Saat ini, banyak pemuda yang bergabung dengan kelompok yang mengaku sebagai satu-satunya kelompok yang sesuai dengan tuntunan para ulama salaf saleh dan mengikuti jalan yang benar. Mereka juga menuduh orang-orang yang berseberangan dengan mereka sebagai para antek asing, orang kafir dan zindik. Hingga banyak ulama yang tidak selamat dari tuduhan mereka. Mereka menyerang akidah para ulama Azhar dan menuduh para ulama Asy'ari sebagai pelaku bid'ah. Selain itu, mereka juga mewajibkan orang-orang untuk memelihara jenggot dan meninggikan ujung celana dari mata kaki, serta menganggap doa qunut dalam salat Subuh sebagai perbuatan bid'ah dan lain sebagainya. Apa pendapat Yang Mulia Mufti mengenai kelompok ini dan pendapatnya tersebut?
JAWAB
Para pemuda muslim, terutama para penuntut ilmu, hendaknya berusaha untuk menyatukan kaum muslimin, bukan sebaliknya, menyebar perpecahan dan pertikaian di antara mereka. Allah SWT telah memerintahkan kita untuk berpegang teguh pada tali Allah yang kuat dan tidak berselisih dalam urusan agama. Allah berfirman,
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. (Ali 'Imran [3]: 103).
Dan Allah berfirman :
“Dan ta'atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal [8]: 46).
Allah juga memerintahkan kita untuk berbicara kepada orang-orang secara baik-baik. Allah berfirman :
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.” (Al-Baqarah [2]: 83).
Rasulullah saw. juga memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan semua usaha yang dapat membawa kepada persatuan umat, hingga beliau menyatakan bahwa senyum seorang muslim kepada saudaranya adalah sedekah.
Para pemuda juga wajib menjauhkan diri dari manhaj-manhaj pengafiran, pembid'ahan, pemfasikan dan penyesatan yang banyak tersebar di kalangan para penuntut ilmu di zaman ini. Mereka harus bersikap bijak dan sopan kepada para ulama besar dan orang-orang saleh. Kelompok manapun yang menggunakan nama Salafus saleh sebagai alat untuk memecah belah kaum muslimin maka mereka telah mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil. Allah berfiman :
“Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (Al-Baqarah [2]: 42).
Sebagaimana diketahui, akidah al-Azhar adalah akidah Asy'ariah yang merupakan akidah kelompok Ahlussunnah wal Jamaah. Para ulama Asy'ariah -semoga Allah meridlai mereka dan membuat mereka diridlai- merupakan jumhur (mayoritas) ulama dari umat ini. Merekalah yang menjawab semua syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh para kaum atheis dan lainnya. Mereka berpengang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. sepanjang sejarah. Barang siapa yang mengafirkan atau menfasikkan mereka, maka orang itu patut dipertanyakan keberagamaannya.
Ibnu Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzb al-Muftari fima Nusiba Ila al-Imam Abi al-Hasan al-Asy'ari berkata, Ketahuilah -semoga Allah memberi taufik kepadaku dan kepadamu untuk mendapatkan keridaan-Nya serta menjadikan kita termasuk orang-orang yang bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benarnya- bahwa daging para ulama adalah beracun. Sunnatullah dalam membongkar keburukan orang-orang yang melecehkan para ulama telah diketahui bersama. Dan barang siapa yang dengan mulutnya melecehkan mereka, maka Allah akan mematikan matian hatinya sebelum ia meninggal dunia.
Institusi Al-Azhar asy-Syarif merupakan menara ilmu dan agama sepanjang sejarah. Benteng kokoh ini telah membentuk sebuah lembaga ilmiah terbesar yang pernah ada setelah masa-masa awal Islam yang istimewa. Dengan lembaga ini Allah menjaga agama-Nya dari setiap penentang dan perongrong. Oleh karena itu, orang yang mencoba mencari-cari kesalahan dalam akidah institusi al-Azhar maka ia berada dalam bahaya yang besar dan dikhawatirkan termasuk orang-orang sekte Khawarij yang disinggung oleh Allah dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar.”(Al-Ahzab [33]: 60).
