SEPUTAR TAUHID RUBUBIYYAH DAN ULUHIYYAH

Posted in Sabtu, 26 Maret 2011
by Unknown
Tauhid Rububiyyah.

Mari kita mulai dengan pembahasan singkat tauhid rububiyyah, yang menjelaskan kata ar-Rabb dengan arti Pencipta, hal ini sangat jauh dari apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an. Sebenarnya arti kata ar-Rabb didalam bahasa dan didalam Al-Qur’an al-Karim tidak keluar dari arti “ Yang memiliki urusan pengelolaan dan pengaturan”. Makna umum ini sejalan dengan berbagai macam ekstensi (mishdaq)-nya, seperti pendidikan, perbaikan, kekuasaan, dan kepemilikan. Akan tetapi, kita tidak bisa menerapkan kata ar-Rabb kepada arti Penciptaan, sebagaimana yang dikatakan oleh golongan Wahabi/Salafi. Untuk membuktikan secara jelas kesalahan ini, marilah kita merenungkan ayat-ayat berikut ini, supaya kita dapat menyingkap arti kata ar-Rabb yang terdapat didalam Aal-Qur’an:



Surat Al Baqarah (2) : 21: “Wahai manusia, sembahlah Rabb-mu yang telah menciptakanmu.”


Dalam surat Al Anbiyaa (21) : 56: “Sebenarnya Rabb kamu ialah Rabb langit dan bumi yang telah menciptakannya “.



Jika kata ar-Rabb berarti Pencipta maka ayat-ayat diatas tidak diperlukan penyebutan kata yang telah menciptakanmu atau kata yang telah menciptakannya. Karena jika tidak, maka berarti terjadi pengulangan kata yang tidak perlu. Jika kita meletakkan kata al-Khaliq (Pencipta) sebagai ganti kata ar-Rabb pada kedua ayat di atas, maka tidak lagi diperlukan penyebutan kata yang telah menciptakanmu dan kata yang telah menciptakannya. Sebaliknya, jika kita mengatakan bahwa arti kata ar-Rabb adalah Pengatur atau Pengelola, maka disana tetap diperlukan penyebutan kata yang telah menciptakanmu dan kata yang telah menciptakannya. Sehingga dengan demikian, makna atau arti ayat yang pertama diatas ialah “sesungguhnya Zat yang telah menciptakanmu adalah pengatur urusanmu”, sementara arti pada ayat yang kedua ialah “Sesungguhnya pencipta langit dan bumi adalah penguasa dan pengatur keduanya “.



Adapun bukti-bukti yang menunjukkan kepada makna ini banyak sekali, namun tidak perlu diungkapkan dibuku ini karena akan membutuhkan cukup waktu untuk menjelaskannya secara rinci.Oleh karena itu, perkataan Muhammad Ibnu Abdul-Wahhab yang berbunyi “Adapun tentang tauhid rububiyyah, baik Muslim maupun Kafir mengakuinya” adalah perkataan yang tanpa dasar, dan jelas-jelas ditentang oleh nash-nash Al-Qur’an, yang firman-Nya:”Apakah aku akan mencari Rabb selain Allah, padahal Dia adalah Rabb bagi segala sesuatu.” (QS. al-An’am: 164). Firman Allah swt kepada Rasul-Nya ini tidak lain berarti agar beliau menyampaikan kepada kaumnya sebagai berikut: ‘Apakah engkau memerintahkan aku untuk mengambil Rabb (Tuhan) yang aku akui pengelolaan dan pengaturannya selain Allah, yang tidak ada pengatur selain-Nya sebagaimana engkau mengambil berhala-berhalamu dan mengakui pengelolaan dan pengaturannya’.



Jika semua orang-orang kafir mengakui bahwa pengelolaan dan pengaturan hanya semata-mata milik Allah –sebagaimana dikatakan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab– maka ayat Al-An’am itu tidak mempunyai arti sama sekali, sehingga hanya menjadi sesuatu yang sia-sia, na’udzu billah. Karena setiap manusia –berdasarkan sangkaan Muhammad bin Abdul Wahhab ini– baik muslim maupun kafir, semuanya mentauhidkan Allah didalam rububiyyahnya, maka tentu mereka tidak memerintahkan untuk mengambil Rabb selain Allah.



Terdapat juga ayat yang berkenaan dengan seorang yang beriman dari kalangan keluarga Fir’aun. Allah swt. berfirman didalam surat al-Mukmin [40]:28: “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia mengatakan, ‘Rabbku ialah Allah’, padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu”. Demikian juga, berpuluh-puluh ayat lainnya menguatkan bahwa kata ar-Rabb bukanlah berarti Pencipta, melainkan berarti Pengatur, yang di tangan-Nya terletak pengaturan segala sesuatu. Kata ar-Rabb dengan arti ini (yaitu Pencipta), sebagaimana ditekankan oleh ayat-ayat Al-Qur’an, tidak menjadi kesepakatan diantara anggota manusia.



