Analisis Hadis Tawassul Malik Ad Daar

Posted in Rabu, 23 Maret 2011
by Unknown
SUMBER TULISAN: secondprince.wordpress.com
Penulis: J Algar

Muqaddimah

Perkara tawasul sudah menjadi hal kontroversial sejak dulu. Dari yang mengharamkannya secara mutlak yaitu para salafiyun sampai kepada yang membolehkannya secara mutlak yaitu sebagian besar ahlussunnah. Kedua belah pihak memiliki dalil masing-masing dan tulisan kali ini ditujukan untuk menganalisis sebagian dalil yang sering diributkan oleh kedua belah pihak. Sebelumnya saya selalu mengingatkan kepada kita semua bahwa apapun kesimpulan yang dicapai hendaknya disikapi dengan wajar. Perbedaan ada untuk diterima dan disikapi dengan baik. Berbedalah dengan cara yang lurus.

Salah satu hadis yang dijadikan dalil tawasul adalah Hadis Malik Ad Daar . Hadis ini menceritakan kisah seorang laki-laki di zaman pemerintahan Umar yang sedang mengalami kemarau berkepanjangan. Orang tersebut datang ke makam Rasulullah SAW dan meminta agar Rasulullah SAW memohon hujan kepada Allah SWT. Kemudian orang tersebut bermimpi bertemu Rasulullah SAW yang mengabarkan bahwa hujan akan diturunkan.

Salafi menolak hadis ini dengan mengatakan kalau hadis Malik Ad Daar dhaif. Syaikh Al Albani dalam kitabnya tentang Tawasul telah membahas hadis tersebut. Beliau menampilkan berbagai illatnya dan pada akhirnya mendhaifkan hadis Malik Ad Daar. Risalah Syaikh Al Albani ternyata mengundang kritikan sengit dari sebagian ulama yang membolehkan tawasul diantaranya Syaikh Abdullah bin Shiddiq Al Ghumari dan Syaikh Mahmud Sa’id Mamduh. Mereka membantah argumen-argumen Syaikh Al Albani dalam membahas hadis-hadis tawasul termasuk hadis Malik Ad Daar. Setelah mempelajari dengan seksama, kami akhirnya berpandangan bahwa dalil yang membolehkan tawasul lebih kuat dibandingkan dengan dalil yang mengharamkannya. Mengenai hadis Malik Ad Daar yang didhaifkan oleh para salafi maka kami katakan bahwa Salafi yang dalam hal ini dipimpin oleh Syaikh Al Albani telah melakukan kekeliruan. Hadis Malik Ad Daar adalah hadis yang shahih sesuai dengan kaidah Ulumul hadis.
.

.

Hadis Malik Ad Daar Dalam Kitab Hadis

Hadis Malik Ad Daar diriwayatkan dalam kitab Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 12/31 Kitab Fadhail bab Fadhail Umar bin Khattab RA hadis no 31997

حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ ، عَنِ الأَعْمَشِ ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ ، عَنْ مَالِكِ الدَّارِ ، قَالَ : وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ عَلَى الطَّعَامِ ، قَالَ : أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِي زَمَنِ عُمَرَ , فَجَاءَ رَجُلٌ إلَى قَبْرِ النَّبِيِّ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ , اسْتَسْقِ لاُِمَّتِك فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوا , فَأَتَى الرَّجُلَ فِي الْمَنَامِ فَقِيلَ لَهُ : ائْتِ عُمَرَ فَأَقْرِئْهُ السَّلاَمَ , وَأَخْبِرْهُ أَنَّكُمْ مُسْتَقِيمُونَ وَقُلْ لَهُ : عَلَيْك الْكَيْسُ , عَلَيْك الْكَيْسُ , فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ فَبَكَى عُمَرُ ، ثُمَّ قَالَ : يَا رَبِّ لاَ آلُو إلاَّ مَا عَجَزْت ، عَنْهُ.

Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari ‘Amasy dari Abi Shalih dari Malik Ad Daar dan ia seorang bendahara gudang makanan pada pemerintahan Umar. Ia berkata “Orang-orang mengalami kemarau panjang saat pemerintahan Umar. Kemudian seorang laki-laki datang ke makam Nabi SAW dan berkata “Ya Rasulullah SAW mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah binasa”. Kemudian orang tersebut mimpi bertemu Rasulullah SAW dan dikatakan kepadanya “datanglah kepada Umar dan ucapkan salam untuknya beritahukan kepadanya mereka semua akan diturunkan hujan. Katakanlah kepadanya “bersikaplah bijaksana, bersikaplah bijaksana”. Maka laki-laki tersebut menemui Umar dan menceritakan kepadanya akan hal itu. Kemudian Umar berkata “Ya Tuhanku aku tidak melalaikan urusan umat ini kecuali apa yang aku tidak mampu melakukannya”.

Hadis Malik Ad Daar ini juga diriwayatkan oleh Al Hafiz Abu Bakar Baihaqi dalam Dalail An Nubuwah 7/47 hadis no 2974 dan Al Khalili dalam kitabnya Al Irsyad Fi Ma’rifah Ulama Al Hadits 1/313. Keduanya dengan sanad masing-masing yang bermuara pada ‘Amasy dari Abu Shalih dari Malik Ad Daar.

.

.

Cacat Hadis Malik Ad Daar Menurut Salafy.

Para salafiyun diantaranya Syaikh Al Albani telah mendhaifkan Hadis Malik Ad Daar. Mereka para pengikut salafy berlomba-lomba untuk mendukung Syaikh Al Albani dari kritikan para Ulama ahlussunnah seperti Syaikh Al Ghumari dan Syaikh Mamduh. Di antara cacat hadis Malik Ad Daar yang dipertahankan oleh para salafiyun tersebut adalah

1. An’anah ‘Amasy dari Abu Shalih dimana ‘Amasy adalah seorang mudallis.
2. Abu Shalih Dzakwan bin As Samman tidak diketahui mendengar hadis dari Malik Ad Daar dikarenakan tidak diketahui tahun wafatnya Malik Ad Daar. Sehingga tidak bisa dipastikan apakah Malik Ad Daar bertemu dengan Abu Shalih. Ditambah lagi Malik adalah seorang yang majhul.
3. Hadis tersebut mubham karena orang yang datang ke makam Nabi SAW tersebut tidak disebutkan namanya. Salafy mengatakan cacat hadis tersebut bahwasanya kita tidak bisa mengetahui apakah Malik Ad-Daar melihat peristiwa tersebut atau ia hanya mengambilnya dari orang yang tidak diketahui identitasnya itu.
4. Bertentangan dengan syari’at islam bahwa meminta hujan adalah dengan shalat istisqa’ bukan dengan mendatangi makam Rasul SAW.

Semua cacat yang dikatakan salafy ini tidak sepenuhnya benar dan walaupun sebagian perkataan mereka ada yang benar maka itu tidak menjadikan hadis Malik Ad Daar sebagai hadis dhaif.

.

.

.
Bantahan Atas Cacatnya Hadis Malik Ad Daar.

Cacat tidaknya suatu hadis ditentukan dengan kaidah-kaidah ilmu hadis. Terkadang para peneliti yang terpengaruh dengan subjektivitas mahzabnya tidak bisa membedakan mana cacat yang jelas dengan keraguan yang dicari-cari. Hal seperti inilah yang menimpa orang-orang salafy. Bagi salafy, tawasul dalam hadis Malik Ad Daar adalah syirik sehingga mereka berusaha mencari jalan untuk melemahkan hadis tersebut.

Kritik Atas Cacat Pertama

Cacat pertama yang dikemukakan salafy adalah tadlis Al ‘Amasy. Sulaiman bin Mihran Al ‘Amasy terkadang melakukan tadlis. Tetapi tidaklah benar mendakwa setiap hadis mudallis adalah dhaif. Hal ini disebabkan mudallis memiliki banyak tingkatan. Ibnu Hajar dalam Thabaqat Al Mudallis telah membagi para perawi mudallis kedalam 5 tingkatan. Ibnu Hajar menggolongkan Al ‘Amasy ke dalam mudallis tingkatan kedua dalam Thabaqat Al Mudallis no 55. Dimana dalam Muqaddimah kitabnya beliau berkata tentang tingkatan kedua.

من احتمل الأئمة تدليسه وأخرجوا له في الصحيح لامامته وقلة تدليسه في جنب ما روى كالثوري أو كان لا يدلس الا عن ثقة كإبن عيينة

Orang yang dianggap melakukan tadlis dan hadisnya diriwayatkan dalam kitab Shahih, mereka tidak melakukan tadlis kecuali sedikit seperti Ats Tsawri dan tidaklah mereka melakukan tadlis kecuali dari orang yang tsiqat seperti Ibnu Uyainah.