Berkaitan dengan masalah jenggot, maka memeliharanya dan tidak mencukurnya adalah diriwayatkan dari Nabi saw.. Beliau juga merapikan dan memotong ujung-ujungnya sehingga terlihat rapi sesuai dengan bentuk wajah dan performen tubuh. Beliau juga memperhatikan kebersihan jenggotnya dengan mencucinya, menyela-nyelanya dan menyisirnya. Para sahabat beliau yang hidup setelahnya pun mengikuti apa yang dilakukan beliau tersebut.
Terdapat banyak hadis yang menganjurkan untuk memelihara jenggot dan merawatnya dengan baik, serupa dengan hadis-hadis yang menganjurkan untuk bersiwak, memotong kuku, kumis dan lain sebagainya. Sebagian ulama mengartikan perintah dalam hadis-hadis ini sebagai suatu kewajiban sehingga berpendapat bahwa mencukur jenggot adalah perbuatan haram. Namun, sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa perintah dalam hadis-hadis itu bukan bersifat wajib tapi hanya merupakan anjuran, sehingga menurut mereka memelihara jenggot merupakan perbuatan sunah yang pelakunya diberi pahala tapi orang yang meninggalkannya tidak dikenakan hukuman.
Dalil para ulama yang mengatakan bahwa mencukur jenggot merupakan perbuatan yang diharamkan adalah hadis-hadis yang memerintahkan untuk memelihara jenggot agar berbeda dengan orang-orang Majusi dan kaum musyrikin.
Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anhâ dari Rasululllah saw., beliau bersabda,
عَشْرَةٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ اْلأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ اْلإِبْطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ
“Sepuluh hal termasuk perbuatan fitrah, yaitu memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, menghirup air untuk membersihkan hidung, memotong kuku, mencuci ruas jari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan dan membersihkan kemaluan dengan air setelah buang air.”
Seorang perawi berkata, Saya lupa yang kesepuluh. Kalau tidak salah ia adalah berkumur.
Sedangkan kelompok lain -yaitu para ulama Syafi'iyah- berpendapat bahwa perintah-perintah yang berkaitan dengan kebiasaan, makan, minum, berpakaian, duduk, penampilan dan lain sebagainya, diartikan sebagai anjuran, karena terdapat indikasi (qarinah) --yang merubah perintah itu dari kewajiban menjadi anjuran- tentang keterkaitan perintah-perintah itu dengan hal-hal yang merupakan kebiasaan tersebut. Para ulama ini juga memberikan contoh dengan perintah untuk menghitamkan rambut dan melakukan salat dengan memakai sandal dan sejenisnya. Hal ini sebagaimana penjelasn Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari : "Berdasarkan penjelasan di atas, maka terdapat perbedaan ulama berkaitan dengan boleh tidaknya mencukur jenggot. Dalam kaidah fikih dinyatakan bahwa keluar dari masalah yang diperdebatkan adalah dianjurkan. Dan terdapat kaedah lain: “Barang siapa yang diuji dengan terpaksa harus melakukan perbuatan yang diperselisihkan kebolehannya dan dia tidak dapat menghindarinya, maka ia hendaknya mentaklid (mengikuti) ulama yang membolehkan.”
Adapun masalah meninggikan ujung celana, maka pada dasarnya hukum memakai pakaian adalah boleh selama tidak ada niat berlebih-lebihan atau bersikap sombong. Hal ini berdasarkan hadis Abdullah bin 'Amr radhiyallahu 'anhumâ dari Nabi saw., beliau bersabda,
كُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَتَصَدَّقُوْا وَالْبَسُوْا فِيْ غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلاَ مَخِيْلَةٍ
“Makanlah, minumlah, bersedekahlah dan berpakaianlah kalian tanpa berlebihan dan sikap sombong.” (HR. Ahmad, Nasa`i dan Ibnu Majah. Hadis ini dishahihkan oleh Hakim).
