KESATRIA YG SEMBUNYI???

Posted in Rabu, 30 Maret 2011
by Unknown
Imam Syi’ah yang konon memiliki banyak mukjizat, ternyata masih harus bertaqiyah, menyembunyikan kebenaran karena takut. Apa yang ditakutkan oleh Imam Syi’ah yang konon adalah manusia paling pemberani di zamannya? Al-Mufid –seorang ulama Syi’ah– mengatakan: “Seorang Imam harus bersifat palin...g pemberani di antara umatnya.” (Al-Iqtishad, hal. 312).

Para pemalsu riwayat dari Ahlul Bait membuat ajaran baru yang dapat menjaga dan memelihara kebohongan mereka. Tetapi sebenarnya ajaran ini dapat menghancurkan/mengungkap kebatilan prinsip Imamah, bahkan membuat agama mereka menjadi batil, ajaran ini adalah taqiyah, atau kebohongan yang dilakukan dengan sengaja.

Mereka yang memalsukan riwayat dari para Imam tidak tinggal di tempat yang sama, juga hidup pada zaman yang berbeda-beda, juga tidak sepakat atas satu pendapat, jika ada seseorang memalsukan riwayat dari Imam, ada juga orang lain yang memalsukan riwayat dari Imam, yang mana dua riwayat itu saling bertentangan, jalan keluar sudah siap yaitu: salah satu yang berbohong dapat melakukan taqiyyah.

Taqiyyah dalam Islam.

Taqiyyah dalam terminologi Syi’ah bukanlah taqiyyah yang diperbolehkan oleh Allah pada saat dalam ketakutan –Allah tidak mewajibkan taqiyah–, tetapi Syi’ah beranggapan bahwa taqiyah adalah wajib, yang meningaglkan taqiyah sama dengan meninggalkan agama –menurut riwayat yang ada–. Sedangkan taqiyah yang sah dalam Islam, –sebab boleh jadi seorang muslim yang hidup hingga meninggal dunia belum pernah melakukan taqiyah–, hukumnya mubah, dan bukan sebuah kewajiban.

Allah Ta’ala berfirman:

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar.” (QS. An-Nahl: 106).

At-Thabari menukil riwayat dari Ibnu Abbas, dia mengatakan: “Allah memberitahukan bahwa orang yang kafir setelah beriman, maka dia akan terkena murka dari Allah dan siksa yang pedih, tetapi siapa yang dipaksa dan mengucapkan kekafiran tetapi hatinya tetap beriman, agar bisa selamat dari musuh, maka hal itu tidak mengapa, karena Allah hanya menilai seorang hamba dengan apa yang diyakini oleh hati.” (Lihat: Tafsir At-Thabari).

Allah Ta’ala berfirman:

“Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS. Ali-Imran: 28).

At-Thabari juga menukil riwayat dari Ibnu Abbas: “Allah berfirman:… (ayat diatas), Allah melarang orang beriman untuk berlemah lembut terhadap orang kafir, atau menjadikan mereka sebagai teman dekat, bukannya orang beriman, kecuali ketika orang kafir dalam kondisi kuat, maka boleh memperlihatkan sikap lemah lembut kepada mereka, dengan tetap menyelisihi agama mereka, inilah yang dimaksud dalam firman Allah:… (ayat diatas).”

Kedua ayat di atas menjelaskan hukum asal, lalu menambahkan peng-kecuali-an, maka menunjukkan hukum perbuatan itu adalah mubah, bukanlah sebuah perintah dan ajaran agama yang diwajibkan, seperti dengan jelas maksud dalam ayat di atas. Inilah taqiyah dalam Islam.

Sedangkan taqiyah menurut Syi’ah.

Menurut Syi’ah, taqiyyah adalah agama itu sendiri, terdapat banyak riwayat yang konon bersumber dari Ahlul Bait, di antaranya:

Ja’far As-Shadiq mengatakan: “Taqiyah adalah 9 dari 10 bagian agama.” Ja’far juga mengatakan: “Tidak ada agama bagi yang tidak bertaqiyyah.” Begitu juga riwayat dari Abu Ja’far, yang mengatakan: “Taqiyyah adalah agamaku dan agama kakek-kakekku.” (Riwayat-riwayat ini tercantum dalam kitab Al-Kafir, bab. Taqiyyah, jilid. 2, hal. 217). Sungguh tidak mungkin Ahlul Bait mengucapkan demikian itu.

Ulama Syi’ah telah sepakat menekankan ajaran ini, bahkan menganggapnya sebuah rukun yang harus dikerjakan, seperti halnya shalat.

