(FORUM
AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH [اهل
السنة والجماعة])
Oleh: Moehammad Syuhada Al-aswaja
Seperti
yang telah kita ketahui bahwa golongan pengingkar ini [salafi/wahabi] selalu
menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah secara tekstual oleh karenanya sering
mencela,membid'ahkan,mensyirikkan semua amalan yang tidak sesuai dengan paham
mereka.Misalnya, mereka melarang semua bentuk bid’ah dengan
berdalil hadits Rasulallah "Setiap yang diada-adakan
(muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah
sesat’.
Juga
hadits Nabi saw.: 'Barangsiapa yang didalam agama kami
mengadakan sesuatu yang tidak dari agama ia
tertolak’. Hadits-hadits tersebut oleh mereka dipandang
sebagai pengkhususan hadits Kullu bid’atin dhalalah yang bersifat umum, karena
terdapat penegasan dalam hadits tersebut, yang tidak dari agama ia tertolak,
yakni dhalalah/sesat. Dengan adanya kata Kullu (setiap/semua) pada hadits di
atas ini tersebut mereka menetapkan apa saja yang terjadi setelah zaman Rasul-
Allah saw. serta sebelumnya tidak pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw adalah
bi’dah dhalalah. Mereka tidak memandang apakah hal yang baru itu membawa
maslahat/kebaikan dan termasuk yang dikehendaki oleh agama atau tidak. Mereka
juga tidak mau meneliti dan membaca contoh-contoh hadits di atas mengenai
prakarsa para sahabat yang menambahkan bacaan-bacaan dalam shalat yang mana
sebelum dan sesudahnya tidak pernah diperintahkan Rasulallah saw.. Mereka juga
tidak mau mengerti bahwa memperbanyak kebaikan adalah kebaikan. Jika ilmu agama
sedangkal itu orang tidak perlu bersusah-payah memperoleh
kebaikan.
Ada
lagi kaidah yang dipegang dan sering dipakai oleh salafi/wahabi dan pelontar
tuduhan-tuduhan bid’ah mengenai suatu amalan, adalah kata-kata sebagai
berikut: “Rasulallah saw. tidak pernah memerintahkan dan
mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya tidak ada satupun diantara mereka
yang mengerjakannya. Demikian pula para tabi'in dan tabi'ut-tabi'in. Dan kalau
sekiranya amalan itu baik, mengapa hal itu tidak dilakukan oleh Rasulallah,
sahabat dan para tabi'in?"
Atau
ucapan mereka: “Kita kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi yakni
mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa
justru kita yang melakukannya..? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari
sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat, ulama-ulama
salaf..? Karena melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah
bid’ah”.
Kaidah-kaidah
seperti itulah yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai perlindungan
oleh golongan mereka juga sering mereka jadikan sebagai dalil/hujjah untuk
melegitimasi tuduhan bid’ah mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru
termasuk tahlilan, peringatan Maulid Nabi saw dan sebagainya. Terhadap semua
ini mereka langsung menghukumnya dengan ‘sesat, haram, mungkar, syirik dan
sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan
penelitian terhadap hukum-hukum pokok/asal agama. Ucapan
mereka seperti di atas ini adalah ucapan yang awalnya haq/benar namun akhirnya
batil atau awalnya shahih namun akhirnya fasid. Yang benar adalah keadaan Nabi
saw. atau para sahabat yang tidak pernah mengamalkannya (umpamanya; berkumpul
untuk tahlilan, peringatan keagamaan dan lain sebagainya). Sedangkan yang
batil/salah atau fasid adalah penghukuman mereka terhadap semua perbuatan
amalan yang baru itu dengan hukum haram, sesat, syirik, mungkar dan
sebagainya.
