oleh: Anggota WLML
KARAKTERISTIK
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, ada seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, kulitnya kemerah-merahan, dagunya menempel di dada selalu melihat pada tempat sujudnya, tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya, ahli membaca Al Qur’an dan menangis, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut yang satu untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendangan, tiada orang yang menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit.
Dia, jika bersumpah demi Allah pasti terkabul. Pada hari kiamat nanti ketika semua ahli ibadah dipanggil disuruh masuk surga, dia justru dipanggil agar berhenti dahulu dan disuruh memberi syafa’at, ternyata Allah memberi izin dia untuk memberi syafa’at sejumlah qobilah Robi’ah dan qobilah Mudhor, semua dimasukkan surga tak ada yang ketinggalan karenanya. Dia adalah “Uwais al-Qarni”. Ia tak dikenal banyak orang dan juga miskin, banyak orang suka menertawakan, mengolok-olok, dan menuduhnya sebagai tukang membujuk, tukang mencuri serta berbagai macam umpatan dan penghinaan lainnya.
Seorang fuqoha’ negeri Kuffah, karena ingin duduk dengannya, memberinya hadiah dua helai pakaian, tapi tak berhasil dengan baik, karena hadiah pakaian tadi diterima lalu dikembalikan lagi olehnya seraya berkata : “Aku khawatir, nanti sebagian orang menuduh aku, dari mana kamu dapatkan pakaian itu, kalau tidak dari membujuk pasti dari mencuri”.
Pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim, tak punya sanak famili kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk sekedar menopang kesehariannya bersama Sang ibu, bila ada kelebihan, ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti keadaannya.
Kesibukannya sebagai penggembala domba dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta, tidak mempengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap melakukan puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya.
Uwais al-Qarni telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar seruan Nabi Muhammad SAW. yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tak ada sekutu bagi-Nya. Islam mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak luhur. Peraturan-peraturan yang terdapat di dalamnya sangat menarik hati Uwais, sehingga setelah seruan Islam datang di negeri Yaman, ia segera memeluknya, karena selama ini hati Uwais selalu merindukan datangnya kebenaran. Banyak tetangganya yang telah memeluk Islam, pergi ke Madinah untuk mendengarkan ajaran Nabi Muhammad SAW secara langsung. Sekembalinya di Yaman, mereka memperbarui rumah tangga mereka dengan cara kehidupan Islam.
Alangkah sedihnya hati Uwais setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka itu telah “bertamu dan bertemu” dengan kekasih Allah penghulu para Nabi, sedang ia sendiri belum. Kecintaannya kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk bertemu dengan sang kekasih, tapi apalah daya ia tak punya bekal yang cukup untuk ke Madinah, dan yang lebih ia beratkan adalah sang ibu yang jika ia pergi, tak ada yang merawatnya.
Di ceritakan ketika terjadi perang Uhud Rasulullah SAW mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Kabar ini akhirnya terdengar oleh Uwais. Ia segera memukul giginya dengan batu hingga patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada beliau SAW, sekalipun ia belum pernah melihatnya. Hari berganti dan musim berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam lagi.
Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari dekat ? Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan perawatannya dan tak tega ditingalkan sendiri, hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa. Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi SAW di Madinah. Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Beliau memaklumi perasaan Uwais, dan berkata : “Pergilah wahai anakku ! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang”. Dengan rasa gembira ia berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi.
Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah Uwais menuju Madinah yang berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari Yaman. Medan yang begitu ganas dilaluinya, tak peduli penyamun gurun pasir, bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi SAW yang selama ini dirindukannya. Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi SAW, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah sayyidatina ‘Aisyah r.a., sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata beliau SAW tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah.
Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi SAW dari medan perang. Tapi, kapankah beliau pulang ? Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman,” Engkau harus lekas pulang”. Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi SAW. Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada sayyidatina ‘Aisyah r.a. untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi SAW dan melangkah pulang dengan perasaan haru.
