Selaras dengan perkembangan keilmuan syari'at pada abad-abad permulaan Islam, serta dorongan kebutuhan akan ketersambungan mata rantai keilmuan, Umar bin Abdul Aziz, salah seorang khalifah Bani Umayyah memerintahkan upaya kodifikasi dan verifikasi hadis. Dalam kelanjutannya, disiplin ilmu hadis, dalam hal ini ilmu hadis dirayah, berkembang dalam berbagai macam cabang dan subcabangnya. Diantara cabang ilmu hadis dirayah, terdapat sebuah cabang ilmu hadis yang secara spesifik membahas tentang keberadaan para perawi. Cabang ilmu hadis ini dinamakan ilmu rijâl al-hadîts.
Dalam perkembangan selanjutnya, cabang ilmu rijâl al-hadîts ini terbagi dalam dua subcabang, yakni ilmu târîkh al-ruwât dan ilmu al-jarh wa al-ta'dîl. Ilmu târîkh al-ruwât secara khusus membicarakan biografi perawi hadis, meliputi tahun kelahiran dan wafat, tempat domisili, tempat-tempat pengembarannya, keberadaan guru-gurunya, riwayat keilmuannya, dan sebagainya [1]. Sedangkan ilmu al-jarh wa al-ta'dîl adalah ilmu yang secara spesifik membicarakan tentang nilai kapabilitas dan akseptabilitas perawi hadis. Kepribadian perawi hadis dari sisi integritas moral maupun kapasitas hafalan, memegang peranan penting dalam validasi sebuah hadis hingga mempengaruhi derajat kesahihan dan kelemahan hadis dari tinjauan argumentatifnya.
Secara harfiah, al-jarh berarti luka pada tubuh dengan ditandai mengalirnya darah. Secara konotatif, al-jarh digunakan sebagai ungkapan penilaian cacat dari seorang hakim atau yang lain terhadap seorang saksi karena adanya sesuatu yang menodai 'adâlah (moralitas)nya, berupa kebohongan atau lainnya. Dalam terminologi ilmu hadis, al-jarh adalah tampaknya sifat tertentu pada diri perawi yang dapat mencacatkan nilai moralitas dan hafalan yang berakibat pada pengabaian, pelemahan atau penolakan terhadap periwayatannya. Sedangkan tajrîh adalah bentuk transitif (muta'addi) dari jarh, yakni berarti penilaian cacat pada seorang perawi hadis dengan penuturan sifat-sifat yang menyebabkan kelemahan atau penolakan periwayatannya [2].
Adapun al-ta'dîl adalah bentuk transitif dari al-'adalah, yang bermakna harfiah sifat yang ada pada kepribadian seseorang yang lurus budi. Al-'adl adalah antonim dari al-jûr (lalim, aniaya). Seseorang yang memiliki 'adâlah, persaksiannya dapat diterima. Secara terminologis, al-'adl (dalam hal ini terma ini merupakan bentuk ism al-fâ'il, pelaku) adalah seseorang yang tidak nampak padanya sifat yang dapat menodai moralitas keberagamaan dan kepribadian. Karenanya, pemberitaan dan persaksian yang dilakukannya dapat diterima, tentunya setelah kriteria lain dalam hal ihwal penyampaian hadis telah terpenuhi. Dalam ranah disiplin ilmu hadis, al-ta'dîl adalah penilaian lurus dan bersih terhadap moralitas dan kepribadian perawi hadis, sehingga pemberitaannya layak untuk diterima. Dengan demikian, ilmu al-jarh wa al-ta'dîl adalah ilmu yang membahas keberadaan perawi hadis untuk dapat diterima atau ditolak periwayatannya [3].
Latar belakang kemunculan ilmu al-jarh wa al-ta'dîl
Kaidah universal syari'at memberikan legalitas kemunculan disiplin ilmu ini. Bahkan keberadaan salah satu cabang disiplin ilmu hadis ini merupakan keniscayaan atas kaum muslimin. Karena pengetahuan akan kepribadian perawi hadis merupakan sarana bagi pemeliharaan kemurnian al-sunnah. Al-Qur'an sendiri menuntunkan adanya klarifikasi (tabayyun) terhadap pemberitaan orang-orang fasiq. Allah SWT. berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (الحجرات : 6)
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat : 6).
