Jika bukan karena engkau, jika bukan karena engkau, wahai Muhammad, Aku tak akan pernah menciptakan langit yang tinggi dan mengejawantahkan Kedaulatan-Ku (Hadis).
Dalam satu pengertian, Allah tidak secara langsung mengatur dunia, sebab Dzat-Nya adalah tanzih, tiada banding secara mutlak (transenden). Dia mengatur melalui Nur Muhammad, Logos. Jika Dzat-Nya turut campur dalam pengaturan alam yang penuh pertentangan, maka kalimat Allahu Ahad menjadi tidak berarti. Maka fungsi pengaturan berada dalam tahap wahidiyyah ini, yakni tahap Haqiqat Al-Muhammadiyyah. Rububiyyah (penguasaan, pemeliharaan) menimbulkan kebutuhan adanya hamba dan sesuatu yang dipelihara (kosmos, alam), dan karenanya dibutuhkan penghambaan (ubudiyyah). Haqiqat Al-Muhammadiyyah mengalir dari nabi ke nabi sejak Adam sampai pada gilirannya akan terwujud dalam pribadi Muhammad yang disebut rasul dan hamba (abd)—Muhammad abduhu wa Rasullullah. Ketika Muhammad, setelah bertafakur sekian lama di gua, ia mencapai tahap keheningan di mana gelombang dirinya bertemu dengan gelombang Nur Muhammad, maka layar kesadarannya terbuka terang melebihi terangnya seribu bulan. Maka jadilah ia Rasul. Maka Rasul Muhammad adalah cahaya yang menerangi alam secara lembut dan bisa disaksikan, sebab terang cahaya itu dibandingkan dengan seribu bulan, bukan seribu matahari.
Dalam konteks ini secara simbolik “Rasul” adalah manifestasi yang lengkap dari tahapan manifestasi, yakni dari martabat wahdah ke martabat alam ajsaam (alam dunia, materi, sebab-akibat). Dilihat dari sudut pandang lain, rasul adalah “utusan” Tuhan yang menunjukkan jalan menuju cahaya atau kepada Tuhan. Karena merupakan manifestasi “lengkap dan sempurna” maka tidak dibutuhkan lagi sesuatu yang lain sesudahnya, dan jadilah dia disebut khatam (penutup)—”tak ada lagi nabi dan rasul setelah aku (Muhammad).”
Bagian kedua kalimat syahadat, Muhammad rasullullah, adalah deskripsi dari ciptaan. Muhammad adalah “barzakh” yang memperantarai manusia dengan Tuhan. Berbeda dengan bagian pertama syahadat, Laa ilaha illa Allah, yang menegaskan Keesaan dan karenanya eksklusivitas mutlak (tanzih), bagian kedua syahadat ini menunjukkan inklusivitas (tasybih), karena merupakan manifestasi dari Allah. Sebagai sebuah deskripsi dari manifestasi, syahadat kedua ini menggambarkan tiga hal sekaligus, yakni Prinsip Asal yang dimanifestasikan (Muhammad); manifestasi Prinsip (Rasul); dan Prinsip Asal itu sendiri (Allah). Dengan demikian, “Rasul” adalah penghubung “Dzat yang dimanifestasikan” dengan Dzat itu sendiri. Rasul menjadi perantara antara alam yang fana dengan Dzat Yang Kekal. Tanpa “Muhammad Rasullulah” dunia tidak akan eksis, sebab ketika dunia yang fana dihadapkan pada Yang Kekal, maka lenyaplah dunia itu. Menurut Syekh Al-Alawi, jika Rasul diletakkan di antara keduanya, maka dunia bisa terwujud, sebab Rasul secara internal adalah tajalli sempurna dari Allah, dan secara eksternal tercipta dari tanah liat yang berarti termasuk bagian dari alam. Jadinya, Rasul adalah “Utusan” manifestasi, yang mengisyaratkan “perwujudan” atau “turunnya” Tuhan dalam “bentuk manifestasi atau ayat-ayat” ke dunia, yang dengannya Dia dikenal. Kerasulan adalah alam kekuasaan (alam jabarut). Dengan demikian Muhammad Rasulullah adalah penegasan perpaduan Keesaan Dzat (Wujud), Sifat (shifaat) dan Tindakan (af’al). Karenanya, kata Imam Ar-Rabbani—seorang Syekh Tarekat Naqshabandi—dalam kerasulan, Rasul tidak hanya berhadapan dengan Allah saja, tetapi juga berhadapan dengan manusia (alam) pada saat ia berhadapan dengan Tuhan.
Pengangkatan Rasul, yang berarti “turunnya” Tuhan ke dunia, yakni “bersatunya” kesadaran Muhammad dengan Nur Muhammad, terjadi pada laylat Al-Qadr (Malam Kekuasaan), yang terang cahayanya melebihi seribu bulan. Allah dan Nabi Muhammad bertemu dalam “Rasul” yang dijabarkan dalam Risalah, atau Wahyu, yakni Al-Quran. Inilah cahaya petunjuk (Al-Huda) yang menerangi kegelapan alam, yang memisahkan (Al-Furqan) kebatilan atau kegelapan dengan kebenaran atau cahaya. Karena itu Al-Quran sesungguhnya adalah manifestasi “kehadiran penampakan” Allah di dunia ini. Sayyidina Ali karamallahu wajhah dalam Nahj Al-Balaghah mengatakan “Allah Yang Mahasuci menampakkan Diri kepada hamba-hamba-Nya dalam firman-Nya, hanya saja mereka tidak melihatnya.” Imam Ja’far, cucu Rasulullah saw, juga mengatakan, “Sesungguhnya Allah menampakkan Diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya dalam Kitab-Nya, tetapi mereka tidak melihat.”
