IMAM AL-GHAZALI DALAM PENCARIAN KEBENARAN

Posted in Rabu, 18 Mei 2011
by Ibnu MM

Kawasan Iraq, tepatnya Baghdad, Basrah dan Kufah, sebagai pusat pemerintahan kekuasaan Islam pada zaman pertengahan, merupakan muara pertemuan beraneka ragam budaya, peradaban dan agama. Tak kurang, kultur bangsa Persia, India, Suryani, serta penganut Yahudi dan Nasrani, ditambah dengan tradisi pemikiran rasional bangsa Yunani, berasimilasi dengan budaya Islam berbasis semenanjung Arab. Latar belakang sosial dan budaya yang heterogen ini memunculkan iklim keilmuan yang berkembang pesat. Kemajuan ilmu pengetahuan yang bukan saja terkonsentrasi pada keilmuan syari'at, tetapi juga merambah pada bidang sains dan teknologi, diklaim sebagai masa keemasan dan kejayaan Islam [1].
Di satu sisi, situasi semacam ini mendorong terjadinya lompatan-lompatan pemikiran hingga melampaui batas doktrin konvensional ajaran Islam. Kondisi awal perkembangan kekuasaan Islam yang diwarnai beragam sekat aliran, madzhab, dan kelompok kepentingan, menunjukkan besarnya dinamika kehidupan pada masa itu. Dimulai semenjak perpecahan pada akhir pemerintahan Utsman bin Affan dan berlanjut hingga pemerintahan Ali bin Abi Thalib, sampai pada keruntuhan Bani Umayyah yang cenderung represif itu. Setelah Dinasti Bani Abbasiyah berkuasa, ruang gerak perbedaan semakin melebar, karena elit penguasa sendiri memberikan stimulan berkembangnya keilmuan dan aneka wacana pemikiran.
Di tengah munculnya gejala pembelokan ajaran agama inilah, dunia Islam perlu bersyukur karena pada abad kelima hijriyah muncul seorang ulama' yang tampil meluruskan dan memurnikan ajaran agama Islam, serta mematahkan argumen para penyimpang. Adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, yang namanya menjulang karena ketinggian pengetahuan, kedalaman pemahaman, kekuatan argumentasi serta ketajaman analisisnya, hingga ditahbiskan sebagai Hujjat al-Islam.
Pengembaraan keilmuan Al-Ghazali
Ia dilahirkan di kota Thus, sebuah kota di Khurasan, pada tahun 450 H / 1058 M. dari latar belakang keluarga taat syari'at dan bersahaja dengan mata pencaharian memintal bulu. Sepeninggal sang ayah, Al-Ghazali bersama saudaranya, Ahmad, dititipkan pada seorang tokoh sufi. Karena harta benda yang dibekalkan kepada sang sufi tidak seberapa, akhirnya Al-Ghazali disekolahkan di sebuah madrasah yang menyediakan makanan setiap pagi dan sore bagi para muridnya. Bisa jadi, inilah salah satu motivasi awal Al-Ghazali mengais ilmu, untuk bisa bertahan hidup. Konon, berlatar belakang kisah ini, muncul adagium Al-Ghazali yang amat populer, thalabnâ al-'ilma li ghairi Allah, fa abâ an yakûna illâ lillâh, "dulu, kami mencari ilmu tidak karena Allah, namun ilmu itu sendiri enggan didapat kecuali hanya karena Allah". Yakni dengan bekal ilmu, seseorang akan dapat merubah sikap hidupnya ke jalan kebenaran yang merupakan tujuan akhir dari pencarian ilmu, yakni ma'rifat billah [2].
Setelah masa kecilnya menjalani pendidikan di Thus di bawah asuhan Ahmad bin al-Râdzakânî, pengembaraan keilmuan Al-Ghazali dilanjutkan ke Jurjan, sebuah kota besar antara Thabaristan dan Khurasan, dan berguru kepada Abu Nashr al-Ismâ'îlî. Kemudian setelah sempat kembali lagi ke Thus, ia melanjutkan perjalanan mengais ilmu ke Naisabur, dan menimba ilmu pada seorang guru besar, Imam Al-Haramain Abu al-Ma'âlî al-Juwainî. Dengan sungguh-sungguh ia menekuni ilmu fiqh, hingga mahir. Selain fiqh, ia juga menekuni secara intens ilmu retorika dan filsafat, hingga kerap melakukan kritik dan counter terhadap faham-faham menyimpang dari para pakar ilmu tersebut.
