J I L Semoga Aku Tidak Terjaring di Dalamnya

Posted in Sabtu, 26 Maret 2011
by Unknown
Bismillahirrahmanirrahim

Andai aku seorang muslim liberal, maka aku akan melepaskan keyakinan-keislamanku dari segala bentuk otoritas tafsir”. ini Tulisan adalah atas jawaban dari tulisan JIL itu.

Pertama: Sebagai seorang Muslim sejati, aku akan meyakini bahwa aku berada dalam kebenaran. Bagiku Islam dan iman adalah hidayah dan nikmat yang telah Allah kurniakan kepadaku, karenanya keyakinanku tidak mungkin bersifat tentatif.

Hanya dengan keyakinan seperti ini aku mampu menyampaikan pesanan Tuhan dengan pasti (‘ala basiratin). Karena di perkuat dengan ilmu, keimananku terhadap Allah, al-Qur’an dan Nabi Muhammad serta risalah yang di bawanya tidak akan goyah meskipun terdapat tuduhan dan distorsi ke atas ajaran Islam.

Setelah mendalami ilmu-ilmu Islam, dan bukan secara apriori maupun taqlid, aku mengerti bahwa Iman bukan hanya suatu kepercayaan, tetapi merupakan keyakinan di dalam lubuk hati, pernyataan melalui lisan dan dibuktikan dengan perbuatan sebagai tanda berserah diri kepada kehendak Yang Maha Esa.

Aku memahami Ibadah bukan hanya sebatas ritual dan spiritual, tetapi sebagai penghambaan diri terhadap Allah swt dalam segenap bidang kehidupan. Keyakinanku akan kebenaran ajaran Islam bertitik tolak daripada keyakinanku bahwa knowledge is possible dan seperti diungkapkan oleh al-Nasafi bahwa hakikat sesuatu itu tetap dan ilmu mengenainya adalah sesuatu yang pasti (haqa’iq al-ashya’ thabitah wa al-ilmu biha mutahaqqiqun).

Kedua: Aku setuju dengan pandangan para sarjana Muslim, seperti Muhammad Iqbal, al-Attas dan al-Faruqi, bahwa masalah utama umat Islam adalah krisis ilmu. Bahwa jalan untuk mengembalikan kegemilangan tamadun Islam adalah melalui pemerkasaan budaya ilmu, pencerahan dan pemberdayaan Ummat.

Maka tanggungjawab para cendekia Muslim adalah membebaskan umat Islam dari belenggu kejahilan termasuk kejahilan tentang Islam itu sendiri. Pada hari ini yang menjadi kendala adalah kekeliruan epistemologi: ketidakmampuan kaum intelektual Muslim mengatasi polemik akal dengan wahyu telah menambah lagi kekeliruan dan kejahilan ini. Aku melihat bahwa justeru sebagian intelektual Muslim dipengaruhi pemikiran sekular Barat dan terperangkap dalam dikotomi: liberal versus literal, sakral versus mundane, objektif versus subjektif, progresif versus konservatif, teokrasi versus demokrasi. Dualisme dan dikotomi berlaku di Barat karena kegagalan Gereja mengakomodasi modernity dan kemajuan manusia.

Bagiku, Islam telah memberikan kedudukan yang sewajarnya kepada akal. Cukup tinggi karena dengannya misi kekhalifahan hanya mungkin tercapai tetapi tidak terlalu tinggi untuk didewakan atau disejajarkan dengan wahyu.

Akal dan kebenaran yang diperolehinya tidak berdiri sendiri. Setelah mendalami epistemologi Islam, aku mengerti bahwa kebenaran sains harus tunduk kepada kebenaran wahyu dan bukan sebaliknya. Akal dan sains harus akur dengan keterbatasannya dan bahwa dalam perkara-perkara tertentu tidak mampu menjelaskan secara saintifik. Bagi kaum sekular kebenaran sains dan kebenaran agama dilihat secara terpisah.