Dalam permasalahan persaksian, Allah berfirman dalam ayat lain:
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى (البقرة : 282)
Artinya : Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. (QS. Al-Baqarah: 282).
Maksud dari saksi-saksi yang diridhai adalah orang-orang yang diridhai sifat keberagamaan dan amanahnya. Meski ayat di atas menjelaskan permasalahan persaksian (syahâdah), akan tetapi masalah pemberitaan (riwâyah) hadis tidak jauh berbeda dari persyaratan tadi [4].
Rasulullah pun memberikan isyarat diperbolehkannya memberikan penilaian buruk pada seseorang dengan tujuan kemaslahatan. Ketika suatu saat seseorang bertamu, beliau mengomentarinya:
بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ (متفق عليه)
Artinya : Dia adalah seburuk-buruk teman bergaul (HR. Bukhari dan Muslim).
Sedangkan, mengenai justifikasi penilaian lurus terhadap diri perawi, Rasul bersabda :
نِعْمَ عَبْدُ اللهِ خَالِد بْنُ الْوَلِيْد سَيْفٌ مِنْ سُيُوْفِ الله (رواه أحمد والترميذي عن أبي هريرة)
Artinya: Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin al-Walid, satu diantara pedang-pedang Allah. (HR. Ahmad dan Turmudzi dari Abu Hurairah ra.)
Ilmu al-jarh wa al-ta'dîl sendiri berkembang selaras dengan perkembangan periwayatan dalam keilmuan Islam. Adalah sebuah keniscayaan, dalam memastikan validitas kasahihan berita dibutuhkan pengetahuan tentang periwayatnya. Dengan pengetahuan ini, para ulama' bisa menilai kejujuran dan kebohongan para periwayat berita, hingga dapat memilah berita yang layak untuk diterima ataupun ditolak. Karenanya, para ulama' selalu mempertanyakan keberadaan para perawi hadis tentang latar belakang keilmuannya, segala tindak lakunya, hingga dapat diukur tingkat hafalan, ingatan serta intensitas kebersamaan dengan generasi perawi seatasnya.
Para ulama generasi awal, mulai generasi sahabat hingga tabi'in, tabi'it tabi'in dan ulama'-ulama' generasi setelahnya, meneruskan tradisi uji kelayakan dan kepatutan terhadap para perawi. Mereka melakukannya semata-mata demi berkhidmah terhadap syari'at dengan memelihara kemurnian al-sunnah sebagai salah satu mashadir al-syari'ah (sumber hukum syari'ah) ini. Kepentingan agama bagi mereka lebih menjadi prioritas penting daripada sekedar menghormati hak-hak privasi para perawi. Dan, investigasi tentang diri para perawi ini bukanlah termasuk kategori ghibah (menggunjing).
Tokoh-tokoh ulama' penekun ilmu al-jarh wa al-ta'dîl karya-karyanya
Meski baru menemukan bentuknya sebagai sebuah cabang disiplin ilmu mandiri sejak sekitar abad kedua hijriyah, namun upaya al-jarh wa al-ta'dîl ini telah dimulai semenjak masa shahabat dan tabi'in.
Kasyf al-Zhunûn mencatat, adalah Al-Hâfizh Syu'bah bin al-Hajjâj (161 – 234 H.), tokoh ulama yang pertama kali menekuni bidang keilmuan ini secara intens. Selanjutnya diikuti oleh Yahya bin Sa'îd al-Qaththânî [5]. Namun, Al-Dzahabî dalam karyanya, Mizân al-I'tidâl, menyatakan bahwa awal mula yang mengumpulkan nama-nama perawi adalah Yahya bin Sa'id al-Qaththânî, kemudian diikuti oleh murid-muridnya, Yahya bin Mu'în, 'Ali bin al-Madînî, Ahmad bin Hanbal, 'Amr bin 'Ali al-Fallâs, Abu Khaitsamah Zuhair, kemudian diikuti oleh para murid mereka, seperti Abû Zar'ah, Abû Hâtim, Al-Bukâri, Muslim, Abû Ishâq al-Jauzajâni, Al-Nasâi, Ibnu Khuzaimah, Al-Tirmîdzî, Al-Dawlâbî, Al-'Uqaylî, Ibn 'Adî, Abû al-Fath al-Azdî, Al-Dâruquthnî, Al-Hâkim, dan lain sebagainya [6].
