Tulisan ini hanyalah sekelumit keprihatinan tentang maraknya propaganda kelompok sempalan (kita biasa menyebut mereka “Wahabi”, mereka lebih bangga menyebut diri “Salafi”) yang mengusik tatanan ajaran dan amaliah mayoritas umat Islam yang telah mapan. Meski berangkat dari keterbatasan pengetahuan dan wawasan, tulisan ini diharapkan menjadi bekal awal dari upaya kita membentengi diri, atau bahkan bekal kita dalam ber-tawâshau bil haqq. Karenanya, mari singkirkan jauh-jauh rasa tinggi diri, buruk sangka, apalagi hujatan atau bahkan vonis takfir, sebagaimana kita juga merasa di-dhalimi dengan perlakuan-perlakuan tersebut. Semoga Allah menunjuki kita dan mereka menuju jalan kebenaran. Amiin..
Apa itu Wahabi atau Salafi, mungkin kita telah sering mendengarnya. Sejarah lengkap kemunculannya bisa dirujuk di sejumlah referensi. Wahabi adalah penisbatan kepada Muhammad bin Abdil Wahhab, seorang tokoh kontroversial yang muncul di Nejed, Jazirah Arab, pada akhir masa kekuasaan Daulah Utsmaniyyah atau Ottoman Turki. Sedangkan Salafi, dengan inilah mereka biasa menamakan diri. Penyebutan ini adalah sebuah bentuk penisbatan kepada as-salaf, secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita, sedangkan secara terminologis as-salaf yang dimaksud di sini adalah tiga generasi awal Islam, yakni generasi shahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in, sebagaimana dalam hadits. Sehingga sebutan Salafi berarti seorang yang mengaku mengikuti jalan para sahabat Nabi saw, tabi’in dan atba’ al-tabi’in dalam seluruh sisi ajaran dan pemahaman mereka.
Akan lain ceritanya jika golongan yang mengatasnamakan Salafi ini tidak berulah. Yang menjadi masalah adalah ide pemikiran mereka yang secara sekilas “baik”, tetapi dalam penerapan konsepnya menyimpang dari mainstream pemikiran mayoritas ulama’. ‘Ala kulli hal, penggunaan istilah Salafi ini secara khusus mengarah pada kelompok gerakan Islam tertentu setelah maraknya apa yang disebut “Kebangkitan Islam di Abad 15 Hijriyah”. Terutama yang berkembang di Tanah Air, mereka memiliki beberapa ide dan karakter yang khas yang kemudian membedakannya dengan gerakan pembaruan Islam lainnya.
Pokok-pokok pesan yang diusung oleh Salafi setidaknya bermuara pada tiga hal,
1. Seruan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan as-sunnah, sebagaimana dijalani oleh generasi salaf as-shalih.
» Penerapan menyimpang dari seruan ini adalah seruan untuk meninggalkan taqlid, seruan untuk berijtihad, atau lebih “halus”nya ittiba’ (mengikuti dengan mengetahui dalilnya), padahal hampir bisa dipastikan umat Islam saat ini tak satupun yang memiliki kualifikasi mujtahid.
» Atau setidaknya jika terpaksa “taqlid”, mereka memilah-milih sejumlah pendapat ulama’ yang “rajih” atau unggul, tentu saja sesuatu yang sesuai dengan ide mereka.
» Jika diajukan alasan pada mereka bahwa “para ulama’ berbeda pendapat”, maka mereka katakan, “Jika kalian berselisih pendapat, maka kembalikan pada Allah dan rasul-Nya”, dan dalam hal ini tentu saja mereka memahami teks Al-Qur’an dan hadits sesuai dengan versi pemahaman mereka.
» Dari pokok pikiran ini pula, mereka menafikan peran akal dalam pemahaman teologi Ketuhanan, sebagaimana telah dirumuskan ulama’ mutakallimin dengan dua guru besar, Abu Hasan Al-As’ari dan Abu Manshur al-Maturudi. Mereka menuduh bahwa faham yang berbasis akal ini adalah sesat, serupa dengan faham filsafat, merupakan sempalan Jahmiyyah, dan tidak pernah ada hal semacam ini pada masa generasi salaf. Akhirnya, muncullah pemahaman tajsim, personifikasi atau pemahaman fisik apa adanya terhadap sejumlah ayat mutasyabihat yang tersandar pada Allah SWT, karena mereka menolak untuk menta’wil ayat-ayat atau hadits yang terkait dengan “yadullah”, “istiwa’ alal ‘arsy”, “fissama’” dan yang semisalnya.