Sepulangnya dari perang, Nabi SAW langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit). Mendengar perkataan baginda Rosulullah SAW, sayyidatina ‘Aisyah r.a. dan para sahabatnya tertegun. Menurut informasi sayyidatina ‘Aisyah r.a., memang benar ada yang mencari Nabi SAW dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Rosulullah SAW bersabda : “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya.” Sesudah itu beliau SAW, memandang kepada sayyidina Ali k.w. dan sayyidina Umar r.a. dan bersabda : “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah do’a dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi”.
Tahun terus berjalan, dan tak lama kemudian Nabi SAW wafat, hingga kekhalifahan sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. telah di estafetkan Khalifah Umar r.a. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi SAW. tentang Uwais al-Qarni, sang penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kepada sayyidina Ali k.w. untuk mencarinya bersama. Sejak itu, setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, beliau berdua selalu menanyakan tentang Uwais al-Qorni, apakah ia turut bersama mereka. Diantara kafilah-kafilah itu ada yang merasa heran, apakah sebenarnya yang terjadi sampai-sampai ia dicari oleh beliau berdua. Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka.
Suatu ketika, Uwais al-Qorni turut bersama rombongan kafilah menuju kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman, segera khalifah Umar r.a. dan sayyidina Ali k.w. mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka. Rombongan itu mengatakan bahwa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, beliau berdua bergegas pergi menemui Uwais al-Qorni. Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar r.a. dan sayyidina Ali k.w. memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan sholat. Setelah mengakhiri shalatnya, Uwais menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada ditelapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi SAW. Memang benar ! Dia penghuni langit. Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut, siapakah nama saudara ? “Abdullah”, jawab Uwais. Mendengar jawaban itu, kedua sahabatpun tertawa dan mengatakan : “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya ?” Uwais kemudian berkata: “Nama saya Uwais al-Qorni”. Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali k.w. memohon agar Uwais berkenan mendo’akan untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah: “Sayalah yang harus meminta do’a kepada kalian”. Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata: “Kami datang ke sini untuk mohon do’a dan istighfar dari anda”. Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais al-Qorni akhirnya mengangkat kedua tangannya, berdo’a dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar r.a. berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menolak dengan halus dengan berkata : “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi”.
Setelah kejadian itu, nama Uwais kembali tenggelam tak terdengar beritanya. Tapi ada seorang lelaki pernah bertemu dan di tolong oleh Uwais , waktu itu kami sedang berada di atas kapal menuju tanah Arab bersama para pedagang, tanpa disangka-sangka angin topan berhembus dengan kencang. Akibatnya hempasan ombak menghantam kapal kami sehingga air laut masuk ke dalam kapal dan menyebabkan kapal semakin berat. Pada saat itu, kami melihat seorang laki-laki yang mengenakan selimut berbulu di pojok kapal yang kami tumpangi, lalu kami memanggilnya. Lelaki itu keluar dari kapal dan melakukan sholat di atas air. Betapa terkejutnya kami melihat kejadian itu. “Wahai waliyullah,” Tolonglah kami !” tetapi lelaki itu tidak menoleh. Lalu kami berseru lagi,” Demi Zat yang telah memberimu kekuatan beribadah,
tolonglah kami!”Lelaki itu menoleh kepada kami dan berkata: “Apa yang terjadi ?” “Tidakkah engkau melihat bahwa kapal dihembus angin dan dihantam ombak ?”tanya kami. “Dekatkanlah diri kalian pada Allah ! “katanya. “Kami telah melakukannya.” “Keluarlah kalian dari kapal dengan membaca bismillahirrohmaanirrohiim!” Kami pun keluar dari kapal satu persatu dan berkumpul di dekat itu. Pada saat itu jumlah kami lima ratus jiwa lebih. Sungguh ajaib, kami semua tidak tenggelam, sedangkan perahu kami berikut isinya tenggelam ke dasar laut. Lalu orang itu berkata pada kami ,”Tak apalah harta kalian menjadi korban asalkan kalian semua selamat”. “Demi Allah, kami ingin tahu, siapakah nama Tuan ? “Tanya kami. “Uwais al-Qorni”. Jawabnya dengan singkat. Kemudian kami berkata lagi kepadanya, “Sesungguhnya harta yang ada di kapal tersebut adalah milik orang-orang fakir di Madinah yang dikirim oleh orang Mesir.” “Jika Allah mengembalikan harta kalian. Apakah kalian akan membagi-bagikannya kepada orang-orang fakir di Madinah?” tanyanya.”Ya,”jawab kami. Orang itu pun melaksanakan sholat dua rakaat di atas air, lalu berdo’a. Setelah Uwais al-Qorni mengucap salam, tiba-tiba kapal itu muncul ke permukaan air, lalu kami menumpanginya dan meneruskan perjalanan. Setibanya di Madinah, kami membagi-bagikan seluruh harta kepada orang-orang fakir di Madinah, tidak satupun yang tertinggal.
Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar kalau Uwais al-Qorni telah pulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburnya. Di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya. Dan Syeikh Abdullah bin Salamah menjelaskan, “ketika aku ikut mengurusi jenazahnya hingga aku pulang dari mengantarkan jenazahnya, lalu aku bermaksud untuk kembali ke tempat penguburannya guna memberi tanda pada kuburannya, akan tetapi sudah tak terlihat ada bekas kuburannya. (Syeikh Abdullah bin Salamah adalah orang yang pernah ikut berperang bersama Uwais al-Qorni pada masa pemerintahan sayyidina Umar r.a.)
Meninggalnya Uwais al-Qorni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak dikenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais adalah seorang fakir yang tak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya : “Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais al-Qorni ? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya hanyalah sebagai penggembala domba dan unta ? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang di turunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya siapa “Uwais al-Qorni” ternyata ia tak terkenal di bumi tapi terkenal di langit.
Meraup Hikmah Sang Nafas ar-Rahmandari dari Yaman
Nama Uwais al-Qarani memainkan peranan penting dalam biografi mistikal nabi.
"Sesungguhnya aku merasakan nafas ar-Rahman, nafas dari Yang Maha Pengasih,
mengalir kepadaku dari Yaman!" Demikian sabda Nabi SAW tentang diri Uwais, yang
kemudian dalam tradisi tasawuf menjadi contoh bagi mereka yang memasuki tasawuf
tanpa dituntun oleh sang guru yang hidup. Para sufi yang mengaku dirinya telah
menempuh jalan tanpa pemba'iatan formal kemudian disebut dengan istilah Uwaisi.
Mereka ini dibimbing langsung oleh Allah di jalan tasawuf, atau telah
ditasbihkan oleh wali nabi yang misterius, Khidhir.
Uwais yang bernama lengkap Uwais bin Amir al-Qarani berasal dari Qaran, sebuah
desa terpencil di dekat Nejed. Tidak diketahui kapan beliau dilahirkan. Ia
kilahirkan oleh keluarga yang taat beribadah. Ia tidak pernah mengenyam
pendidikan kecuali dari kedua orang tuanya yang sangat ditaatinya. Untuk
membantu meringankan beban orang tuanya, ia bekerja sebagai penggembala dan
pemelihara ternak upahan. Dalam kehidupan kesehariannya ia lebih banyak
menyendiri dan bergaul hanya dengan sesama penggembala di sekitarnya. Oleh
karenanya, ia tidak dikenal oleh kebanyakan orang disekitarnya, kecuali para
tuan pemilik ternak dan sesamanya, para penggembala.
Hidupnya amat sangat sederhana. Pakaian yang dimiliki hanya yang melekat di
tubuhnya. Setiap harinya ia lalui dengan berlapar-lapar ria. Ia hanya makan
buah kurma dan minum air putih, dan tidak pernah memakan makan yang dimasak
atau diolah. Oleh karenanya, ia merasakan betul derita orang-orang kecil
disekitarnya. Tidak cukup dengan empatinya yang sedemikian, rasa takutnya
kepada Allah mendorongnya untuk selalu berdoa kedapa Allah : "Ya Allah,
janganlah Engkau menyiksaku, karena ada yang mati karena kelaparan, dan jangan
Engaku menyiksaku karena ada yang kedinginan."