Muhammad bin Abdul Wahhab telah menukil pemikiran ini dari Ibnu Taimiyyah tanpa melalui proses pengkajian, sehingga bahaya yang ditimbulkannya atas kaum Muslimin sangat besar. Ibnu Taimiyyah tidak mengeluarkan pemikiran ini dari kerangka ilmiah. Berbeda dengan Muhammad bin Abdul Wahhab, yang di tunjang oleh keadaan sehingga bisa melaksanakan pemikiran ini pada tataran praktis dan menerapkannya pada kaum Muslimin. Maka hasil dari semua ini ialah, mereka mudah mengkafirkan madzhab lain selain madzhab Wahabi.



Memang ada ayat yang artinya, ‘dan jika engkau bertanya kepada mereka: Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: Allah, maka bagaimana mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah swt)’? (al-Zukhruf: 87). Namun ayat berikutnya, menjelaskan bahwa mereka bukan kaum yang beriman.Firman Allah swt: ‘Dan (Allah mengetahui) ucapan nya (Muhamad): Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka itu adalah kaum yang tidak beriman. Maka berpalinglah (hai Muhamad) dari mereka...sampai akhir ayat‘(al-Zukhruf: 88-89).



Baik al-qur’an maupun sunnah tidak ada menyebut bahwa orang-orang Musyrik beriman dengan tauhid rububiah saja! Sebaliknya al-quran mengatakan dengan jelas, bahwa mereka bukan orang yang beriman. Bagaimana kita boleh mengubahnya mengatakan mereka beriman dengan tauhid rububiah? Telah diketahui oleh kaum muslimin dari zaman dahulu banyak orang kafir tidak mengakui wujudnyaTuhan, apalagi mentauhidkan-Nya!



Tauhid Uluhiyyah


Supaya lebih jelas, kita akan mengkaji pandangan Muhammad Abdul Wahhab mengenai seputar tauhid uluhiyyah. Yang dimaksud dengan tauhid uluhiyyah oleh kalangan Wahabi ialah bahwa ibadah semata-mata hanya untuk Allah swt., dan seseorang tidak boleh menyekutukan-Nya dengan yang lainnya di dalam beribadah kepada-Nya. Inilah tauhid yang menjadi tujuan diutusnya para Nabi dan para Rasul. Kita semua tidak ada keraguan sedikitpun tentang pemahaman ini. Namun, disana terdapat kekaburan mengenai istilah. Karena, didalam Al-Qur’an, Allah swt. bukanlah berarti al-ma’bud. Kita dapat menamakan tauhid ini dengan tauhid ibadah. Namun demikian tidak ada masalah dengan istilah jika kita telah sepakat mengenai pemahamannya.Kaum Muslimin sepakat akan wajibnya menjauhkan diri dari ber-ibadah kepada selain Allah swt. dan hanya semata-mata kepada-Nya kita beribadah. Namun yang menjadi perselisihan ialah mengenai batasan pengertian ibadah. Dan ini merupakan sesuatu yang paling penting didalam bab ini. Karena, inilah yang menjadi tempat tergelincirnya kaki golongan muslimin yang melarang tawassul/tabarruk, ta'dhim/penghormatan kepada para Rasul dan para sholihin baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup. Jika kita mengatakan bahwa tauhid yang murni ialah kita mempersembahkan ibadah semata-mata kepada Allah swt., maka yang demikian tidak akan ada artinya jika kita tidak mendefenisikan terlebih dahulu pengertian ibadah, sehingga kita mengetahui batas-batasannya, yang tentunya akan menjadi tolak ukur yang tetap bagi kita untuk membedakan seorang muwahhid (yang bertauhid) dan seorang musyrik. Sebagai contoh, orang yang bertawassul kepada para wali menziarahi kuburan mereka, mengagungkan mereka, apakah termasuk seorang musyrik atau seorang muwahhid (bertauhid)? Sebelum kita menjawab, kita harus terlebih dahulu mempunyai ukuran yang dengannya kita dapat menyingkap ekstensi-ekstensi ibadah pada kenyataan diluar.