2. Seruan untuk memurnikan tauhid, yakni penghambaan hanya kepada Allah.
» Dengan ini, mereka melarang shalat dan berdoa di samping kuburan, melarang ziarah kubur, tawassul, dan istighatsah, serta tabarruk dengan segala macam jenisnya. Mereka menyebutnya sebagai sebuah bentuk “penyembahan” terhadap kuburan.
» Dengan ini pula mereka mengharamkan bentuk-bentuk azimat, mantra-mantra doa, dan hal-hal yang menurut mereka berbau takhayyul.
3. Pemberantasan segala bentuk amaliah bid’ah, tentu saja menurut versi mereka.
» Dengan seruan ini mereka melarang sejumlah amaliah, diantaranya dzikir berjama’ah, shalat tarawih lebih dari 11 rakaat, adzan kedua pada shalat Jum’at, peringatan Maulid Nabi, tahlilan, bahkan juga ajaran tasawwuf, dan lain sebagainya.
Perkembangan Salafi modern
Secara umum, akar kesejarahan gerakan Salafi ini bermula dari Kehati-hatian Imam Ahmad bin Hanbal sebagai seorang ahli hadits yang diterjemahkan secara ekstrim dan berlebihan oleh Ibnu Taymiyyah. Dengan segala kelebihan keilmuannya berikut pula kontroversinya, ide Syaikhul Islam madzhab Hanbali itu diteruskan oleh murid-murid beliau, diantaranya Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, dan dihidupkan lagi oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, hingga mencapai klimaks dengan sokongan penguasa Saudi Arabia, dan terus berkembang pada era modern hingga berpecah dalam beberapa faksi.
Di Indonesia gerakan Salafi sendiri banyak dipengaruhi oleh ide dan gerakan pembaruan yang dilancarkan oleh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab di kawasan Jazirah Arabia. Ide pembaruan ini diduga pertama kali dibawa masuk ke kawasan Nusantara oleh beberapa ulama asal Sumatera Barat pada awal abad ke-19. Inilah gerakan Salafiyah pertama di tanah air yang kemudian lebih dikenal dengan gerakan kaum Padri, yang salah satu tokoh utamanya adalah Tuanku Imam Bonjol. Gerakan ini sendiri berlangsung dalam kurun waktu 1803 hingga sekitar 1832. Disamping itu, ide pembaruan ini secara relatif juga kemudian memberikan pengaruh pada gerakan-gerakan Islam modern yang lahir kemudian, seperti Muhammadiyah, PERSIS, dan Al-Irsyad.
Seiring dengan perkembangan zaman, sebagaimana kelompok-kelompok lain yang tak lepas dari perpecahan, sempalan Salafi ini juga terpecah dalam sejumlah faksi. Sebagian dari individu masing-masing faksi saling menyesatkan, membid’ahkan, memfasikkan, mensyirikkan bahkan mengkafirkan yang lainnya. Secara ringkas, Salafi terpecah dalam tiga faksi,
- Salafi Yamani
Salafi Yamani bisa dikatakan induk salafi, yang secara konservatif memegangi konsep “meneladani” generasi salaf apa adanya. Mereka cenderung kaku dalam menyikapi sesuatu yang dianggapnya pelaku bid’ah. Ciri-ciri umum Salafi Yamani adalah:
- Enggan berhimpun dalam sebuah komando organisasi, karena hal itu dianggapnya bid’ah, dan mengarah pada semangat hizbiyyah atau ashabiyyah (fanatisme).
- Tak banyak bersosialisasi dengan masyarakat dan tokoh agama setempat, karena adanya prinsip hajr al-mubtadi’ (isolasi terhadap pelaku bid’ah).
- Enggan bekerja sama dengan kelompok lain, karena karakter dasar mereka yang merasa benar sendiri dan “paling salafi”
- Cenderung abstain dalam kancah politik, karena keterlibatan dalam semua proses politik praktis seperti PEMILU adalah sebuah bid’ah dan penyimpangan. Tetapi mereka juga tidak bereaksi keras terhadap penguasa, dengan demonstrasi misalnya, karena tindakan itu dianggapnya sama seperti pendirian Khawarij.
