MEMINTA-MINTA ADALAH BARA

Posted in Senin, 16 Mei 2011
by Ibnu MM

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallâhu anhu, bahwa Rasulullah shallallâhu alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَفْتَحُ إِنْسَانٌ عَلَى نَفْسِهِ بَابَ مَسْأَلَةٍ إِلَّا فَتَحَ اللهُ عَلَيْهِ بَابَ فَقْرٍ ، لَأَنْ يَعْمِدَ الرَّجُلُ حَبْلًا إِلَى جَبَلٍ فَيَحْتَطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ وَيَأْكُلَ مِنْهُ ، خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ مُعْطًى أَوْ مَمْنُوْعًا (رواه ابن حبان)

Tidaklah seseorang membuka bagi dirinya pintu meminta-minta, melainkan Allah membuka atasnya pintu kefakiran. Sungguh, seseorang yang berbekal tampar lalu mendaki gunung, mencari kayu bakar, lalu memanggulnya di atas punggungnya, dan memakan dari hasil jerih payahnya, adalah lebih baik daripada dia meminta-minta pada orang lain, entah diberi ataukah tidak. (HR. Ibnu Hibban, shahih berdasar syarat Muslim)

*********

Islam memelihara kemuliaan dan harga diri seorang muslim. Syariatnya memberikan tuntunan agar seorang muslim jangan sampai terhinakan di hadapan makhluk, apalagi demi harta dunia. Karenanya, syariat Islam melarang meminta-minta untuk disedekahi, atau menampakkan tanda-tanda miskin agar diberikan sedekah. Mengemis, atau meminta-minta, adalah sebuah tindakan tercela. Ibnu Hajar al-Haitami dalam Az-Zawâjir mengkategorikannya sebagai salah satu dosa besar, mengingat sekian banyak hadis yang menjelaskan tentang ancaman yang berat bagi para pelakunya. Dalam ranah fiqhiyyah, pada dasarnya hukum meminta-minta adalah haram, bisa menjadi mubah jika dalam kondisi darurat atau hajat yang mendekati darurat. Hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama’, di antaranya dipaparkan Al-Ghazali dan An-Nawawi.

Dalam Ihya’ Ulûmiddîn dijelaskan, bahwa hukum asal keharaman ini dilandasi alasan bahwa dalam meminta-minta, terdapat tiga hal terlarang. Pertama, mengadukan Allah kepada makhlukNya. Karena dengan meminta-minta, seseorang telah menampakkan kefakirannya, serta menuturkan keterbatasan nikmat Allah atasnya, dan inilah hakikat pengaduan atau ketidakpuasan atas pembagian Allah. Kedua, dalam meminta-minta pastilah ada unsur merendahkan diri sendiri kepada orang yang dimintai. Sedangkan merendahkan diri kepada selain Allah, apalagi dengan motif karena kekayaannya, adalah hal terlarang bagi seorang mukmin. Dari Abu Dzar radliyallâhu anhu, bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَنَ اللهُ فَقِيْرًا تَوَاضَعَ لِغَنِيٍّ مِنْ أَجْلِ مَالِهِ ، مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ مِنْهُمْ فَقَدْ ذَهَبَ ثُلُثَا دِيْنِهِ (رواه الديلمى)

Allah melaknat seorang fakir yang merendahkan diri kepada orang kaya karena hartanya. Barangsiapa melakukannya, maka telah hilang dua per tiga agamanya (HR. Dailami)

Ketiga, dengan meminta-minta, orang yang dimintai seringkali merasa tersakiti. Karena, terkadang orang yang dimintai terpaksa memberi dengan tanpa keikhlasan hati. Adakalanya motif pemberian adalah agar terhindar dari rasa malu pada peminta atau orang-orang di sekitarnya. Dengan memberi, hartanya berkurang, namun dengan menolaknya, kehormatannya dipertaruhkan. Dan, kedua hal menyakitkan ini, tak lain muncul karena sebuah permintaan. Atau kadangkala motif pemberian adalah demi pamer dan popularitas, yang hukumnya haram. Karena motif ini muncul dari sebuah permintaan, maka sama halnya seseorang yang meminta-minta telah membantu terwujudnya sebuah keharaman.