Sepeninggal Imam Al-Haramain, Al-Ghazali bertolak menuju Askar. Di sana ia bertemu dengan perdana menteri Nizham al-Mulk dan turut serta dalam forum dialog para pembesar ulama'. Tak segan-segan, Al-Ghazali muda melakukan debat ilmiah dengan mereka hingga banyak ulama' yang mengakui kedalaman pengetahuan dan kepiawaian argumentasinya. Hingga tibalah saatnya Nizham al-Mulk mengirimkannya ke Baghdad sebagai pengajar di Universitas Al-Nizhamiyyah, pada tahun 484 H. Di lembaga pendidikan ini, popularitas Al-Ghazali semakin menanjak [3].
Di sisi lain, nampaknya kedudukan dan ketenarannya ini justru menimbulkan keresahan pada diri sang Imam. Ia merasakan bahwa aktivitas pengajaran yang ia tekuni saat itu, bukanlah semata karena Allah. Motif utamanya, yang ia rasakan saat itu, adalah demi mengejar kedudukan dan popularitas. Akhirnya, tergeraklah hatinya untuk bepergian menuju Mekkah dan singgah di Syam. Akhirnya ia pun melakukan cara halus dengan berbagai alasan untuk angkat kaki dari Baghdad dan berniat tidak akan kembali untuk selamanya. Ketika bertolak dari Baghdad, ia tinggalkan segala harta dunia miliknya, kecuali sekedar kebutuhan perbekalan secukupnya, bahkan amat kurang dari cukup. Sesampainya di Syam, ia menuju sebuah masjid di Damaskus dan ber-i'tikaf di sana. Ia menaiki menara dan menutup diri di dalamnya sepanjang siang. Hari-harinya dilalui dengan melakukan uzlah, mengasingkan diri, merenung, dan menempa diri dengan riyadlah dan mujahadah. Tujuannya satu, penyucian diri. Setelah dua tahun ia menetap di Syam, ia pergi menunaikan ibadah haji, melakukan tapak tilas barakah kota suci Mekkah dan Madinah, serta berziarah ke pusara mulia Rasulullah. Selepas itu, waktunya dihabiskan untuk menempa diri dengan beragam ibadah dan ketaatan. Di sela-sela aktivitasnya ini, ia mulai menyusun buah pena monumentalnya, Ihyâ' 'Ulûm al-Dîn, hingga saatnya pulang kampung ke Baghdad [4].
Setelah itu, ia kembali ke Khurasan, dengan aktivitas keseharian yang tak jauh berbeda dengan saat masih berkelana di Syam dan Hijaz, ibadah, uzlah, khalwah, dan penyucian hati dengan dzikir. Hingga suatu ketika, Fakhr al-Mulk, putera Nizham al-Mulk, memintanya untuk kembali beraktivitas mengajar di Universitas Nizhamiyyah, Naisabur. Mulanya Al-Ghazali menolak hingga pada suatu saat, Allah menggerakkan hatinya untuk mempertimbangkan memenuhi permintaan Sultan. Akhirnya ia berketetapan hati untuk turun gunung, terjun kembali ke dunia yang pernah ia jalani, aktivitas pengajaran. Al-Ghazali berkata: "Aku yakin, meski aku kembali mengajar, tetapi hal itu bukanlah kembali. Karena kembali adalah menuju tempat semula. Memang, dahulu aku mengajar demi mencari kedudukan dan jabatan, menyeru pada pencapaian tahta dengan ucapan dan perbuatanku, itulah niat dan tujuanku saat itu. Tetapi sekarang, aku mengajar demi menyeru pada ilmu yang mengharuskan berpaling dari kedudukan dan kemuliaan jabatan, inilah niat, tujuan, dan cita-citaku saat ini, dan Allah tahu akan hal itu".
Akhirnya, setelah beberapa lama tinggal di Naisabur, Al-Ghazali kembali ke tanah kelahirannya, Thus, dan mendirikan madrasah di samping rumahnya untuk para fuqaha', dan surau untuk para sufi. Ia membagi waktunya antara meng-khatam-kan Al-Qur'an, menggelar forum pengajian tasawuf, mengajar para santri, ber-istiqamah shalat, puasa dan beragam ritual ibadah, hingga ajal menjemputnya pada 14 Jumadil Akhirah 505 H. / 1111 M. Jenazah agungnya disemayamkan di pemakaman Thabiran, di luar Thus [5].
