CINTA DAN MA'RIFAT: DUA SISI PADA KOIN YANG SAMA

Posted in Rabu, 27 Juli 2011
by Mbah Kanyut

Allahumma inii as aluka hubbaka wa hubba man yuhibbuka
(Ya Allah, aku memohon agar Engkau karuniakan cinta kepada-Mu, dan agar aku bisa mencintai orang-orang yang mencintai-Mu)

Ilahi anta maqshuudi wa ridhoka mathluubi a’tini mahabbataka wa ma’rifataka
(Tuhanku, Engkaulah yang kutuju dan ridho-Mu yang kuharapkan, beri daku kecintaan dan makrifat kepada-Mu)

“Nafas Ar-Rahman menjadikan semesta ini ada, guna memancarkan cinta dan apa-apa yang dilihat oleh Pencinta dalam Diri-Nya. Melalui penyaksian Yang Lahir, Dia mengenal Diri-Nya sendiri,” demikian tulis Syekh Al-Akbar dalam Futuhat Al-Makiyyah. Sifat Tuhan kepada alam, mikro maupun makro, adalah mencintai, sebab “Aku rindu untuk dikenal, maka Aku ciptakan semesta.” Cinta bagi hampir semua Sufi, adalah dasar dari penciptaan. Juga dikatakan oleh beliau bahwa Islam sepenuhnya adalah agama cinta, sebagaimana juga Rasul Muhammad adalah yang dikasihi Allah—habibillah. Cinta, kata Jalaluddin Rumi, adalah penyembuh bagi kebanggaan dan kesombongan, dan seluruh kekurangan diri. Dan hanya mereka yang berjubah cinta sajalah yang sepenuhnya tidak mementingkan diri. Hanya mereka yang mencintai sepenuh hati sajalah yang mampu meniadakan diri (fana) di dalam Diri Sang Kekasih (Allah).

Cinta kepada Allah (mahabbah) bukan cinta dalam pengertian keduniawian, yang masih melibatkan ego dan keinginan untuk diri sendiri. Cinta Sufi adalah dalam rangka merespons hadis “Aku rindu untuk dikenal,” yakni seorang pencinta harus mengenal Allah sebagaimana Dia mengenal Diri-Nya sebagai Perbendaharaan Tersembunyi yang menyimpan segala Keindahan (jamal), Keagungan (jalal) dan Kesempurnaan (kamal). Tetapi, karena hanya Allah yang mengenal Allah, maka satu-satunya cara bagi Sufi adalah “bersatu” dengan Allah, mem-fana-kan sifat-sifat buruk dan bahkan kediriannya dan mengenakan sifat-sifat-Nya dalam ke-baqa-an, lalu menyaksikan bahwa segala sesuatu hanyalah Allah saja. Dengan cara inilah Sufi bisa “meminjam” perspektif” Allah dalam memandang Diri-Nya sendiri.

Jadinya, tanpa cinta, Perbendaharaan Tersembunyi akan selamanya tersembunyi. Tanpa cinta, tiada alam semesta. Tanpa cinta, tidak ada “persatuan” dengan Allah. Tetapi apakah sesungguhnya cinta (mahabbah) itu? Cinta menurut Sufi adalah salah satu maqam dalam perjalanan spiritual. Tetapi definisi yang pasti untuk soal ini amat sulit, jika tidak bisa dikatakan mustahil. Syekh Akbar Ibnu Al-Arabi dengan jelas mengatakan bahwa cinta tidak bisa didefinisikan:

Di kalangan orang-orang arif dan yang membicarakannya, cinta adalah sesuatu hal yang tidak bisa didefinisikan. Cinta diketahui oleh orang-orang yang mengalaminya … tanpa mengetahui (secara persis) apa sesungguhnya cinta itu, dan mereka tidak menyangkal eksistensi riilnya.

