Asal Usul Ta'at Dan Maksiat

Posted in Rabu, 01 Juni 2011
by Radheeta

"Keluarlah dirimu dari sifat-sifat nafsu kemanusiaanmu, sifat-sifat yang bisa merusak Ubudiyahmu, agar panggilan Allah bisa direspons positif dan kedekatan dengan Allah senantiasa hadir."


Sehari-hari kita sering mengucapkan kata-kata seperti, “….Itu kan manusiawi!, …” atau “ wajarlah, kita sebagai manusia…” dan sebagainya, yang sesungguhnya merupakan ekspressi dari sisi-sisi nafsu kita yang berbicara, ketika kita mencari dalih pembenaran atas kesalahan kita.

Sifat-sifat “manusiawi” yang sering kita jadikan alibi itulah yang sesungguhnya berkembang secara negatif dalam pertumbuhan spiritual kita. Pada saat yang sama jelas menghambat hubungan kita dengan Allah Ta’ala.

Hikmah di atas sebagai kelanjutan dari masalah Hijab, masalah yang menghalangi pandangan matahati kita kepada Allah ta’ala. Oleh sebab itu elemen yang perlu diangkat berikutnya tentu bagaimana seseorang bisa keluar dari Hijab dirinya sendiri, yang bersarang pada sifat-sifat manusiawi di atas.

Menurut Syeikh Zaruq, sifat-sifat manusiawi itu terbagi menjadi dua bagian: Pertama, ifat-sifat yang relevan dengan Ubudiyah, seperti sifat taat, menjaga diri, semangat jiwa maupun sifat yang terpuji. Kedua, sifat yang bisa merusak Ubudiyah seperti maksiat, syahwat dan kealpaan.

Dimaksudkan keluar dari sifat manusiawi adalah sifat yang mendorong seseorang untuk alpa, maksiat dan syahwat itulah yang merusak (destruktif) terhadap ibadah. Sekaligus juga menjauhkan kehadiran Ilahi di hati kita.

Keluarnya “diri” itu merupakan prasyarat bagi Panggilan Ilahi. Orang yang dipenuhi oleh hawa nafsunya tidak akan mendengar Panggilan Ilahi, dan cenderung melempar jauh-jauh suara-suara Ilahiyah itu. Misalnya panggilanNya: “Wahai orang-orang yang beriman…Wahai ummat manusia…Wahai Nabi…Wahai Insan…”dan sebagainya, yang senantiasa bergema di telinga hati kita.

Ja’far ash-Shadiq ra, pernah berkata, “Bila kamu mendengar panggilan: Wahai orang-orang yang beriman….! Maka simaklah, sebab [panggilan itu perisi perintah atau larangan.”

Jawaban atas panggilan Ilahi itu terbagi dalam tiga hal: 1)Membenarkan, 2) mengamalkannya, dan 3) hasrat hanya untuk Allah dalam mengamalkannya itu.

Sulthanul Auliya’ Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily menegaskan, “Apabila Allah memuliakan hambaNya dalam gerak dan diamnya maka Allah memberikan bagian Ubudiyah hanya untuk Allah dalam pandangan hatinya, sedangkan bagian-bagian gerak hawa nafsunya ditutup. Allah menjadikan si hamba itu senantiasa keluar masuk, bolak balik dalam situasi ubudiyah, sementara hasrat nafsunya tertutupi oleh nuansa yang berlangsung dalam takdir yang menyelimuti, bahkan sama sekali tidak berpaling pada nafsu itu, seakan-akan nafsu itu sudah lepas darinya. Sebaliknya apabila Allah merendahkan (menghina) seorang hamba dalam gerak dan diamnya, maka hasrat nafsunya dibuka, dan hasrat ubudiyahnya ditutup, lalu hamba itu berputar-putar pada syahwat nafsunya, sedangkan ubudiyahnya seakan-akan lepas dari dirinya. Walau pun kelihatannya secara lahiriyah dia beribadah.”

Dari sinilah Ibnu Athaillah melanjutkan bahwa nafsu itulah sumber segala bencana.

“Asal usul maksiat, syahwat dan kealpaan adalah kerelaan kita pada nafsu.”

Apakah maksiat itu? Maksiat adalah tindakan yang menyimpang dari perintah Allah dan menerjang laranganNya. Sedangkan menuruti nafsu itu berarti menyalurkan kompensasi nafsu untuk mencari kesenangan. Sementara dimaksud dengan kealpaan adalah mengabaikan tindak sunnah dan wajib, begitu juga ketika melakukan kewajiban disertai orientasi hawa nafsu, tergolong kealpaan pula.

Kerelaan terhadap hawa nafsu itu, tanda-tandanya ada tiga: 1) Melihat kebenaran menurut selera dirinya, 2) Memanjakan nafsu, dan 3) Memejamkan mata dari aib-aib nafsu itu sendiri, sehingga jauh dari penyucian jiwa.

Sebaliknya:

“Asal usul ketaatan, mawas diri, dan sadar diri adalah ketidak relaan terhadap nafsu.”

Tanda ketidakrelaan kita pada nafsu adalah: 1) Curiga pada siasat nafsu, 2) Waspada pada bahayanya, 3) Dan menekan nafsu dalam berbagai kesempatan.

Abu Hafs Al-Haddad ra, berkata: “Siapa yang tidak curiga terhadap nafsunya sepanjang waktu; tidak menentangnya dalam semua perilaku; tidak menekannya pada hari-harinya, maka orang itu telah terpedaya (tertipudaya). Siapa yang memandang nafsu itu dengan pandangan yang indah, maka nafsu itu telah menghancurkan dirinya. Bagaimana seorang yang waras akalnya akan rela pada nafsunya.