Hukum keharaman meminta-minta ini bisa berubah, tatkala terdapat kondisi darurat, semisal seseorang yang perutnya tidak terisi beberapa hari, dan dia tidak memiliki apapun untuk dimakan atau dibelikan makanan. Andaikan dia tidak makan, maka hampir bisa dipastikan akan mati. Dalam kondisi semacam ini, boleh meminta, bahkan wajib. Sebagaimana kaidah fiqh “Adl-dlarûrât tubîhu al-mahdhûrât”, kondisi darurat membolehkan hal yang sebelumnya dilarang. Sama seperti kondisi darurat, adalah kondisi hajat yang sangat, yang mendekati taraf darurat. Sebagaimana kaidah “Al-hâjat tunazzalu manzilah adl-dlarûrat”, kondisi hajat bisa diposisikan seperti kondisi darurat. Sehingga, jika seseorang meminta-minta karena dilatarbelakangi adanya kondisi darurat atau hajat, yakni sedang membutuhkan sesuatu yang dimintanya, sementara ia tidak memilikinya, atau tidak mampu mendapatkannya, maka hukumnya tidaklah haram. Karenanya, keharaman meminta-minta adalah jika permintaan muncul dari seseorang yang kaya atau mampu bekerja. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis,

مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ (رواه الطبراني)

Barangsiapa meminta-minta bukan karena kebutuhan, maka seakan-akan dia memakan bara (HR. Thabrani)

إنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ لِغَنِيٍّ وَلَا لِذِي مِرَّةٍ سَوِيٍّ إلَّا لِذِي فَقْرٍ مُدْقِعٍ أَوْ لِذِي غُرْمٍ مُفْظِعٍ ، وَمَنْ سَأَلَ النَّاسَ لِيُثْرِيَ بِهِ مَالُهُ كَانَ خُمُوشًا فِي وَجْهِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَرَضْفًاَ يَأْكُلُهُ مِنْ جَهَنَّمَ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُقْلِلْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُكْثِرْ (رواه الترمذي)

Sesungguhnya meminta-minta tidaklah halal bagi orang yang kaya, tidak juga bagi orang yang kuat bekerja, kecuali bagi orang fakir yang lahannya tandus, atau orang yang terjerat banyak hutang. Barangsiapa meminta-minta kepada manusia agar hartanya bertambah, maka hal itu akan menjadi cakaran pada wajahnya di hari kiamat, dan menjadi batu membara yang dimakannya dari jahannam. Barangsiapa menghendaki, maka persedikitlah, atau perbanyaklah ! (HR. Turmudzi)

Selanjutnya, jika tindakan meminta-minta dihukumi haram, bagaimana dengan status barang yang diambilnya? Akankah juga halal, alias apakah status kepemilikannya berpindah tangan kepada peminta-minta? Dalam hal ini Al-Ghazali mengilustrasikan, bahwa jika motif pemberi adalah karena malu pada peminta atau pada orang-orang di sekitarnya jika tidak memberi, yang andaikan tidak ada permintaan, dia tidak akan berinisiatif memberi, maka status barang yang diterima oleh peminta adalah murni haram, bukan sekedar syubhat, dan dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di antara umat. Status hukum barang yang diterima tak ubahnya mengambil barang orang lain dengan cara memukul atau merampas. Tak ada bedanya, antara memukul secara lahiriah kulit tubuhnya dengan cambuk kayu, dan memukul batin hatinya dengan cambuk rasa malu dan takut celaan. Bahkan, luka dalam batin akan lebih hebat menohok hati orang-orang berakal. Sama seperti meminta-minta dengan lisan ucapan, adalah meminta-minta dengan lisan keadaan. Seperti halnya orang yang mampu atau kaya, akan tetapi berpura-pura miskin atau membutuhkan, sehingga orang lain tergerak hati untuk memberinya. Ini karena, andaikan si pemberi tahu keberadaan yang sesungguhnya, kemungkinan besar dia tidak akan memberi. Maka status barang pemberian melalui cara ini adalah haram. Karenanya, wajib mengembalikan barang pemberian tersebut, karena status kepemilikan barang itu pada hakikatnya belum berpindah dari tangan pemberinya. Jika pemberi malu untuk menerimanya kembali, maka penerima pemberian hendaknya membalasnya dengan pemberian yang setara dalam bentuk hadiah. Dan jika pun ini tidak diterimanya, maka hendaknya dikembalikan pada ahli warisnya.

