ACARA MAKAN MAKAN DALAM KEMATIAN

Posted in Selasa, 22 Maret 2011
by Unknown
Oleh: Anggota WLML 
Dalam kegiatan tahlilan, kadang terdapat hidangan dari tuan rumah baik ala kadarnya (makanan ringan) dan ada juga yang berupa jamuan makan. Namun, ada juga yang hanya berupa minuman saja. Apapun itu tidak menjadi masalah dalam tahlilan. Sebab itu bukan tujuan dari tahlilan, namun tuan rumah kadang memiliki motivasi tersendiri seperti dalamrangka menghormati tamu atau bermaksud untuk bershadaqah yang pahalanya dihadiahkan kepada anggota keluarganya yang meninggal dunia.

Ada hal yang sering di permasalahkan oleh para pengingkar terkait yang ada di dalam kegiatan tahlilan. Mereka mencari-cari “dalih” dalam kitab-kitab para imam untuk mengharamkan tahlilan, padahal tidak ada yang mengharamkan. Terkait bahasan ini, semuanya adalah bermuara pada hadits dari Jarir bin Abdullah radliyallah ‘anh yang redaksinya :
 كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ
“Kami (sahabat Nabi) menganggap berkumpul di kediaman mayyit serta membuat makanan setelah pemakaman mayyit sebagai bagian dari niyahah”.

PENGERTIAN NIYAHAH
Sebelumnya ketahuilah perlu bahwa hukum an-Niyahah (meratap mayyit) sendiri menurut penuturan Imam an-Nawawi adalah ulama telah berijma’ keharamannya. Niyahah adalah menangis berteriak-teriak dengan berulang-ulang menyebut kebaikan-kebaikan mayyit. Orang yang meratap seolah-olah tidak rela atau ridla dengan ajal yang datang kepada mayyit. Oleh karena itu niyahah di haram kan. Juga diharamkan adalah wanita-wanita yang berteriak-teriak sambil meratapi mayyit, menjambak-jambak rambutnya, menampar-nampar pipi juga menyobek-nyobek pakaiannya, semua ini haram.
PENJELASAN TERKJAIT HADITS JARIR
Sedangkan maksud hadits tersebut, sebagian ulama memahaminya diatas pengertian apabila disertai dengan menampakkan kesedihan. Oleh karena itu, ada ‘ulama yang walaupun menggunakan dalil tersebut hanya sebagai landasan hukum makruh. Contohnya seperti Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj, beliau mengatakan ;
“dan apa yang telah dibiasakan seperti keluarga almarhum membuat makanan demi mengundang manusia atasnya maka itu bid’ah makruhah, seperti mereka menerima untuk itu, telah shahih dari Jarir yakni “Kami (sahabat Nabi) menganggap berkumpul di kediaman mayyit serta membuat makanan setelah pemakaman mayyit sebagai bagian dari niyahah”.
Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab menukil perkataan ‘ulama lainnya : 
“Shahibusy Syamil dan yang lainnya berkata ; adapun keluarga almarhum mengurusi (membuat) makanan serta berkumpulnya manusia padanya, maka itu pernah dinukil sesuatu pun tentangnya, dan itu adalah bid’ah ghairu mustahibbah, inilah perkataan shahibusy Syamil. dan istidlal untuk hal ini berdasarkan hadits Jarir bin Abdullah radliyallah ‘anh, ia berkata : 

“Kami (sahabat Nabi) menganggap berkumpul di kediaman mayyit serta membuat makanan setelah pemakaman mayyit sebagai bagian dari niyahah”, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Majah telah meriwayatkannya dengan sanad yang shahih, namun dalam riwayat Ibnu Majah tidak ada kata “setelah pemakaman mayyit”.
Imam Syamsuddin Muhammad al-Khathib asy-Syarbini asy-Syafi’i didalam Mughni Muhtaj :
“adapun keluarga almarhum mengurusi makanan dan berkumpulnya manusia padanya maka itu bid’ah ghairu mustahabb, Imam Ahmad dan Ibnu Majah telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Jabir bin Abdullah, ia berkata : 

“Kami (sahabat Nabi) menganggap berkumpul di kediaman mayyit serta membuat makanan setelah pemakaman mayyit sebagai bagian dari niyahah”.
Dan masih banyak yang menjadikan hadits diatas sebagai dalil untuk hal serupa. Namun, walaupun an-niyahah hukumnya haram, akan tetapi sesuatu yang hanya merupakan bagian dari niyahah tidak serta merta dihukumi haram juga, sebab bukan niyahah itu sendiri.