Bagiku kebenaran sains adalah kebenaran yang datang dari Tuhan, karena sains mengkaji fenomena kejadian makhluk Tuhan yang mengikuti sunnatullah. Demikian juga, kebenaran wahyu tidak akan bertentangan dengan kebenaran akal, jika akal memperolehinya dengan metode yang benar.

Sebagai seorang Muslim sejati, aku mengerti bahwa al-Qur’an sebagai pembimbing akal telah menjelaskan hakikat-hakikat kehidupan ini dengan begitu gamblang. Tugas akal fikiran hanya perlu memahaminya dan mengembangkannya.

Bagiku, tiada di kotomi antara al-Qur’an dan akal, keduanya berjalan seiring, karena, seperti
dinyatakan oleh mantan Shekh al-Azhar Abdul Halim Mahmud, Al-Qur’an adalah kitab akal karena seluruh kandungan al-Qur’an mengarah kepada pembebasan akal dari lingkarannya yang sempit.

Rabunnya umat Islam dalam membaca dan lumpuhnya mereka dalam berfikir tiada kaitan dengan al-Qur’an. Karena sehebat manapun pembimbing tidak akan bermakna apa-apa kalau yang dibimbing tidak ada kemahuan untuk memperbaiki dirinya. Oleh karenanya aku sedar, dalam hal ini bukan salah Islam sehingga ia perlu dirubah dan bukan juga salah Barat sehingga ia perlu dimusuhi, tetapi salah umat Islam karena memiliki apa yang dikatakan oleh Muhammad Iqbal “ego (khudi) yang lemah” atau meminjam istilah Malik Bennabi, mempunyai sikap qabiliyyat li al-isti’mar (kecenderungan untuk dijajah).

Ketiga: Dalam menghadapi kemajuan (modernity), yang pada hari ini disinonimkan dengan Barat, aku tidak akan bersikap terlalu terbuka (silau) dan tidak juga tertutup (konservatif). Islam mengajarku untuk selalu berusaha menggapai kecemerlangan dan membangunkan diri, bangsa dan masyarakat.

Melalui pembacaanku, aku sedar bahwa Islam telah disalahfahami oleh sebagian umat Islam yang anti kemajuan dan anti perubahan. Tetapi juga di sudut yang lain, Islam telah disalahfahami oleh golongan Muslim sekular yang menganggap agama sebagai penyebab kemunduran, oleh karenanya, menurut mereka agama perlu dibatasi hanya pada ruang lingkup kehidupan peribadi.

Untuk mengatasi dualisme pemikiran ini, aku menyadari perlunya rekonsepsi (membetulkan kefahaman) terhadap Islam. Melalui penulisan para sarjana Muslim yang otoritatif aku mengerti bahwa Islam sebenarnya bersifat transformatif-liberatif: membawa misi perubahan dan pembebasan manusia sebagaimana terbukti pada generasi awal Islam.

Apabila realitasnya pada hari ini Islam tidak menjadikan ummat Islam maju dan bebas dari segala bentuk belenggu dan penindasan, ini bermakna wujudnya korupsi dalam memahami Islam. Aku yakin, seandainya Islam difahami dengan betul dan dilaksanakan dengan baik maka Islam mampu menjadi civilizing force, sebagaimana telah terbukti dalam sejarah Islam.

Keempat: Aku akan menjadikan tradisi sebagai landasan untuk aku berpijak. Bagiku tiada sebab mengapa aku harus membenci tradisi karena ia tidak membelengguku atau menghalangku untuk maju dan menjawab permasalahan zaman mengikut keyakinanku. Bagiku, masa lalu amat penting karena tiada seorang pun manusia yang mampu mengetahui jati dirinya tanpa memikirkan masa lalunya.

Aku berbangga dengan pencapaian para ulama silam, meskipun aku sedar kebesaran mereka tidak seharusnya menjadikan generasi hari ini kerdil. Justeru, dengan khazanah yang mereka tinggalkan aku harus mampu lebih maju lagi kedepan.

Ketinggian golongan ulama bagiku adalah karena tawfiq dan inayah Allah swt dan dekatnya mereka akan nuansa dan legasi yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw.