Yang
demikian itu karena Nabi saw. atau salafus shalih yang tidak mengerjakan satu
perbuatan bukanlah termasuk dalil, bahkan penghukuman dengan berdasarkan kaidah
di atas tersebut adalah penghukuman tanpa dalil/nash. Dalil untuk mengharamkan
sesuatu perbuatan haruslah menggunakan nash yang jelas, baik itu dari Al-Qur’an
maupun hadits yang melarang dan mengingkari perbuatan tersebut. Jadi tidak bisa
suatu perbuatan diharamkan hanya karena Nabi saw. atau salafus shalih tidak
pernah melakukannya.
Telitilah
lagi hadits-hadits tentang amalan-amalan bid'ah para sahabat yang belum pernah
dikerjakan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. dan bagaimana Rasulallah
saw. menanggapinya. Penanggapan Rasul- Allah saw. inilah yang harus kita
contoh!
Demikian
pula para ulama mengatakan’ bahwa amalan ibadah itu bila tidak ada keterangan
yang valid dari Rasulullah saw., maka amalan itu tidak boleh dinisbahkan kepada
beliau saw.!!
Jelas
disini para ulama tidak mengatakan bahwa suatu amalan ibadah tidak boleh
diamalkan karena tidak ada keterangan dari beliau saw., mereka hanya mengatakan
amalan itu tidak boleh dinisbahkan kepada Rasulallah saw. bila tidak ada dalil
dari beliau saw.!
Kalau
kita teliti perbedaan paham setiap ulama atau setiap madzhab selalu ada, dan
tidak bisa disatukan. Sebagaimana yang sering kita baca dikitab-kitab fiqih
para ulama pakar yaitu Satu hadits bisa dishahihkan oleh sebagian ulama pakar
dan hadits yang sama ini bisa dilemahkan atau dipalsukan oleh ulama pakar
lainnya. Kedua kelompok ulama ini sama-sama berpedoman kepada Kitabullah dan
Sunnah Rasulallah saw. tetapi berbeda cara penguraiannya.
Tidak
lain semuanya, karena status keshahihan itu masih bersifat subjektif kepada
yang mengatakannya. Dari sini saja kita sudah bisa ambil kesimpul an; Kalau
hukum atas derajat suatu hadits itu masih berbeda-beda diantara para ulama,
tentu saja ketika para ulama mengambil kesimpulan apakah suatu amal itu
merupakan sunnah dari Rasulullah saw. pun berbeda juga!!
Para
ulama pun berbeda pandangan ketika menyimpulkan hasil dari sekian banyak hadits
yang berserakan. Umpamanya mereka berbeda dalam mengambil kesimpulan hukum atas
suatu amal, walaupun amal ini disebutkan didalam suatu hadits yang shahih. Para
ulama juga mengenal beberapa macam sunnah yang sumbernya langsung dari
Rasulallah saw., umpama- nya; Sunnah Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah dan Sunnah
Taqriyyah.
Sunnah
Qauliyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw. sendiri menganjurkan atau
mensarankan suatu amalan, tetapi belum tentu kita mendapatkan dalil bahwa
Rasulllah saw. pernah mengerjakannya secara langsung. Jadi sunnah Qauliyyah ini
adalah sunnah Rasulallah saw. yang dalilnya/riwayat- nya sampai kepada kita
bukan dengan cara dicontohkan, melainkan dengan diucapkan saja oleh beliau saw.
Di mana ucapan itu tidak selalu berbentuk fi'il amr (kata perintah), tetapi
bisa saja dalam bentuk anjuran, janji pahala dan sebagainya.
Contoh
sunnah qauliyyah yang mudah saja: Ada hadits Rasulallah saw. yang menganjurkan
orang untuk belajar berenang, tetapi kita belum pernah mendengar bahwa
Rasulallah saw. atau para sahabat telah belajar atau kursus berenang!!
Sunnah
Fi'liyah ialah sunnah yang ada dalilnya juga dan pernah dilakukan langsung oleh
Rasulallah saw. Misalnya ibadah shalat sunnah seperti shalat istisqa’, puasa
sunnah Senin Kamis, makan dengan tangan kanan dan lain sebagainya. Para
shahabat melihat langsung beliau saw. melakukannya, kemudian meriwayatkannya
kepada kita.