Sedangkan maksud dari perkataan Ibnu Hajar al-Haitami adalah apabila membuat makanan yang dimaksudkan agar masyarakat datang dan meramaikan rumah, sebab biasanya motivasi hal seperti ini adalah untuk berbangga diri suapaya dikatakan dermawan (alias lebih dekat kepada unsur riya’) atau hanya sekedar untuk meramaikan rumah, demikian juga pernyataan-pertanyaan senada yakni sebagian ‘ulama menghukumi makruh karena melakukannya hanya menuruti kebiasaan sehingga kadang memberatkan (membebani) keluarga almarhum dan melakukannya secara terpaksa karena rasa malu atau sebagainya. Jadi, hal tersebut dilakukan tanpa tujuan apa-apa kecuali hanya kebiasaan semata.

Namun, apabila memberikan makanan itu dengan suka rela (keikhlasan hati), paham maksud dan tujuannya yakni seperti motivasi ingin menshadaqahkan hartanya yang pahalanya untuk mayyit maka ini hukumnya sunnah (mustahab), sedangkan pahalanya sampai dan bermanfaat bagi mayyit berdasarkan nas-nas yang kuat. Adapun orang yang melakukan shadaqah maka terdapat pahala baginya. Hal ini karena terkait dengan hukum shadaqah itu sendiri dan tidak termasuk bagian dari niyahah.

Demikian juga jika keluarga almarhum memiliki motivasi lain yakni penghormatan kepada tamu-tamu (ikramudldlayf) yang hadir yang telah bersedia meluangkan waktu untuk mendo’akan dan al-Qur’an untuk salah satu keluarga yang meninggal dunia. Maka ini terkait dengan hukum memulyakan tamu, dimana Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda : 
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah menyakiti tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah serta hari akhir bmaka hormatilah tamunya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah serta hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam (dari ucapakan yang tidak baik)”.

Agar lebih mudah memahami dan sekaligus merangkum permasalahan-permasalahan dan kutipan-kutipan serupa dalam kitab syafi’iyah maka perhatikan hal berikut ini :

- Haram : yakni apabila jamuan makan (hidangan makan) dalam tahlilan yang berasal dari harta mayyit sedangkan mayyit masih memiliki tanggungan hutang yang belum diselesaikan ; berasal dari harta anak yatim ; berasal dari harta mayyit sedangkan ahli warisnya bukan orang yang berhak (tidak dibenarkan oleh syariat) untuk mengurus harta mayyit, seperti anak-anak atau seumpamanya ; jamuan berasal dari harta mayyit tanpa ada izin (persetujuan) dari ahli-ahli warisnya ; jamuan diadakan untuk niyahah (meratapi mayyit dengan menyebut-nyebut kebaikan mayyit).

- Makruh : yakni apabila jamuan makan (hidangan makan) didalam tahlilan diadakan untuk menghilangkan kesunyian dan perasaan duka cita. Kalau dalam ungkapan Imam Ibnu Hajar al-Haitami adalah “...keluarga almarhum membuat makanan demi mengundang manusia atasnya maka itu bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh)” ; jamuan makan diadakan tanpa ada tujuan apa-apa atau hanya karena mengikuti kebiasaan setempat dan hari hari tertentu ; jamuan makan bagi masyarakat yang datang mengucapkan “ta’ziyah”.


- Mubah bahkan Sunnah : yakni apabila jamuan makan (hidangan makan) diadakan untuk tujuan mendo’akan rahmat yang mati dan memperat shilaturahim, yang mana ini memotivasi diri dan mendorong hati untuk mendo’akan rahmat untuk mayyit ; jamuan makan untuk tujuan / niat untuk shadaqah yang pahalanya untuk mayyit, ini hukumnya sunnah (mustahab) dan pahalanya sampai kepada mayyit. Shadaqah tidak selalu berupa jamuan makan melainkan juga bisa dalam bentuk yang lainnya.


Imam al-Hafidz as-Suyuthi asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan didalam al-Hawi lil-Fatawi :
“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (yakni masa al-Hafidz sendiri) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasi awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’.