Golongan Wahab/Salafii menganggap, bahwa seluruh ketundukan, perendahan diri dan penghormatan adalah ibadah, ini pengertian yang salah! Golongan Wahabi/Salafi ini menganggap bahwa setiap bentuk ketundukan atau perendahan diri seorang pada sesuatu (Nabi Allah, Wali Allah dan sebagainya), orang tersebut dianggap sebagai hamba sesuatu tersebut, dilain kata dia telah menyembahnya. Dengan demikian berarti dia telah menyekutukan Allah. Menurut golongan ini bila seorang yang menempuh perjalanan yang jauh dengan tujuan untuk menziarahi Rasulallah saw., sehingga dapat mencium dan menyentuh makamnya yang suci, dengan tujuan bertabarruk (baca bab Tabarruk), maka dia terhitung sebagai orang kafir dan orang musyrik. Demikian juga halnya dengan orang yang mendirikan bangunan di atas kuburan, untuk menghormati dan mengagungkan orang yang dikubur didalamnya.



Muhammad Ibnu Abdul Wahhab berkata pada salah satu risalahnya:


 “.....Barangsiapa yang menginginkan sesuatu dari kuburan, pohon, bintang, para malaikat atau para Rasul, dengan tujuan untuk memperoleh manfaat atau menghilangkan bahaya, maka dia telah menjadikannya sebagai Tuhan selain Allah. Berarti dia telah berdusta dengan ucapannya yang berbunyi‘ Tidak ada Tuhan selain Allah’. Dia harus diminta bertaubat. Jika dia bertaubat, dia dibebaskan; namun jika tidak, maka dia harus dibunuh. Jika orang musyrik ini berkata, ‘Saya tidak bermaksud darinya kecuali hanya untuk bertabarruk, dan saya tahu bahwa Allah-lah yang memberikan manfaat dan mendatangkan madharat.’ Katakanlah kepadanya, ‘Sesungguhnya Bani-Israilpun tidak menghendaki kecuali apa yang kamu kehendaki’. Sebagaimana yang telah Allah swt. beritakan tentang mereka. Yaitu manakala mereka telah berhasil menyeberangi laut, mereka mereka mendatangi sebuah kaum yang tengah menyembah berhala mereka. Kemudian Bani Israil berkata berkata, ‘Hai Musa, buatkanlah untuk kami seorang Tuhan sebagaimana Tuhan-Tuhan yang mereka miliki’, kemudian Musa berkata, ‘Sesungguhnya kamu adalah kaum yang bodoh.’” (‘Aqa’id al-Islam, kumpulan surat-surat Muhammad bin Abdul Wahhab, hal.26).



Muhammad bin Abdul Wahhab juga berkata didalam risalahnya yang lain: “Barangsiapa yang bertabarruk kepada batu atau kayu, atau menyentuh kuburan atau kubah dengan tujuan untuk bertabarruk (mengambil barokah) kepada mereka, maka berarti dia telah menjadikan mereka sebagai Tuhan-Tuhan yang lain”. (‘Aqa’id al-Islam Muhammad bin Abdul Wahhab, hal.26)



Selain dari Muhammad Abdul Wahhab ini, mari kita rujuk juga kata-kata seorang dari golongan Wahabi –Muhammad Sulthan al-Ma’shumi– terhadap kaum Muslimin yang meng-Esakan Allah dan sedang menziarahi kuburan Rasulallah saw. untuk bertabarruk kepada Nabi saw. sebagai berikut: "Pada kunjungan saya yang ke empat kekota Madinah, saya menyaksikan di Mesjid Nabawi disisi kuburan Rasulallah saw. yang mulia, banyak sekali terdapat hal-hal yang bertentangan dengan iman, hal-hal yang menghancurkan Islam dan hal-hal yang membatalkan ibadah, yaitu berupa kemusyrikan-kemusyrikan yang muncul disebabkan sikap berlebihan, kebodohan, taklid buta dan ta’assub yang batil. Sebagian besar yang melakukan kemunkaran-kemunkaran ini adalah orang-orang asing (bukan orang Saudi sendiri ?) yang berasal dari berbagai penjuru dunia, yang mereka tidak memiliki pengetahuan tentang hakikat agama. Mereka telah menjadikan kuburan Rasulallah saw. sebagai berhala, disebabkan cinta yang berlebihan, sementara mereka tidak merasa.”(Al–Musyahadat al-Ma’shumiyyah ‘Inda Qabr Khair al-Bariyyah, hal.15) .



Sudah jelas bagi orang yang berpendidikan agama akan menolak tegas pikiran si Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dan Muhammad Sulthan al-Ma’shumi ini, dengan adanya omongannya itu menunjukkan mereka tidak bisa membedakan antara ‘ibadah dan ta’dzim/penghormatan. Baik menurut syariat maupun akal, kita tidak dapat meletakkan secara keseluruhan kata khudhu’ (ketundukkan) dan tadzallul (perendahan diri) sebagai ibadah. Kita melihat banyak sekali perbuatan yang dilakukan oleh manusia didalam kehidupan sehari-harinya yang disertai dengan ketundukkan dan perendahan diri.