Berdasarkan makna inilah hadis-hadis larangan isbal (memanjangkan celana melebihi mata kaki) ditafsirkan, seperti sabda Rasulullah saw.,
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ اْلإِزَارِ فَفِيْ النَّارِ
“Ujung pakaian yang berada di bawah kedua mata kaki tempatnya adalah neraka.” (HR. Bukhari).
Nabi saw. juga bersabda,
(( ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ )) قالها ثلاثا، ، قَالَ أَبُو ذَرٍّ: خَابُوا وَخَسِرُوا، مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: ((الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ)).
“Tiga orang yang pada hari Kiamat tidak akan diajak bicara, tidak dipandang dan tidak disucikan oleh Allah serta mendapatkan siksa yang pedih. Rasulullah saw. mengucapkan hal itu tiga kali. Lalu Abu Dzar berkata, Sengsara dan merugilah mereka, siapakah mereka itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab, Orang yang memanjangkan pakaiannya hingga di bawah mata kaki, orang yang menyebarkan adu domba dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR Muslim).
Hadis ini diartikan sebagai ancaman terhadap orang yang melakukannya karena sombong sebagaimana dijelaskan dalam hadis-hadis yang lain, seperti hadis Abdullah bin Umar r.a. yang diriwayatkan dalam ash-Shahihain bahwa Nabi saw. Bersabda,
لاَ يَنْظُرُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ
“Pada hari Kiamat, Allah tidak memandang orang yang menyeret pakaiannya (yang panjang) dengan sombong.”
Oleh karena itu, lafal larangan memanjangkan ujung pakaian yang bersifat mutlak dalam hadis-hadis tersebut, harus dibatasi dengan sikap sombong sebagaimana dinyatakan oleh Imam Nawawi. Imam Syafi'i telah menjelaskan secara tegas tentang perbedaan antara orang yang melebihkan pakaiannya karena sombong dan yang tidak sombong.
Di dalam kitab ash-Shahih, Imam Bukhari membuat sebuah bab dengan judul: Bab Orang yang Menyeret Sarungnya tanpa Sikap Sombong. Dalam bab itu beliau menyebutkan hadis Ibnu Umar r.a. bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. berkata, Wahai Rasulullah, salah satu sisi kain sarung saya melorot kecuali jika saya selalu memeganginya. Maka Rasulullah saw. Bersabda,
لَسْتَ مِمَّنْ يَعْمَلُهُ خُيَلاَءَ
“Kamu bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong.”
Begitu pula hadis Abi Bakrah r.a., ia berkata, “Terjadi gerhana matahari ketika kami sedang bersama Rasulullah saw.. Lalu beliau berjalan dengan terburu-buru ke masjid sambil menyeret kain sarungnya. Orang-orang pun segera bangkit. Beliau kemudian melakukan salat dua rakaat hingga gerhana tersebut hilang. Lalu beliau menghadap kepada kami dan berkata”,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئاً فَصَلُّوْا وَادْعُوْا اللهَ حَتَّى يَكْشِفَهَا
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kekuasaan Allah. Jika kalian melihatnya maka lakukanlah shalat dan berdoalah kepada Allah hingga Allah menyingkapnya kembali.”
Kedua hadis ini secara tegas dan jelas bahwa memanjangkan ujung pakaian hingga di bawah mata kaki (isbal) yang diharamkan adalah yang dilakukan dengan maksud sombong. Jika tidak maka tidak haram karena keberadaan sebuah hukum mengikuti keberadaan illat hukum itu.