Karenanya, baik ulama klasik maupun kontemporer adalah golongan yang diberi amanah oleh Allah dan bukan status sosial maupun keagamaan yang bisadibanggakan. Oleh karenanya amanah ini mesti dilaksanakan dengan berani dan jujur. Namun demikian, aku sedar, mereka tidak suci atau ma’sum dan mereka bukan wakil Tuhan.

Segala pandangan mereka harus kuterima selama mereka punya hujjah yang kuat dan terbukti kebenarannya, namun andainya terbukti bahwa pandangan mereka ternyata tidak benar atau bertentangan dengan kebenaran al-Qur’an dan al-Sunnah, maka tidak perlu kuterima. Sepanjang pengetahuanku, Golongan ulama ini tidak bisa disamakan dengan golongan agama yang punya hak paten dalam memahami agama dan berbicara atas nama Tuhan. Karena bagiku, semua orang Islam adalah golongan agama yang seharusnya menjadi wakil Tuhan di muka bumi.
Kelima: Aku mempelajari filsafat Barat untuk tujuan perbandingan. Aku tidak akan terikut-ikut karena sebagai seorang Muslim aku memiliki worldview dan framework tersendiri dalam berfikir. Aku tidak tertegun dengan konsep cogito ergo sumnya Descartes, atau existence preceeds essencenya Sartre, atau knowledge is powernya Foucault dan Bacon, hatta dalam perkara tertentu aku langsung tidak tertarik untuk mengagungkan contohnya Locke karena konsep natural rights: life, liberty and property.

Aku tidak merasa heran dengan filsafat Barat karena aku sudah terlebih dahulu mengetahui bahwa, seperti diungkapkan oleh Muhammad Iqbal, the birth of Islam is the birth of inductive knowledge, juga seperti diungkapkan oleh al-Ghazali dan al-Shatibi bahwa hukum Islam sebenarnya dibuat untuk melindungi kemaslahatan/kebaikan ummat manusia: agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta.

Aku mempelajari pemikiran Barat untuk memahami Barat. Dengan demikian aku dapat memperkukuh keyakinanku dan kalau aku mampu, seperti yang telah dilakukan oleh imam al-Ghazali, membatalkan tesis-tesis mereka yang mengelirukan dan dengan itu aku telah berjuang untuk Islam.


Sebagai seorang Muslim aku percaya bahwa akal tidak bisa dijadikan setanding dengan wahyu. Sebagai peneliti Muslim aku percaya bahwa pencarian akal dalam Islam dibimbing oleh wahyu. Oleh karenanya terdapat ruang objektivitas dan ruang subjektivitas yang perlu dihormati: ruang yang pasti di mana tidak perlu untuk akal bereksperimen di samping juga ruang untuk perbedaan penafsiran selama dalam framework Islam. Teori mengenai realitas kehidupan yang selalu berubah dan terlalu dominannya elemen subjektivitas dalam filsafat Barat, bagiku membuktikan bahwa Barat dengan rasionalismenya tidak akan menemukan jalan kebenaran. Maka aku mendapati bahwa semakin jauh pengetahuanku terhadap filsafat Barat semakin dekat diriku terhadap kebenaran Islam.

Islam mengajarku agar mengambil hikmah/kebijaksanaan dari mana saja datangnya. Oleh karenanya tidak salah, malah digalakkan, mempelajari Sains dan Teknologi yang hari ini dikuasai oleh Barat agar dengannya ummat ini dapat mengecapi kemajuan dan merealisasikan misinya sebagai khalifah Allah di muka bumi.

Aku akan mempelajari filsafat Barat agar aku mampu untuk membuat perbandingan dan penilaian sebelum aku mampu menyumbang dalam wacana keintelektualan Islam. Namun, aku sadar sebagaimana ditekankan oleh al-Attas bahwa ilmu pengetahuan Barat tidak value-free (bebas nilai), aku tetap akan meyakini hal ini walaupun andainya Thomas Kuhn tidak menulis The Structure of Scientific Revolutionsnya, oleh karenanya aku harus mampu membedakan antara ilmu dengan nilai-nilai sekular yang mengiringinya sebelum proses Islamisasi dapat kulakukan. Penghormatanku terhadap keintelektualan Barat tidak seharusnya menjadikanku hanyut sehingga merubah jati diriku.