Al ‘Amasy tidak diragukan lagi ketsiqahannya oleh para Ulama hadis. Hanya saja beliau terkadang meriwayatkan dengan ‘an anah. Hadis ‘an anah ‘Amasy telah dijadikan pegangan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya termasuk an’anah ‘Amasy dari Abu Shalih (Shahih Bukhari hadis no 465, no 2013, no 2527, no 4217, no 4651 dan lain-lain). Abu Shalih dikenal sebagai salah satu guru ‘Amasy sehingga dapat ditemukan hadis ‘Amasy yang diriwayatkan dengan hadatstsani Abu Shalih (dalam Shahih Bukhari hadis no 626, no 1410 dan no 1884). Sehingga beberapa Ulama hadis menganggap kalau ‘an anah ‘Amasy dari Abu Shalih adalah muttasil atau bersambung. Adz Dzahabi dalam Mizan ‘Al Itidal 2/224 no 3517 berkata

” ” عن ” تطرق إلى احتمال التدليس إلا في شيوخ له أكثر عنهم كإبراهيم ، وابن أبى وائل ، وأبى صالح السمان ، فإن روايته عن هذا الصنف محمولة على الاتصال

Riwayat “an” ‘Amasy dianggap sebagai tadlis kecuali riwayat dari para Syaikh-nya seperti Ibrahim, Ibnu Abi Wail dan Abi Shalih As Saman dimana riwayat-riwayat tersebut dapat dianggap bersambung.

Riwayat ‘an anah ‘Amasy baik dari Ibrahim, Ibnu Abi Wail dan Abi Shalih telah dijadikan hujjah oleh Bukhari dalam kitab Shahih-nya sehingga menyatakan dhaif ‘an anah ‘Amasy berarti mendhaifkan cukup banyak hadis Shahih Bukhari.
.

.

Kritik Atas Cacat Kedua

Cacat Kedua yaitu Abu Shalih tidak mendengar dari Malik dan Malik sebenarnya majhul. Kedua pernyataan ini sangat jelas tidak benar. Abu Shalih telah meriwayatkan hadis dari para sahabat besar. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 3 no 417 mengatakan kalau Abu Shalih Dzakwan meriwayatkan hadis

وعن أبي هريرة وأبي الدرداء وأبي سعيد الخدري وعقيل بن أبي طالب وجابر وابن عمر وابن عباس ومعاوية وعائشة وأم حبيبة وأم سلمة وغيرهم وأرسل عن أبي بكر

Dari Abu Hurairah, Abu Darda, Abu Sa’id Al Khudri, Aqil bin Abi Thalib, Jabir, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Muawiyah, Aisyah, Ummu Habibah, Ummu Salamah dan yang lainnya dan meriwayatkan secara mursal dari Abu Bakar.

Keterangan ini menunjukkan kalau Abu Shalih memiliki kesempatan untuk meriwayatkan dari para sahabat besar. Jadi tidak mustahil kalau ia meriwayatkan dari Malik Ad Daar (Malik dinyatakan sebagian orang kalau ia tabiin dan sebagian lagi mengatakan ia seorang sahabat). Adz Dzahabi dalam Siyar ‘Alam An Nubala 3/65 mengatakan kalau Abu Shalih lahir pada masa khalifah Umar bin Khattab RA sehingga Abu Shalih dan Malik berada dalam satu masa sehingga sangat mungkin bagi Abu Shalih untuk meriwayatkan hadis dari Malik Ad Daar. Memang benar kalau kapan tepatnya Malik Ad Daar wafat tidaklah diketahui tetapi dalam hal ini sudah seharusnya kita menetapkan kesaksian Abu Shalih sendiri yang mengatakan kalau ia meriwayatkan hadis tersebut dari Malik Ad Daar.

Abu Shalih dalam At Tahdzib juz 3 no 417 telah dinyatakan tsiqah oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Abu Hatim, Abu Zar’ah, As Saji, Ibnu Hibban dan Al Ajli. Tidak ada satupun dari ulama tersebut yang mengatakan kalau ia seorang mudallis. Kitab-kitab tentang para perawi mudallis seperti Thabaqat Al Mudallis, Asma Al Mudallisin, dan lain-lain tidak sedikitpun memuat nama Dzakwan Abu Shalih. Oleh karena itu riwayat ‘an Abu Shalih adalah tsabit dan benar.