Metodologi Dan Kode Etik Penilaian dalam al-Jarh wa al-Ta'dîl
Adalah sebuah keniscayaan, bahwa untuk mengetahui kualitas genealogi sebuah hadis, diperlukan pengetahuan tentang keberadaan para perawinya. Dan, sebagaimana paparan di muka, meski upaya penelitian terhadap kepribadian perawi ini terdapat unsur tajassus (mencari-cari kesalahan dan kelemahan orang lain), namun hal ini diperbolehkan demi memelihara kemurnian al-sunnah.
Mayoritas ulama' hadis dan fiqh sepakat bahwa, standar baku kelayakan perawi adalah dua hal dasar, yakni 'adâlah (moralitas) dan dlabth (kapasitas hafalan). Maksud dari 'adâlah yaitu bahwa seorang perawi haruslah muslim, baligh, berakal, serta terhindar dari sifat fasiq (keluar dari ketaatan beragama) dan faktor-faktor yang meruntuhkan murûah (harga diri)-nya. Sedangkan yang dimaksud dlabth adalah bahwa periwayatan dari seorang perawi tidak bertentangan dengan periwayatan para perawi terpercaya, bukan pula seseorang yang lemah hafalannya, atau seorang yang pelupa [7].
Kemudian, bagaimana cara mengetahui kedua kriteria karakter tersebut pada diri seorang perawi ? Tentang 'adâlah, bisa dinilai dari dengan dua cara. (1) Penilaian 'adâlah (ta'dîl) oleh dua orang 'adil yang berkompeten, yakni ulama' al-jarh wa al-ta'dîl. (2) Popularitas sifat 'adâlah seorang perawi, yakni perawi yang dikenal jujur dan banyak mendapat pujian di kalangan ulama', seperti Imam Madzhab empat, Sufyan bin 'Uyainah, Sufyan al-Tsauri, Al-Auza'i, dan yang lain. Hal ini karena, popularitas sifat 'adalah pada seorang perawi, lebih dari cukup daripada penilaian sifat 'adâlah yang dilakukan oleh seorang atau dua orang 'adil.
Sedangkan indikasi dlabth dari seorang perawi bisa diketahui dari adanya keselarasan sebagian besar periwayatannya dengan periwayatan dari para perawi lain yang terpercaya. Jika mayoritas periwayatan seorang perawi selaras dan tidak bertentangan dengan periwayatan para perawi terpercaya, maka, perawi tersebut dinilai memiliki karakter dlabth. Sedangkan ketidakselarasan yang terjadi pada sebagian kecil periwayatannya, tidaklah berpengaruh terhadap karakter dlabth perawi tersebut [8].
Selanjutnya, dalam uji kelayakan perawi ini terdapat sejumlah kode etik yang harus menjadi pegangan dasar. Upaya penelitian terhadap perawi hadis diarahkan hanya sebatas pada hal ihwal perawi yang ada sangkut pautnya dengan penilaian kesahihan sebuah hadis, seperti status 'adâlah (moralitas), kapasitas hafalan, kekuatan ingatan, serta akurasi ungkapan periwayatan. Selain dari hal-hal ini, para ulama' al-jarh wa al-ta'dîl tidak berkomentar lebih jauh tentang wilayah privasi perawi. Secara umum, penilaian terhadap perawi berpijak pada prinsip moderat. Secara terperinci, setidaknya terdapat empat prinsip kode etik dalam pola penilaian kepribadian perawi ini [9].
Pertama, fair dalam penilaian. Maksudnya adalah mengungkap fakta-fakta kepribadian perawi secara seimbang, pengungkapan sisi positif maupun sisi negatifnya. Karena, jika perawi diungkap sisi negatifnya semata, tanpa menyinggung sisi positifnya, tentunya hal semacam ini merupakan sebuah perbuatan lalim atau aniaya.
Kedua, akurat dan detail dalam penelitian. Maksudnya, dalam menilai sebuah periwayatan, para ulama' al-jarh wa al-ta'dîl menyebutkan pula alasan dan latar belakangnya. Seperti, ketika sebuah periwayatan dianggap lemah, hal semacam ini apakah timbul karena faktor kelemahan moralitas keberagamaan perawi ataukah karena faktor kelemahan hafalan, ingatan atau akurasi dan ketepatan dalam redaksi periwayatan.