Sedangkan
Sunnah Taqriyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw. tidak melakukannya
langsung, juga tidak pernah memerintahkannya dengan lisannya, namun hanya
mendiamkannya saja. Sunnah yang terakhir ini seringkali disebut dengan sunnah
taqriyyah. Contohnya ialah beberapa amalan para sahabat yang diakui oleh nabi
dan tidak di larang oleh beliau.
Begitu
juga dengan amalan-amalan ibadah yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulallah
saw. atau para sahabatnya, tetapi diamalkan oleh para ulama salaf (ulama
terdahulu) atau ulama khalaf (ulama belakangan) misalnya mengadakan majlis
maulidin Nabi saw., majlis tahlilan/yasinan dan lain sebagainya. Tidak lain
para ulama yang mengamalkan ini mengambil dalil-dalil baik dari Kitabullah atau
Sunnah Rasulallah saw. yang menganjurkan agar manusia selalu berbuat kebaikan
atau dalil-dalil tentang pahala-pahala bacaan dan amalan ibadah lainnya.
Berbuat kebaikan ini banyak macam dan caranya semuanya mustahab asalkan tidak
tidak bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Apalagi
didalam majlis-majlis (maulidin-Nabi, tahlilan/yasinan, Istighatsah) yang
sering diteror oleh golongan tertentu, disitu sering didengungkan kalimat
Tauhid, Tasbih, Takbir dan Shalawat kepada Rasulallah saw. yang semuanya itu
dianjurkan oleh Allah swt. dan Rasul-Nya. Semuanya ini mendekatkan/taqarrub kita
kepada Allah swt.!!
Mari
kita rujuk ayat al-Qur’an:
‘Apa
saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang
kamu dilarang daripadanya, maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr:
7).
Dalam
ayat ini jelas bahwa perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu itu adalah
apabila telah tegas dan jelas larangannya dari Rasulallah saw.!
Dalam
ayat di atas ini tidak dikatakan:
‘Dan
apa saja yang tidak pernah dikerjakannya (oleh Rasulallah), maka berhentilah
(mengerjakannya)’.
Juga
dalam hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Bukhari:
‘Jika
aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku
melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia!‘
Dalam
hadits ini Rasulallah saw. tidak mengatakan:
‘Dan
apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia!’
Jadi
pemahaman golongan yang melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil dua hadits
yang telah kami kemukakan Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah... dan
hadits Barangsiapa yang didalam agama... adalah tidak benar, karena adanya
beberapa keterangan dari Rasulallah saw. didalam hadits-hadits yang lain dimana
beliau merestui banyak perkara yang merupakan prakarsa para sahabat sedangkan
beliau saw. sendiri tidak pernah melakukan apalagi memerintahkan. Maka para
ulama menarik kesimpulan bahwa bid’ah (prakarsa) yang dianggap sesat ialah yang
mensyari’atkan sebagian dari agama yang tidak diizinkan Allah swt. (QS
Asy-Syura:21) serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah
digariskan oleh syari’at Islam baik dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasulallah
saw., contohnya yang mudah ialah:
Sengaja
shalat tidak menghadap ke arah kiblat, Shalat dimulai dengan salam dan diakhiri
dengan takbir; Melakukan shalat dengan satu sujud saja; Melakukan sholat Shubuh
dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan lain sebagai- nya. Semuanya ini
dilarang oleh agama karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh
syari’at.