Satu-satunya dalil yang digunakan kaum salafy adalah pernyataan Al Khalili dalam kitab Irshad Fi Ma’rifah Ulama Al Hadits 1/313 setelah meriwayatkan hadis ini ia berkata

يقال أن أبا صالح السمان سمع مالك الدار هذا الحديث والباقون أرسلوه

Dikatakan bahwa Abu Shalih mendengar hadis ini dari Malik Ad Daar dan ada yang mengatakan kalau ia mengirsalkannya.

Salafy dengan mudah mengambil kalimat terakhir sebagai hujjah padahal Al Khalili juga menegaskan bahwa ada yang mengatakan Abu Shalih mendengar hadis dari Malik Ad Daar. Telah ditunjukkan bahwa Abu Shalih seorang yang tsiqah dan ia bukan seorang mudallis sehingga pernyataan kalau ia mengirsalkan hadis ini memerlukan bukti. Abu Shalih yang tsiqah berada satu masa dengan Malik Ad Daar sehingga berdasarkan persyaratan Imam Muslim maka hadis ini sudah bisa digolongkan muttasil (bersambung).

Dalam pandangan kami, orang yang mengatakan Abu Shalih mengirsalkan hadis di atas adalah disebabkan menurut orang tersebut Malik adalah orang yang majhul. Padahal sebenarnya tidak begitu. Salafy hanya mengutip pernyataan dari Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib 2/41 yang berkata “Thabrani meriwayatkan hadis tersebut dalam Al Kabir, para perawinya sampai ke Malik adalah tsiqat tetapi aku tidak mengetahui siapa Malik”. Pernyataan Al Mundziri tidak bisa menjadi hujjah karena orang yang tidak tahu dikalahkan oleh orang yang tahu. Dalam hal ini Ibnu Sa’ad, Ibnu Hajar, Al Khalili dan Ibnu Hibban telah mengetahui siapa Malik.

Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat Al Kubra 5/12 mengatakan bahwa Malik Ad Daar adalah Mawla Umar bin Khattab kemudian ia melanjutkan dengan kata-kata

وروى مالك الدار عن أبي بكر الصديق وعمر رحمهما الله روى عنه أبو صالح السمان وكان معروفا

Malik Ad Daar meriwayatkan dari Abu Bakar dan Umar, meriwayatkan darinya Abu Shalih As Saman, dan ia dikenal.

Al Khalili berkata dalam Irshad Fi Ma’rifah Ulama Al Hadits 1/313-314

مالك الدار مولى عمر بن الخطاب الرعاء عنه تابعي قديم متفق عليه

Malik Ad Daar Mawla Umar bin Khattab meriwayatkan hadis darinya, ia seorang tabiin awal Muttafaqualaih

Ibnu Hibban memasukkan Malik Ad Daar dalam kitab Ats Tsiqat 5/384 no 5312 dan menggolongkannya sebagai orang yang meriwayatkan dari Sahabat Nabi. Ibnu Hajar dalam Al Ishabah 6/274 no 8362 mengatakan

مالك بن عياض مولى عمر هو الذي يقال له مالك الدار له إدراك وسمع من أبي بكر الصديق وروى عن الشيخين ومعاذ وأبي عبيدة روى عنه أبو صالح السمان

Malik bin Iyadh Mawla Umar, ia disebut juga dengan Malik Ad Dar, ia melihat Nabi SAW dan mendengar dari Abu Bakar Shiddiq, meriwayatkan hadis dari Syaikhan, Muadz dan Abi Ubaidah. Meriwayatkan darinya Abu Shalih As Saman.

Semua kesaksian di atas sudah cukup untuk membuang status majhul yang dikatakan oleh Al Mundziri. Malik Ad Dar dikenal sebagai tabiin awal yang sempat melihat Nabi SAW. Atau mungkin ada yang tertarik melihat ini

1. tajrid-asma-as-shahabah

2. malik-bin-iyadh1Al Hafidz Adz Dzahabi menggolongkan Malik Ad Daar atau Malik bin Iyadh sebagai Sahabat dan memasukkan nama Malik dalam Kitab karyanya yang memuat nama para Sahabat Nabi yaitu Tajrid Asma’ As Shahabah no 527