- Salafi Haraki
Munculnya Salafi Haraki adalah respon dari kejumudan Salafi Yamani, yang cenderung berlindung di ketiak penguasa Saudi Arabia. Untuk mencairkan kejumudan ini, sebagian Salafi berupaya menghimpun diri melalui sebuah komando organisasi, berjuang melalui jalur politik praktis di masing-masing negara. Aliran ini terwakili oleh adanya gerakan Ikhwanul Muslimin, yang di Indonesia direpresentasikan oleh Partai Keadilan Sejahera (PKS) beserta sayap mahasiswanya, KAMMI. Hizbut Tahrir sepertinya juga layak dikategorikan pada faksi Salafi Haraki ini. Ciri-ciri umum Salafi Haraki adalah:
- Berhimpun diri dalam sebuah komando organisasi dalam mewujudkan ide yang diusungnya, karena karena masalah ini menurut mereka hanyalah persoalan ijtihadiyah belaka, bukan hizbiyyah atau ashabiyyah (fanatisme).
- Lebih luwes dalam bersosialisasi dengan masyarakat, karena mereka lebih memilih cara berhikmah untuk memberantas bid’ah.
- Cenderung kooperatif atau mau bekerja sama dengan kelompok lain, selagi mampu diwujudkan. Mereka memiliki prinsip nata’âwanu fîmâ ittafaqnâ, wa na’dziru fîmâ ikhtalafna (kita bekerjasama dalam hal-hal yang kita sepakati, dan kita toleran terhadap hal-hal yang kita perselisihkan). Minimal, sikap mereka ini tidak memperuncing perpecahan di antara umat Islam.
- Tidak alergi terhadap persoalan politik, bahkan mereka memiliki misi merebut kekuasaan politik di masing-masing negara. Nampaknya, di Indonesia, gejala ini mulai nampak dengan keberhasilan mereka meraih simpati rakyat melalui raupan suara PKS dalam Pemilu.
- Salafi Jihadi.
Adalah Salafi yang mencintai jihad dan beramal dengan jihad, misalnya gerakan Al-Qaeda dan pihak-pihak mujahidin di Afghanistan serta di Iraq dan Chechnya, tak ketinggalan pula gerakan garis keras di Indonesia. Mereka inilah yang sering dirujuk oleh media-media massa pembenci jihad sebagai “teroris”. Ciri-ciri umum dari gerakan ini adalah:
- Berhimpun diri dalam sebuah komando (tanzhim) jihad secara internasional, dan memperjuangkannya melalui gerakan jihad secara fisik dan menjurus kekerasan.
- Cenderung menutup diri dari kalangan di luar mereka, karena prinsip kerasnya ini, yang hampir muttafaq alaih ditentang banyak kalangan, termasuk kalangan salafi sendiri.
- Konsep takfir (vonis kafir) yang teramat sangat keras. Mereka memaknai kesatuan iman pada diri seorang muslim dengan dua bentuk keimanan yang saling terkait. (1) Iman kepada Allah, dan (2) Kufur terhadap thaghut. Termasuk diantara thaghut, dalam pandangan mereka adalah penguasa yang menerapkan hukum selain syari’at Islam, beserta aparatnya, dan juga kalangan yang bersimpati terhadap pemerintahan tersebut. Mereka semua adalah kafir di mata Salafi Jihadi. Bahkan, hanya dengan tak mau mengkafirkan pemerintah, seseorang telah divonis non-muslim menurut mereka, meski melakukan shalat, puasa dan amalan-amalan lainnya. Pantas saja, mereka melancarkan serangan teror secara membabi buta, meski tak sedikit di antara korban jatuh adalah orang-orang muslim.
- Mereka anti terhadap politik praktis, karena dipenuhi aturan-aturan selain syari’at Islam, dan lebih memilih bergerilya di hutan-hutan, atau berdakwah via dunia maya.
Tajsim vs ta’wil
Sebagaimana konsep teologi yang kita kenal, bahwa Allah memiliki sifat wajib berupa mukhalafah lil hawadits (berbeda dengan makhluk). Sehingga, tatkala nash Al-Qur’an maupun hadis makna dhahir-nya mengarah pada tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk), maka harus dita’wil dengan berbekal akal. Prioritas akal atas nash dalam pemahaman Salafi, adalah sebuah pelanggaran, karena dianggap memaknai nash tidak sebagaimana yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Karenanya, mereka menolak penggunaan akal, dan tentu saja mereka akan menyerang sumbernya. Siapa lagi sumber rumusan teologi Sunni kalau bukan Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Karenanya, mereka menganggap sesat kalangan Asya’irah (pengikut paham Asy’ariyah), dan menyebutnya sebagai Jahmiyyah (subsekte sempalan Mu’tazilah).