Contohnya; ketundukkan seorang murid kepada gurunya dan begitu juga


ketundukkan seorang prajurit yang berdiri hormat dan sebagainya dihadapan komandannya. Tidak mungkin ada seorang manusia yang berani mengatakan perbuatan yang mereka lakukan itu ibadah. Allah swt. telah memerintahkan kita untuk menampakkan diri kepada kedua orang tua ketundukkan dan perendahan. Sebagaimana firman-Nya: “Dan turunkanlah sayapmu (rendahkan lah dirimu) dihadapan mereka berdua dengan penuh kasih sayang”. Kata “penurunan sayap” disini adalah merupakan kiasan dari ketundukan yang tinggi. Kita tidak mungkin menyebut perbuatan ini sebagai ibadah. Bahkan, pedoman seorang muslim adalah “tunduk dan merendahkan diri di hadapan seorang Mukmin, serta congkak dan meninggikan diri dihadapan orang kafir”. Sebagaimana Allah swt. berfirman, “Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang Mukmin, dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir”. Jika semua perendahan diri dikatakan sebagai ibadah, berarti Allah telah memerintahkan orang-orang mukmin untuk beribadah kepada satu sama lainnya. Jelas, ini sesuatu yang mustahil!



Banyak ayat ilahi dengan jelas berbicara tentang hal ini, dan menafikan sama sekali klaim yang dikatakan oleh golongan Wahabi/Salafi. Diantaranya ialah, ayat yang menceritakan sujudnya para malaikat kepada Adam. Sujud adalah merupakan peringkat tertinggi dari khudhu’ (ketundukkan) dan tadzallul (perendahan diri). Allah swt. berfirman: “Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam’”.(QS. al-Baqarah: 34). Jika sujud kepada selain Allah swt. dan penampakkan puncak ketundukkan dan perendahan diri itu disebut ‘ibadah’ –sebagaimana yang dikatakan oleh kalangan Salafi/Wahabi– maka tentu para malaikat ,na’udzu billah, telah musyrik dan kafir. Dari ayat ini kita dapat mengetahui bahwa puncak dari ketundukkan bukanlah ibadah. Disamping itu, tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa kata ‘sujud’ didalam ayat ini berarti makna hakiki/yang sesungguhnya. Banyak ahli tafsir menulis bahwa sujud diayat tersebut berarti sujud penghormatan atau ta’dzim terhadap Adam a.s jadi bukan sujud ibadah atau sujud kepada Adam untuk dijadikan sebagai kiblatnya, sebagaimana menjadikan Ka’bah sebagai kiblat mereka.



Jadi pikiran dan kata-kata Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dan Muhammad Sulthan al-Ma’shumi, seperti tersebut diatas ini adalah pikiran yang tidak benar dan tanpa dasar. Karena, seandainya arti sujud kepada Adam adalah berarti menjadikan Adam sebagai kiblat atau sebagai penyembahan, maka tidak ada alasan bagi Iblis untuk mengajukan protes. Iblis protes karena sujud ditujukan kepada Adam ini bukan dalam arti hakiki/sesungguhnya hanya sebagai penghormatan tinggi saja. Begitu juga Al-Qur’an al-Karim telah mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan kemungkinan diatas. Yaitu melalui perkataan Iblis yang berbunyi, “Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?”. (QS. al-Isra: 61). Yang Iblis pahami dari perintah Allah swt. ialah sujud kepada diri Adam itu sendiri (sebagai penghormatan). Oleh karena itu, dia protes dengan mengatakan, Saya lebih baik darinya. Dengan kata lain dia mengatakan, Saya lebih utama darinya. Bagaimana mungkin seorang yang merasa lebih utama harus sujud kepada orang yang tidak lebih utama ?



Disamping itu jika yang dimaksud dengan sujud disini ialah menjadikan Adam sebagai kiblat, maka tidaklah harus berarti bahwa kiblat itu lebih utama dari orang yang sujud. Dengan demikian berarti Adam tidak mempunyai keutamaan atas mereka. Ini jelas bertentangan dengan zhahir/lahir ayat itu. Sebagaimana firman Allah swt. dalam surat Al-Isra’ (17); 61-62: ‘Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?’ Juga katanya (Iblis), ‘Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh padaku sampai hari kiamat, niscaya benar-benar akan aku sesatkan keturun- annya, kecuali sebagian kecil‘. Jadi jelas keengganan Iblis untuk sujud kepada Adam tidak lain adalah dikarenakan pada sujud tersebut terdapat kedudukan dan keutamaan yang besar bagi Adam as. dengan lain kata untuk ta’dzim (penghormatan tinggi) pada Adam as..