TASAWUF, SEBUAH FENOMENA

Posted in Rabu, 18 Mei 2011
by Ibnu MM

Sebagaimana diketahui, Islam adalah agama yang mengusung doktrin-doktrin keagamaan, bersifat eksetoris (lahiriah) dan esoteris (batiniah). Kedua doktrin tersebut bermuara pada satu titik sentral, yakni Tauhid, mengesakan Allah SWT., dalam keyakinan maupun amaliah ummat manusia. Kelak akan muncul sejumlah istilah atau terminologi dalam ilmu-ilmu Islam sebagai pendekatan lain dari pemahaman amaliah Islam itu sendiri. Adalah tasawuf, satu diantara terminologi baru yang muncul melalui sketsa perjalanan sejarah perkembangan Islam.
Istilah-istilah yang menjadi terminologi dalam tasawuf, juga tidak pernah terekam, secara akademis dalam sejarah periode Islam awal. Bahkan di zaman Nabi, istilah sufi, syari'at haqiqat ataupun thariqat, tidak dimunculkan sebagai istilah tersendiri dalam praktik keagamaan. Hal ini semata karena para sahabat dan tabi'in, adalah para pelaku syari'at, thariqat dan haqiqat sekaligus, dalam kesehariannya. Baru satu setengah abad kemudian, istilah-istilah itu muncul dengan terminologi tersendiri, dalam kerangka memudahkan pemahaman dan praktik keislaman yang sebenarnya.
Hanya saja, ada sebuah landasan teologis yang menjelaskan substansi dunia esoteris (tasawuf) secara komprehensif, yakni hadits Rasulullah saw. tentang al-ihsân. Dalam riwayat Al- Bukhari, Rasulullah saw. bersabda: "hendaknya engkau manyembah Allah seakan-akan engkau melihatNya, maka apabila engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.” Term al-ihsân inilah yang dalam praktiknya, memunculkan tradisi agung dalam Islam, yaitu amaliah batin yang kelak akan membangun sebuah akademi esoteris yang luar biasa. “Seakan-akan melihat Allah dan Allah melihatnya,” adalah puncak dari prestasi moral seorang hamba Allah di saat sang hamba berhubungan denganNya. Proses-proses berhubungan itulah yang kemudian diatur dalam praktik tasawuf. Karena dalam setiap tradisi thariqat tasawuf yang mempunyai sanad (genealogi) sampai kepada Rasulullah saw. – kelak disebut dengan thariqat mu’tabarah – menunjukkan bahwa tradisi sufistik sudah berlangsung sejak zaman Rasulullh saw. Hanya saja tradisi tersebut tidak terpublikasi secara massif, mengingat dunia esoteris adalah dunia spesifik, di mana tidak semua khayalak menerimanya. Doktrin-doktrin dzikir dan pelaksanaannya yang dilakukan melalui bai'at pada Rasulullah saw, menggambarkan hubungan-hubungan psikologis antara Rasul saw. ketika itu dengan sahabat dan Allah swt.
Di lain pihak, tradisi akademi Taswuf nantinya melahirkan produk-produk penafsiran esoterik atau metafisik, terhadap khazanah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Selain karena Al-Qur’an secara khusus punya penekanan terhadap soal-soal Tasawuf, ternyata seluruh kandungan Al-Qur’an juga mengandung dimensi batin yang sangat unik. Jadi tidak ada alasan sama sekali untuk menolak tasawuf, hanya karena beralasan bahwa tasawuf tidak ada dalam Al-Qur’an. Karena seluruh kandungan Al-Qur’an mengandung dua hal, dzahir dan batin , syari’at dan haqiqat.