Ketaatan dan kecintaannya kepada Allah, juga termanifestasi dalam kecintaannya
dan ketaatannya kepada Rasulullah dan kepada kedua orang tuanya, sangat luar
biasa. Di siang hari, ia bekerja keras, dan dimalam hari, ia asik bermunajat
kepada Allah swt. Hati dan lisannya tidak pernah lengah dari berdzikir dan
bacaan ayat-ayat suci al-Qur'an, meskipun ia sedang bekerja. Ala kulli hal, ia
selalu berada bersama Tuhan, dalam pengabdian kepada-Nya.
Rasulullah saw menuturkan keistimewaan Uwais di hadapan Allah kepada Umar dan
Ali bahwa dihari kiamat nanti, disaat semua orang dibangkitkan kembali, Uwais
akan memberikan syafaat kepada sejumlah besar umatnya, sebanyak jumlah domba
yang dimiliki Rabbiah dan Mudhar (keduanya dikenal karena mempunyai domba yang
banyak). Karena itu, Rasulullah menyarankan kepada mereka berdua agar
menemuinya, menyampaikan salam dari Rasulullah, dan meminta keduanya untuk
mendoakan keduanya, yang digambarkan bahhwa Uwais memiliki tinggi badan yang
sedang dan berambut lebat, dan memiliki tanda putih sebesar dirham pada bahu
kiri dan telapak tangannya.
Sejak Rasulullah menyarankan keduanya untuk menemuinya, sejak itu pula keduanya
selalu penasaran ingin segera bertemu dengan Uwais. Setiap kali Umar maupun Ali
bertemu dengan rombongan orang-orng Yaman, ia selalu berusaha mencaru tahu
dimana keberadaan Uwais dari rombongan yang ditemuinya. Namun, keduanya selalu
gagal mendapatkan informasi tentang Uwais. Barulah setalah Umar diangkat
menjadi khalifah, informasi tentang Uwais keduanya perolih dari serombongan
orang Yaman, "Ia tampak gila, tinggal sendiri dan tidak brgaul dengan
masyarakat. Ia tidak makan apa yang dimakan oleh kebanyakan orang, dan tidak
tampak susan atau senang. Ketika orang-orang tersenyum ia menangis, dan ketika
orang-orang menangis ia tersenyum". Demikian kata rombongan orang-orang Yaman
tersebut. Mendengar cerita orang-orang Yaman tersebut, Umar dan Ali segera
berangkat menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang-orang Yaman tadi.
Akhirnya, keduanya bertemu dengan Uwais di suatu tempat terpencul. Abi Naim
al-Afshani menuturkan dialog yang kemudian terjadi antara Umar dan Ali dengan
Uwai al-Qarani sebagai berikut:
Umar : Apa yang anda kerjakan disini ?
Uwais : Saya bekerja sebagai penggembala
Umar : Siapa nama Anda?
Uwais : Aku adalah hamba Allah
Umar : Kita semua adalah hamba Allah, akan tetapi izinkan kami untuk mengetahui
anda lebih dekat lagi
Uwais : Silahkan saja.
Umar dan Ali : Setelah kami perhatikan, andalah orang yang pernah diceritakan
oleh Rasulullah SAW kepada kami. Doakan kami dan berilah kami nasehat agar kami
beroleh kebahagiaan dunia dan di akherat kelak.
Uwais : Saya tidak pernah mendoakan seseorang secara khusus. Setiap hari saya
selalu berdoa untuk seluruh umat Islam. Lantas siapa sebenarnya anda berdua.
Ali : Beliau adalah Umar bin Khattab, Amirul Mu'minin, dan saya adalah Ali bin
Abi Thalib. Kami berdua disuruh oleh Rasulullah SAW untuk menemui anda dan
menyampaikan salam beliau untuk anda.
Umar : Berilah kami nasehat wahai hamba Allah
Uwais : Carilah rahmat Allah dengan jalan ta'at dan penuh harap dan bertawaqal
kepada Allah.
Umar :Terimakasih atas nasehat anda yang sangat berharga ini. Sebagai tanda
terima kasih kami, kami berharap anda mau menerima seperangkat pakaian dan uang
untuk anda pakai.
