapa perlu terjun? Persiapkan dulu segalanya dan pertimbangkan dulu untung dan ruginya. Kalau ternyata tidak perlu, tak usah terjun. Cukup sambil memegang pohon, tangan yang lain coba menepiskan misteri dengan tongkat.
Allah yang maha suci tidak malu dan tidak ragu-ragu untuk menyatakan bahwa para nabi dan rasul itu tidak sama dalam derajat kemuliaan. Meski kita tidak boleh membeda-bedakan dalam keimanan, tetapi tetap saja, derajat para nabi dan rasul itu berbeda-beda. Begitu Almaghfurlah KH Fuad Hasyim ketika menjelaskan “laa nufarriqu baina ahadin-min-rusulih“. Tidak boleh kita iman “sangat“ kepada Nabi Muhammad, tetapi iman “agak“ kepada Nabi Isa as, misalnya. Tetapi kita tetap percaya bahwa Nabi Muhammad adalah nabi dan rasul yang paling mulia dari sekalian para nabi dan rasul yang lain. Nah jelas kan, bagaimana cara memisahkan antara keimanan yang diberikan oleh kita kepada mereka dan derajat kemulian yang diberikan Allah kepada mereka?!
Begitu juga sahabat yang satu dengan yang lain. Kemuliaan satu dengan yang lain pasti berbeda, donk. Kemuliaan mereka yang meyakinkan adalah dari kalangan muhajirin, anshor dan para ahli baiatur-ridwan beserta para pengikut mereka yang baik-baik. Karena kemuliaan derajat mereka berbeda-beda, tentu volume kran pipa yang dibuka Allah untuk mengucurkan rahmat dari salawat juga bisa memberi debit yang berbeda-beda. Misalnya, kepada muhajirin dan anshar beserta para pengikutnya, kran rahmat dibuka pol, tetapi mungkin kran dibuka sedikit saja kepada yang baru mengikut Nabi pada waktu belakangan dengan keimanan yang kurang mantap. Wallaahu a’lam.
Jangan protes, inikan terserah Allah. Masak kita maksa bahwa Allah harus membuka kran penuh untuk semuanya. Yang tidak boleh itu adalah, kita menuduh: ah sahabat bernama Polan harus tidak mendapat rahmat. Lho, kok kita mengambil posisi tuhan. Perbuatan ini sama dengan merusak kalimat laa ilaaha illallaah. Yakni kalimat yang menentukan kita tetap bertahan pada posisi hamba, jangan pernah duduk pada posisi tuhan. Kewajiban kita terhadap sesama mukmin adalah saling mendoakan, termasuk kepada para sahabat. Ini saja yang kita jalani. Tak perlu mengatur Allah harus begini dan begitu. Itu satu. Keduanya, kewajiban kita ini tidak boleh mencaci sesama mukmin, apalagi para pendahulu. Jadi, pisahkan antara kewajiban kita terhadap sesama mukmin dengan derajat dia yang diberikan Allah. Jangan sekali-sekali kita mengambil urusan Allah.
Kini mencoba memasuki ujian yang berat berikutnya, kullus-sohaabah uduul, setiap sahabat itu adil. Berdasarkan konsep pemahaman diatas, berarti tidak seratus persen para sahabat itu adil. Mari kita artikan kata “adil“ disini dengan “yang diterima beritanya“. Karena dalam istilah periwayatan, kata adil ini menyangkut bisakah atau tidak berita seseorang itu diterima. Artinya, tidak seratus persen para sahabat itu bisa diterima beritanya. Yakni, ada yang pantas dipercaya beritanya seratus persen, ada juga yang beritanya perlu dipertimbangkan kembali. Seperti dengan dikonfirmasi dengan berita-berita dari sahabat yang lain, dipikirkan kembali apakah sesuai dengan prinsip kebenaran dasar dalam Islam yang ada dalam Alquran dan yang mutawatir.
Seyogyanya, bagi para pelajar ilmu, paragraf di atas tidak masalah. Karena para pelajar sudah terbiasa menerima berita dari para ilmuwan siapapun. Apakah dia dari kalangan mukmin ataupun diluar mukmin. Sejak duduk di tsanawiyah, pelajar sudah terbiasa menerima Hukum Newton. Kalau kata kriteria Musthalah Hadits, Newton itu tidaklah masuk kriteria adil, alias tidak dapat diterima beritanya. Tetapi, karena hukumnya diterima oleh pembuktian-pembuktian, maka pemikiran Newton dijadikan hukum dasar. Maka disebutlah Hukum Newton. Lebih buruk adalah sikap kita terhadap berita-berita dari koran, internet dan selebaran. Entah siapa pemberitanya kita tidak kenal, tetapi kita terima apa adanya. Bahaya, ini.
