PERBEDAAN ITU RAHMAT

Posted in Selasa, 24 Mei 2011
by Unknown

 Oleh: Anggota WLML
Hadits di bawah ini termasuk dari sekian hadits yang dihina dan kritik habis-habisan oleh ulama golongan tertentu:
اِخْتِلاَفُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ
“Perbedaan-perbedaan umatku adalah rahmat.

Pengertian hadits ini masih terjadi silang pendapat, sebagian mengartikan perbedaan dalam urusan hukum, sebagian lagi mengartikan perbedaan dalam urusan pekerjaan masing-masing umatku.[1] Namun, semua pengertian tersebut benar meski yang kuat adalah pengertian yang pertama, yaitu perbedaan dalam hukum. Artinya, ikhtilaf ulama adalah bentuk perluasan bagi umat manusia dalam memilih pendapat dari bermacam-macamnya pendapat ulama. Namun, jangan difahami bahwa ikhtilaf dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Hadits di atas dikeluarkan oleh Nashr al-Maqdisi dalam al-Hujjah, al-Baihaqi dalam Risalah Asy’ariyah tanpa sanad [mu’allaq] begitu juga al-Halimi, Qadhi Husain, Imam Haramain dan lain-lain. Dan dalam menyampaikan hadits ini, mereka semua tidak menggunakan shighat pasti tapi menggunakan kata-kata “diriwayatkan”. Dan sebenarnya ini sudah termasuk bukti bahwasannya hadits di atas tidak maudhu'. Lantaran tidak mungkin mereka rela memasukkan hadits palsu atau maudhu' kedalam kitab-kitab mereka. Padahal kita tahu, mereka adalah kritikus-kritikus dalam bidang hadits yang handal.

As-Subki mengatakan: ”Hadits ini tidak dikenal para ahli hadits (tidak diriwayatkan dengan sanad), dan aku belum menemukan sanad shahih, dha’if atau maudhu’.”[2] As-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Saghir [no. 288] setelah membawakan hadits tersebut mengatakan: “Mungkin dikeluarkan  pada sebagian kitab huffazh (penghafal hadits) yang belum sampai kepada kami.”. Pernyataan ini adalah bentuk kehati-hatian as-Suyuthi dalam menyikapi hadits yang begitu masyhur dan dibawakan oleh ulama-ulama ahli hadits (tanpa sanad) yang masyhur kealimannya dan terdepan di bidangnya. Bukan seperti sikap yang ditunjukkan Nashiruddin al-Albani, yang bukan ahli hadits terpercaya, tapi dengan enteng dan tanpa beban menghina as-Suyuthi dengan mengatakan: ”Menurutku ini sangat jauh, karena konsekwensinya bahwa ada sebagian hadits Rasulallah Saw. yang luput dari umat Islam. Ini tidak layak diyakini seorang muslim.” Sebuah statemen yang sangat tidak layak ditujukan kepada as-Suyuthi.
Kehati-hatian as-Suyuthi cukup beralasan, karena selain masyhur disampaikan ulama-ulama terkemuka dan adil, makna haditsnya juga shahih, selain dikuatkan dengan hadits lain [musnad] yang diriwayatkan oleh as-Suyuthi sendiri dalam al-Madkhal dan ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus dari Abdullah bin Abbas secara marfu’:

إِخْتِلاَفُ أَصْحَابِي رَحْمَةٌ
“Perbedaan-perbedaan para sahabatku adalah rahmat.” 
Dan perbedaan sahabat-sahabat Nabi adalah juga perbedaan umat. Meski hadits ini dinilai lemah sanadnya oleh al-Iraqi, namun derajat kelemahannya dapat terangkat atau menjadi kuat disebabkan adanya riwayat lain yang dibawakan putranya, yaitu Abu Zur’ah dan juga Ibnu Sa’ad [mursal dha’if][3] sebagaimana masyhur dalam kaidah ahli ushul dan ahli hadits.