Kedudukan manusia paling tinggi justru dalam realisasi penghambaannya yang paling sempurna, abd, “abdi”—gelar yang hanya disebut oleh Allah bagi Muhammad Saw. Al-’abd adalah “Hamba” atau abdi yang sepenuhnya pasrah kepada Allah. Seorang abd hidup dalam kesadaran sebagai seorang abdi Allah. Abd dicirikan oleh keikhlasan. Karenanya, penghambaan sejati bukan lantaran kewajiban atau keterpaksaan. Dalam pengertian umum, kegembiraan seorang hamba adalah ketika dia dimerdekakan oleh tuannya. Tetapi ‘abd merasakan kegembiraan tatkala ia menjadi hamba (Allah).
Derajat ‘abd adalah derajat tertinggi yang bisa dicapai manusia, dan karena itu Allah menyandingkan kerasulan Nabi Muhammad Saw dengan ‘abd—”Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah ‘hamba’ dan Rasul-Nya.” Ketika mengundang Rasulullah saw di malam mi’raj, Allah menyebutnya dengan gelar “hamba”—Mahasuci Allah yang memperjalankan hamba-Nya di kala malam (QS. 17:1)—dan ini sekaligus menunjukkan kebesaran kualitas ‘abd, sebab hanya ‘abd-Nya-lah yang berhak mendapat undangan langsung menemui-Nya di tempat di mana bahkan Malaikat Jibril pun terbakar sayap-sayapnya. Dalam tingkatan yang paripurna, hamba yang ingat akan menjadi yang diingat, yang mengetahui akan menjadi yang diketahui, dan yang melihat akan menjadi yang dilihat, yang menghendaki menjadi yang dikehendaki, dan yang mencintai menjadi yang dicintai, karena ia sudah fana pada Allah dan baqa dengan baqa-Nya, dan ia menghabiskan waktunya untuk memandang kebesaran dan keindahan-Nya terus-menerus, seakan-akan dirinya pupus, seakan dia adalah Dia (Allah). Ini adalah maqam seperti yang disebutkan dalam hadis Qudsi: … “(Aku) menjadi pendengarannya yang dengannya dia mendengar, penglihatannya yang dengannya dia melihat, menjadi tangannya yang dengannya dia memegang, menjadi kakinya yang dengannya dia berjalan, dan menjadi lidahnya yang dengannya dia bicara.” Jadi jelas bahwa derajat tertinggi adalah pada kehambaan, sebab hanya hamba sejatilah yang akan “naik” menuju Tuhannya. Dan pada sang hamba sejatilah Allah “turun” untuk menemuinya. Ini adalah misteri mi’raj.
Penurunan dan kenaikan, laylatul al-qadr dan laylat al-mi’raj, mempertemukan hamba dengan Tuhannya, melalui kewajiban yang ditetapkan pada saat pertemuan Nabi dengan Allah, yakni shalat. Setiap mukmin harus mengikuti jejak Rasulullah agar bisa mi’raj, sebab sekali lagi, hanya melalui Rasullullah sajalah, yakni prinsip “barzakh,” manusia bisa bertemu dengan Tuhannya. Rasul pernah mengatakan bahwa mi’raj-nya umat Muslim adalah shalat. Tanpa shalat, tidak ada mi’raj. Karenanya, shalat adalah wajib. Shalat pula yang membedakan Muhammad (dan umatnya) dengan kaum kafir.
Shalat bisa dilihat dari dua sisi. Sebagai gerak perlambang dan doa/dzikir. Gerakan shalat bukan sekadar gerak tanpa makna, tetapi sebuah tindak “menulis” ayat Allah dan merealisasikannya. Muslim “membaca” Al-Quran untuk mendapatkan petunjuk tentang hakikat dirinya guna mengenal Allah, dan Muslim melakukan shalat untuk “menulis” hakikat diri. Ini berarti pula bahwa dengan shalat seorang Mukmin melahirkan kandungan hakikat kediriannya, seperti sebuah pena yang mengalirkan tinta saat dipakai untuk menulis. Apa yang “ditulis” dalam shalat adalah hakikat kemanusiaan, adam, yakni bahwa manusia sesungguhnya adalah “adam” atau tiada, dan eksistensinya muncul adalah lantaran eksistensi Allah yang dipancarkan melalui Nur Muhammad. Dalam salah satu tafsir Sufi, posisi berdiri tegak lurus melambangkan huruf alif; posisi rukuk melambangkan huruf dal; dan sujud melambangkan huruf mim. Ketiga huruf ini membentuk kata “adam”. Huruf alif bernilai numerik satu yang melambangkan keesaan Tuhan. Karenanya begitu seseorang mengangkat tangannya dan berseru “Allahu Akbar,” ia sama artinya dengan “mengorbankan” diri dalam kesatuan. Jika kesadaran tertentu telah dicapai dalam tingkatan keesaan, maka ia akan menunduk, yang mencapai puncaknya dalam sujud. Dalam posisi sujud, otak (rasio) diletakkan lebih rendah daripada hati. Bisa dikatakan rasio haruslah menjadi aspek sekunder dalam mendekati Tuhan, sebab “alam semesta tak bisa menampung Allah, hanya hati yang bisa menampung Allah” (hadis qudsi).