Kritik Atas Cacat Ketiga

Cacat yang ketiga adalah hadis tersebut mubham. Kami katakan hadis tersebut memang mubham dan mubham tersebut terletak pada matannya bukan pada sanadnya jadi tidak ada keraguan mengenai sanad hadis tersebut. Lihat kembali hadis di atas dan memang terdapat seseorang yang tidak disebutkan namanya yaitu laki-laki yang datang ke makam Rasul SAW. Bagi kami, ada atau tidak nama laki-laki tersebut maka itu tidak akan merubah status hadisnya. Malik Ad Daar bisa jadi seorang tabiin awal yang tsiqah atau seorang Sahabat seperti yang dikatakan Adz Dzahabi. Malik Ad Daar juga adalah maula Umar bin Khattab sehingga bisa dikatakan ia menyaksikan sendiri peristiwa tersebut yang terjadi di masa Umar.

Ibnu Hajar dalam Fath Al Bari 2/496 mengatakan
وقد روى سيف في الفتوح أن الذي رأى المنام المذكور هو بلال بن الحارث المزني أحد الصحابة

Saif meriwayatkan dalam Kitab Al Futuh bahwa laki-laki yang bermimpi tersebut adalah Bilal bin Harits Al Muzanni seorang Sahabat Nabi.

Nah kita sampai pada bagian yang cukup menarik. Salafiyun bersikeras untuk mendhaifkan pernyataan Ibnu Hajar di atas dengan mengatakan kalau Saif itu sangat dhaif.

Syaikh Al Albani dalam kitab Tawasul hal 119 berkata
لا حجة فيها ، لأن مدارها على رجل لم يسمَّ فهو مجهول أيضا ، وتسميته بلالا في رواية سيف لا يساوي شيئا ، لأن سيفا هذا هو ابن عمر التميمي ، متفق على ضعفه عند المحدثين بل قال ابن حبان فيه يروي الموضوعات عن الأثبات وقالوا إنه كان يضع الحديث ، فمن كان هذا شأنه لا تُقبل روايته ولا كرامة لاسيما عند المخالفة

Tidak ada hujjah pada riwayat tersebut, karena masalahnya terletak pada orang yang tidak disebutkan namanya, sehingga ia adalah majhul juga. Penamaannya dengan Bilaal dalam riwayat Saif tidak berarti sama sekali, karena Saif adalah Ibnu Umar AtTamimi seorang yang telah disepakati kedhiafannya oleh para ahli hadis. Bahkan Ibnu Hibban berkata “Ia meriwayatkan hadis-hadis palsu dari orang-orang tsabit”. Dan dikatakan ”Ia telah memalsukan hadits”. Maka orang yang seperti ini tidak bisa diterima riwayatnya dan tidak ada kemuliaan padanya, terutama jika terdapat yang menyelisihinya.

Bagi kami sudah jelas kalau Saif itu sangat dhaif tetapi disini saya akan mengingatkan pembaca tentang ketidakjujuran salafy dalam berhujjah. Ketika berbicara tentang Syiah dimana Salafy menuduh kalau Abdullah bin Saba’ adalah pendiri Syiah, mereka bersikeras berhujjah dengan Saif bin Umar At Tamimi. Ketika dikatakan kepada mereka kalau Saif itu seorang perawi yang sangat dhaif dan pemalsu hadis maka mereka salafy itu berapologia dengan perkataan berikut

Perkataan tentang Saif bin Umar At Tamimi tersebut seakan mereka sedang berusaha untuk menegakkan benang basah, dengan dalih Saif bin Umar At Tamimi haditsnya tidak bisa diterima, maka saya katakan:
Kalau seandainya yang anda cantumkan dari perkataan ulama jarh wa ta’dil tentang Saif bin Umar at Tamimi, bahwa lemah dan haditsnya tidak bisa diterima maka pembicaraan anda terfokus pada Saif bin Umar At Tamimi yang berkapasitas sebagai muhadits (ahli hadits dan yang meriwayatkan hadits). Tapi apa gerangan perkataan ulama tentang dia sebagai orang yang berkapasitas Ahli sejarah, marilah kita kembali ke buku-buku rijal (jarh wa ta’dil):
Berkata Adz Dzahabi : adalah ia sebagai ahli sejarah yang mengetahui” (Mizan ‘Itidal : 2/255).
Berkata Ibnu Hajar : Lemah dalam Hadits, pakar (rujukan) dalam sejarah” (Taqriibut Tahdziib no 2724).
Dangan ini habislah “lemah dan ditinggalkan” yang dinisbatkan ke diri Saif sebab perkataan itu ditujukan dalam segi Hadits bukan dalam segi sejarah. Inilah titik pembahasan kita.