Ibnu Babawaih Al-Qummi, salah seorang ulama besar Syi’ah, mengatakan: “kami meyakini bahwa taqiyah adalah wajib, siapa yang meninggalkannya sama seperti meninggalkan shalat.” (Al-I’tiqadat, hal. 114).

Begitulah, taqiyah yang berarti menipu dijadikan sebagai ajaran agama yang dapat mendekatkan diri pada Allah, bahkan menipu ini menjadi 90% dari agama, ini artinya orang yang selalu berbohong dan menipu dalam ucapan dan perbuatannya setiap hari maka telah melakukan 90% ajaran agama.

Celakanya lagi, menipu seperti ini bukan hanya ajaran dari seorang Imam saja, bahkan telah menjadi agama seluruh keluarga Nabi, termasuk di dalamnya Nabi sendiri, seperti tercantum dalam riwayat mereka, akan lain persoalannya jika para Imam tidak mengaitkan ajaran itu dengan ajaran Nabi, dan menganggap ajaran agama mereka bukan agama yang dibawa oleh Nabi, inilah yang kita pahami dari ucapan Imam Syi’ah: “…dan agama kakek-kakekku.”

Apakah ada orang berakal yang dapat menerima hal ini dan menganggap taqiyah atau menipu adalah ajaran Allah yang diturunkan untuk memperbaiki akhlak dan menanamkan nilai kejujuran, sikap terus terang dan memperlakukan manusia dengan jujur, dalam perilaku manusia agar kehidupan menjadi tenteram dan berkembang dalam kerangka amanat, kejujuran dan terus terang?

Anggap saja kita percaya dengan riwayat di atas, apa konsekuensinya?

Meyakini hal di atas memiliki beberapa konsekuensi:

1.    Berarti agama yang diturunkan oleh Allah adalah agama taqiyah atau menipu. Menipu adalah perbuatan tercela yang dibenci oleh seluruh agama dan masyarakat di dunia ini, bahkan pada zaman jahiliyah sekalipun, yang mana pada zaman jahiliyah seseorang merasa gengsi untuk menipu, apalagi menjadikan tindakan menipu dalam rangka untuk mencari pahala, apakah masuk akal Allah menurunkan ajaran agama yang mana 90% dari ajaran itu adalah menipu?

2.    Jika memang taqiyah adalah ajaran agama, orang yang tidak bertaqiyah berarti tidak beragama alias kafir, juga taqiyah adalah ajaran seluruh Ahlul Bait, dan taqiyah adalah 9 dari 10 ajaran agama, bagaimana kita bisa percaya bahwa Nabi telah menyampaikan seluruh ajaran agama, bisa jadi Nabi menyembunyikan sebagian ajaran agama karena bertaqiyah, karena taqiyah adalah ajaran agama Nabi, seperti tercantum dalam riwayat Syi’ah, astaghfirullah, tidak mungkin Nabi dan Ahlul Bait meyakini seperti itu.

3.    Jika memang taqiyah adalah ajaran agama, lalu apa yang menjamin segala sabda Nabi bukan merupakan taqiyah? Padahal yang benar adalah berlawanan dari yang disabdakan oleh Nabi?

4.    Jika memang taqiyah adalah ajaran agama, siapa yang menjamin bahwa para Imam tidak bertaqiyah?

5.    Jika memang taqiyah adalah ajaran agama, lalu apa gunanya Imam? Karena tujuan dari adanya Imam adalah untuk menyampaikan kebenaran kepada umat manusia, tetapi jika Imam malah menyembunyikan kebenaran dan meremehkan agama untuk keselamatan pribadinya, lalu apa gunanya dia menjadi Imam?

6.    Jika memang taqiyah adalah ajaran agama, lalu bagaimana kita bisa membedakan bahwa Imam melakukan suatu perbuatan dalam keadaan bertaqiyah atau tidak? Bagaimana kita bisa menyelesaikan perselisihan dan perbedaan pendapat yang timbul akibat perbuatan Imam?

Sedangkan menurut Syi’ah, salah satu fungsi dari keberadaan Imam adalah untuk menyelesaikan perbedaan pendapat dan perselisihan, tetapi Imam malah dengan sengaja menimbulkan perbedaan pendapat baru, karena mengajarkan ajaran atau melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kebenaran –karena bertaqiyah– akhirnya membuat pengikutnya menjadi bingung dan bersilang selisih.

Imam memerlukan pengikutnya untuk menyelesaikan perbedaan.

