NOVEL ILUMINASI: SEMACAM RESENSI

Posted in Sabtu, 11 Juni 2011
by Unknown
http://a5.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc3/22754_294356994173_564519173_3251353_3906756_n.jpg

ILUMINASI: A NOVEL
karya Lisa Febrianti
Jakarta, Penerbit Kakilangit Kencana, 2009

“Contrary to my own’s, but not remote, not alien…”

Kira-kira seperti itulah yang terbetik dalam benak sesudah usai menyelesaikan novel Iluminasi. Terkadang kita membaca sesuatu dengan ekspektasi akan mendapatkan sesuatu yang terkandung di dalam bacaan kita, namun pada akhirnya kita justru menemukan sesuatu yang lain, yang boleh jadi berbeda, atau berkaitan, atau bahkan bertentangan, dengan apa-apa yang kita baca. Ini disebabkan terkadang kita lupa bahwa sebelum kita membaca sesuatu, benak kita telah terisi oleh pra-konsepsi yang sering menyelinap begitu saja, walau sekuat apapun kita mencoba untuk sejenak menyisihkan pra-konsepsi itu dengan harapan bisa objektif.

Barangkali novel ini hendak menitipkan suatu pesan, melalui narasi dan perlambang yang dimuat di dalamnya. Apapun pesan itu, ia telah disampaikan dengan baik, terlepas apakah kita sepakat atau tidak dengan pesan itu. Namun, di sisi lain, begitu pesan telah ditorehkan dalam kata, maka pesan itu lantas menjadi semacam “potensi” yang liar; saat pesan itu bertemu dengan pembaca, pesan itu tak lagi bisa dikendalikan oleh sang penulis. Pembaca pesan tidak akan mampu memahami pesan itu persis seperti yang dipahami oleh si penulis, dan penulis tak bisa memaksakan pembaca untuk memahami pesan persis sebagaimana yang ia pahami – maka lahirlah interpretasi atas suatu kata, kalimat, teks. Pada akhirnya, pesan awal, yang pada mulanya sebuah pemahaman orisinil penulis, yang belum dituangkan dalam wujud kata, menjadi aspek “metafisika” dari si penulis. Dan kata, yang mewadahi pesan, menguasai isinya. Maka teks itu sendiri bahkan menjadi sebentuk “karakter” tersendiri. Maka dari sinilah lahir benih-benih interpretasi dan perbedaan perspektif, yang tak jarang memicu pertikaian yang garang.

Dan inilah salah satu tafsir atas novel yang ditulis oleh sahabat Lisa, yg sengaja kutulis dengan gaya bahasa untuk membuat kening berkerut, sebab sudah ada banyak review lain yang jauh lebih bagus dan renyah bahasanya.

Iluminasi. Dan seketika aku terbayang pada sesuatu yang kupahami sebagai ‘tajalli ilahiah” dalam pengertian mazhab Isyraqiyyah – dan akupun menduga novel ini berbicara tentang sesuatu yang melampaui kosmos ciptaan, melampaui baik itu “dimensi” material maupun spiritual. Namun dugaanku keliru: novel ini masih bicara pada level “energi” dan “dimensi” -- yang berbeda dengan “tajalli” atau, lebih tepatnya, berbeda dengan “isyraqi” yang dalam bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai “Illumination” [iluminasi], yang berbeda dengan “enlightnment” atau “pencerahan” dalam pengertian mistisisme pra-Renaissans. Jadinya, konsep spiritualisme yang dibicarakan dalam novel ini berbeda dengan “spiritualisme” (kalo boleh disebut begitu, meski istilah ini tak terlalu mewakili apa-apa yang kupahami, karena akhiran “–isme” ini mengindikasikan pembatasan) yang selama ini kupahami dan kuyakini. Tetapi baiklah, penelisikan dari aspek ini cukup sampai di sini saja, karena telaah lebih jauh akan menimbulkan lebih banyak tanya, meskipun sebenarnya, dalam kerangka kerapian pemahaman dan pengelakan kerancuan, “istilah” yang tepat memang dibutuhkan.