Nash Al-Qur’an dimaksud adalah ayat yang menjelaskan istiwa’-nya Allah atas arsy, yadullah, wajhullah dan lain sebagainya. Sebenarnya, di kalangan Sunni sendiri, terdapat dua pola pemahaman ayat mutasyabihat. Madzhab salaf dengan pola tafwidl, dan madzhab khalaf dengan pola ta’wil. Pola tafwidl, dengan tanpa men-ta’wil (memalingkan dari makna dhahir-nya), tetapi tanpa terjerumus pada jerat tajsim dan tasybih. Al-istiwa’ ma’lum, wal kaifu majhul. Dan, pola tafwidl ini jelas beda dengan pola pemahaman kalangan Salafi (baca: Wahabi), karena mereka berani memaknai bahwa Allah bertempat, turun, bergerak, dan memiliki tangan. Subhanallah ammâ yashifûn.
Tawassul, istighatsah dan ziarah kubur bukanlah menyembah
Salah satu agenda besar yang diusung kaum Salafi adalah memberantas kemusyrikan dan memurnikan tauhid. Tak ada yang salah dengan misi ini. Hanya, yang patut disayangkan adalah ketergesaan dalam memberikan vonis syirik, bahkan kufur terhadap seorang muslim hanya gara-gara berziarah kubur, berdoa di samping kubur, bertawassul dan beristighatsah. Mereka menuduhnya sebagai “menyembah kubur”. Astaghfirullah… Padahal, tawassul bukanlah menyembah. Karena hakikat menyembah adalah ketundukan yang disertai pengakuan terhadap
Tawasul adalah melakukan suatu perbuatan sebagai lantaran untuk mendekatkan diri kepada Allah. Selama tawassul itu dilakukan dengan cara yang benar maka hukumnya diperbolehkan. Sebagaimana firman Allah swt (QS. Al-Maidah : 35)
Pada hakikatnya, penentu segala sesuatu adalah Allah. Permohonan dan pertolongan hakikatnya ada pada Dia. Dengan bertawassul, seseorang tak lebih hanyalah memenuhi perintah Allah, dengan menempuh jalur “tradisi” atau sunnatullah. Karena Allah memiliki tradisi tertentu yang diberlakukan-Nya. Sebagaimana Allah menciptakan kenyang pada diri seseorang setelah ia makan, Allah menjadikan sebuah benda teriris setelah pisau tajam menekan permukaannya, Allah menjadikan terbakar pada kertas kering yang tersentuh api, dan sebagainya. Pada hakikatnya, penentu segalanya, rasa kenyang, teriris dan terbakar, hanyalah Allah. Meski demikian, Dia memiliki “tradisi” tertentu.
Jika pemahaman tauhid yang benar sebagaimana di atas telah dipegang teguh, niscaya tak ada beda antara tawassul terhadap orang yang hidup ataupun yang telah meninggal. Karena pada hakikatnya, hanya Allah-lah yang memberikan ta’tsîr (efek atau pengaruh) terhadap segala sesuatu. Allah-lah yang menciptakan hamba dan menciptakan perbuatannya. Justru, pembedaan tawassul, jika dengan orang yang hidup boleh, tetapi dengan orang mati tidak boleh, inilah hakikat sebenarnya dari syirik.
Tentang Bid’ah
Secara umum, dalam permasalahan seputar bid’ah, terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama’, mulai dari pendefinisiannya, teori pembagiannya, hingga penentuan status bid’ah tidaknya dalam kasus per kasus. Secara harfiah bid'ah adalah segala sesuatu yang belum pernah ada padanannya pada masa sebelumnya. Karenanya, bid'ah secara bahasa dalam hal ini adalah segala perbuatan, perkataan (lahir atau batin) atau keyakinan yang belum ada pada masa Rasulullah saw. Sedangkan menurut syara', secara umum bid'ah adalah segala aqidah, amaliyah, perkataan, lahir atau batin yang bernuansa agama tetapi tidak terdapat dasar dari sumber hukum agama.
Ditilik dari tinjauan hukumnya, bid'ah terbagi dalam lima kategori.
1. Bid'ah wajibah dengan wajib kifayah ,seperti mengumpulkan tulisan Al-Quran dan hadis-hadis Nabi, mempelajari ilmu-ilmu yang terkait dengan pemahaman Al-Quran dan Hadis (nahwu, sharaf, balaghah dsb.) Artinya pembukuan Al-Quran, Al-Hadits dan ilmu-ilmu tersebut tidak pernah dilakukan di zaman Nabi, akan tetapi ada dasar dari sumber syari'at yang ujung-ujungnya menyimpulkan hukum wajib.