PENTING : TIDAK SEMUA BID'AH DIHUKUMI HARAM

Perkara yang disebutkan oleh para Imam seperti diatas dikatakan sebagai bid’ah. Namun, para ‘ulama tidak serta merta menjatuhkannya pada status hukum haram, seperti perkataan Ibnu Hajar yakni bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh, bukan haram), bid’ah ghairu mustahibbah (bid’ah yang tidak dianjurkan) maka ini status hukumnya jatuh antara mubah dan makruh. Ada lagi istilah bid’ah munkarah yang hukumnya makruh, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu perbuatan seperti diatas tidaklah haram (berdosa) walaupun semisalnya dilakukan. Juga tidak bisa dijadikan “dalih” mengharamkan tahlilan, sama sekali tidak ada garis merahnya. 
Kenapa tidak seperti bid’ah jatuh pada status hukum haram ? Sebab bid’ah bukanlah hukum (status hukum Islam). Bid’ah adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut perkara baru yang tidak berasal dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam. Adapun hukum Islam ada 5 yakni :
1. Wajib (fardlu) : apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan berdosa.
2. Sunnah, kadang di istilahkan dengan mandub, mathlub, nafilah, mustahab dan lain sebagainya dan mengandung pengertian : apabila dikerjakan mendapat pahala namun apabila di tinggalkan tidak apa-apa (tidak berdosa).
3. Mubah / Jaiz : apabila dikerjakan atau tinggalkan tidak apa-apa.
4. Makruh : apabila dikerjakan tidak apa-apa (tidak berdosa) sedangkan apabila ditinggalkan mendapatkan pahala.
5. Haram : apabila di kerjakan mendapat dosa dan apabila ditinggalkan mendapatkan pahala.
Maka, apabila ada perkara yang oleh ulama dianggap sebagai bid’ah, mereka tidak serta merta menjatuhkan status hukum haram untuk bid’ah tersebut, melainkan mereka (ulama) menimbang dan mengkaji terlebih dahulu tentang bid’ah tersebut, yakni terkait selaras atau tidaknya dengan kaidah-kaidah syariat. Sehingga nantinya akan terlihat/dapat disimpulkan status hukum untuk perkara bid’ah tersebut, apakah masuk dalam hukum wajib, sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram. Sebab sesuatu harus ditetapkan status hukumnya.
1. Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh, maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh)”,
2. Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh haram maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah muharramah (bid’ah yang hukumnya haram)”,
3. Jika masuk pada kaidah penetapan hukum mubah/jaiz maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah mubahah (bid’ah yang hukumnya mubah)”,
4. Jika masuk pada kaidah penetapan hukum sunnah/mandub/mustabah maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah mustahabbah (bid’ah yang hukumnya sunnah/ mustahab/ mandub)”,
5. Jika masuk pada kaidah penetapan hukum wajib maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah wajibah (bid’ah yang hukumnya wajib)”. 

Imam an-Nawawi mengatakan didalam al-Minhaj syarah Shahih Muslim : 
“’Ulama berkata bahwa bid’ah terbagi menjadi 5 bagian (bagian hukum) yakni wajibah (bid’ah yang wajib), mandubah (bid’ah yang mandub), muharramah (bid’ah yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (bid’ah yang mubah)”. 
Kesimpulannya sudah jelas adalah bahwa tidak semua bid’ah dihukumi haram, melainkan harus ditinjau terlebih dahulu status hukumnya. Semua itu karena, ternyata ada bid’ah yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, diistilahkan dengan bid’ah hasanah (baik) dan ada juga bid’ah yang bertentangan dengan syariat Islam, di istilahkan dengan bid’ah yang buruk. 

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan sebagaimana disebutkan olah al-Muhaddits al-Baihaqi :
“Telah mengkhabatkan kepada kami Abu Sa’id bin Abu ‘Amr, telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub, telah menceritakan kepada kami ar-Rabi’ bin Sulaiman, ia berkata : 

Imam asy-Syafi’i pernah berkata :
“perkara baru itu terbagi menjadi menjadi dua bagian, pertama, suatu perkara baru yang menyelisihi al-Qur’an, Sunnah, Atsar atau Ijma’ maka itu bid’ah dlalalah, sedangkan yang kedua, perkara baru yang baik yang tidak ada pertentangan didalamnya dengan salah satu dari hal ini (dari al-Qur’an, Sunnah, Atsar atau Ijma’) maka itu perkara baru yang tidak buruk”.