Al-Ghazali dalam pencarian kebenaran
Perjalanan anak manusia bernama Al-Ghazali, ternyata amat "manusiawi". Meski nama harumnya semerbak di seantero Irak dengan kedalaman pengetahuan, ketajaman pisau analisis, dan keteraturan retorika serta ketepatan argumentasi, namun di dalam dirinya sempat muncul kegamangan dan kebimbangan. Bahkan, ini telah ia rasakan sejak masa remaja, sebelum menginjak usia 10 tahun, hingga usianya mencapai 50-an tahun, sebagaimana ia akui sendiri [6].
Abad kelima di mana Al-Ghazali hidup, adalah abad kemajuan dunia pemikiran. Beragam faham dan keyakinan terfragmentasi dalam berbagai faksi dan kelompok. Berbaurnya faham konvensional dan kontemporer, dengan beraneka metodologi penalaran dan pemahaman. Muncul juga bermacam-macam teori dan pembahasan dalam masalah teologi dan filsafat hingga merambah pada pembahasan gejala alam. Tak ketinggalan pula, madzhab fiqh terkotak-kotak dan terselubung kental rasa fanatisme masing-masing kubu. Semua seakan merasa bahwa dia dan kelompoknyalah yang benar.
Fakta semacam inilah yang merisaukan Al-Ghazali, di manakah kesejatian kebenaran dan melalui simpang jalan yang manakah sang kebenaran dapat direngkuh. Kepribadian independennya sebagai seorang cendekiawan mengharuskannya melepaskan diri dari belenggu primordial taqlid. Ia harus "bebas" memilih sesuai dengan bekal keluasan pengetahuan yang dimilikinya. Tak mungkin ia terburu mengambil keputusan menolak ataupun memaksakan diri untuk "yakin" pada salah satu simpang jalan itu. Al-Ghazali mengilustrasikan, bahwa perbedaan manusia dalam beragam agama dan keyakinan serta perbedaan umat dalam beraneka madzhab dengan bermacam-macam jalan, tak ubahnya samudera luas yang akan menenggelamkan banyak orang, kecuali amat sedikit dari mereka yang selamat. Masing-masing golongan mengklaim dialah yang selamat. Sebagaimana sabda Rasul "Umatku akan terpecah dalam 73 golongan, hanya satu diantaranya yang akan selamat" [7].
Hujjat al-Islam ini berasumsi bahkan taqlid-lah, yang awal mula mengarahkan manusia dalam perbedaan agama dan kepercayaan. Karena, anak-anak Nasrani hanya akan memeluk agama itu karena ia tumbuh di lingkungan Nasrani. Anak-anak Yahudi tidak akan mengikuti agama selain Yahudi karena ia dibesarkan di keluarga Yahudi. Begitu pula anak-anak muslim, mereka ber-Islam karena orangtua mereka muslim. Sebagaimana sabda Rasulullah, "Setiap bayi, dilahirkan dalam keadaan fitrah kesucian, kedua orang tuanya lah yang me-yahudi-kannya, me-nasrani-kannya dan me-majusi-kannya"[8].
Dalam batin Al-Ghazali bergejolak sebuah padoks antara keaslian fitrah dan doktrin taqlid dari kedua orang tua dan para guru. Ia tidak puas dengan hanya sekedar doktrin dogmatik tanpa pengetahuan dan keyakinan yang sejati. Tetapi, apakah pengetahuan yang sejati itu ? Menurutnya, pengetahuan sejati adalah pengetahuan dengan sebuah keyakinan yang dapat menyingkap hakikat dari sesuatu tanpa menyisakan keraguan; keyakinan yang memustahilkan adanya kekeliruan dan persangkaan. Pengetahuan dengan keyakinan yang tidak akan bergeming sedikitpun meski ditentang oleh seseorang yang pamer kemampuan dengan mengubah batu menjadi emas, atau menyulap tongkat menjadi ular [9].
Awalnya, seperti diungkapnya sendiri, Al-Ghazali menganggap bahwa pengetahuan sejati akan bisa didapat melalui indera lahir. Namun, tatkala penglihatan lahir menyimpulkan sintesa yang "tak masuk akal", yang oleh sang Imam dicontohkan dengan terlihatnya bintang dari jauh yang ternyata lebih kecil dari uang logam, padahal secara empiris terbukti bahwa bintang lebih besar dari ukuran bumi, maka Al-Ghazali pun berpaling pada akal yang baru saja mematahkan tipuan penglihatan lahirnya itu. Namun, tatkala rasio yang dianggapnya bisa menjadi pijakan sintesa kebenaran, kembali Al-Ghazali meragukan asumsi itu. Bisa jadi, pijakan rasio akan dimentahkan oleh pijakan-pijakan lainnya, sebagaimana juga pijakan indera lahir dipatahkan oleh pijakan rasio.