Syariat juga telah memberikan ruang bagi tradisi dan kebiasaan sebuah masyarakat dalam menentukan bentuk pakaian dan penampilan. Rasulullah saw. melarang seseorang memakai pakaian yang menarik perhatian orang yang berbeda dengan pakaian masyarakat pada umumnya. Beliau bersabda,
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللهُ ثَوْبَ مَذِلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang memakai pakaian yang menarik perhatian orang-orang (karena berbeda dengan warna pakaian mereka) maka Allah akan memakaikan pakaian kehinaan padanya pada hari Kiamat.” (HR. Abu Dawud dan Ibu Majah dari hadis abdullah bin Umar r.a. serta dihasankan oleh al-Hafizh al-Mundziri).
Para sahabat sendiri ketika memasuki kota Persia mereka melakukan salat dengan memakai celana orang-orang Persia. Para ulama juga menyebutkan jika terdapat kesepakatan masyarakat untuk memanjangkan sebagian jenis pakaian yang biasa dipakai, sehingga setiap masyakarat memiliki ciri khas tersendiri yang diketahui oleh mereka, maka hal itu tidak diharamkan, tapi yang diharamkan adalah yang digunakan dengan niat menyombongkan diri.
Seorang muslim yang mencintai Sunnah hendaknya mengetahui masalah ini, juga memahami zamannya dan dapat menerapkan Sunnah-sunnah Nabi saw. secara baik dalam masyarakat. Sehingga, ia dapat membuat mereka tertarik dan senang dengan Sunnah-sunnah tersebut dan tidak menimbulkan fitnah yang membuat mereka menjauh mereka dari agama ini. Hendaknya seorang muslim juga dapat membedakan antara Sunnah yang berasal dari tabiat manusia, Sunnah yang berasal dari tata cara sesuai kebiasaan atau tradisi masyarakat dan jenis Sunnah-sunnah yang lain. Ia juga harus memperhatikan skala prioritas dalam penerapan Sunnah-sunnah tersebut, sehingga tidak mendahulukan yang bersifat anjuran dari yang bersifat wajib, atau lebih memperhatikan penampilan luar dengan mengabaikan sisi batin serta interaksi dengan baik di masyarakat. Seorang muslim juga hendaknya dapat memilih sunnah yang dapat dipahami masyarakat sehingga tidak menjadi bumerang yang mengakibatkan terjadinya pelecehan dan penolakan terhadap Sunnah itu sendiri.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ali karamallahu wajhah, “Bicaralah kepada orang-orang sesuai dengan pemahaman mereka dan tinggalkan hal-hal yang mereka benci. Apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (HR. Bukhari dan lainnya). Abdullah bin Mas'ud r.a. juga pernah berkata, “Tidaklah kamu berbicara kepada satu kaum tentang persoalan yang tidak mereka pahami kecuali persoalan itu dapat menjadi bencana bagi sebagian mereka.” (HR. Muslim).
Adapun membaca doa qunut dalam shalat Shubuh maka hal itu adalah sunnah Nabi. Ini merupakan pendapat sebagian besar kalangan Salaf salih dari para sahabat, tabi'in dan ulama-ulama setelah mereka. Dalam hadis Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu disebutkan bahwa, Sesungguhnya Nabi saw. membaca qunut selama satu bulan guna melaknat mereka (suku Ra'l, Dzakwan dll), lalu beliau meninggalkannya. Sedangkan dalam shalat Shubuh, maka beliau terus membaca qunut sampai meninggal dunia. Ini adalah hadis shahih yang diriwayatkan oleh beberapa orang hufazh dan mereka pun menshahihkannya, sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi dan lainnya. Pendapat ini diambil oleh para ulama Syafi'iyah dan Malikiyah dalam pendapat yang masyhur. Menurut mereka, membaca qunut dalam shalat Shubuh secara mutlak dianjurkan. Mereka menafsirkan riwayat-riwayat mengenai penghapusan hukum (nasakh) qunut atau larangan membacanya dengan mengatakan bahwa yang ditinggalkan adalah mendoakan suatu kaum tertentu dengan keburukan (melaknat mereka), bukan qunut secara mutlak.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa membaca qunut pada shalat Shubuh hanya dianjurkan ketika terjadi bencana-bencana yang menimpa kaum muslimin. Dengan kata lain, bila tidak terjadi bencana yang menuntut dibacanya doa qunut, maka membacanya tidak dianjurkan. Ini adalah pendapat ulama Mazhab Hanafi dan Hambali.