Sujud melambangkan penghapusan diri. Diri yang mengaku-aku, begitu berhadapan dengan Tuhan yang Esa dan bercakap intim dengan-Nya, menjadi sadar akan hakikat dirinya sendiri. Maka dia sujud, menghapuskan diri, fana. Ada dua kali sujud dalam setiap rakaat, yang berarti sang hamba tenggelam dalam fana al-fana, penghapusan dalam penghapusan. Penghapusan pertama dihapuskan lagi, dan jadilah dia pada baqa.1 Fana al-fana menjadikan seseorang adam, “tiada,” yang merupakan hakikat dirinya, dan karena kehapusan diri ini berada dalam pandangan Allah maka ia hapus dalam keabadian Allah, baqa, sehingga ia mengalami hidup yang sebenarnya. Sebab, pelenyapan diri dalam Keesaan Allah berarti pula baqa “bersama” Allah. Dengan kata lain, seorang yang sujud dalam arti sebenar-benarnya ini akan keluar dari kesementaraa dunia, dan masuk ke hari-hari di sisi Tuhan, atau yaumiddin. Jadinya, akhirat (yaumiddin), bagi seorang sufi, bukanlah waktu di ujung waktu temporal dunia, tetapi dialami pada momen “saat ini”. Sufi adalah putra waktu (Ibnu al-waqt), demikian salah satu prinsip Tasawuf. Karena secara hakikat sudah “melampaui ruang dan waktu,” maka Sufi sama artinya melakukan shalat yang berkekalan, “shalat daim”.
Di sisi lain, yakni dalam pengertian shalat sebagai doa, ketika Muhammad diperintahkan shalat, maka ini artinya Allah menjadikan Muhammad sebagai hamba yang memohon (berdoa) dan Allah adalah menjadikan diri-Nya sebagai yang dimintai permohonan. Karena rasul adalah utusan dari Tuhan kepada manusia atau perantara, dan doa juga perantara atau “utusan” dari manusia kepada Tuhan dalam bentuk permohonan, maka rasul menjadi titik temu hubungan ini, yang berarti Rasul adalah doa itu sendiri, yakni ‘barzakh” atau pintu perantara antara manusia dengan Tuhan. Di sinilah terletak fungsi shalawat.
Dalam shalawat terkandung doa, pujian dan cinta. Karenanya, shalawat adalah salah satu jalan menuju cinta kepada rasul, yang pada tingkat tertinggi menyebabkan seseorang lebur dalam totalitas eksistensi, atau hakikat Muhammad, atau Nur Muhammad.
Shalawat adalah “berkah” yang biasanya disandingkan dengan kedamaian (salam). Shalawat karenanya berfungsi sebagai berkah dari Tuhan3 untuk “menghidupkan” hati dan membersihkan hati4 agar terserap dalam Nur Muhammad dan sekaligus sebagai kedamaian yang menenteramkan. Dengan demikian, shalawat menjadi pembuka pintu keterkabulan doa seseorang—seperti dikatakan dalam hadis, “Doa tidak akan naik ke langit tanpa melewati sebuah ‘pintu’ atau tirai. Jika doa disertai shalawat kepadaku maka doa akan bisa melewati tirai (yakni membuka pintu) itu dan masuklah doa itu ke langit, dan jika tidak (disertai shalawat) doa itu akan dikembalikan kepada pemohonnya.”
Semua shalawat mengalirkan barakah kepada pembacanya sebab dengan shalawat seseorang “terhubung” dengan “Perbendaharaan Tersembunyi” yang kandungannya tiada batasnya, atau dengan kata lain, dengan shalawat seseorang berarti akan memperoleh berkah “kunci” dari Perbendaharaan Tersembunyi yang gaib sekaligus nyata (yakni dalam wujud Muhammad saw). Karenanya, dalam tradisi Sufi diyakini bahwa bacaan shalawat tertentu mempunyai fungsi dan faedah tertentu untuk mengeluarkan kandungan Perbendaharaan Tersembunyi sesuai dengan kandungan misteri yang ada dalam kalimat-kalimat bacaannya. Misalnya, shalawat Fatih diyakini memiliki pelebur dosa, meluaskan rezeki, bertemu nabi dalam mimpi dan bahkan dalam keadaan terjaga, dan dibebaskan dari api neraka.1 Contoh lainnya yang masyhur adalah Shalawat Nariyyah, yang menjadi amalan banyak Wali Allah dan juga umat Muslim awam. Diriwayatkan bahwa shalawat ini bisa dengan cepat mendatangkan hajat jika dibaca sebanyak 4444 kali dalam sekali duduk.
Proses kita menuju totalitas tersebut merupakan upaya untuk menyerap semua nama dan sifat Tuhan secara sempurna dan harmonis melalui perantaraan (barzakh) Rasul. Ini adalah salah satu aspek dari fana fi-rasul. Seorang Sufi atau Wali Allah yang telah mencapai taraf fana fi-Rasul, atau “menyatu” dengan Nur Muhammad, maka ia akan merasakan kehadiran Muhammad bahkan dalam keadaan terjaga, dan bercakap-cakap dengannya, Imam al-Haddad, sang penyusun amalan “Ratib Haddad” yang termasyhur itu, menurut riwayat pernah berziarah ke makam Rasulullah dan mengucapkan salam. Lalu terdengar jawaban dari Nabi atas salam itu. Semua yang hadir bisa mendengarkan jawaban itu.
Bahkan dalam tingkatan yang lebih tinggi dan halus, sebagian Sufi melalui penglihatan batinnya (kasyaf) mereka bisa melihat sosok seorang Sufi sama persis dengan sosok Muhammad, baik dalam bentuk tubuh maupun parasnya. Abu Bakar Syibli, misalnya, dalam keadaan fana mengatakan “Aku adalah Rasulullah.” Pada saat itu salah seorang muridnya melihat Sybli dalam rupa Muhammad seperti yang pernah disaksikan dalam mimpinya dan kasyafnya. Maka mendengar sang guru berkata seperti itu, secara spontan ia menjawab “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah.” Hal yang sama juga pernah disampaikan oleh Syekh Muhammad Samman. Ketika Syekh Samman sedang fana ia akan terus memuji Muhammad saw dengan membaca shalawat yang menguraikan hakikat Muhammad, yakni shalawat Sammaniyah. Pada keadaan ini kadang beliau berucap, “Aku adalah Muhammad yang dituju” atau “Aku adalah Nabi Muhammad dan Nur Muhammad,” dan “jasadku mirip dengan jasad Muhammad.”