Maka Imam memerlukan pengikutnya agar mereka dapat meramalkan ucapan Imam, mana yang taqiyah dan mana yang tidak, maka pengikut para Imam menyusun kitab yang menerangkan bahwa ini adalah taqiyah dan ini adalah tidak (bukan taqiyah), seperti At-Thusi yang menyusun dua judul kitab; Tahdzhib dan Al-Istibshar, yang disusun khusus untuk tujuan di atas.

Pengikut Imam memiliki keberanian lebih dari pada para Imam, karena si pengikut berani berterus terang mengucapkan apa yang tidak berani diucapkan oleh para Imam, dan para pengikut itulah yang dapat memberi manfaat pada umat dari pada Imam, karena merekalah yang menyelesaikan perbedaan pendapat, bukannya para Imam.

At-Thusi –yang juga dijuluki oleh Syi’ah dengan Syaikhut Tha’ifah– menuliskan pada pengantar kitab Tahzibul Ahkam:

“Kawan-kawan yang memiliki hak yang harus kami tunaikan pada mereka, mereka menyebutkan perbedaan dan kontradiksi yang ada pada hadits-hadits madzhab kami, sampai setiap hadits yang ada pasti ada hadits lain yang membantahnya, dan hal itu dijadikan sebagai bahan untuk menyerang madzhab kami, bahkan membuat musuh dapat menerangkan kebatilan madzhab kami,…”

Beberapa baris kemudian At-Thusi menambahkan:

“Dia menemui beberapa kelompok yang tidak memiliki pemahaman yang kuat tentang hadist dan makna-makna lafal hadits, banyak dari mereka keluar dari madzhab yang benar ini, karena mereka tidak dapat memecahkan keraguan yang ada akibat kontradiksi itu, saya mendengar syaikh Abu Abdillah menyebutkan bahwa Abu Husein Al-Harudi Al-Alawi, dia memeluk madzhab kebenaran –Syi’ah– dan beriman kepada Imamah, lalu keluar dari madzhab ini karena tidak bisa memecahkan keraguan yang timbul akibat kontradiksi hadits yang ada pada kami, dia meninggalkan madzhab kebenaran dan memeluk madzhab lain karena tidak bisa memecahkan kontradiksi yang ada.” (Tahzibul Ahkam, jilid. 1, hal. 2-3).

Lihatlah bagaimana Syaikh Thaifah mengakui bahwa setiap riwayat Syi’ah pasti ada riwayat yang membantahnya, yang membuat akal sebagian Syi’ah bekerja kembali lalu meninggalkan madzhab Syi’ah, seperti dijelaskan di atas.

Mengapa Imam yang datang kemudian tidak menjelaskan taqiyah yang dilakukan oleh Imam sebelumnya?

Jika seorang Imam yang terdahulu mengeluarkan sebuah fatwa atau keputusan yang mengandung taqiyah, mengapa Imam yang datang kemudian tidak memberitahukan pada pengikut Syi’ah bahwa fatwa atau ucapan ayahnya itu adalah taqiyah? Mengapa tetap ada riwayat yang kontradiktif? Padahal Imam yang datang setelah Imam yang terdahulu dan tidak menjelaskan taqiyah yang dilakukan oleh Imam sebelumnya, hingga kemudian ulama Syi’ah menyimpulkan sendiri tanpa adanya bukti otentik dari para Imam, hanya menggunakan perkiraan, kita tidak tahu apakah ucapan ulama ini benar atau tidak.

Dari keterangan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa ulama Syi’ah lah yang sebenarnya layak disebut sebagai Imam, karena dialah yang menyelesaikan perselisihan yang timbul akibat fatwa Imam yang kontradiktif. Bahkan ulama Syi’ah bisa disebut sebagai “Imam nya para Imam” karena menyelesaikan kontradiksi yang timbul dari ucapan seluruh Imam Syi’ah.

Para Imam Syi’ah yang membuat orang jadi bingung, hingga sebagian pengikut Syi’ah keluar dari Syi’ah karena kontradiksi dari para Imam, sebenarnya mereka tidak layak disebut Imam.

Kami Ahlus Sunnah meyakini bahwa para Imam Syi’ah terlepas dari seluruh kebohongan yang kontradiktif di atas, tetapi di sini kami hanya mengomentari riwayat dari kitab-kitab Syi’ah.

7.    Mana sifat pemberani para Imam, yang konon salah satu syarat Imam adalah orang yang paling pemberani? Seperti sifat Imam menurut Syi’ah.

Al-Mufid mengatakan: “Seorang Imam harus bersifat paling pemberani di antara umatnya.” (Al-Iqtishad, hal. 312).
Apakah Imam yang menyembunyikan kebenaran bisa dianggap pemberani?