Dengan demikian, jika terjadi suatu bencana yang menimpa kaum muslimin, maka tidak ada perpedaan pendapat mengenai anjuran membaca qunut dalam shalat Shubuh. Dalam hal ini yang masih diperdebatkan adalah membacanya dalam shalat-shalat wajib yang lain. Sebagian ulama, seperti para ulama Mazhab Maliki, berpandangan bahwa membaca qunut ketika terjadi bencana yang menimpa orang-orang muslim hanya terbatas pada shalat Shubuh. Sedangkan sebagian yang lain, seperti ulama Mazhaab Hanafi, berpendapat bahwa doa qunut dibaca dalam semua shalat jahr (shalat yang bacaannya dibaca dengan keras). Adapun ulama Syafi'iyah, dalam pendapat yang shahih, berpendapat bahwa qunut dibaca di seluruh shalat-shalat wajib. Mereka mencontohkan bencana ini dengan wabah penyakit, paceklik (kekeringan), hujan yang merusak perkampungan dan tanaman, takut terhadap musuh dan tertangkapnya seorang ulama.
Kesimpulannya adalah bahwa perbedaan para ulama dalam masalah membaca qunut ketika shalat Shubuh hanya terbatas pada kondisi ketika tidak terjadi bencana. Adapun jika terjadi bencana, maka para ulama sepakat mengenai anjuran untuk membacanya dalam shalat Shubuh, sedangkan dalam shalat-shalat wajib lainnya maka masih diperselisihkan.
Dengan demikian, kritikan terhadap pembacaan doa qunut dalam shalat Shubuh dengan alasan bahwa perbuatan itu tidak benar, adalah kritikan yang salah. Hal ini bila dilihat dari kondisi umat Islam yang sedang ditimpa dengan berbagai bencana, musibah dan wabah penyakit serta rongrongan para musuh dari semua penjuru. Semua ini menuntut kita untuk memperbanyak doa dan munajat kepada Allah dengan harapan semoga Allah menjauhkan tangan-tangan jahat musuh dari kita, mengembalikan wilayah kita yang dirampas serta membuat bahagia Nabi kita Muhammad saw. dengan kemenangan umatnya dan kembalinya kehormatan umat ini yang terampas. Hal ini jika kita melihat bahwa bencana tersebut terus berkelanjutan dan tidak pernah berkesudahan.
Namun, orang yang berpendapat bahwa suatu bencana hanya terbatas pada waktu tertentu dan tidak lebih dari satu bulan atau empat puluh hari, maka orang tersebut tidak boleh menyalahkan orang yang membaca qunut ketika shalat Shubuh. Karena orang yang membaca qunut ini mengikuti pendapat salah satu imam mazhab yang diperintahkan untuk diikuti sebagaimana disinggung dalam firman Allah SWT, “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl [16]: 43).
Barang siapa yang mentaklid imam lain yang pendapatnya menurutnya benar dalam masalah ini, maka dia tidak boleh mengingkari orang yang membaca qunut. Karena, dalam kaidah fikih disebutkan: La yunkaru al-mukhtalaf fiih (Tidak boleh mengingkari persoalan yang masih diperdebatkan). Dan kaidah lain menyatakan: La yunqaqhu al-ijtihad bil ijtihad (Sebuah ijtihad tidak dibatalkan dengan ijtihad lain).
Wallahu subhanahu wa ta'ala a'lam.
0 komentar:
Posting Komentar