Lebih jauh lagi, muncul pijakan ketiga sintesa kebenaran, yang menambah absurditas kegamangan Al-Ghazali, yakni sintesa mimpi. Dalam mimpi seringkali tergambar sejumlah angan-angan, seakan nyata. Namun ketika terbangun, semuanya sirna tak berbekas. Dengan pemahaman terbalik, Al-Ghazali berspekulasi, tatkala dalam tidur tergambar angan-angan yang akan hilang sirna tatkala terjaga, begitu pula sebaliknya, bisa jadi keyakinan saat terjaga jauh berbeda dengan angan-angan dalam mimpi. Dan, siapa bisa menjamin keyakinan saat terjaga lebih aman dari sesat dan kekeliruan dibandingkan "angan-angan" saat tidur? Barangkali, pijakan terakhir inilah yang "mengilhami" kalangan sufi yang mengklaim bahwa keberadaan mereka saat tenggelam dalam lautan fana', tatkala seluruh rasa indera lahir mereka hilang di luar alam sadar, adalah sebuah keberadaan yang sama sekali bertentangan dengan sintesa rasio, yang justru mereka anggap sebagai kebenaran hakiki. Bisa jadi pula, kata batin Al-Ghazali, inilah refleksi sabda Rasul : "Manusia semuanya tertidur, ketika ajal menjemput, barulah mereka terbangun". Bisa jadi, kehidupan dunia ini tak ubahnya tidur terbuai mimpi, dan tatkala kematian tiba, akan tampaklah alam yang tak pernah dilihat sebelumnya.
Al-Ghazali merasakan kegamangan dan kebimbangan menghadapi tiga simpang jalan menuju sintesa kebenaran ini, sebagai sebuah penyakit yang tak ada penawarnya. Pilihan hanya bisa ditentukan dengan argumen, dan argumen bisa disusun berdasar premis-premis pegetahuan. Sementara, premis-premis pengetahuan tersebut tak dapat dijamin kebenarannya. Hingga dua bulan lamanya Al-Ghazali mengalami kebimbangan itu hingga Allah menyembuhkan "penyakit"nya itu. Akhirnya, Al-Ghazali kembali pada ketetapan mengadopsi premis rasional dan indera lahir sebagai premis sintesa kebenaran yang terpercaya dan terjamin. Namun hal itu, seperti pengakuannya sendiri, bukanlah tercapai berdasar rentetan argumentasi, melainkan faktor ilham dari Allah [10].
Demikian Al-Ghazali, berangkat dari sebuah kebimbangan, ia melakukan pengembaraan keilmuan. Pengetahuannya yang luas, analisanya yang tajam, dan penyampaian argumentasinya yang runtut teratur belum menjadikannya puas terhadap sintesa kebenaran yang dicapainya melalui premis rasional maupun pengindera lahir. Namun, pengabaiannya terhadap keterjaminan kedua premis ini, sebenarnya bukanlah pengabaian absolut. Dalam counternya terhadap premis pengindera lahir, sebenarnya bisa "dicarikan" komprominya. Al-Ghazali yang mencontohkan bahwa bintang yang terlihat dalam pandangan mata lebih kecil dari uang logam, padahal teori astronomi modern membuktikan bahwa benda langit itu lebih besar dari bumi. "Kemusykilan" semacam ini tidak seharusnya dijadikan sebagai alasan untuk tidak mengadopsi sama sekali terhadap premis indera lahir sebagai salah satu premis dari sebuah sintesa kebenaran. Demikian pula, pengabaian terhadap premis rasional yang oleh Al-Ghazali seakan tanpa pengajuan alasan apapun, selain hanya dilandaskan pada sebuah alasan dari pemahaman terbalik, jika premis indera lahir yang mulanya dianggap benar, kemudian ternyata premis rasional mementahkannya, maka apakah kemudian premis rasional juga menjamin kebenaran sejati dari sintesa yang dihasilkannya, padahal tidak menutup kemungkinan adanya premis-premis lain yang pada akhirnya akan mementahkannya. Premis rasional, jika diruntutkan pada prosedur ilmu logika dan retorika, pastilah akan membuahkan sintesa yang benar.
