O..o.., kamu ketahuan, pacaran lagi …. Beberapa waktu lalu, lirik lagu ini begitu kita kenal dalam berbagai kesempatan. Mulai dari konser musik live dari TV, pesta pernikahan hingga penghias nyanyian di kamar mandi. Terdengar ditirukan oleh remaja, dewasa, orang tua, hingga anak balita yang belum fasih bicara. Jika saja lirik ini dinyayikan dengan motif daripada nganggur, atau just for fun alias sekedar suka-suka, barangkali tulisan ini tak begitu penting untuk diangkat. Namun, jika lagu ini dihayati dengan sepenuh jiwa (dan inilah yang kerap dialami muda mudi yang sedang kasmaran), maka tulisan ini selayaknya menjadi sebuah tanda seru alias warning : Hati-hati dengan propaganda budaya Barat. Lho, kok ???
Memang, lirik indah, dengan alunan musik yang merdu (apalagi didukung video klip yang “wah”) membius seseorang untuk menyukai beberapa tembang baru yang akhir-akhir ini ngetrend, dengan para artis pendatang. Namun, sangat disayangkan, kreativitas seniman pengarang lagu kurang disertai idealisme tentang tata nilai dan susila. Dari sisi syair atau lirik misalnya, saat ini banyak lagu yang mengajarkan, tepatnya mendoktrin, agar orang mudah melakukan perselingkuhan. Atau setidaknya, membiasakan telinga pendengarnya dengan perselingkuhan, menganggap bahwa selingkuh adalah hal yang biasa. Lihat saja syair lagu Ketahuan-nya Matta Band, Merpati Band dengan Tak selamanya selingkuh itu indah, Ungu dengan tembang Kekasih gelapku. Dan masih banyak lagi. termasuk juga lirik lagunya Vagetoz, “Sepenuhnya ku menyadari, meski cinta itu tak mesti harus memiliki…”.
Yah, cinta tak harus memiliki, inilah bibit-bibit perselingkuhan yang ingin ditancapkan dalam benak muda-mudi zaman sekarang. Dengan doktrin ini, muda-muda kita yang sebelumnya dibuat biasa (tidak lagi merasa berdosa) dengan pergaulan yang biasa disebut pacaran, mulai memahami bahwa cinta dalam masa pacaran adalah sesuatu yang suci dan harus dibela sampai mati. Bahkan jika perlu melawan orang tua pun dilakukan, hanya demi tak mau berpisah dengan sang pacar. Atau kalaupun ikatan perjodohan memisahkan, maka perasaan cinta tak boleh hilang, karena cinta tak harus memiliki. Selanjutnya, hubungan gelap pun bermula, dari mencuri-curi kesempatan berjumpa, hingga hubungan intim yang lebih jauh lagi. Na’udzu billah min dzalik.
Sebuah maqalah Arab berujar, “Ahbib habiibaka haunan maa, ‘asaa an yakuna baghiidlaka yauman maa. Wa abghidl baghiidlaka haunan maa, ‘asaa an yakuna habiibaka yauman maa”. “Cintai siapa yang kau cinta, sederhana saja, karena bisa jadi ia akan jadi seorang yang engkau benci esok hari. Bencilah siapa yang kau benci, sederhana saja, karena bisa jadi ia akan jadi seorang yang engkau cintai esok hari”. Jikapun terpaksa tak dapat berjodoh dengan kekasih, maka tak akan sulit berpindah ke lain hati. Kalaupun saat berjodoh belum ada rasa cinta, maka rasa cinta itu bagaikan tanaman bunga, jika disiram, dipupuk, dan dirawat, kelak kuncupnya akan mekar, mewangi memenuhi ruang hati. Bukankah filosofi Jawa mengajarkan, “Witing tresno jalaran soko kulino”? Awal mula rasa cinta adalah dari terbiasa. Lihatlah orang tua kita, jarang sekali yang berpacaran sebelum nikah. Bahkan tak jarang di antara mereka belum saling kenal. Tapi karena garis takdir mengikat mereka dalam perjodohan, maka mereka jalani bahtera rumah tangga dengan berusaha dan belajar mencintai. Dan kebanyakan perjodohan dari mereka, abadi hingga beranak cucu. Sebaliknya, lihat saja pasangan suami istri saat ini sebagaimana di kalangan selebritis! Mereka membina hubungan dalam ikatan bernama “pacaran” sampai bertahun-tahun. Segala pembenaran pun dilakukan dengan mengatasnamakan “pengenalan karakter”. Masih beruntung kalau pengenalan terhadap pasangan tidak terlampau “dalam” alias hal-hal yang ada di dalam. Tetapi setelah tali suci itu diikatkan, dalam hitungan bulan, simpul kesatuan pasangan suami isteri itu mulai terburai. Bahtera rumah tangga retak tak karuan. Usia pernikahan bahkan tak lebih lama dari usia pacaran. Nah…!
Semoga generasi muda kita, terutama anak-anak kita, diselamatkan dari doktrin cinta menyesatkan. Semoga mereka terpelihara dari pergaulan bebas tanpa etika dan batas. Semoga kita masih pantas untuk melontarkan harapan optimis, dengan meminjam ungkapan Gus Mus, “Insya Allah kiamat masih lama!” Wallaahu a’lam bish shawaab.
iya juga ya... terus gimana donk Mbah...? :(
Bukan cinta namanya apabila tidak merasa memiliki, sebab syarat cinta adlah rasa sayang.
d20 [^_^]V