Salah satu contoh lagi isyarat rahasia terdalam dari Nur Muhammad ini dialami oleh salah seorang murid dari Wali Allah Syekh As-Sayyid Qamarullah Badrulmukminin Musyawaratul Hukuma Qamaruzzaman. Dalam sebuah mimpi ia melihat Rasullullah, Imam Mahdi dan gurunya memiliki bentuk tubuh dan paras yang sama persis. Dan setiap kali ia bermimpi tentang Rasul, ia selalu menyaksikan gurunya di sisi beliau. Kadang-kadang, menurut muridnya, dalam beberapa perbincangan dengan Syekh As-Sayyid Qamarullah, tidak jelas apakah yang bicara itu Syekh ataukah Rasulullah. Bahkan di beberapa kesempatan, barangkali dalam keadaan “ekstase” atau jadzab, Syekh ini menyatakan dirinya diberi amanat untuk memberi keselamatan (rahmat) alam, sebuah tugas Nabi Muhammad.
Tetapi tentu saja semua contoh di atas tidak bisa dilihat dari perspektif umum atau lahiriah, sebab hal-hal ini berada dalam konteks gaib dan rahasia ilahi yang hanya dipahami oleh orang-orang yang memang diberi izin dan diberi hak untuk memahaminya. Kondisi tertinggi dalam persatuan dengan Nur Muhammad ini, secara teori, biasanya dialami oleh para wali yang telah mencapai kedudukan tertinggi, seperti wali Qutb (Kutub) atau Qutb Al-Aqtab (Rajanya Para Kutub) atau Sulthanul Awliya.
Ini adalah salah satu misteri terdalam (al-haqiqah) dari hubungan antara Allah, Nur Muhammad, Muhammad saw, alam dan manusia (orang mukmin). Sebuah misteri yang tak bisa diselami makna hakikinya hanya melalui kata-kata. Dan, misteri agung yang suci ini terangkum dalam shalawat agung dari Syekh ‘Arif Billah Al-Qutb As-Syekh Muhammad Samman, sang pendiri tarekat Sammaniyah:
Ya Allah, semoga Engkau sampaikan shalawat bagi yang kami hormati Muhammad; dia adalah asal-usul dari segala yang maujud, yang meliputi semua falak (benda-benda langit) yang tinggi; huruf alif pada Ahmad artinya adalah dzat yang mengalir pada setiap molekul; huruf ha pada ahmad artinya hidupnya makhluk dari awal sampai akhir; huruf mim pada kata Ahmad berarti tahta kerajaan ilahi yang tiada banding; huruf dal pada lafal Ahmad artinya keabadian yang tanpa akhir. Engkau yang telah menampakkan diri pada Nur Muhammad yang Engkau cintai. Ia adalah tahta kehormatan yang padanya Engkau percikkan cahaya Dzat-Mu. Engkau menampakkan Diri (kepadanya) dengan Cahaya-Mu. Hakikat Muhammad adalah cermin yang memantulkan keindahan-Mu, memantulkan sinar dalam Asma-Mu dan Sifat-sifat-Mu. Ia bagaikan matahari kesempurnaan yang memancarkan cahayanya bagi seluruh makhluk di alam, yang telah Engkau bentuk seluruh alam ini dari padanya (yakni dari Nur Muhammad). Setiap orang yang mencapai hakikat Muhammad akan Engkau dudukkan di atas permadani yang berdekatan dengan-Mu. Engkau tetapkan (berikan) kepadanya sebuah kunci perbendaharaan kekasih-Mu yang agung; kunci itu gaib dan tersembunyi tetapi ia (juga) nyata. Kunci perbendaharaan itu menjadi perantara di antara Engkau dan hamba-hamba-Mu. Hamba-Mu hanya bisa naik dengan cinta kepada Ahmad (Muhammad Saw.) untuk menyaksikan kesempurnaan-Mu. (shalawat) ini juga bagi keluarganya yang mengalirkan ilmu hakikat, dan bagi para sahabatnya yang menjadi pelita yang menunjukkan jalan bagi setiap insan. Shalawat ini adalah dari-Mu bagi Ahmad, diterima olehnya dari kami dengan berkah keutamaan-Mu. Shalawat ini melekat pada Dzat-Nya dalam gumpalan cahaya tajalli-Nya. Shalawat yang menyucikan hati kita dan rahasia-rahasia batin kita. Shalawat yang mengangkat roh-roh kita dan melimpahkan berkah kepada kita, guru-guru kami, kedua orang tua kami, saudara-saudara kami, dan segenap umat Muslim. Shalawat ini beriring dengan salam dari Engkau Ya Allah, hingga hari kiamat. Shalawat dan salam yang jumlahnya tak terhitung bagi Muhammad Al-Amin, dan juga kepada keluarganya dan para sahabatnya; segala puji bagi-Mu dari-Mu sepanjang masa.
Dengan mengaktualisasikan potensi yang bersifat ilahiah ini, berarti kita menafikan wujud kita dan menegaskan wujud Allah, karena wujud kita hanyalah wujud dalam arti majaz (kias), dengan demikian kita kembali ke sifat asli kita yakni ketiadaan, adam, dan karena itu pula kita menjadi cermin yang bening kembali, menjadi seperti pribadi Nabi, yang memantulkan nama dan sifat Tuhan, lokus tajaliyyat Tuhan yang sempurna—innallaha khalaqa adama ala suratihi (Sesungguhnya Allah menciptakan adam sesuai dengan Citra-Nya)—atau insan kamil.
Allahumma shalli wa salim ala sayyidina Muhammadi fi kulli lamhatin wanafasin bi adadi kulli ma'lumilak...