Keenam: Sebagai seorang Muslim sejati, aku akan melaksanakan Islam sebagai satu cara hidup yang lengkap, oleh karenanya aku akan menentang sekularisme dan sekularisasi di dunia Islam. Bagiku, orang yang memisahkan Islam dari segenap aspek kehidupan manusia adalah orang yang sombong dan congkak. Karena menganggap panduan dan bimbingan akal, yang dicipta oleh manusia-manusia sekular, lebih baik daripada petunjuk al-Qur’an.

Aku sedar, keadilan, keharmonian dan keamanan hanya akan tercapai sepenuhnya dengan mengikut ajaran al-Qur’an. Sedangkan demokrasi liberal, kapitalisme, utilitarianisme dan isme-isme lainnya hanya menjanjikan angan-angan. Alasannya jelas, ketika Islam berbicara mengenai keadilan, kesejahteraan, dan keharmonian ia dikemas dengan keindahan iman, taqwa dan akhlak, sedangkan filsafat Barat membicarakannya secara dikotomis.

Aku mengerti bahwa tipologi memberikan kelebihan kepada Barat, karenanya aku harus berhati-hati agar tidak terpengaruh dengan labelisasi mereka. Label fundamentalis diberikan oleh Media Barat, dengan pelbagai konotasi negatifnya: terorisme, militan dll., keatas orang Islam yang menjadikan Islam sebagai cara hidup. Kalau ternyata istilah fundamentalis tidak digunakan oleh Media terhadap penganut agama lain yang melakukan hal yang sama maka jelas pelabelan ini memiliki niat yang tersembunyi.

Dengan andaian ancaman gerakan fundamentalisme inilah maka dimasukkan wacana liberal dalam pemikiran Islam. Tidak sedikit yang terperangkap dalam dualisme dan dikotomi ini, oleh karenanya, dengan ilmu dan kebijaksanaan yang diberikan oleh Islam, aku tidak seharusnya ikut terperangkap. Andai dapat dibuktikan bahwa kemunculan golongan yang dikatakan fundamentalis ini tidak mengancam maka jelas bahwa eksistensi mereka sebenarnya tidak berasas.

Ketujuh: Bagiku, metode hermeneutika hanya pantas diterapkan pada Bible. Ini karena, baik dari segi sejarah maupun kandungan, al-Qur’an dan Bible jauh berbeda. Tiada sebab untuk aku mengikuti metodologi pentafsiran Bible karena aku tidak mengalami masalah yang dialami oleh penafsir-penafsir Bible. Mempelajari al-Qur’an dengan ilmu, iman dan kejujuran membawaku kepada keyakinan akan kesempurnaan al-Qur’an. Tiada satupun ayat di dalamnya yang boleh dikatakan bermasalah atau kontradiktif. Selain itu, sebagaimana terbukti dengan kajian al-‘Azami: The History of The Qur’anic Text, keistimewaan al-Qur’an adalah terjaganya kemurnian dan kesucian al-Qur’an sepanjang sejarah. Hal inilah yang sehingga kini dicemburui oleh kaum Orientalis yang berusaha untuk menggoyahkan keyakinanku ini.

Penafsiran literal terhadap al-Qur’an memang sering dilakukan oleh para ulama. Namun sering juga para ulama tidak terpaku pada makna literal, sebaliknya melihat maksud ayat yang tersirat dan menyesuaikan nass-nass juz’iyy dengan maqasid kulliyyyah Shari’at Islam. Setelah aku memperdalam ilmuku tentang Shari’ah aku akan mengerti bahwa kedua-dua pendekatan literal dan liberal terhadap maqasid shari’ah tidak tepat. Pendekatan yang benar dan selalu ditekankan oleh ulama-ulama mu’tabar dari dulu hingga sekarang adalah pendekatan yang oleh al-Qaradawi disebut dengan al-wasatiyyah.