Prof. Dr. Said Aqiel Siradj mencatat bahwa dalam kebanyakan referensi, istilah tasawuf, muncul dari Ma’ruf al-Karkhy (w. 200 H.). Namun, Said Aqiel cenderung berpihak pada asumsi bahwa istilah tasawuf muncul dari Abu Abdillah (Abu Musa) Jabir bin Hayyan bin Abdillah al-Kufi (w. 161 H.) salah seorang murid dari Ja’far al-Shadiq yang terkenal dengan temuannya, aljabar. Jabir bin Hayyan inilah yang pertama kali mendapatkan gelar sufi. Sebagai seorang ilmuwan matematika, dan kimia, Jabir justru memasuki dunia tasawuf dengan segala penemuannya. Kesadaran Jabir bin Hayyan memasuki dunia ini bermula dari aksioma dlamir (kata ganti) Ana (aku, orang pertama), Huwa (dia, orang ketiga) dan Anta (kamu , orang kedua). Ketiga kata ganti tersebut bisa melekat pada satu orang, semisal Ahmad. Ketika ia menyebut dirinya pasti menggunakan kata ganti Ana, jika ia tidak ada di tempat, maka ia disebut dengan Huwa (dia), sementara ketika ia ada di hadapan Anda, maka anda menyebutnya Anta. Lalu ke mana larinya sebutan Ana, Anta dan Huwa setelah Ahmad meninggal dunia? Jabir menyimpulkan bahwa semua dlamir yang disandang itu kembali kepada yang berhak mempunyai Ana, Anta dan Huwa, yaitu Allah swt.
Baru pada abad ketiga hijriyah dinamika tasawuf baru pada taraf tasawuf sunni (akhlaqy). Baru kemudian, menurut Said Aqiel, berkembang tasawuf falsafi sebagaimana digaungkan oleh Abu Yazid al-Bustamy (w.261 H.), disusul Abu Manshur al-Hallaj (w.309 H.) masing-masing dengan teori al-fana’ dan Ana al-haq. Dua abad berikutnya muncullah Al-Sahrawardi al-Maqtul dengan pandangan isyraqi-nya, disusul Muhammad bin Abu Bakar Ibrahim bin Abi Ya’qub Ishaq al-Aththar (w.621 H.) yang memperkenalkan teori al-ittihad. Hampir bisa dikatakan bahwa puncak prestasi dari tasawuf falsafi ada pada periode Abu Hamid Al-Ghazali yang bergelar Hujjatul Islam, kemudian Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Ibnul Arabi, dan Sulthan al-Auliya’ Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili. Dari seluruh tokoh sufi di atas, lahirlah banyak madzhab tasawuf yang kelak muncul dalam ordo-ordo thariqat. Semula arti thariqat itu sendiri adalah metode atau sistem. Berikutnya thariqat melibatkan komunitas sufistik yang tergabung dalam ordo tersebut, sehingga menjadi semacam organisasi spiritual Islam.
Dalam sejarah perkembangannya, sufi dan tasawuf senantiasa beriringan. Beberapa sumber dari orientalis maupun dari buku-buku yang berkaitan dengan sejarah tasawuf memunculkan sejumlah definisi. Definisi inipun juga berkaitan dengan para tokoh Sufi setiap zaman, di samping pertumbuhan akademi Islam. Reinaldo Nicholson, salah satu guru para orientalis, membuat telaah yang terlalu empirik dan sosiologik mengenai tasawuf atau sufi ini, sehingga definisinya menjadi sangat historik, dan terjebak oleh paradigma akademik-filosofis. Pandangan Nicholson tentu diikuti oleh para orientalis berikutnya yang mencoba menyibak khazanah esoterisme dalam dunia Islam, seperti J. Arbery, ataupun Louis Massignon, walaupun sejumlah penelitian mereka harus diakui cukup berharga untuk menyibak sisi lain yang selama ini terpendam. Bahwa dalam sejarah perkembangannya, menurut Nicholson, tasawuf adalah bentuk ekstremitas dari aktivitas keagamaan di masa dinasti Umawi, sehingga para aktivisnya menyingkir dari dunia ramai (uzlah) dan melakukan perenungan serta kontemplasi (tafakkur) semata hanya demi Allah saja hidupnya. Bahkan lebih radikal lagi adalah hipotesis yang menyebutkan bahwa tasawuf adalah wujud sinkretisme dari Kristen, Hindu, Budha, dan Neo Platonisme serta Hellenisme. Penelitian filosofis ini, tentu sangat menjebak, karena fakta-fakta spiritual pada dasarnya memiliki keutuhan otentik sejak zaman Rasulullah Mahammad saw, baik secara tekstual maupun historis.