Dalam satu pengertian, Allah tidak secara langsung mengatur dunia, sebab Dzat-Nya adalah tanzih, tiada banding secara mutlak (transenden). Dia mengatur melalui Nur Muhammad, Logos. Jika Dzat-Nya turut campur dalam pengaturan alam yang penuh pertentangan, maka kalimat Allahu Ahad menjadi tidak berarti. Maka fungsi pengaturan berada dalam tahap wahidiyyah ini, yakni tahap Haqiqat Al-Muhammadiyyah. Rububiyyah (penguasaan, pemeliharaan) menimbulkan kebutuhan adanya hamba dan sesuatu yang dipelihara (kosmos, alam), dan karenanya dibutuhkan penghambaan (ubudiyyah). Haqiqat Al-Muhammadiyyah mengalir dari nabi ke nabi sejak Adam sampai pada gilirannya akan terwujud dalam pribadi Muhammad yang disebut rasul dan hamba (abd)—Muhammad abduhu wa Rasullullah. Ketika Muhammad, setelah bertafakur sekian lama di gua, ia mencapai tahap keheningan di mana gelombang dirinya bertemu dengan gelombang Nur Muhammad, maka layar kesadarannya terbuka terang melebihi terangnya seribu bulan. Maka jadilah ia Rasul. Maka Rasul Muhammad adalah cahaya yang menerangi alam secara lembut dan bisa disaksikan, sebab terang cahaya itu dibandingkan dengan seribu bulan, bukan seribu matahari.
Dalam konteks ini secara simbolik “Rasul” adalah manifestasi yang lengkap dari tahapan manifestasi, yakni dari martabat wahdah ke martabat alam ajsaam (alam dunia, materi, sebab-akibat). Dilihat dari sudut pandang lain, rasul adalah “utusan” Tuhan yang menunjukkan jalan menuju cahaya atau kepada Tuhan. Karena merupakan manifestasi “lengkap dan sempurna” maka tidak dibutuhkan lagi sesuatu yang lain sesudahnya, dan jadilah dia disebut khatam (penutup)—”tak ada lagi nabi dan rasul setelah aku (Muhammad).”
Bagian kedua kalimat syahadat, Muhammad rasullullah, adalah deskripsi dari ciptaan. Muhammad adalah “barzakh” yang memperantarai manusia dengan Tuhan. Berbeda dengan bagian pertama syahadat, Laa ilaha illa Allah, yang menegaskan Keesaan dan karenanya eksklusivitas mutlak (tanzih), bagian kedua syahadat ini menunjukkan inklusivitas (tasybih), karena merupakan manifestasi dari Allah. Sebagai sebuah deskripsi dari manifestasi, syahadat kedua ini menggambarkan tiga hal sekaligus, yakni Prinsip Asal yang dimanifestasikan (Muhammad); manifestasi Prinsip (Rasul); dan Prinsip Asal itu sendiri (Allah). Dengan demikian, “Rasul” adalah penghubung “Dzat yang dimanifestasikan” dengan Dzat itu sendiri. Rasul menjadi perantara antara alam yang fana dengan Dzat Yang Kekal. Tanpa “Muhammad Rasullulah” dunia tidak akan eksis, sebab ketika dunia yang fana dihadapkan pada Yang Kekal, maka lenyaplah dunia itu. Menurut Syekh Al-Alawi, jika Rasul diletakkan di antara keduanya, maka dunia bisa terwujud, sebab Rasul secara internal adalah tajalli sempurna dari Allah, dan secara eksternal tercipta dari tanah liat yang berarti termasuk bagian dari alam. Jadinya, Rasul adalah “Utusan” manifestasi, yang mengisyaratkan “perwujudan” atau “turunnya” Tuhan dalam “bentuk manifestasi atau ayat-ayat” ke dunia, yang dengannya Dia dikenal. Kerasulan adalah alam kekuasaan (alam jabarut). Dengan demikian Muhammad Rasulullah adalah penegasan perpaduan Keesaan Dzat (Wujud), Sifat (shifaat) dan Tindakan (af’al). Karenanya, kata Imam Ar-Rabbani—seorang Syekh Tarekat Naqshabandi—dalam kerasulan, Rasul tidak hanya berhadapan dengan Allah saja, tetapi juga berhadapan dengan manusia (alam) pada saat ia berhadapan dengan Tuhan.
Pengangkatan Rasul, yang berarti “turunnya” Tuhan ke dunia, yakni “bersatunya” kesadaran Muhammad dengan Nur Muhammad, terjadi pada laylat Al-Qadr (Malam Kekuasaan), yang terang cahayanya melebihi seribu bulan. Allah dan Nabi Muhammad bertemu dalam “Rasul” yang dijabarkan dalam Risalah, atau Wahyu, yakni Al-Quran. Inilah cahaya petunjuk (Al-Huda) yang menerangi kegelapan alam, yang memisahkan (Al-Furqan) kebatilan atau kegelapan dengan kebenaran atau cahaya. Karena itu Al-Quran sesungguhnya adalah manifestasi “kehadiran penampakan” Allah di dunia ini. Sayyidina Ali karamallahu wajhah dalam Nahj Al-Balaghah mengatakan “Allah Yang Mahasuci menampakkan Diri kepada hamba-hamba-Nya dalam firman-Nya, hanya saja mereka tidak melihatnya.” Imam Ja’far, cucu Rasulullah saw, juga mengatakan, “Sesungguhnya Allah menampakkan Diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya dalam Kitab-Nya, tetapi mereka tidak melihat.”