Dalam pengetahuan, kemampuan orang menerima berita dan menyampaikannya berbeda-beda. Tentu saja, begitu juga sahabat. Tidak semua sahabat itu sederajat kecerdasannya. Jadi wajarlah, kalau pelajar dituntut hati-hati dalam menerima berita. Khususnya dalam segi pemaknaan. Jangankan berita yang bersumber dari perseorangan (berita ahad), berita dari Alquran saja yang sudah benar-benar huruf per hurufnya dari zaman ke zaman sama, orang bisa terpeleset dalam memahami.
Dalam menerima berita dari Nabi saaw, sebagian sahabat ada yang memberitakannya dengan bahasa buatannya sendiri. Disebutnya sebagai meriwayatkan berita dengan makna. Ada yang menerimanya tidak langsung dari Nabi, tetapi dari sahabat yang lain. Nah, hati-hati. Dari Nabi langsung saja, ada yang memberitakan ucapannya dengan makna. Bentuknya bisa berubah huruf, berubah amil, berubah harokat seperti yang tadinya mabni ma’lum menjadi mabni majhul, dan lain-lain. Bagaimana jadinya kalau tidak menerima dari Nabi langsung, tetapi dari pihak kedua? Boleh jadi mengalami modifikasi dua kali, tiga kali atau empat kali, sesuai berapa rantai pemberita di kalangan sahabat yang telah dilewati oleh sebuah berita setelah meluncur dari ucapan Nabi.
Kalau ada hadits bermakna “...dari sahabat A. Nabi bersabda..”. Hadits bentuk seperti ini boleh jadi sahabat A mendengarnya dari sahabat B, B nya dari C, baru C nya mendengar dari Nabi. Kita tidak pernah mendapat pemberitaan bagaimana persisnya rantai periwayatan di level para sahabat dari sahabat yang mendengar langsung dari Nabi. Nah, dalam hal ini, kita sering ceroboh dan tidak waspada. Jadi, belajar hadits itu tidak mudah. Siapa yang memandangnya remeh maka akan terjerumus kedalam keonaran. Keonaran demi keonaran yang terjadi sejak dahulu, diantaranya akibat tidak hati-hati dalam menerima berita. Apalagi ditambah dengan bumbu keangkuhan. Inilah sebab perpecahan.
Yah, karena begitu sulit, sebaiknya kita mengambil makna-makna hadits dari para imam madzhab saja, khususnya untuk yang sudah jelas ada. Meski madzhab berbeda-beda dalam pemaknaan, kita mesti memegang akhlak untuk tidak mencela pemaknaan yang berbeda dari madzhab yang lain. Karena kita sudah dapat membayangkan dan sadar, bahwa begitulah keadaan periwayatan hadits sebagaimana diuraikan di atas, memang sulit ceritanya juga. Pantas saja kalau makna-makna yang diberikan madzhab-madzhab pun berbeda-beda.
Tetapi syukurlah, pondasi dasar Islam tidak ada yang berbeda, meski pada madzhab yang berbeda-beda. Karena bersumberkan pada Alquran dan yang mutawatir saja. Yang mutawatir itu tidak hanya beritanya saja, tetapi juga pemaknaan dan amalan-amalan yang ditimbulkan juga harus mutawatir. Inilah yang diambil sebagai pondasi Islam. Mutawatir itu maksudnya proses yang melibatkan banyak orang dari banyak tempat dalam keadaan yang mustahil untuk mereka bersekongkol. Syarat yang sangat kuat dan mantap untuk menjadi dasar atau pondasi Islam.
Kini, ketika orang menghadapi hal-hal yang baru yang tidak dikenal oleh madzhab-madzhab sebelumnya, bahtsul masaa-il dituntut untuk membuat hujjah yang baru. Pada saat ini, kehati-hatian orang dituntut untuk mencermati hadits-hadits ahad, bahkan makna-makna dari yang mutawatir sekalipun sangat perlu. Tetapi jangan salah kaprah seperti kebiasaan perbuatan kita hari ini: Yang sudah ada diributkan; Yang belum ada dibiarkan. Ribut dengan perbedaan yang sudah ada menyusahkan orang. Membiarkan yang diperlukan tetapi belum dikenal juga menyusahkan orang. Kedua-duanya berakibat menelantarkan umat dalam kemiskinan dan kemunduran.
Selamat belajar yang baik, wahai para santri. Semoga dapat menempatkan diri masing-masing dengan sebaik-baiknya. Sehingga kemaujudan diri menjadi berkah Allah bagi umat. Aamiin.
0 komentar:
Posting Komentar