Badawi Thabanah dalam komentarnya dalam mukaddimah Ihyâ Ulûm al-Dîn berasumsi bahwa sebenarnya Sang Imam hanya ingin menunjukkan bahwa semata premis indera lahir dan premis rasional bukanlah pijakan ansich dari sintesa sebuah kebenaran. Dua bentuk premis di atas hanyalah "prolog" menuju upaya merengkuh kebenaran. Karena, kebenaran sejati, sebagaimana pula diakui dan dialami Al-Ghazali, adalah kebenaran yang merupakan ilham dari Allah [12]. "Barangsiapa yang semata berpegangan pada tendensi premis dlaruriyyat, maka ia telah mempersempit rahmat kasih sayang Allah" [13]. Ini terbukti dengan ending dari kebimbangan Al-Ghazali yang diakuinya bukan terselesaikan dari rentetan sejumlah dalil dan argumen, akan tetapi anugerah nur Allah yang dipancarkan pada hati dan pikirannya. Bentuk dari ending inipun juga memperkuat asumsi ini, yakni akhirnya bahwa Al-Ghazali kembali mempercayai pijakan premis indera lahir dan premis rasional dalam upaya pencapaian kebenaran.
Hal lain yang menguatkan bentuk kompromi semacam ini adalah pernyataan Al-Ghazali di akhir hikayat kebimbangannya. "Tujuan dari penuturan ini (yakni kebimbangan yang dialami Al-Ghazali), adalah perlunya kesungguhan optimal dalam menguak sebuah tabir kebenaran. Karena sebenarnya, premis-premis bukanlah target tujuan, karena dalam kenyataannya ia telah wujud…" [14]
Badawi melanjutkan, bahwa misi terbesar dari hikayat kebimbangan Al-Ghazali di atas adalah kritik tajam dan counter attack terhadap para saintis dan filosof pada masa itu, berikut para pengikutnya. Mereka yang mayoritas berkepercayaan watsani (animisme) amat membanggakan dan mendewakan rasio mereka hingga melampaui batas yang tidak semestinya. Ironisnya, pendirian dan pemikiran mereka ternyata diikuti oleh sejumlah filosof muslim. Tak jarang, mereka menganggap remeh simbol-simbol ritual ubudiyah, menginjak-injak sakralitas legal formal syari'at, hanya karena rasio tidak bisa menerima kebenaran tersebut .
Demikianlah Al-Ghazali, figur ulama' dengan keluasan pengetahuan, kedalaman pemahaman, ketajaman analisis dan akurasi argumen, tampil di panggung pemikiran abad kelima untuk membela panji-panji Islam dari serangan pemikiran kelompok-kelompok tertentu. Tokoh cendekiawan yang maju ke medan keilmuan untuk meluruskan penyimpangan-penyimpangan ajaran Islam serta mengembalikan kemurnian syari'at yang dibawa Rasulullah itu. Amat layaklah jika para ulama' mentahbiskan Al-Ghazali sebagai mujaddid (pembaharu) abad kelima hijriyah.


[1] Ahmad Amin, Zhuhrul Islam, Kairo: Maktabat al-Nahdlah al-Mishriyyah, 1964, Juz. IV hlm. 1-2
[2] Badawi Thabanah, Muqaddimah Ihya': Al-Ghazali wa Ihyâ' 'Ulûm al-Dîn, Surabaya: Dar Ihya' al-Kutub al-'Arabiyyah, tt., hlm 8.
[3] {Ibid., hlm. 8-9; Muhammad bin Muhammad al-Husainî al-Zabîdî, Ittihâf al-Sâdât al-Muttaqîn, Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, tt., juz I 9-10.
[4] Badawi Thabanah, Op.cit.,hlm. 9-10
[5] Muhammad Musthafa Abu al-'Alâ, Muqaddimah Munqidz Min al-Dlalâl, Tuban: Al-Ma'had al-Salafi Al-Balâgh, tt., hlm. 19-20.
[6] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Al-Munqidz min al-Dlalâl, Tuban: Al-Ma'had al-Salafi Al-Balâgh, tt., hlm. 23.
[7] Ibid.
[8] Ibid, hlm. 25.
[9] Ibid
[10] Ibid, hlm. 27-30.
[11] Badawi Thabanah, op.cit., hlm. 14.
[12] Al-Ghazali, op.cit., hlm. 30.
[13] Ibid., hlm. 31
[14] Badawi Thabanah, op.cit., hlm. 14-15.