Kedudukan manusia paling tinggi justru dalam realisasi penghambaannya yang paling sempurna, abd, “abdi”—gelar yang hanya disebut oleh Allah bagi Muhammad Saw. Al-’abd adalah “Hamba” atau abdi yang sepenuhnya pasrah kepada Allah. Seorang abd hidup dalam kesadaran sebagai seorang abdi Allah. Abd dicirikan oleh keikhlasan. Karenanya, penghambaan sejati bukan lantaran kewajiban atau keterpaksaan. Dalam pengertian umum, kegembiraan seorang hamba adalah ketika dia dimerdekakan oleh tuannya. Tetapi ‘abd merasakan kegembiraan tatkala ia menjadi hamba (Allah).
Derajat ‘abd adalah derajat tertinggi yang bisa dicapai manusia, dan karena itu Allah menyandingkan kerasulan Nabi Muhammad Saw dengan ‘abd—”Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah ‘hamba’ dan Rasul-Nya.” Ketika mengundang Rasulullah saw di malam mi’raj, Allah menyebutnya dengan gelar “hamba”—Mahasuci Allah yang memperjalankan hamba-Nya di kala malam (QS. 17:1)—dan ini sekaligus menunjukkan kebesaran kualitas ‘abd, sebab hanya ‘abd-Nya-lah yang berhak mendapat undangan langsung menemui-Nya di tempat di mana bahkan Malaikat Jibril pun terbakar sayap-sayapnya. Dalam tingkatan yang paripurna, hamba yang ingat akan menjadi yang diingat, yang mengetahui akan menjadi yang diketahui, dan yang melihat akan menjadi yang dilihat, yang menghendaki menjadi yang dikehendaki, dan yang mencintai menjadi yang dicintai, karena ia sudah fana pada Allah dan baqa dengan baqa-Nya, dan ia menghabiskan waktunya untuk memandang kebesaran dan keindahan-Nya terus-menerus, seakan-akan dirinya pupus, seakan dia adalah Dia (Allah). Ini adalah maqam seperti yang disebutkan dalam hadis Qudsi: … “(Aku) menjadi pendengarannya yang dengannya dia mendengar, penglihatannya yang dengannya dia melihat, menjadi tangannya yang dengannya dia memegang, menjadi kakinya yang dengannya dia berjalan, dan menjadi lidahnya yang dengannya dia bicara.” Jadi jelas bahwa derajat tertinggi adalah pada kehambaan, sebab hanya hamba sejatilah yang akan “naik” menuju Tuhannya. Dan pada sang hamba sejatilah Allah “turun” untuk menemuinya. Ini adalah misteri mi’raj.
Penurunan dan kenaikan, laylatul al-qadr dan laylat al-mi’raj, mempertemukan hamba dengan Tuhannya, melalui kewajiban yang ditetapkan pada saat pertemuan Nabi dengan Allah, yakni shalat. Setiap mukmin harus mengikuti jejak Rasulullah agar bisa mi’raj, sebab sekali lagi, hanya melalui Rasullullah sajalah, yakni prinsip “barzakh,” manusia bisa bertemu dengan Tuhannya. Rasul pernah mengatakan bahwa mi’raj-nya umat Muslim adalah shalat. Tanpa shalat, tidak ada mi’raj. Karenanya, shalat adalah wajib. Shalat pula yang membedakan Muhammad (dan umatnya) dengan kaum kafir.
Shalat bisa dilihat dari dua sisi. Sebagai gerak perlambang dan doa/dzikir. Gerakan shalat bukan sekadar gerak tanpa makna, tetapi sebuah tindak “menulis” ayat Allah dan merealisasikannya. Muslim “membaca” Al-Quran untuk mendapatkan petunjuk tentang hakikat dirinya guna mengenal Allah, dan Muslim melakukan shalat untuk “menulis” hakikat diri. Ini berarti pula bahwa dengan shalat seorang Mukmin melahirkan kandungan hakikat kediriannya, seperti sebuah pena yang mengalirkan tinta saat dipakai untuk menulis. Apa yang “ditulis” dalam shalat adalah hakikat kemanusiaan, adam, yakni bahwa manusia sesungguhnya adalah “adam” atau tiada, dan eksistensinya muncul adalah lantaran eksistensi Allah yang dipancarkan melalui Nur Muhammad. Dalam salah satu tafsir Sufi, posisi berdiri tegak lurus melambangkan huruf alif; posisi rukuk melambangkan huruf dal; dan sujud melambangkan huruf mim. Ketiga huruf ini membentuk kata “adam”. Huruf alif bernilai numerik satu yang melambangkan keesaan Tuhan. Karenanya begitu seseorang mengangkat tangannya dan berseru “Allahu Akbar,” ia sama artinya dengan “mengorbankan” diri dalam kesatuan. Jika kesadaran tertentu telah dicapai dalam tingkatan keesaan, maka ia akan menunduk, yang mencapai puncaknya dalam sujud. Dalam posisi sujud, otak (rasio) diletakkan lebih rendah daripada hati. Bisa dikatakan rasio haruslah menjadi aspek sekunder dalam mendekati Tuhan, sebab “alam semesta tak bisa menampung Allah, hanya hati yang bisa menampung Allah” (hadis qudsi).