Makna
hadits Rasulallah saw. di atas yang mengatakan, mengada-adakan sesuatu itu....
adalah masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan
Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Saya ambil
perumpamaan lagi yang mudah saja, ada orang mengatakan bahwa shalat wajib itu
setiap harinya dua kali, padahal agama menetapkan lima kali sehari. Atau orang
yang sanggup tidak berhalangan karena sakit, musafir dan lain-lain berpuasa
wajib pada bulan Ramadhan mengatakan bahwa kita tidak perlu puasa pada bulan
tersebut tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apapun saja. Inilah yang
dinamakan menambah dan mengada-adakan agama. Jadi bukan masalah-masalah
nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
Telitilah
isi hadits Qudsi berikut ini yang diriwayatkan Bukhori dari Abu Hurairah:
“....
HambaKu yang mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih Ku sukai
daripada yang telah Kuwajibkan kepadanya, dan selagi hambaKu mendekatkan diri
kepadaKu dengan nawafil (amalan-amalan atau shalat sunnah) sehingga Aku
mencintainya, maka jika Aku telah mencintainya. Akulah yang menjadi
pendengarannya dan dengan itu ia mendengar, Akulah yang menjadi penglihatannya
dan dengan itu ia melihat, dan Aku yang menjadi tangannya dengan itu ia memukul
(musuh), dan Aku juga menjadi kakinya dan dengan itu ia berjalan. Bila ia mohon
kepadaKu itu pasti Kuberi dan bila ia mohon perlindungan kepadaKu ia pasti Ku
lindungi”.
Dalam
hadits qudsi ini Allah swt. mencintai orang-orang yang menambah amalan sunnah
disamping amalan wajibnya.
Mari
kita rujuk ayat-ayat ilahi yang ada kata-kata Kullu yang mana kata ini tidak
harus berarti semua/setiap, tapi bisa berarti khusus untuk beberapa hal saja.
Firman
Allah swt dalam Al-Kahfi: 79, kisah Nabi Musa as. dengan Khidir (hamba Allah
yang shaleh), sebagai berikut:
“Adapun
perahu itu, maka dia adalah miliknya orang orang miskin yang bermata
pencaharian dilautan dan aku bertujuan merusaknya karena dibelakang mereka
terdapat seorang raja yang suka merampas semua perahu [safiinah]”.
Ayat
ini menunjukkan tidak semua perahu yang akan dirampas oleh raja itu, melainkan
perahu yang masih dalam kondisi baik saja. Oleh karenanya Khidir/seorang hamba
yang shaleh sengaja membocorkan perahu orang-orang miskin itu agar terlihat
sebagai perahu yang cacat/jelek sehingga tidaklah dia ikut dirampas oleh raja
itu. Dengan demikian maka kata safiinah dalam Al-Qur’an itu maknanya adalah
safiinah hasanah atau perahu yang baik. Ini berarti safiinah diayat ini tidak
bersifat umum dalam arti tidak semua safiinah/perahu yang akan dirampas oleh
raja melainkan safiinah hasanah saja walaupun didalam ayat itu disebut Kullu
safiinah (semua/setiap perahu).
Dalam
surat Al-Ahqaf ayat 25 Allah swt.berfirman: “Angin taufan itu telah
menghancurkan segala sesuatu atas perintah Tuhannya”. Namun demikian keumuman
pada ayat di atas ini tidak terpakai karena pada saat itu gunung-gunung, langit
dan bumi tidak ikut hancur.
Dalam
surat An-Naml ayat 23 Allah swt.berfirman: “Ratu Balqis itu telah diberikan
segala sesuatu”. Keumuman pada ayat ini juga tidak terpakai karena Ratu Balqis
tidak diberi singgasana dan kekuasaan seperti yang diberikan kepada Nabi
Sulaiman as.
Jadi
jelaslah, bahwa secara umum manusia adalah makhluk yang mulia, tetapi secara
khusus banyak manusia yang setaraf dengan binatang ternak, bahkan lebih sesat.
Masih banyak lagi ayat-ayat Ilahi yang walaupun didalamnya terdapat keumuman
namun ternyata keumumannya itu tidak terpakai untuk semua hal atau masalah.!!