Dalam kajian soal Sanad Thariqat, bisa terlihat bagaimana validitas tasawuf secara praktis, hingga sampai pada alurnya, tasawuf Rasulullah saw. Fakta itulah yang nantinya yang bisa membuka cakrawala historis, dan kelak juga berpengaruh bagi munculnya berbagai ordo thariqat yang kemudian muncul klaim terbaginya thariqat atas thariqat yang diakui legalitas dan validitas genealoginya (thariqat mu’tabarah) dan sebaliknya (ghairu mu’tabarah).
Pandangan paling monumental tentang tasawuf juga muncul dari Abu al-Qasim Al-Qusyairi al-Naisaburi, seorang ulama’ sufi abad keempat hijriyah. Al-Qusyairy sebenarnya tak lebih dari menyimpulkan seluruh pandangan ulama’ sufi sebelumnya, sekaligus menepis bahwa definisi tasawuf atau sufi muncul melalui akar-akar historis, akar bahasa, akar intelektual dan filsafat di luar dunia Islam. Walaupun tidak secara transparan Al-Qusyairy menyebutkan definisinya, tetapi dengan mengangkat sejumlah wacana para tokoh sufi dan tasawuf, menunjukkan betapa sufi dan tasawuf tidak bisa dikaitkan dengan sejumlah etimologi maupun tradisi yang nantinya kembali pada akar sufi. Dalam penyusunan buku Al-Risalah al-Qusyairiyah misalnya, ia menegaskan bahwa apa yang ditulis dalam risalah tersebut untuk menunjukan kepada mereka yang salah paham terhadap tasawuf, semata karena kebodohannya terhadap hakikat tasawuf itu sendiri. Menurutnya, tasawuf merupakan amaliah, ruh, rasa dan etika dalam Islam itu sendiri. Tasawuf pada prinsipnya bukanlah tambahan terhadap Al-Qur’an dan sunnah Nabi, justru tasawuf adalah implementasi dari sebuah kerangka agung Islam.
Selanjutnya, dalam dunia tasawuf muncul sejumlah istilah yang sangat populer di kalangan sufi, dan menjadi terminologi tersendiri dalam disiplin akademi Islam. Istilah-istilah tersebut sebenarnya lebih merupakan sarana untuk memudahkan para pemeluk dunia Sufi untuk memahami lebih dalam tentang dunia tasawuf. Istilah-istilah dalam dunia Sufi, semuanya didasarkan pada Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Karenanya, dibutuhkan sejumlah ensiklopedia tasawuf untuk memahami sejumlah terminologinya, sebagaimana ma’rifatullah, al-waqt, maqam, hal, qabdl dan basth, haibah dan uns, tawajud–wajd–wujud, jam’ dan farq, fana' dan baqa’, ghaibah dan hudlur, shahw dan sukr, dzauq dan syurb, mahw dan istbat, sitr dan tajalli, muhadlarah, lawa'ih, lawami’ dan thawali’, buwadah dan hujum , talwin dan tamkin, qurb dan bu’d, syari’at dan haqiqat, nafs, al-khawathir, ilm al-yaqin, ain al-yaqin dan haqq al-yaqin, warid, syahid, nafsu, ruh, sirr, dan yang lainnya .
Kemudian istilah-istilah yang termasuk dalam kategori maqamat (tahapan) dalam tasawuf antara lain taubat, mujahadah, khalwat, uzlah, taqwa, wara’, zuhud, diam, khauf, raja’, huzn, lapar dan meninggalkan syahwat, khusyu’ dan tawadu’, jihad al-nafs, dengki, pergunjingan, qana’ah, tawakkal, syukur, yaqin, sabar, muraqabah, ridla, ubudiyah, istiqamah, ikhlash, kejujuran, malu, kebebasan, dzikir, futuwwah, firasat, akhlaq, kedermawanan, do’a, kefakiran, tasawuf, adab, persahabatan, tauhid, keluar dari dunia, cinta, rindu, mursyid, sama’, murid, murad, karamah, mimpi, tharikat, haqiqat, salik, abid, arif, dan seterusnya. Seluruh istilah tersebut biasamya menjadi tema-tema dalam kitab-kitab tasawuf, karena perilaku para Sufi tidak lepas dari subtansi di balik istilah-istilah tersebut. Dan nantinya, di balik istilah tersebut selain bermuatan subtansi, juga mengandung “rambu-rambu” jalan ruhani itu sendiri. 