Sebagai bukti kebenaran isi kandungan hadits di atas adalah seperti yang tercatat dalam Fatawi hal. 27 karya Syaikh Husain, Mufti Malikiyyah di Makkah yang di kutib dari al-Amir Ali Abdul Baqi az-Zurqani dalam Hasyiyah Mukhtashar Khalil, bahwa Imam asy-Syafi'i berkata, "Allah tidak akan menyiksa seorang hamba karena (meninggalkan) sesuatu yang masih di perselisihkan ulama dan perselisihan (perbedaan pendapat) ulama adalah rahmat bagi umat ini".

Umar bin Abdul Aziz menuturkan: “Bukan sesuatu menyenangkan bagiku, andai para shahabat-shahabat Nabi Muhammad tidak berbeda-beda, karena jika mereka tidak berbeda-beda, maka tidak akan ada rukhshah (dispensasi hukum)".[4] Maqalah mujaddid pertama ini menunjukkan pebedaan shahabat-shahabat Nabi tersebut adalah dalam urusan hukum agama selain juga memberi faham bahwa perbedaan-perbedaan adalah keuntungan (rahmat) bagi umat selanjutnya. Artinya, para as-Salaf as-Shalih membuka ruang bagi manusia untuk berijtihad dan diperbolehkan ikhtilaf dalam ijtihad tersebut. Sebab, andai ruang ijtihad tidak dibuka, tentu akan mempersempit para mujtahidin, karena ijtihad dan penyangkaan-penyangkaan tentu tidak bisa sama.[5]
Jika ihktilaf dianggap tidak rahmat, tentu Umar bin Abdul Aziz adalah orang yang keliru, tapi tidak ada orang yang akan berani menganggapnya keliru kecuali orang-orang yang mulut dan hatinya tidak dikunci dengan adab dan syariat.
Maqalah Umar tersebut juga menguatkan hadits marfu’ berikut:

أَصْحَابِي بِمَنْزِلَةِ النُّجُوْمِ فِي السَّمَاءِ فَبِأَيِّهِمْ اقْتَدَيْتُمْ اهْتَدَيْتُمْ وَاخْتِلاَفُ أَصْحَابِي لَكُمْ رَحْمَةٌ
“Sahabat-sahabatku adalah layaknya bintang-bintang di langit, dengan yang mana kalian mengikuti, niscaya akan mendapat jalan petunjuk. Dan perbedaan-perbedaan sahabatku bagi kalian semua adalah rahmat.”
Ibnu Qudamah al-Hanbali dalam al-‘Aqa’id menandaskan: “Perbedaan imam-imam (ulama-ulama) adalah rahmat dan kesepakatan mereka adalah hujjah.”[6]

Asy-Syathibi mengatakan: “Segolongan ulama salaf menjadikan perselisihan umat dalam furu’ (masalah fiqh) adalah bagian dari rahmat, dan jika termasuk bagian dari rahmat maka ulama-ulama yang ikhtilaf tersebut tidak akan keluar dari jalur dari bagian ahli rahmat.”[7]

Asy-Sya‘rani mengatakan: “Para ahli kasyf menyatakan bahwa pendapat-pendapat para ulama madzhab adalah sesuai dengan syariat secara kenyataan (nafs al-amr), meskipun itu tidak diketahui jelas oleh para pengikutnya. Dan pendapat-pendapat ulama madzhab tersebut adalah sesuai dengan syariat Nabi terdahulu. Maka jika ada yang mengamalkan apa yang telah menjadi kesepakatan para ulama-ulama maka dia seperti mengamalkan mayoritas syariat-syariatnya para nabi.”[8] Penjelasan asy-Sya'rani tersebut memberi faham tentang legalnya berbeda pendapat dalam ijtihad dan tidak di anggap sebagai sesuatu yang tercela.

Jika muncul pertanyaan: Jika ikhtilaf umat adalah rahmat, maka akan bertentangan dengan larangan ikhtilaf oleh Allah dalam Q.S. Ali ‘Imran: 103:
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ
“Berpeganglah kalian semua pada tali Allah dan jangan bercerai berai.”
Dan Q.S. Ali ‘Imran: 105
وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ
“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.”