Sebuah
hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulallah saw. bersabda:
"Orang yang menunaikan shalat sebelum matahari terbit dan sesudah matahari
terbenam tidak akan masuk neraka". Hadits ini bersifat umum, tidak dapat
diartikan secara harfiah. Yang dimaksud oleh hadits tersebut bukan berarti
bahwa seorang Muslim cukup dengan shalat shubuh dan maghrib saja, tidak diwajibkan
menunaikan shalat wajib yang lain seperti dhuhur, ashar dan isya!
Ibnu
Hajar mengatakan; ' Hadits-hadits shahih yang mengenai satu persoalan harus
dihubungkan satu sama lain untuk dapat diketahui dengan jelas maknanya yang
muthlak dan yang muqayyad. Dengan demikian maka semua yang di-isyaratkan oleh
hadits-hadits itu semuanya dapat dilaksanakan'.
Dalam
shahih Bukhari dan juga dalam Al-Muwattha terdapat penegasan Rasulallah saw.
yang menyatakan bahwa jasad semua anak Adam akan hancur dimakan tanah. Mengenai
itu Ibnu 'Abdul Birr rh. dalam At-Tamhid mengatakan: Hadits mengenai itu
menurut lahirnya dan menurut keumuman maknanya adalah, bahwa semua anak Adam
sama dalam hal itu. Akan tetapi dalam hadits yang lain Rasulallah saw.
menegaskan pula, bahwa jasad para Nabi dan para pahlawan syahid tidak akan
dimakan tanah (hancur)!
Masih
banyak contoh seperti di atas baik didalam nash Al-Qur'an maupun Hadits. Banyak
sekali ayat Ilahi yang menurut kalimatnya bersifat umum, dan dalam ayat yang
lain dikhususkan maksud dan maknanya, demikian pula banyak terdapat didalam
hadits. Begitu banyaknya sehingga ada sekelompok ulama mengatakan; 'Hal yang
umum hendaknya tidak diamalkan dulu sebelum dicari kekhususan-kekhususannya'.
Begitu
juga halnya dengan hadits Nabi ‘Kullu bid’ atin dhalalah’ walaupun sifatnya
umum tapi berdasarkan dalil hadits lainnya maka disimpulkanlah bahwa tidak
semua bid’ah (prakarsa) itu dhalalah/sesat! Mereka juga lupa yang disebut agama
bukan hanya masalah peribadatan saja. Allah swt. menetapkan agama Islam bagi
umat manusia mencakup semua perilaku dan segi kehidupan manusia. Yang
kesemuanya ini bisa dimasuki bid’ah baik yang hasanah maupun yang
sayyiah/buruk.
Banyak
kenyataan membuktikan, bahwa Rasulallah saw. membenarkan dan meirdhai
macam-macam perbuatan shahabat yang tidak diperintah Allah dan perintah beliau
saw. Bagaimanakah cara kita memahami semua persoalan itu? Apakah kita berpegang
pada satu hadits Nabi (yakni kalimat: semua bid'ah adalah sesat) di atas dan
kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang lebih jelas uraiannya
(yang menganjurkan manusia selalu berbuat kebaikan)? Yang benar ialah bahwa
kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh
jumhurul-ulama. Untuk itu tidak ada jalan yang lebih tepat dari pada yang telah
ditunjukkan oleh para imam dan ulama Fiqih, yaitu sebagaimana yang telah
dipecahkan oleh Imam Syafi'i dan lain-lain.
Insya
Allah dengan keterangan singkat tentang hadits-hadits Rasulallah saw. masalah
Bid’ah, akan bisa membuka pikiran kita untuk mengetahui bid’ah mana yang haram
dan bid’ah yang Hasanah/baik.
Mereka
[wahabi] terlalu sibuk mengkafirkan kaum muslimin,padahal para ulama selalu
menyibukkan diri seumur hidup hanya untuk dakwah,ilmu,dan memuslimkan orang
syirik,dan bukan justru sebaliknya.
0 komentar:
Posting Komentar