Kutipan di atas diambil dari situs-situs salafy, silakan lihat tulisan-tulisan ini

* Abdullah bin Saba’ Bukan Tokoh Fiktif
* Abdullah bin Saba’ Bukan Tokoh Fiktif
* Abdullah bin Saba’ Bukan Tokoh Fiktif

Kalau memang seperti yang dikatakan para salafiyun bahwa Saif bin Umar lemah dalam hadis dan rujukan dalam sejarah. Maka tidak ada alasan bagi para salafiyun untuk menolak pernyataan Saif yang dikutip Ibnu Hajar. Saif tidak sedang meriwayatkan hadis, ia hanya mengisahkan kisah yang terjadi di masa Umar dimana ia menyebutkan kalau nama orang tersebut adalah Bilal bin Harits seorang sahabat Nabi. Perkataan Saif disini adalah sejarah bukannya hadis maka berdasarkan hujjah salafy, Saif menjadi rujukan dalam sejarah. Tetapi mengapa mereka besikeras menolak keterangan Saif. Apakah karena mereka tidak mau mengakui kalau sahabat Nabi bertawasul (seperti yang dikatakan salafy bahwa itu adalah syirik)?. Kalau memang riwayat Saif di atas mau ditolak maka sudah sewajarnya riwayat Saif tentang Abdullah bin Saba’ juga ditolak. Jadi sebenarnya salafy sendiri yang sedang menegakkan benang basah Sungguh antagonisme yang nyata.

Salafy sudah sembrono dalam berhujjah, bagi kami jarh wat ta’dil dalam kitab Rijal berlaku untuk riwayat sejarah ataupun hadis. Sehingga tidak diragukan lagi kalau riwayat Saif tersebut tidak bisa diterima. Membeda-bedakannya akan membuat masalah kontradiksi seperti yang terjadi pada para salafiyun. Oleh karena riwayat tersebut merendahkan Syiah maka riwayat tersebut dibela mati-matian walaupun perawinya sangat dhaif sedangkan di saat lain ketika perawi tersebut menyerang mahzab Salafy maka mereka bersikeras untuk mendhaifkannya. Keculasan yang patut disayangkan keluar dari “orang yang mengaku berpegang pada sunnah”.

.

.

Kritik Atas Cacat kelima

Cacat terakhir bahwa riwayat tersebut menyelisihi syariat maka kami katakan itu adalah alasan yang dicari-cari. Riwayat tersebut tidak menyelisihi syariat karena riwayat tersebut tidak menafikan kalau selanjutnya umat islam pada zaman umar melakukan shalat istisqa’. Atau bisa jadi mereka sudah melakukan shalat istisqa’. Intinya riwayat di atas tidaklah melarang dan tidaklah menganjurkan apapun. Riwayat tesebut hanya menceritakan kisah seseorang yang bertawasul di zaman Umar hingga mimpi bertemu Rasulullah SAW. Jika memang mau ditarik hukum darinya maka riwayat tersebut hanya menunjukkan kebolehan bukan anjuran atau perintah.
.

.

Hadis Malik Ad Daar Menurut Ulama

Hadis Malik Ad Daar diriwayatkan oleh para perawi tsiqah dan semua cacat yang dikatakan salafy tidaklah menunjukkan dhaifnya riwayat tersebut. Ibnu Hajar dan Ibnu Katsir telah menyatakan keshahihan hadis tersebut.

Ibnu Hajar berkata dalam Fath Al Bari 2/495
وروى بن أبي شيبة بإسناد صحيح من رواية أبي صالح السمان عن مالك الداري وكان خازن عمر

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih dari riwayat Abu Shalih As Saman dari Malik Ad Daar seorang bendahara Umar.

Ibnu Katsir dalam Al Bidayah Wan Nihayah 7/106 mengomentari hadis ini
وهذا إسناد صحيح

Hadis ini sanadnya shahih.

Dalam kitab Jami’ Al Masanid Was Sunan 1/223 Ibnu Katsir berkata
إسناده جيد قوي

Hadis ini sanadnya jayyid (baik) dan kuat.
.