Kembali ke “pesan” dari kisah ini: apa yang kutafsirkan dari bacaanku? Pada mulanya, mengingat pra-konsepsi tentang “iluminasi” yang kubawa, aku mengira ini adalah novel perjalanan batin, perjalanan ruhani, yang menelisik ke ruang-ruang nafs, lathaif (organ-organ ilahiah dalam konsep Tasawuf) dan ruh. Dari perspektifku, benar ini semacam perjalanan ruhani, tetapi tidak seperti yang kubayangkan. Ada banyak poin penafsiran yang berkelebat saat membaca kisah ini dari awal sampai akhir. Demi keringkasan, aku ringkaskan satu poin saja.

Simbolisme “ordinary” dan “unordinary,” misalnya, menimbulkan tanda tanya dalam benakku. Manusia “unordinary” adalah semacam manusia istimewa yang memiliki “warisan” kode genetik istimewa, dan merekalah, seperti kata Ar, “pembuka jalan” atau “garba evolusi” menuju kebangkitan ras manusia untuk sampai pada kesadaran akan “jati diri”. Dengan kata lain, fungsi profetik dari manusia “unordinary” ini adalah membawa evolusi “kesadaran mengenai jati diri [manusia] di dunia” dan, seperti kata Zero … “dengan dukungan semesta.” Tetapi keistimewaan manusia-manusia unodinary ini sedikit banyak masih “bergantung” pada “energi” semesta, yang dicerap melalui ritual-ritual tertentu. Namun, hingga akhir kisah, tak begitu jelas, setidaknya menurutku, apa sesungguhnya “jati diri” manusia itu. Ini agak membingungkan. Dalam beberapa bagian, ada kesan yang menempatkan ordinary sebagai subordinat dari unordinary: “selama masih berpikiran logis ala ordinary, tanpa mau menerima keajaiban yang bisa terjadi pada hidup kapanpun saja, ia akan tetap menjadi ordinary.” Dan, yang agak mengagetkan adalah agar menjadi manusia istimewa, menjadi manusia unordinary, yang mampu menyadari jati dirinya, maka ia harus “[me] lupakan bahwa kau adalah manusia.” Singkatnya, in the final analysis, meski unordinary, ia masih bergantung pada sesuatu yang lain, sesuatu yang “eksternal,” pada sesuatu yang masih dalam lingkup kosmos – alam material maupun spiritual bagaimanapun juga adalah kosmos dalam totalitasnya. Transendensi mereka hanya berhenti pada level “dimensi” spiritual, yang merupakan bagian dari totalitas kosmos. Jadinya, dalam konsepsi jati diri ini, seolah-olah terdapat penyangkalan atas sesuatu yang sudah didefinisikan sebelumnya.

Berdasarkan prakonsepsi dan pengalaman personal, aku berbeda pemahaman dengan konsep tentang ordinary atau unordinary, tentang energi atau dimensi seperti yang dikisahkan dalam novel -- dan juga banyak perbedaan lainnya. Tetapi bukan di sini tempatnya untuk menguraikan pendapat pribadiku. Namun barangkali pemahamanku tentang kemanusiaan ini, yang berbeda dengan gagasan dualisme manusia ordinary-unordinary, terwakili dalam sebuah sajak Sufi ini, yang setiap katanya adalah perlambang yang bisa melahirkan ratusan halaman buku:

Jikalau malaikat jatuh cinta
Ia akan menjadi manusia yang sempurna

Demikianlah salah satu contoh dari bagaimana interpretasi pembaca boleh jadi begitu berbeda dengan isi pesan yang sesungguhnya ingin disampaikan penulis. Namun di sini aku tak bisa memberi penghakiman apakah ini salah atau benar, sebab pemahaman tentang spiritualisme tidak bisa dipisahkan dengan rapi antara benar atau salah. Yang bisa kusadari, setidaknya untuk saat ini, dan setidaknya berdasarkan teks, ada hal yang baru, yang berbeda dengan yang selama ini kupahami. Persoalan apakah hal “baru” ini penting bagiku atau tidak, itu soal lain.

Ada banyak hal yang bisa dibicarakan dari buku yang bagus ini, namun tak cukup ruang untuk menuliskannya di catatan yang hanya dimaksudkan sebagai kesan ringkas ini. Terlepas dari setuju atau tidak dengan “pesan” yang disisipkan dalam narasi, para pembaca yang jeli akan mendapatkan “Sesuatu” yang baru, yang mungkin “mencerahkan” atau mungkin juga “mengaburkan.” Jadi, memang sebaiknya buku ini dibaca, apalagi plotnya cukup menarik disimak.

Tri Wibowo BS / Mbah Kanyut
Tukang baca novel.