Jawabnya: Antara hadits dan dua ayat tersebut pembicaraannya masing-masing berbeda. Dua ayat tersebut berbicara tentang terhinanya orang-orang yang berselisih (ikhtilaf) kepada Rasulnya sebagaimana dalam hadits: “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian hancur karena banyak berselisih pada nabi-nabinya.” Dan umat Muhammad tidak seperti itu, yakni berselisih kepada Rasulallah karena telah mengetahui ancaman adzab besar bagi mereka yang menyelisih Nabinya.[9] Mereka berselisih hanya dalam urusan hukum fiqh dan ada pemaafan bagi yang salah seperti yang sudah dimaklumi dalam hadits Nabi.

Harun ar-Rasyid kerap kali bermusyawarah dengan  Imam Malik serta menganjurkan agar supaya kitab al-Muwaththa’ ditempelkan di dinding Ka’bah dan orang-orang diajak untuk mengamalkannya. Namun, Imam Malik menolak dan mengatakan: “Jangan engkau lakukan, karena shahabat Rasulallah berselisih dalam masalah fiqh (furu’) dan sudah tersebar di daerah-daerah dan semuanya orang benar (dalam ijtihadnya).”[10]
Zakariyya al-Anshari menceritakan, saat Khalifah al-Manshur berhaji dan bertemu Imam Malik, beliau mengutarakan maksud hatinya yang berkeinginan supaya kitab al-Muwaththa’ ditulis dan disalin kemudian dikirimkan ke daerah orang-orang muslim dan diperintahkan pada mereka untuk mengamalkannya dan tidak boleh menggunakan yang lain. Imam Malik menjawab: “Jangan engkau lakukan wahai Amirul Mukminin! Sesungguhnya pendapat-pendapat (ulama) telah sampai pada mereka dan mereka juga mendengar hadits Nabi serta meriwayatkannya. Dan setiap golongan telah mengambil apa yang mereka ketahui dan dijadikan amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Biarkan mereka memilih jalan untuk mereka masing-masing dalam setiap daerah.”

Imam An-Nawawi dalam Syarah Muslim mengatakan: ”Bukan berarti jika sesuatu itu rahmat maka kebalikannya adalah adzab,  dan tidak ada yang mengatakan seperti itu kecuali orang yang bodoh atau pura-pura bodoh. Allah berfirman dalam Q.S. al-Qashash: 73 (artinya): ”Karena rahmat-Nya, dijadikan malam dan siang supaya kalian beristirahat pada malam itu….” Allah menjadikan malam sebagai rahmat dan bukan berarti kebalikannya, yaitu siang sebagai adzab (Allah juga menjadikan siang sebagai rahmat, bukan berarti kebalikannya, yaitu malam adalah adzab)[11] meski siang dan malam adalah waktu yang saling berlawanan. Perkataan an-Nawawi ini sekaligus membantah pernyataan Ibnu Hazm dalam al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam yang menyalahkan arti dari hadits di atas. Ibnu Hazm mengatakan: ”Jika perbedaan adalah rahmat, maka persatuan adalah adzab.”
 ___________________________________________________________________________________________________
[1] Ad-Durar al-Muntatsirah hlm.12 (Fatawi Haditsiyah).
[2] Faidh al-Qadir juz 1 hlm. 270-271.
[3] Ibid. hlm.271
[4] Ibid. hlm. 268, ad-Durar al-Muntatsirah hlm.12
[5] Al-I‘tisham juz 2/395.
[6] Faidh al-Qadir juz 1 hlm. 268.
[7] Al-I‘tisham juz 2/394.
[8] Al-Mizan al-Kubra 1/42.
[9] Faidh al-Qadir juz 1 hlm. 267.
[10] Al-Mizan al-Kubra 1/41.
[11] Kasyful Khafa’ 1/57.