Bertaubat dan Menghidupkan Ruhani

Posted in Minggu, 03 Juli 2011
by Unknown

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksiaan terhadap ruh mereka: "Bukankah Aku Tuhan mu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan Kami). Kami menyaksikan.”

(Q.S. Al-A’raaf:172)



Kehidupan manusia berawal dari ditiupkannya ruh ke dalam jasad. Dan seperti itu pula kematiannya, yaitu ketika ruh tercerabut dari raganya. Tubuh tanpa ruh disebut jasad yang mati: tidak sadar atau tidak hidup. Maka, kesadaran merupakan bagian dari kehidupan. Jika kehidupan disebabkan oleh adanya ruh dalam tubuh, maka kesadaran pun menjadi sifat dari ruh. Hamba yang memelihara ruhaninya, kesadarannya senantiasa terjaga baik. Dan ruh yang menghidupkan raga tersebut tidak lain adalah sebagian dari Ruh milik Allah: Ruh Allah.

Karena milik Allah, maka ia selalu me-“rindu”-kan-Nya serta harus dipelihara dan dijaga dengan baik. Sayangnya, ruh terperangkap dalam jasad yang membutuhkan materi. Oleh sebab itu, hampir setiap saat ruh selalu berjuang untuk mendapatkan “perhatian” manusia yang justru lebih tertarik mencari hal-hal yang bersifat ragawi. Di sinilah titik tolak berpalingnya manusia dari “janji” yang sudah diikrarkan oleh ruhnya di hadapan Allah sebagaimana firman di atas. Dan lambat laun, daya tarik duniawi semakin menjauhkan manusia dari memenuhi kebutuhan ruhaniahnya. Ruh Allah dalam dirinya pun tidak lagi terawat dan terpelihara dan tidak memperoleh “makanan” yang cukup. Ia pun menjadi kering dan layu, merana karena “rindunya” tidak terobati.

Padahal, sesuai fitrahnya, fisik akan mengalami kemunduran dan berarti bahwa tuntutan kebutuhan biologisnya pun mengalami penurunan secara pasti. Pada saat itulah kekeringan ruhani mulai terasa oleh manusia. Pada saat itu pula manusia mulai merasakan kegelisahan dan kegalauan hati: jiwanya tidak tenang dan tenteram.

Sebenarnya ruhani tidak berdiam diri ketika ia diabaikan. Nurani (suara dalam lubuk hati) telah sering mengingatkannya. Ketika pikiran mulai tenang setelah bebas dari kesibukan sehari-hari, ada ketukan dalam hati yang mengajak untuk merenung dan membincangkan segala yang telah dilakukan. Itulah suara nurani yang boleh jadi merupakan jeritan ruhani yang terabaikan.

Jeritan ruhani bagaikan suara rintihan di tengah riuhnya hiruk-pikuk terminal yang padat—kendaraan hilir mudik dan orang-orang lalu-lalang berjejalan sibuk dengan urusan sendiri. Bising derum knalpot dan lengking klakson menyatu dengan suara-suara orang berbicara dan berteriak. Asap dan debu menyesaki paru-paru. Sementara itu, dari sudut sempit terminal suara merintih mengiba hati berjuang mencari perhatian. Namun, keriuhan hiruk-pikuk terminal menelan suaranya. Udara debu bercampur asap bersekutu menyembunyikannya dari pandangan, tak seorang pun menghiraukannya. Selang beberapa waktu, tatkala lalu-lalang kendaraan telah berkurang dan kegaduhan mulai menyepi, rintihan itu mulai terdengar, semakin jelas ketika suara mengganggu telah benar-benar senyap. Namun, apakah pemilik suara rintihan—setelah sekian lama menanti dengan putus asa karena terabaikan—itu masih terolong jiwanya?

Demikian pula yang terjadi atas Fir’aun, Sang Penguasa sombong yang menuhankan dirinya. Teriakan ruhaninya baru didengarnya ketika seluruh sarafnya telah menjerit sekarat digulung ombak raksasa Laut Merah yang menggemuruh hendak menelan dan membenamkannya. Air laut telah memenuhi rongga dadanya bersamaan dengan ruhnya yang akan meninggalkan jasadnya.

Sirna sudah kesombongan Sang Raja Diraja. Suaranya tercekat mengakui kedurhakaannya:

“…..Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)."
 
Namun sayang, pengakuannya sudah terlambat. Maka Allah menghardiknya:

“Apakah sekarang (baru kamu percaya) padahal sesungguh nya kamu telah durhaka sejak dahulu dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kesalahan." (Q.S. Yunus 10:90-91)

Laut tak peduli, menelan tubuhnya, tenggelam beserta dosa-dosanya.


--------o0o-------

Semoga segala penyesalan belum terlambat. Dan, sebenarnya, belumlah terlambat sepanjang nafas belum sampai tenggorokan (sakratul maut).

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kamu kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhanmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu.”

(QS Al-Tahrim:8)

Jika betul-betul memerhatikan suara bisikan itu, akan muncul kesedihan dan penyesalan hati atas perjalanan yang telah ditempuh. Itulah suara fitrah manusia yang telah menangkap hidayah Allah. Kesedihan hati adalah pertanda berhasil medengarkan jeritan ruhani. Bila ia didengarkan dan benar-benar tertancap di dalam jiwa, maka akan hilanglah segala ketergantungan kepada anasir lain kecuali Allah, tempat bergantung segala sesuatu. "La haula wa la quwwata illaa billah al-Aliyy al-Adhim.”

“Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.” Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Zumar:53). Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Dan Aku akan selalu bersamanya selama dia mengingat-Ku.”Sungguh, Allah sangat bergembira menerima taubat hamba-Nya melebihi kegembiraan hamba yang bahagia menemukan kembali harta berharganya di padang pasir.

Kepada orang-orang yang berkata bahwa Tuhan Pemelihara mereka adalah Allah dan tetap teguh (istiqamah) dengan itu, para malaikat akan turun menenangkan hati dengan berita gembira,"Jangan takut, jangan bersedih, berbahagialah kalian dengan surga yang dijanjikan." (Q.S. Fushshilat:30). Tiada lagi rasa takut yang menghantui dan mencekam, tiada pula rasa sedih di usia yang sudah lanjut.

Ketenteraman ruhani dan jiwa adalah tanda kehidupannya. Memperbanyak berdzikir untuk mengingat Allah akan menghidupkan ruhani manusia. Dengan itu pula jiwa akan menjadi tenang dan tenteram.
Maka bergegaslah bertaubat dan hidupkanlah kembali ruhani yang sedang “sekarat” itu.

"Orang-orang beriman dan menjadi tenteram jiwa mereka karena mengingat Allah, memang dengan mengingat Allah jiwa menjadi tenteram.”

(QS Ar-Ra’d:28)

wallahu a'lam bi 'l-shawab