2. Bid'ah muharramah sebagaimana berkeyakinan bahwa shirath al-mustaqim di akhirat tidak ada, alam adalah dahulu, Allah wajib memberi pahala orang beribadah, Allah wajib menyiksa orang durhaka, menambahkan kewajiban sujud atau rakaat dalam shalat dll. Artinya hal itu tidak pernah ada di zaman Rasulullah dan bertentangan dengan adanya ketegasan sumber syari'at tersebut di atas.
3. Bid'ah mandubah (disunnahkan), sebagaimana shalat tarawih 20 rakaat secara berjama'ah, membaca doa, sholawat atau taradli pada sahabat di sela-sela tarawih, mendalami ilmu taswwuf dll. Artinya walau hal itu tidak pernah ada di zaman Rasulullah, tapi ada dalil dari sumber syari'at yang disebutkan di atas.
4. Bid'ah makruhah, seperti menghias masjid atau Al-Quran, dll. Artinya, hal itu belum pernah ada pada zaman Rasulullah, sementara terdapat larangan dengan dimensi hukum makruh dari sumber syari'at, yaitu bahwa Rasulullah memerintahkan 'Aisyah mengembalikan tirai bergambar pemberian Abu Jahal, karena mengganggu konsentrasi shalat.
5. Bid'ah mubahah (bid'ah yang mubah), seperti makan makanan lezat dengan gaya masakan masa kini yang belum pernah dilakukan Rasul, mengendarai sepeda motor, mobil dll. Artinya, di zaman beliau belum ada, tapi tidak ada sumber syari'at yang melarang atau menganjurkan. Wallahu a'lam.
Ada sejumlah amaliah yang diklaim oleh Salafi – Wahabi sebagai bid’ah, tetapi sebenarnya hal tersebut bukanlah bid’ah. Atau setidaknya, ada khilafiyah ulama’ tentang hal-hal tersebut. Diantaranya adalah peringatan Maulid Nabi, dzikir secara berjama’ah, dan yang lain. Ilmu tashawwuf pun oleh mereka diklaim sebagai ajaran sesat. Bahkan untuk mendukung hal terakhir ini, mereka tak segan menyelewengkan sejumlah perkataan para ulama’ salaf, dan para imam madzhab.
Status keimanan Ortu Nabi
Hal memprihatinkan dari ulah Salafi ini vonis takfir (mengkafirkan) yang kebablasan. Vonis takfir secara serampangan tidak saja mereka tujukan pada kaum muslimin yang bertawassul dan beristighatsah, bahkan kedua orang tua Rasul yang mulia pun dituduhnya kafir. Astaghfirullah... Mereka dengan gencar mempropagandakan keyakinan ini, seakan-akan keyakinan bahwa Sayyid Abdullah bin Abdul Muthallib dan Sayyidah Aminah binti Wahhab adalah orang kafir, merupakan keyakinan yang wajib diimani oleh setiap muslim.
Kaum Salafi hanya bermodal hadits riwayat Muslim berikut,
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي قَالَ فِي النَّارِ فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
Dari Anas, bahwasanya seseorang berkata; "Wahai Rasulullah, dimanakah bapakku?" Rasulullah Saw bersabda; "Di dalam neraka." Maka ketika orang itu beranjak pergi Rasulpun memanggilnya maka Rasul berkata; "Sesungguhnya bapakku dan bapakmu di dalam neraka." (HR. Muslim)
Sebenarnya, hadits tersebut hanyalah menceritakan seorang Arab Badui yang menanyakan status bapaknya yang telah wafat namun belum menyatakan iman, apakah tempatnya di neraka atau di surga? Kita tidak bisa memahami hadits di atas dengan langsung mengambil zhahirnya begitu saja, tanpa perbandingan dengan nash-nash yang lain dan tanpa analisa serta renungan yang mendalam. Ada beberapa penjelasan dalam menyikapi hadits di atas. Berikut ringkasan kesimpulan penjelasan dari Imam As-Suyuthi:
1. Ungkapan Nabi, "Sesungguhnya bapakku dan bapakmu di dalam neraka.", tak lebih dari sekedar keluwesan beliau. Beliau tidak ingin sang penanya tersebut sedih dan kecewa dengan jawabannya. Terlebih si penanya adalah orang pelosok, lemah iman, susah paham dan gampang kembali pada kemurtadan. Ini dibuktikan dengan bahwa ungkapan beliau "Sesungguhnya bapakku dan bapakmu di dalam neraka.", diucapkan setelah jawaban pertama beliau, dan setelah sang penanya berpaling pergi dalam keadaan sedih. Rasul pun dengan susah-susah memanggilnya kembali.