Sasaran cinta bagi Sufi adalah Perbendaharaan Tersembunyi dari Wujud Ilahi di setiap benda, sehingga seluruh dunia adalah pencinta sekaligus yang dicintai, dan semuanya akan kembali kepada-Nya. Cinta ilahi adalah sumber semua cinta, sebab Cinta Ilahi ada di dalam Diri-Nya (Dzat-Nya) sendiri yang mencintai kita demi diri kita dan demi Diri-Nya sendiri. Artinya, di satu sisi, cinta-Nya kepada kita demi diri kita adalah lantaran agar kita bisa mengenal-Nya dari amal ibadah yang membawa kita kepada pemenuhan keinginan-Nya dan menjauhkan diri kita dari segala hal yang bertentangan dengan keinginan-Nya—atau kita mengenal-Nya melalui takwa. Di sisi lain, Dia mencintai kita demi Diri-Nya sendiri karena “Aku adalah Perbendaharaan Tersembunyi, aku rindu (cinta) untuk dikenal, maka Aku ciptakan dunia agar Aku bisa dikenal mereka sehingga mereka mengenal-Ku.” Jadi, kata Syekh Akbar Ibnu Al-Arabi, “Dia menciptakan kita hanya demi mencintai Diri-Nya sendiri, agar kita mengenal-Nya,” yakni mengenal Keindahan dan Keagungan-Nya melalui perspektif-Nya dan, di atas semua, di dalam Diri-Nya—melalui fana dari diri kita dan baqa dalam Diri-Nya.

Ini juga berarti dua hal lain yang relevan, yakni, pertama, bahwa dalam rangka mendapatkan perspektif dari Yang Dicintai, seorang pencinta harus memenuhi keinginan dan perintah dari Yang Dicintai. Inilah ujian dalam cinta—cinta selalu membutuhkan pengorbanan demi yang dicintai. Syariat, tata hukum ilahi, dalam arti yang sempit maupun luas, adalah ketentuan yang harus dipatuhi. Tanpa mematuhi perintah, tidak akan ada persatuan, sebab cinta sejati tidak boleh mengandung pembangkangan terhadap sang Kekasih. Atau dalam bahasa Sufi, tanpa (mematuhi) syariat, tidak akan muncul hakikat (cinta).

Dan kedua, secara batin seorang pencinta tidak boleh berpaling kepada sesuatu selain sang Kekasih atau segala sesuatu yang membuat seseorang lupa kepada-Nya. Karenanya, bahkan kesenangan dalam beribadah menjadi sesuatu yang riskan, sebab bisa membelokkan pandangan pencinta dari Sang Kekasih. Seseorang yang masih memperhatikan kesenangannya dalam beribadah berarti dalam dirinya masih tersimpan kesenangan pada dirinya sendiri, masih ada pamrih, dan karenanya belum merealisasikan ikrar lillahi ta’ala. Ini adalah tingkatan yang sulit, sebab kenikmatan dalam beribadah adalah sesuatu yang diperbolehkan dan diharapkan. Nikmat iman adalah sesuatu yang dipuji dan dicari oleh umat Islam. Tetapi bagi sufi, mengharap-harap kenikmatan iman dalam beribadah sama artinya mengharap sesuatu selain Diri-Nya, yang berarti pula masih menyimpan perspektif dari diri dan, karenanya, belum sepenuhnya lebur dalam perspektif ilahi seutuhnya. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam nasihatnya mengatakan agar kita beribadah demi Allah saja, jangan demi nikmat-Nya. Di sini terdapat andil nafsu yang samar dan berbahaya bagi Sufi.

Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari memperingatkan jebakan nafsu ini. Menurutnya, andil nafsu dalam maksiat bisa tampak jelas, tetapi andil nafsu dalam ketaatan sangat samar dan merusak keikhlasan beribadah. Karena itu kebanyakan Sufi lebih memilih situasi yang berat dan sempit (qabd) karena dalam kesempitan itu nafsu tidak punya tempat. Salah satu nasihatnya yang amat bagus adalah agar orang memilih amal yang terasa lebih berat bagi nafsunya. Dengan cara ini kita bisa mengetahui apa hakikat dari nafsu itu, dan apa bentuk tipu dayanya, baik tipu dayanya dalam hal kemaksiatan maupun tipu dayanya dalam ketakwaan. Secara bertahap sifat-sifat jahat dari nafsu ini akan kelihatan dan jika “musuh” ini sudah keluar dari persembunyiannya, akan lebih mudah bagi kita untuk menyerangnya. Ketika sifat-sifat jahat sudah dikalahkan, maka Allah akan mengaruniakan sifat-sifat-Nya kepada kita. Dalam analisis terakhir, taraf tertinggi adalah ketika seseorang menyadari bahwa bahkan keberadaannya sendiri adalah “dosa yang amat besar”. Menghilangkan dosa ini sama artinya meleburkan diri dalam fana, lalu baqa, dan akhirnya memandang keindahan dan keagungan-Nya. Pada titik ini cinta ilahi seorang Sufi tidak akan lagi tergoyahkan.

Maka, murid (yang menginginkan) menjadi murad (yang diinginkan), yakni Sufi menjadi lokus sempurna bagi Allah untuk melihat Diri-Nya sendiri. Dengan cara yang sama, yang mengingat menjadi yang diingat; yang mengetahui menjadi yang diketahui. Ini adalah tahap persatuan, tahap penyaksian sejati, atau pengetahuan sejati (makrifat). Jadinya, hubungan mahabbah dan makrifat adalah hubungan yang unik: timbal-balik sekaligus menyatukan, yang satu melahirkan yang lain.

Di satu sisi, ahli makrifat mengenal Allah sebagai Keindahan dan Keagungan, yang melahirkan mahabbah. Keindahan yang dikenal adalah Keindahan Dzat-Nya dan Keindahan Sifat-Nya dan Perbuatan-Nya. Karena itu mereka merasakan keindahan dalam amal (ihsan), yakni seperti dikatakan Nabi kepada Jibril, “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya; dan jika engkau tidak melihat-Nya, bagaimanapun Dia melihatmu.” Yakni, melihat setiap kualitas positif dan indah dari Dzat-Nya yang termanifestasi dalam setiap lokus tajalli, mikrokosmos dan makrokosmos. Syekh Al-Akbar Ibnu ‘Arabi menulis:

Penyebab cinta adalah Keindahan (jamal) yang merupakan milik-Nya, karena Keindahan dicintai lantaran dirinya sendiri (keindahan itu sendiri). “Allah itu Mahaindah dan Dia mencintai Keindahan.” Jadi Dia mencintai Diri-Nya sendiri dan penyebabnya adalah tindakan memperindah (ihsan). Tidak ada tindakan memperindah kecuali dari Allah dan tidak ada yang menjadikan indah kecuali Allah. Jadi ketika aku mencintai tindakan (amal) keindahan, aku hanya mencintai Allah semata, karena Dialah yang menciptakan keindahan (Muhsin); dan ketika aku mencintai keindahan (itu sendiri) aku tak mencintai sesuatu pun selain Allah karena Dia adalah Yang Mahaindah (Jamil). Jadi dalam setiap aspek dihubungkan hanya kepada Allah.

Di sisi lain, cinta menyebabkan orang semakin ingin mengenal yang dicintainya. Cinta dalam tingkat tertentu melahirkan makrifat. Ketika sang pencinta makin mengenal Yang Dicintai, terbitlah isyq (rindu dan cinta membara). Inilah saat ketika ruh-ruh manusia yang pada dasarnya suci kembali ke kondisi kefitriannya, diselimuti oleh Keindahan dan Keagungan Ilahi, dan lebur dalam Kesempurnaan-Nya yang Serba Menyatukan (tauhid). Saat ini terjadi maka Allah akan mempertontonkan Keindahan-Nya (Jamal) kepada kesadaran terdalam sang Sufi, yang menyebabkannya Sufi “jatuh cinta” di mana seluruh perhatiannya hanya pada Yang Dicintai sehingga Dia tak lagi melihat kepada yang lain, bahkan kepada dirinya sendiri.