Ketiga, elegan dan santun dalam penilaian. Yakni, bahwa penilaian standar kelayakan perawi, haruslah tetap berpijak pada etika dan tata karma, tidak sepatutnya dilakukan dengan ungkapan yang kasar dan vulgar. Seperti ketika mengungkap fakta periwayat hadis dla'if atau maudlu' dengan ungkapan "Fulan adalah orang yang amat pembohong dan pemalsu hadis". Meski ungkapan semacam ini sudah sesuai dengan fakta sebenarnya, misalnya, akan tetapi penutran kelemahan perawi semacam ini bisa dilakukan dengan cara yang lebih santun dan elegan, seperti ungkapan "Fulan bukanlah orang yang lurus perkataannya", atau "Hadis yang diriwayatkan Fulan tidak perlu diperhitungkan".
Keempat, global dalam ta'dîl (penilaian lurus budi) dan terperinci dalam jarh (penilaian cacat). Dalam menilai kepribadian perawi, para ulama al-jarh wa al-ta'dîl tidak menuturkan sebab dan alasan sifat 'adalah dari perawi, seperti, "Fulan adalah orang yang terpercaya, karena ia senantiasa melakukan shalat, puasa, tahajjud dan tidak pernah menyakiti orang lain". Ini karena banyaknya alasan dan sebab-sebab 'adalah, sehingga tidak mungkin untuk menutur semuanya. Hal ini berbeda dengan penilaian cacat terhadap perawi yang harus disertai sebab dan alasan kecacatannya, seperti seringnya lupa, kelemahan hafalan dan ingatan, ketidaktepatan pengungkapan, kebohongan, fasiq atau lainnya. Ini karena, dalam menilai cacat seorang perawi cukup dengan penuturan satu bentuk faktor kecacatan, tidak semuanya. Bahkan, kebanyakan ulama al-jarh wa al-ta'dîl menganggap cukup dengan menyebutkan hanya satu faktor kecacatan, sesuai dengan prinsip kaidah al-dlarûrat tuqaddaru bi qadrihâ, keringanan dalam keadaan darurat haruslah dilakukan seperlunya.
Demikianlah, ternyata dalam proses pencapaian kebenaran, utamanya dalam pengetahuan tentang syari'at, bukanlah sebuah hal yang mudah dilakukan, butuh waktu yang lama dan alur panjang berliku. Dalam menggali sintesa sebuah muatan hadis misalnya, dibutuhkan banyak sekali tahapan. Mulai dari pengembaraan pencarian informasi hadis ke berbagai penjuru tempat, dilanjutkan pengetahuan tentang mata rantai hadis tersebut hingga pada Rasulullah, verifikasi terhadap para perawinya, kemudian cross check dengan hadis atau sumber pengetahuan lainnya dalam segi sanad ataupun muatan hadisnya. Hingga setelah dapat dipastikan kesahihannya, masih juga dibutuhkan proses berliku dalam istinbâth hukum dengan berbagai detail metodologinya. Dan, perhatian umat terhadap keilmuan syari'at, terutama disiplin ilmu hadis, semakin menunjukkan gejala kelangkaan. Wallahu a'lam bi al-shawâb.
--------------------------------
[1] Muhammad 'Ujâj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts, 'Ulûmuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Dâr al-Fikr, 1989, hlm. 253.
[2] Ibid., hlm. 260.
[3] Ibid, hlm. 260-261.
[4] Ibid, hlm. 261.
[5] Mushthafâ bin Abdillah al-Qusthanthînî, Kasyf al-Zhunûn 'an Asâmî al-Kutub wa al-Funûn, Makkah: Al-Fayshâliyyah, tt., juz I hlm. 582.
[6] Syamsuddîn Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî, Mîzan al-I'tidâl fî Naqd al-Rijâl, Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1995, juz I hlm. 110.
[7] Mahmûd al-Thahhân, Taysîr Mushthalah al-Hadîts, Beirut: Dâr al-Fikr, tt., hlm. 121.
[8] Jalâluddîn 'Abdurrahman bin Abî Bakar al-Suyûthî, Tadrîb al-Râwî, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., juz I, hlm. 164-166.
[9] Muhammad 'Ujâj al-Khathîb, op.cit., hlm. 265-267
0 komentar:
Posting Komentar