Standar miskin atau kebutuhan yang membolehkan meminta-minta

Lantas, bagaimanakah standar kaya atau tercukupi, yang dengannya seseorang haram untuk meminta-minta ? Sebenarnya, dari sekian banyak hadis dijelaskan standar yang bermacam-macam. Dalam sebagian hadis dijelaskan bahwa standarnya adalah kecukupan makan sehari semalam. Sebagaimana hadis berikut,

مَنْ سَأَلَ شَيْئًا وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنْ جَمْرِ جَهَنَّمَ قَالُوا وَمَا يُغْنِيهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ قَدْرُ مَا يُغَدِّيهِ أَوْ يُعَشِّيهِ (رواه أبو داود)

“Barangsiapa yang meminta sesuatu, sedangkan dia memiliki apa yang mencukupinya, maka sebenarnya dia memperbanyak bara jahannam”. Para shahabat bertanya, “Bagaimana sesuatu yang mencukupinya itu wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Kadar yang mencukupinya untuk makan pagi dan makan malam” (HR. Abu Dawud)

Dalam hadis lain bahkan dijelaskan kadar nominal tertentu, sebagian redaksi hadis menyatakan 50 dirham (sekitar 148,75 gram perak), dan dalam sebagian redaksi 40 dirham (sekitar 119 gram perak). Menyikapi perbedaan standar ini, Al-Ghazali menyimpulkan bahwa standar yang berbeda-beda dalam redaksi hadis mengindikasikan perbedaan standar bergantung perbedaan kondisi masing-masing orang.

Dalam Syarh Shahîh Muslim karya An-Nawawi, Al-Khaththabi berkata, “Para ulama’ berbeda pendapat tentang penjelasan hadis ini, sebagian ulama’ menyatakan bahwa barangsiapa yang menemukan makan sehari semalam, maka tidak halal baginya meminta-minta, sebagaimana dhahir hadis. Sebagian ulama’ lain menyatakan bahwa keharaman meminta-minta hanyalah bagi orang yang menemukan makan pagi dan malam dalam jangka waktu yang lama. Sebagian ulama’ yang lain menyatakan bahwa hadis di atas di-naskh dengan hadis yang di dalamnya terdapat penentuan kadar kaya dengan kepemilikan 50 dirham atau senilai dengannya, dan kepemilikan satu uqiyah (40 dirham) atau yang senilai dengannya”. Selanjutnya, An-Nawawi mengomentari, bahwa pendapat yang unggul adalah yang pertama, yakni penentuan kadar dengan kepemilikan sesuatu untuk makan dalam hanya sehari semalam saja, dalam kasus meminta-minta sedekah sunnah. Dan jika dalam kasus meminta-minta zakat, maka tidaklah haram meminta-minta kecuali jika seseorang memiliki kecukupan kekayaan sepanjang standar umum umur manusia. Sedangkan klaim naskh tidak dapat diterima karena tidak ada kepastian kronologi asbâb al-wurûd hadis-hadis tersebut. Demikian Imam An-Nawawi berpendapat.

Kemudian, jika seseorang tidak memiliki sesuatu untuk dimakan atau dibelanjakan untuk makanan dalam sehari semalam, akan tetapi dia mampu bekerja dengan pekerjaan yang layak baginya, apakah dalam kondisi semacam ini boleh untuk meminta-minta? An-Nawawi menyatakan, ada dua versi pendapat. Versi pendapat ashahh menyatakan haram, berdasarkan dhahir hadis. Versi kedua menyatakan boleh meminta-minta, dengan syarat tidak merendahkan diri, tidak melakukan desakan atau merengek-rengek dalam meminta dan tidak menyakiti hati orang yang dimintai.