2. Sedangkan maksud dari kata-kata “bapakku” dari Rasul, bisa jadi yang dikehendaki adalah makna “paman”. Karena seringkali dalam kultur Arab, untuk memanggil paman digunakan ungkapan kata “Bapak”. Inilah bentuk Tauriyyah.
3. Orang yang mati dalam masa fatrah (masa tidak adanya Rasul), jika belum sampai padanya dakwah tauhid, maka dia tidak dikategorikan kafir. Dan jika telah sampai padanya dakwah tauhid, dan dia adalah seorang penyembah berhala, maka dia akan masuk neraka (tergolong kafir). Sehingga, jika dia tak menyembah berhala, maka tentu saja dia tidak tergolong kafir. Sedangkan, kedua orangtua Rasulullah adalah seorang pemeluk agama hanif (ajaran Nabi Ibrahim) yang berpokok tauhid, tak pernah sekalipun menyembah berhala.
Bagaimana menghadapi Salafi?
- Dalami dan yakini aqidah tauhid ahlussunnah wal jama’ah dengan benar.
- Intens memperdalam kajian Al-Qur’an dan hadits, sesuai dengan pemahaman salafus shalih yang sesungguhnya. Bertaqlid tetapi dengan mengetahui sekelumit pola istidlal dari Al-Qur’an dan Hadits.
- Khusus untuk ilmu hadits, perlu upaya keras mendalaminya. Jika tidak, kaum Salafi – Wahabi tak segan-segan mensortir status hadits yang telah ditakhrij para muhadditsin “ahli hadits” mereka, Syaikh Nashiruddin Al-Albani.
- Pahami secara benar pendapat-pendapat ulama’ madzhab mu’tabarah. Karena seringkali terdapat ungkapan-ungkapan musykilat, tetapi setelah didalami lebih jauh, ternyata mengandung maksud dan pemaknaan yang lain. Ini karena kaum Salafi tak seringkali menyerang aqidah dan pemahaman Sunni dengan pendapat-pendapat ulama’ yang biasa kita jadikan sebagai rujukan, tetapi dengan pemahaman yang mereka selewengkan. Bahkan, konon, sebagian pendapat ulama’ atau sebagian kutubul mu’tabarah dipelintir, dihilangkan beberapa bagian. Seperti yang terjadi dalam kitab Al-Adzkar Imam Nawawi, bab tentang keutamaan ziarah kubur Rasul dihilangkan dan diganti dengan bab keutamaan ziarah Masjid Rasul.
- Hati-hati dalam menyikapi pendapat ulama’, terutama ulama’ kurun terdahulu. Seperti Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah, Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, bahkan juga Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab. Karena walau bagaimanapun, ditengarai ada ketidaksamaan sikap antara para tokoh panutan Salafi – Wahabi itu dengan para pengikutnya.
- Tetap hati-hati dalam menerapkan konsep takfir, meski kepada Salafi – Wahabi yang gemar menjatuhkan vonis kufur kepada kita.
- Ingat, motivasi dalam mempelajari dunia Salafi – Wahabi adalah untuk membentengi diri, syukur-syukur sekalian bisa amar ma’ruf nahi anil munkar. Jadi, enyahkan rasa tinggi diri dan merendahkan mereka saat berdiskusi, jangan sampai niatan baik ternoda hanya karena hal sepele. Rasulullah bersabda : “Barangsiapa berkata (orang-orang telah binasa/sesat), maka dia adalah orang yang paling binasa / sesat”
Demikian sekilas tulisan singkat ini. Semoga bermanfaat sebagai awal keterbangunan kita dari tantangan membentengi aqidah ahlussunnah bagi diri masing-masing, keluarga dan juga masyarakat, sekaligus sebagai sarana iqamatul hujjah sebagai sebuah kewajiban kolektif sebagai komunitas santri.
Semoga Allah menunjuki kita dan kaum muslimin menuju jalan-Nya. Amiin…
Wallahu a'lam bish shawab
0 komentar:
Posting Komentar