Sujud melambangkan penghapusan diri. Diri yang mengaku-aku, begitu berhadapan dengan Tuhan yang Esa dan bercakap intim dengan-Nya, menjadi sadar akan hakikat dirinya sendiri. Maka dia sujud, menghapuskan diri, fana. Ada dua kali sujud dalam setiap rakaat, yang berarti sang hamba tenggelam dalam fana al-fana, penghapusan dalam penghapusan. Penghapusan pertama dihapuskan lagi, dan jadilah dia pada baqa.1 Fana al-fana menjadikan seseorang adam, “tiada,” yang merupakan hakikat dirinya, dan karena kehapusan diri ini berada dalam pandangan Allah maka ia hapus dalam keabadian Allah, baqa, sehingga ia mengalami hidup yang sebenarnya. Sebab, pelenyapan diri dalam Keesaan Allah berarti pula baqa “bersama” Allah. Dengan kata lain, seorang yang sujud dalam arti sebenar-benarnya ini akan keluar dari kesementaraa dunia, dan masuk ke hari-hari di sisi Tuhan, atau yaumiddin. Jadinya, akhirat (yaumiddin), bagi seorang sufi, bukanlah waktu di ujung waktu temporal dunia, tetapi dialami pada momen “saat ini”. Sufi adalah putra waktu (Ibnu al-waqt), demikian salah satu prinsip Tasawuf. Karena secara hakikat sudah “melampaui ruang dan waktu,” maka Sufi sama artinya melakukan shalat yang berkekalan, “shalat daim”.
Di sisi lain, yakni dalam pengertian shalat sebagai doa, ketika Muhammad diperintahkan shalat, maka ini artinya Allah menjadikan Muhammad sebagai hamba yang memohon (berdoa) dan Allah adalah menjadikan diri-Nya sebagai yang dimintai permohonan. Karena rasul adalah utusan dari Tuhan kepada manusia atau perantara, dan doa juga perantara atau “utusan” dari manusia kepada Tuhan dalam bentuk permohonan, maka rasul menjadi titik temu hubungan ini, yang berarti Rasul adalah doa itu sendiri, yakni ‘barzakh” atau pintu perantara antara manusia dengan Tuhan. Di sinilah terletak fungsi shalawat.
Dalam shalawat terkandung doa, pujian dan cinta. Karenanya, shalawat adalah salah satu jalan menuju cinta kepada rasul, yang pada tingkat tertinggi menyebabkan seseorang lebur dalam totalitas eksistensi, atau hakikat Muhammad, atau Nur Muhammad.
Shalawat adalah “berkah” yang biasanya disandingkan dengan kedamaian (salam). Shalawat karenanya berfungsi sebagai berkah dari Tuhan3 untuk “menghidupkan” hati dan membersihkan hati4 agar terserap dalam Nur Muhammad dan sekaligus sebagai kedamaian yang menenteramkan. Dengan demikian, shalawat menjadi pembuka pintu keterkabulan doa seseorang—seperti dikatakan dalam hadis, “Doa tidak akan naik ke langit tanpa melewati sebuah ‘pintu’ atau tirai. Jika doa disertai shalawat kepadaku maka doa akan bisa melewati tirai (yakni membuka pintu) itu dan masuklah doa itu ke langit, dan jika tidak (disertai shalawat) doa itu akan dikembalikan kepada pemohonnya.”
Semua shalawat mengalirkan barakah kepada pembacanya sebab dengan shalawat seseorang “terhubung” dengan “Perbendaharaan Tersembunyi” yang kandungannya tiada batasnya, atau dengan kata lain, dengan shalawat seseorang berarti akan memperoleh berkah “kunci” dari Perbendaharaan Tersembunyi yang gaib sekaligus nyata (yakni dalam wujud Muhammad saw). Karenanya, dalam tradisi Sufi diyakini bahwa bacaan shalawat tertentu mempunyai fungsi dan faedah tertentu untuk mengeluarkan kandungan Perbendaharaan Tersembunyi sesuai dengan kandungan misteri yang ada dalam kalimat-kalimat bacaannya. Misalnya, shalawat Fatih diyakini memiliki pelebur dosa, meluaskan rezeki, bertemu nabi dalam mimpi dan bahkan dalam keadaan terjaga, dan dibebaskan dari api neraka.1 Contoh lainnya yang masyhur adalah Shalawat Nariyyah, yang menjadi amalan banyak Wali Allah dan juga umat Muslim awam. Diriwayatkan bahwa shalawat ini bisa dengan cepat mendatangkan hajat jika dibaca sebanyak 4444 kali dalam sekali duduk.
Proses kita menuju totalitas tersebut merupakan upaya untuk menyerap semua nama dan sifat Tuhan secara sempurna dan harmonis melalui perantaraan (barzakh) Rasul. Ini adalah salah satu aspek dari fana fi-rasul. Seorang Sufi atau Wali Allah yang telah mencapai taraf fana fi-Rasul, atau “menyatu” dengan Nur Muhammad, maka ia akan merasakan kehadiran Muhammad bahkan dalam keadaan terjaga, dan bercakap-cakap dengannya, Imam al-Haddad, sang penyusun amalan “Ratib Haddad” yang termasyhur itu, menurut riwayat pernah berziarah ke makam Rasulullah dan mengucapkan salam. Lalu terdengar jawaban dari Nabi atas salam itu. Semua yang hadir bisa mendengarkan jawaban itu.
Bahkan dalam tingkatan yang lebih tinggi dan halus, sebagian Sufi melalui penglihatan batinnya (kasyaf) mereka bisa melihat sosok seorang Sufi sama persis dengan sosok Muhammad, baik dalam bentuk tubuh maupun parasnya. Abu Bakar Syibli, misalnya, dalam keadaan fana mengatakan “Aku adalah Rasulullah.” Pada saat itu salah seorang muridnya melihat Sybli dalam rupa Muhammad seperti yang pernah disaksikan dalam mimpinya dan kasyafnya. Maka mendengar sang guru berkata seperti itu, secara spontan ia menjawab “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah.” Hal yang sama juga pernah disampaikan oleh Syekh Muhammad Samman. Ketika Syekh Samman sedang fana ia akan terus memuji Muhammad saw dengan membaca shalawat yang menguraikan hakikat Muhammad, yakni shalawat Sammaniyah. Pada keadaan ini kadang beliau berucap, “Aku adalah Muhammad yang dituju” atau “Aku adalah Nabi Muhammad dan Nur Muhammad,” dan “jasadku mirip dengan jasad Muhammad.”