Kedelapan: Sebagai seorang Muslim sejati, aku tunduk sepenuhnya dengan perintah dan aturan yang diberikan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah. Shari’ah datang daripada Allah swt dan bukan, sebagaimana yang sering diperkatakan oleh Orientalis, produk para ulama. Bagiku, Shari’ah bukan hanya teks-teks suci, ia juga bukan apa yang terkandung di dalam kitab-kitab Fiqh. Ketika Sayyidina Umar menangguhkan hukum potong tangan pada ‘am al-maja’ah (tahun kelaparan), ketetapan itu bukan pandangan subjektif beliau tetapi adalah hukum Shari’ah.

Karena beliau tidak terpaku pada teks secara literal tetapi mengembalikan teks-teks juz’i kepada maqasid kulliyyah yang sebenarnya sebagian daripada Shari’ah.

Oleh karena aku menyedari kelemahanku dalam menafsirkan al-Qur’an maka aku merujuk kepada pandangan para ulama yang berotoritas. Mereka sangat berotoritas karena mereka menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan dalam memahami al-Qur’an.

Lebih daripada itu dengan bimbingan iman mereka juga faham akan kehendak Tuhan.
Bagiku ilmu adalah amanah dan pemberian Tuhan, oleh karenanya kepintaran semata-mata tidak meletakkan seseorang itu menjadi orang yang otoritatif dalam keilmuan Islam.

Kesembilan: Karena aku memiliki worldview Islam, Aku tidak akan hanyut dengan tren pemikiran Barat yang kabur dan selalu berubah. Post-modernisme yang menjadikan kegagalan dan kesempitan modenisme sebagai raison d’ĂȘtrenya hanya mempunyai legitimasi di tengah obsesi Barat terhadap kuasa dan ketunggalan.

Dari awal kemunculan Islam, jelas bahwa Islam menerima pluralitas/kepelbagaian sebagai lumrah kehidupan. Karena keadilan menjadi nilai utama dalam ajaran Islam, Islam selalu berada bersama kaum yang tertindas, terlupakan dan teraniaya. Konflik antara Islam dengan agama lain timbul disebabkan faktor politik dan bukan faktor teologi. Hal ini tidak sesekali memberikan justifikasi ke atas konsep pluralisme agama. Sebagai seorang Muslim aku percaya bahwa agama Tuhan yang benar hanyalah satu, yang berbeda dan berbagai adalah shari’atNya.

Oleh karena Syari’at Muhammad adalah penutup maka hanya Syari’ah Muhammad saw yang benar.

Keyakinanku bahwa hanya ada satu kebenaran tidak bercanggah dengan kemungkinan
wujudnya kebenaran pada orang lain. Dalam permasalahan ijtihadiyyah, aku tidak akan mengatakan hanya pendapatku saja yang benar dan pendapat orang lain adalah salah. Pendekatan para ulama ini tidak membawaku kepada subjektivisme, seperti yang dilakukan oleh Khaled Abou el-Fadl, kerana ia hanya berlaku hanya pada realm ijtihadiyyah.

Bagiku, tidak mungkin Tuhan menurunkan wahyu sebagai pembimbing manusia jika, pada masa yang sama, Tuhan mengatakan bahawa tiada yang mengetahui maksud firmanNya melainkan diriNya. Kuatnya elemen subjektivisme dan penghapusan objektivitas dalam pemikiran post-modernisme akan membawa kepada nihilisme dan ketiadaan kebenaran. Tentunya hal ini akan memberik dampak yang besar kepada agama dan kemanusiaan.

Terakhir, Aku akan sentiasa berdoa agar aku sentiasa berada dalam hidayah dan ‘inayahNya. Agar aku terhindar dari tergolong dalam orang-orang yang telah menerima bayyinat lalu tersesatkan. Agar aku sentiasa berada dalam keimanan dan ketaqwaan sampai akhir hayatku.