Sebagian Sufi yang tenggelam dalam cinta mendalam ini mengalami guncangan dahsyat hingga mencapai ekstase, mengucapkan syatahat yang menggemparkan: ana al-haqq (Akulah Kebenaran)!; la ilaha illa al-isyq (tiada tuhan selain Cinta); subhani maa adzama syaani (Mahasuci aku, alangkah besarnya keagungan-Ku)!; laisa jubbatin siwa Allah (Tiada yang ada dalam jubahku kecuali Allah)!; anna rabbakum fa’ buduunii (Akulah Tuhanmu, taatilah aku). Jadi, ketika “keakuan” Sufi keluar atau sirna (fana), maka “Ke-Aku-an” Tuhan yang abadi akan masuk sehingga “mengabadikan” sang Sufi (baqa) bahkan sebelum Sufi itu meninggalkan dunia, mereka telah merealisasikan perintah Nabi, mutu qabla an tamutu—”matilah engkau sebelum engkau mati.” Kematian berarti leburnya sifat-sifat seseorang dalam Sifat-sifat Tuhan. Karenanya ada pepatah Sufi mengatakan “Tiada kebaikan dalam cinta tanpa kematian.”

Ketika engkau jatuh cinta, kata sebagian sufi, engkau tidak boleh berpaling kepada selain Kekasih. Sang Kekasih akan cemburu jika cinta diduakan. Tuhan tidak akan memperkenankan apa pun berbagi dengan-Nya, karena hal itu adalah syirik. Jadi, “Tuhan adalah pencemburu,” kata Wali Allah yang agung, ratunya para pencinta Tuhan, Rabi’ah Al-Adawiyah. Menyembah-Nya demi surga atau lari dari neraka menandakan seseorang masih menduakan Tuhan, demikian pandangan Rabi’ah Al-Adawiyah. Dengan kata lain, orang yang beribadah demi surga berarti masih menginginkan sesuatu untuk dirinya sendiri. Ia masih mengandaikan dirinya ada. Padahal, kata Al-Hallaj, “keberadaanmu adalah dosa yang tiada bandingannya.” Dan karenanya dia berdoa agar “aku” yang menghalanginya dari “Aku” dihilangkan oleh-Nya. Ia berseru dalam sajaknya:

Antara Aku dan Kau ada sebuah ‘Aku’ yang menyiksaku.
Ambillah, demi Aku‑Mu Sendiri, milikku diantara kita.
Bunuhlah aku, o sahabat-sahabatku yang terpercaya!
Karena dalam kematianku terdapat kehidupanku.

Imam Al-Ghazali, dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, mengisahkan cerita yang mengharukan mengenai “kematian” ini. Suatu ketika Nabi Ibrahim dipanggil oleh malaikat maut, namun beliau menolak mengikutinya, karena beliau tidak bisa mempercayai bahwa Tuhan akan membunuh seseorang yang begitu cinta kepada‑Nya. Tetapi malaikat mengatakan kepadanya; adakah orang mencintai menolak untuk pergi kepada kekasih­nya? Setelah didengar kata‑kata itu, dengan rela beliau menyerahkan nyawanya kepada malaikat maut. Seperti dikatakan Schimmel
Pencinta yang sudah belajar menerima kematian sebagai jembatan kepada yang dicintai seharusnya menyerahkan ‘nyawanya dengan senyum seperti bunga mawar’ (Rumi); itulah sebabnya Al‑Hallaj menari‑nari dengan tangan terbelenggu ketika dibawa untuk dihukum mati. Kaum Sufi yakin akan firman Tuhan: Jangan sebut mati mereka yang terbunuh karena Tuhan; tidak, sesungguhnya mereka hidup (QS. 3:163). Kata la dalam bagian pertama syahadat yang diumpamakan pedang itulah yang membunuh sang pencinta; kemudian tak ada yang tinggal kecuali Tuhan.
Sulthan Al-Muhibbin Maulana Jalaluddin Rumi menggambarkan keadaan cinta yang menyatukan dengan cara lain yang tak kalah eloknya:

Seseorang mengetuk pintu kekasihnya;
sang kekasih bertanya, “siapakah itu?”
Ia menjawab “aku”.
“Pergilah,” kata kekasihnya. “Engkau terlalu cepat! Di mejaku tidak ada tempat untuk yang mentah. Bagaimana yang mentah akan masak kecuali dalam api ketidakhadiran?”
Ia pun pergi dengan sedih, dan api perpisahan membakarnya sampai habis. Lalu ia kembali dan mondar-mandir di depan pintu sang kekasih.
Ia mengetuk pintu dengan memendam seratus kecemasan dan harapan, agar jangan ada ucapan kasar dari bibir sang kekasih.
“Siapa itu?” tanya sang kekasih. Ia menjawab, “Engkau, wahai pemikat segala hati.”
“Masuklah,” kata sang kekasih, “karena engkau adalah aku, masuklah. Tidak ada tempat untuk dua ‘aku’ di rumah ini.”

Syekh Sulthan al-Awliya Abu Hasan as-Syadzili mengatakan, “Sempurnalah kewalian orang yang mencintai Allah dan mencintai untuk Allah.” Syekh Qamaruzzaman al-Husaini pernah mengatakan kepada penulis bahwa beliau mencapai kedudukannya hanya karena mahabbah, Cinta Ilahi, sehingga beliau bahkan tak bisa berhenti berzikir, sebab sedetik saja beliau berhenti berzikir, nafasnya akan sesak. Seseorang yang mencintai Allah hingga ke titik tertinggi akan bisa “bercakap” langsung dengan Allah azza wa jalla, tanpa huruf dan tanpa kata.

Menurut Syekh Athaillah, ada empat tingkatan cinta: cinta untuk Allah, cinta karena Allah, cinta dengan Allah dan cinta dari Allah. Awalnya adalah cinta untuk Allah dan akhirnya cinta dari Allah – murid (yang menginginkan) menjadi murad (yang diinginkan, seperti telah dijelaskan di atas dan di bab lain buku ini). Syekh Athaillah selanjutnya menjelaskan dalam Lathaif al-Minan:

Cinta untuk Allah adalah mengutamakan Allah ketimbang selain-Nya. Cinta karena Allah adalah mencintai Wali Allah karena Allah. Cinta dengan Allah adalah mencintai orang atau sesuatu tanpa hawa nafsu. Dan cinta dari Allah adalah Dia menarikmu dari segala sesuatu sehingga hanya Dia yang kau cintai … [Syekh Abu Hasan] menyatakan bahwa cinta adalah Allah menarik hamba-Nya dari segala sesuatu selain Dia. Ia akan selalu taat, akalnya dilindungi ma’rifat, ruhnya terserap ke dalam hadirat-Nya, dan sirr-Nya sibuk menyaksikan-Nya … Ia mendapatkan segala hakikat dan pengetahuan, dan karenanya “Para Wali Allah adalah pengantin Allah.”

Dalam cinta sejati tidak ada “engkau dan aku” karena menurut hadis Nabi dikatakan “Seseorang sama dengan yang dicintainya,” atau juga “orang yang mencintai selalu bersama yang dicintainya” (al-muhibb ma’a man ahabba), sebagaimana pengantin selalu bersama. Tiada perpisahan di sana, hanya ada persatuan sejati, Tauhid.

Wa Allahu a’lambi ash-shawab.

Tri Wibowo BS / Mbah Kanyut al-Jawi
Ikhwan TQN