Salah satu contoh lagi isyarat rahasia terdalam dari Nur Muhammad ini dialami oleh salah seorang murid dari Wali Allah Syekh As-Sayyid Qamarullah Badrulmukminin Musyawaratul Hukuma Qamaruzzaman. Dalam sebuah mimpi ia melihat Rasullullah, Imam Mahdi dan gurunya memiliki bentuk tubuh dan paras yang sama persis. Dan setiap kali ia bermimpi tentang Rasul, ia selalu menyaksikan gurunya di sisi beliau. Kadang-kadang, menurut muridnya, dalam beberapa perbincangan dengan Syekh As-Sayyid Qamarullah, tidak jelas apakah yang bicara itu Syekh ataukah Rasulullah. Bahkan di beberapa kesempatan, barangkali dalam keadaan “ekstase” atau jadzab, Syekh ini menyatakan dirinya diberi amanat untuk memberi keselamatan (rahmat) alam, sebuah tugas Nabi Muhammad.
Tetapi tentu saja semua contoh di atas tidak bisa dilihat dari perspektif umum atau lahiriah, sebab hal-hal ini berada dalam konteks gaib dan rahasia ilahi yang hanya dipahami oleh orang-orang yang memang diberi izin dan diberi hak untuk memahaminya. Kondisi tertinggi dalam persatuan dengan Nur Muhammad ini, secara teori, biasanya dialami oleh para wali yang telah mencapai kedudukan tertinggi, seperti wali Qutb (Kutub) atau Qutb Al-Aqtab (Rajanya Para Kutub) atau Sulthanul Awliya.
Ini adalah salah satu misteri terdalam (al-haqiqah) dari hubungan antara Allah, Nur Muhammad, Muhammad saw, alam dan manusia (orang mukmin). Sebuah misteri yang tak bisa diselami makna hakikinya hanya melalui kata-kata. Dan, misteri agung yang suci ini terangkum dalam shalawat agung dari Syekh ‘Arif Billah Al-Qutb As-Syekh Muhammad Samman, sang pendiri tarekat Sammaniyah:
Ya Allah, semoga Engkau sampaikan shalawat bagi yang kami hormati Muhammad; dia adalah asal-usul dari segala yang maujud, yang meliputi semua falak (benda-benda langit) yang tinggi; huruf alif pada Ahmad artinya adalah dzat yang mengalir pada setiap molekul; huruf ha pada ahmad artinya hidupnya makhluk dari awal sampai akhir; huruf mim pada kata Ahmad berarti tahta kerajaan ilahi yang tiada banding; huruf dal pada lafal Ahmad artinya keabadian yang tanpa akhir. Engkau yang telah menampakkan diri pada Nur Muhammad yang Engkau cintai. Ia adalah tahta kehormatan yang padanya Engkau percikkan cahaya Dzat-Mu. Engkau menampakkan Diri (kepadanya) dengan Cahaya-Mu. Hakikat Muhammad adalah cermin yang memantulkan keindahan-Mu, memantulkan sinar dalam Asma-Mu dan Sifat-sifat-Mu. Ia bagaikan matahari kesempurnaan yang memancarkan cahayanya bagi seluruh makhluk di alam, yang telah Engkau bentuk seluruh alam ini dari padanya (yakni dari Nur Muhammad). Setiap orang yang mencapai hakikat Muhammad akan Engkau dudukkan di atas permadani yang berdekatan dengan-Mu. Engkau tetapkan (berikan) kepadanya sebuah kunci perbendaharaan kekasih-Mu yang agung; kunci itu gaib dan tersembunyi tetapi ia (juga) nyata. Kunci perbendaharaan itu menjadi perantara di antara Engkau dan hamba-hamba-Mu. Hamba-Mu hanya bisa naik dengan cinta kepada Ahmad (Muhammad Saw.) untuk menyaksikan kesempurnaan-Mu. (shalawat) ini juga bagi keluarganya yang mengalirkan ilmu hakikat, dan bagi para sahabatnya yang menjadi pelita yang menunjukkan jalan bagi setiap insan. Shalawat ini adalah dari-Mu bagi Ahmad, diterima olehnya dari kami dengan berkah keutamaan-Mu. Shalawat ini melekat pada Dzat-Nya dalam gumpalan cahaya tajalli-Nya. Shalawat yang menyucikan hati kita dan rahasia-rahasia batin kita. Shalawat yang mengangkat roh-roh kita dan melimpahkan berkah kepada kita, guru-guru kami, kedua orang tua kami, saudara-saudara kami, dan segenap umat Muslim. Shalawat ini beriring dengan salam dari Engkau Ya Allah, hingga hari kiamat. Shalawat dan salam yang jumlahnya tak terhitung bagi Muhammad Al-Amin, dan juga kepada keluarganya dan para sahabatnya; segala puji bagi-Mu dari-Mu sepanjang masa.
Dengan mengaktualisasikan potensi yang bersifat ilahiah ini, berarti kita menafikan wujud kita dan menegaskan wujud Allah, karena wujud kita hanyalah wujud dalam arti majaz (kias), dengan demikian kita kembali ke sifat asli kita yakni ketiadaan, adam, dan karena itu pula kita menjadi cermin yang bening kembali, menjadi seperti pribadi Nabi, yang memantulkan nama dan sifat Tuhan, lokus tajaliyyat Tuhan yang sempurna—innallaha khalaqa adama ala suratihi (Sesungguhnya Allah menciptakan adam sesuai dengan Citra-Nya)—atau insan kamil.
Allahumma shalli wa salim ala sayyidina Muhammadi fi kulli lamhatin wanafasin bi adadi kulli ma'lumilak...
Tooooooooooooop
Ahirnyaaaaaaaaaaaah
mantep