Uwais : Terimakasih wahai Amirul mu'minin. Saya sama sekali tidak bermaksud
menolak pemberian tuan, tetapi saya tidak membutuhkan apa yang anda berikan
itu. Upah yang saya terima adalah 4 dirham itu sudah lebih dari cukup. Lebihnya
saya berikan kepada ibuku. Setiap hari saya cukup makan buah kurma dan minum
air putih, dan tidak pernah makan makan yang di masak. Kurasa hidupku tidak
akan sampai petang hari dan kalau petang, kurasa tidak akan sampai pada pagi
hari. Hatiku selalu mengingat Allah dan sangat kecewa bila sampai tidak
mengingat-Nya.
Ketika orang-orang Qaran mulai mengetahui keduduka spiritualnya yang demikian
tinggi di mata Rasulullah saw, mereka kemudian berusaha untuk menemui dan
memuliakannya. Akan tetapi, Uwais yang sehari-harinya hidup penuh dengan
kesunyian ini, diam-diam meninggalkan mereka dan pergi menuju Kufah,
melanjutkan hidupnya yang sendiri. Ia memilih untuk hidup dalam kesunyian, hati
terbatas untuk yang selain Dia. Tentu saja, "kesunyian" disini tidak identik
dengan kesendirian (pengasingan diri). Hakekat kesendirian ini terletak pada
kecintaanya kepada Tuhan. Siapa yang mencintai Tuhan, tidak akan terganggu oleh
apapun, meskipun ia hidup ditengah-tengah keramaian. Alaisa Allah-u bi Kafin
abdahu?
Setelah seorang sufi bernama Harim bin Hayyam berusaha untuk mencari Uwais
setelah tadak menemukannya di Qaran. Kemudian ia menuju Basrah. Di tengah
perjalanan menuju Basrah, inilah, ia menemukan Uwais yang mengenakan jubah
berbulu domba sedang berwudhu di tepi sungai Eufrat. Begitu Uwais beranjak naik
menuju tepian sungai sambil merapikan jenggotnya. Harim mendekat dan memberi
salam kepadanya.
Uwais : menjawab: " Wa alaikum salam", wahai Harim bin Hayyan.
Harim terkejut ketika Uwais menyebut namanya.
"Bagaimana engakau mengetahui nama saya Harim bin Hayyan?' tanya Harim. "Roku
telah mengenal rohmmu", demikian jawan Uwais.
Uwais : kemudian menasehati Harim untuk selalu menjaga hatinya. Dalam arti
mengarahkannya untuk selalu dalam ketaatan kepada-Nya melalui mujahadah, atau
mengarahkan diri "dirinya " untuk mendengar dan mentaati kata hatinya.
Meski Uwais menjalani hidupnya dalam kesendirian dan kesunyian, tetapi pada
saat-saat tertentu ia ikut berpartisipasi dalam kegiatan jihad untuk membela
dan mempertahankan agama Allah. Ketika terjadi perang Shiffin antara golongan
Ali melawan Muawiyah, Uwais berdiri di golongan Ali. Saat orang islam
membebaskan Romawi, Uwais ikut dalam barisan tentara Islam. Saat kembali dari
pembebasan tersebut, Uwais terserang penyakit dan meninggal saat itu juga.
(t.39 H).
Demikianlah sekelumit tentang Uais al-Qarani, kemudian hri namanya banyak di
puji oleh masyarakat. Yunus Emre misalnya memujinya dalam satu sajak syairnya :
Kawan tercinta kekasih Allah;
Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani.
Dia tidak berbohong ; dan tidak makan makan haram
Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani
Di pagi hari ia bangun dan mulai bekerja,
Dia membaca dalam dzikir seribu satu malam Allah;
Dengan kata Allahu Akbar dia menghela unta-unta
Di tanah Yaman, Uwais alQarani
Negeri Yaman "negeri di sebelah kanan ", negeri asal angin sepoi-sepoi selatan
yang dinamakan nafas ar-rahman, Nafas dari Yang Maha Pengasih, yang mencapai
Nabi dengan membawa bau harum dari ketaatan Uwais al-Qarani, sebagaimana angin
sepoi-sepoi sebelumnya yang mendatangkan keharuman yang menyembuhkan dari
kemeja Yusuf kepada ayahnya yang buta. Ya'kub (QS, 12: 95), telah menjadi
simbul dari Timur yang penuh dengan cahaya, tempat dimana cahaya muncul, yang
dalam karya Suhrawadi menggambarkan rumah keruhanian yang sejati. "Negeri di
sebelah kanan " itu adalah tanah air Uwais al-Qarani yanag memeluk Islam tanpa
pernah betemu dengan nabi. Hikmah Yamaniyyah, "Kebijaksanaan Yaman," dan Hikmah
Yamaniyyah,"filosofi Yanani", bertentangan, sebagaimana makrifat intuitif dan
pendekatan intelektual, sebagaimana Timur dan Barat.