Jika memang harus meminta…

Jika terpaksa harus meminta, dikarenakan seseorang dalam kondisi darurat atau hajat yang sangat, maka yang perlu diperhatikan adalah menghilangkan atau meminimalisir tiga hal terlarang yang menjadikan keharaman meminta, sebagaimana dipaparkan Al-Ghazali. Pengaduan atau ketidakpuasaan atas Allah, bisa tertolak dengan menampakkan rasa syukur dan ketidakbutuhan pada makhluk, serta tidak meminta seperti permintaan orang yang membutuhkan. Semisal dengan ucapan, “Sebenarnya saya telah merasa cukup dengan apa yang saya miliki, akan tetapi kebodohan diri saya menuntut pakaian pelapis di atas pakaian saya, dan sebenarnya ini melebihi kebutuhan”. Sedangkan merendahkan diri, bisa dihilangkan dengan meminta pada ayah, kerabat atau sahabat dekatnya yang dipastikan bahwa permintaannya itu tidak mengurangi kehormatannya. Atau pada dermawan yang telah menyiapkan hartanya untuk santunan, yang akan dengan senang hati atas kehadiran orang-orang yang membutuhkan bantuannya. Sedangkan menyakiti orang yang dimintai, maka cara menghindarinya adalah dengan tidak menunjuk atau mengkhususkan orang yang akan dimintainya, akan tetapi menyampaikan ucapan dalam bentuk sindiran. Atau jika terpaksa meminta kepada orang tertentu, maka hendaknya permintaan disampaikan dengan nada sindiran yang mudah dilupakan, yang sehingga jika orang tersebut tidak melupakannya, dan meresponnya dengan pemberian, maka bisa diduga bahwa pemberian itu muncul karena dorongan kerelaannya.

Dalam sejumlah kasus tertentu, meminta-minta diperbolehkan, jika tidak terdapat tiga hal terlarang sebagaimana dipaparkan di atas. Secara ringkas, hal ini juga bisa dideteksi dengan melihat tiga sudut pandang, yakni siapa yang diminta, barang apa yang diminta, dan bagaimana cara meminta. Siapa yang diminta, maka hendaklah dipilih orang-orang yang memiliki hubungan dekat, sekira dapat dipastikan kerelaannya, seperti pada kerabat atau sahabat dekat. Barang apa yang diminta, maka hendaklah dipertimbangkan potensi minnah atau pamrih dari pemberian barang tersebut. Seperti halnya meminta air minum, sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah shallallâhu alaihi wa sallam, atau barang-barang yang telah menjadi kebiasaan dalam memintanya. Sedangkan bagaimana cara meminta, maka hendaklah tidak meminta dengan cara mendesak atau merengek-rengek, tidak melakukan penipuan dengan ucapan atau tampilan keadaan, semisal dengan berpakaian ala orang melarat yang tidak mempunyai apa-apa, padahal sebenarnya keberadaannya tidak separah itu, atau berpakaian ala ulama’, habaib atau orang shaleh, padahal batinnya tidaklah demikian, yang andaikan si pemberi mengetahui keberadaan yang sebenarnya, pastilah dia tidak akan sudi memberi. Demikianlah, semoga Allah menganugerahkan kecukupan pada kita. Amin. Wallâhu a’lam. r

Referensi

  1. Muhammad bin Muhammad Al-Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulumiddin, Surabaya : Al-Hidayah, tt.
  2. Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar al-Haitamî, Az-Zawâjir ‘an Iqtirâf al-Kabâir,
  3. Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, Beirut: Darul Fikr, tt.
  4. Muhammad bin Syihâbiddîn ar-Ramlî, Nihâyah al-Muhtâj ilâ Syarh al-Minhâj, Beirut: Darul Fikr, 2004.
  5. Zakariyya bin Muhammad bin Zakariyya al-Anshârî, Syarh al-Bahjah, Beirut: Al-Mathba’ah al-Maimuniyyah, tt.
  6. Muhammad Abdur Raûf al-Munâwî, Faydlul Qadîr Syarh al-Jâmi’ as-Shagîr, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2001.
  7. Wizârat al-Awqâf wa al-Syu'ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah, Kuwait: Wizârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, tt.