Doa dan Dzikir
Satu hal yang perlu digarisbawahi dari diri Uwais al-Qarani, kemudian menjadi
landasan dalam tareqat-tareqat sufi, selain baktinya yang luar biasa terhadap
kedua orang tuanya dan sikap zuhudnya, adalah doa dan dzikirnya. Uwais tidak
pernah berdoa khusus untuk seseorang, tetapi selalu berdoa untuk seluruh umat
kaum muslim. Uwais juga tidak pernah lengah dalam berdzikir meskipun sedang
sibuk bekerja, mengawasi dan menggiring ternak-ternaknya.
Doa dan dzikir bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Hakekatnya adalah satu. Sebab, jelas doa adalah salah satu bentuk dari dzikir,
dan dzikir kepada-Ku hingga ia tidak sempat bermohon (sesuatu) kepada-Ku, maka
Aku akan mengaruniakan kepadanya sesuatu yang terbaik dari yang diminta orang
yang berdoa kepada-Ku".
Uwais selalu bedoa untuk seluruh muslimin. Doa untuk kaum muslim adalah salah
satu bentuk perwujudan dari kepedulian terhadap "urusan kaum muslim".
Rasulullah saw. Pernah memperingatkan dengan keras: Siapa yang tidap peduli
dengan urusan kaum muslim, maka ia tidak termasuk umatku." Dalam hal ini,
Rasulullah saw menyatakan bahwa permohonan yang paling cepat dikabulkan adalah
doa seseorang untuk saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan dan
mendahulukan doa untuk selain dirinya. Dan Uwais lebih memilih untuk medoakan
seluruh saudaranya seiman.
Suatu ketika Hasan bin Ali terbangun tengah malam dan melihat ibunya, Fatimah
az-Zahra, sedang khusu' berdoa. Hasan yang pensasaran ingin tahu apa yang
diminta ibunya dalam doanya berusaha untuk menguping. Namun Hasan agak sedikit
kecewa, karena dari awal hingga akhir doanya, ibunya, hanya meminta pengampunan
dan kebahagian hidup untuk seluruh kaum muslimin di dunia dan di akhirat kelak.
Selesai berdoa, segera Hasan bertanya kepada ibunya perihal doanya yang sama
sekali tidak menyisakan doanya untuk dirinya sendiri. Ibunya tersenyum, lalu
menjawab bahwa apapun yang kita panjatkan untuk kebahagiaan hidup kaum muslim,
hakekatnya, permohonan itu akan kembali kepada kita. Sebab para malaikat yang
menyaksikan doa tersebut akan berkata "Semoga Allah mengabulkanmu dua kali
lipat."
Dari prinsip tersebut, para sufi kemudian menarik suatu prinsip yang lebih umum
yang padanya bertumpu seluruh rahasia kebahagiaan. Apa yang kita cari dalam
kehidupan ini, harus kita berikan kepad orang lain. Jika kebajikan yang kita
cari, berikanlah; jika kebaikan, berikanlah; jika pelayanan, berikanlah. Bagi
para sufi, dunia adalah kubah, dan perilaku seseorang adalah gema dari pelaku
yang lain. Secuil apapun kebaikan yang kita lakukan, ia akan kembali. Jika
bukan dari seseorang, ia akan datang dari orang lain. Itulah gemanya. Kita
tidak mengetahui dari mana sisi kebaikan itu akan datang, tetapi ia akan datang
beratus kali lipat dibanding yang kita berikan.
Demikianlah, berdoa untuk kaum mulim akan bergema di dalam diri yang tentu saja
akan berdampak besar dan positif dalam membangun dan meningkatkan kualitas
kehidupan spiritual seseorang. Paling tidak, doa ini akan memupus ego di dalam
diri yang merupakan musuh terbesar, juga sekalihgus akan melahirkan dan
menanamkan komitmen dalam diri "rasa Cinta"dan "prasangka baik"terhadap mereka,
yang merupakan pilar lain dari ajaran sufi, sebagai manifestasi cinta dan
pengabdian kepada Allah swt.
Uwais tidak pernah lengah untuk berdzikir, mengingat dan mnyebut-nyebut nama
Allah meskipun ia sedang sibuk mengurus binatang ternaknya. Dzikir dalam
pengertiannya, yang umum mencakup ucapan segala macam ketaatan kepada Allah
swt. Namun yang dilakukan Uwais disini adlah berdzikir dengan menyebut
nama-nama Allah dan meningat Allah, juga termasuk sifat-sifat Allah. Ibn Qayyim
al-Jauziyyah ketika memaparkan berbagai macam faedah dzikir dalm kitabnya
"al-wabil ash-shayyab min al-kalim at-thayyib" menyebutkan bahwa yang paling
utama pada setiap orang yang bramal adalah yang paling banyak berdzikir kepad
Allah swt. Ahli shaum yang paling utama adalah yang paling banyak dzikirnya;
pemberi sedekah yang paling baik adalah yang paling banyak dzikirnya; ahli haji
yang paling utama adalah yang paling banyak berdzikir kepada Allah swt; dan
seterusnya, yang mencakup segala aktifitas dan keadaan.
Syaikh Alawi dalam "al-Qawl al-Mu'tamad," menyebutkan bahwa mulianya suatu nama
adalah kerena kemuliaan pemilik nama itu, sebeb nama itu mengandung kesan
sipemiliknya dalam lipat tersembunyi esensi rahasianya dan maknanya. Berdzikir
dan mengulang-ulang Asma Allah, Sang Pemilik kemuliaan, dengan demikian, tak
diragukan lagi akan memberikan sugesti, efek, dan pengaruh yang sangat besar.
Al-Ghazali menyatakan bahwa yang diperoleh seorang hamba dari nama Allah adalah
ta'alluh (penuhanan), yang berarti bahwa hati dan niatnya tenggelan dalam
Tuhan, sehingga yang dilihat-Nya hanyalah Dia. Dan hal ini, dalam pandangan Ibn
Arabi, berarti sang hamba tersebut menyerap nama Allah, yang kemudian
merubahnya dengan ontologis. Demikianlah, setiap kali kita menyerap asma Allah
lewat dzikir kepada-Nya, esensi kemanusiaan kita berubah. Kita mengalami
tranformasi. Yanag apada akhirnya akan membuahkan akhlak al-karimah yang
merupakan tujuan pengutusan rasulullah Muhammad saw.
Dilihat dari sudut panang psikologis sufistik, pertama-tama dzikir akan memberi
kesan pada ruh seseorang, membentuknya membangun berbagai kualitas kebaikan,
dan kekuatan inspirasi yang disugestikan oleh nama-nama itu. Dan mekanisme
batiniah seseorang menjadi semakin hidup dari pengulangan dzikir itu, yang
kemudian mekanisme ini berkembang pada pengulangan nama-nama secara otomatis.
Jadi jika seseorang telah mengilang dzikirnya selama satu jam, misalnya, maka
sepanjang siang dan malam dzikir tersebut akan terus berlanjut terulang, karena
jiwanya mengulangi terus menerus. Pengulangan dzikir ini, juga akan terefleksi
pada ruh semesta, dan mekanisme universal kemudian mengulanginya secara
otomatis. Dengan kata lain, apa yang didzikirkan manusia dengan menyebutnya
berulang-ulang. Tuhan kemudian mulai mengulanginya, hingga termaterialisasi dan
menjadi suatu realita di semua tingkat eksistensi
SUMBER : SUFINEWS, DLL.
0 komentar:
Posting Komentar