HIKAYAT ANAK KEPITING

Posted in Kamis, 09 Juni 2011
by Unknown




Oleh: Anggota WLML
Seekor anak kepiting belajar berjalan, namun karena tak ada yang mengajarinya, ia tidak tahu musti melangkah ke arah mana: depan, belakang, atau samping? Maka ia memperhatikan cara hewan-hewan yang lain melangkah. Tak puas mengamati, ia temui beberapa hewan agar tahu alasannya. Dari seekor kuda dan beberapa binatang peliharaan seorang petani ia tahu bahwa melangkah itu mesti ke arah depan. Alasannya sederhana: melangkah ke arah depan membuatmu lebih mudah mencapai tujuan.

Lalu ia temui undur-undur yang konon melangkah surut kebelakang. Darinya kepiting kecil mendapat informasi bahwa melangkah kedepan itu mencerminkan ketamakan.

Belakangan ia putuskan untuk membuat jalan tengah sendiri: melangkah kesamping. Tentu saja alasanya: bisa mencapai tujuan tanpa ketamakan! Namun hingga kini ia masih bingung, ke kanan atau ke kiri? Dadah..

Vale: Ketahuilah bahwa fiksi: adalah pengetahuan dalam bentuknya yang unik, kebenaran dalam formasinya sendiri.


NB:
APAKAH SEMUA PENGETAHUAN ITU BENAR?
(Sepertinya sih ini bacaan wajib mahasiswa S2 soal Filsafat Ilmu) 

“Apakah semua pengetahuan itu benar?” Tanya Ksatria Kunang di sela-sela kesibukannya membetulkan kompor.

“Begitulah menurut Hospers. Semua pengetahuan itu benar. Kesalahan terjadi karena ada informasi yang salah. Misalnya buta warna, tuna rungu, displacing, nang…”

“Lalu mengapa sebuah kesimpulan jadi berbeda?” Potong Ksatria Kunang. Saat itu kami sedang santai di dapur. Aku tahu, kau juga tahu, tentu, bahwa Ksatria Kunang adalah orang yang tak seharusnya dipilih untuk teman santai.

“Karena informasi yang diakumulasi berbeda. Experience setiap orang berbeda, maka kesimpulannya berbeda!” Jawabku cepat-cepat tak ingin dipotong lagi.

“Tunggu. Kau ingin mengatakan bahwa semua pengetahuan, semua pendapat itu benar?” Ksatria Kunang menatapku.

“TIdak juga, tergantung seberapa akurat informasi yang mendukung pengetahuan dan pendapat tersebut.” Jawabku pendek.

“Informasi macam apa yang benar?” Dia mengejar.

“Informasi yang mempunyai tingkat kesesuaian paling dekat dengan obyek! Begitu kata Tuan Google.” Jawabku nyengir.

“Bagaimana menferivikasi bahwa informasi itu sesuai obyek?” Tanyanya lagi seperti anak SMP.

“Kau ini! Harusnya kau tak lulus jadi Ksatria! Masalah yang kayak gitu saja kau tak mengerti!” Geramku jengkel.

“Jangan mengalihkan perhatian. Jawab saja!”

“Tentu saja dengan sebuah metode, goblok!” Geramku lagi.

“Bagaimana sebuah metode: pertama, dianggap sebagai metode yang benar dan cocok; kedua, metode apa yang memferivikasi keabsahan sebuah metode?” Tanyanya mbulet.

Pertama, sebuah metode, tentu saja adalah satu konsensus. Kedua, keabsahan sebuah metode diuji oleh metode yang lain, obyek itu sendiri, dan geliat perkembangan ilmu pengetahuan!”

“Dengan kata lain kau ingin mengatakan bahwa: pertama, metode bukanlah sesuatu yang mutlak benar hingga membutuhkan konsensus untuk menjustifikasinya; kedua, metode itu sendiri berkembang sesuai dengan perkembangan informasi. Dengan kata lain, untuk yang kedua ini kau ingin juga mengatakan bahwa antara metode dan informasi yang diferivikasinya balapan, saling mendahului? Dan dengan kata lain kesimpulan dari yang terakhir ini adalah bahwa: metode kadang-kadang salah, dan sebuah informasi tidak pernah bisa diketahui obyektifitasnya? Obyektifitas yang ambigu? Status quo? Begitu?” Ksatria Kunang menunjukkan pamornya. Tentu saja aku gelagapan. Pada saat-saat seperti ini biasanya aku nolah-noleh mengharap kehadiran Pak Tua. Tapi Pak Tua sedang pergi.

“Mmmm.. mmm..” Aku garuk-garuk kepala.

“Em em apa?” Sergah Ksatria Kunang memojokkanku.

“Bagaimana kau bisa mempunyai kesimpulan kejam seperti itu? Metode apa yang kau pakai? Bagaimana kau menverifikasi metodemu?” Aku balik bertanya, setengah putus asa. Namun Ksatria Kunang tampak terkejut.

“Itu metode Socrates dan dekonstruksi epistemolgis ala Derrida! Dan itu bukan kesimpulan, bodoh!”  Jawabnya penuh keraguan yang ditegas-tegaskan. Aku tahu ia sedang bermimpi bisa menerapkan metode tanya Socrates dan dekonstruksinya Derrida.

“Ngomong apa kalian? Kacau!” Tiba-tiba Kelinci Putih nongol.

“Kacau bagaimana?” Ucapku dan Ksatria Kunang hampir bersamaan.

“Dialektika! Kebenaran dialektis! Pengetahuan dialektis! Apa kalian tak pernah baca MADILOG-nya Tan Malaka, hah?” Sergahnya dari balik meja dapur.

“Masudmu apa?” Ksatria Kunang terlihat heran dengan gelagat aneh binatang yang satu ini.

“Tak ada kebenaran yang selesai, tak ada informasi yang paling valid, bahkan sejarah sekali pun!” Kelinci Putih berkacak pinggang.

“Hah? Apa kau belum yakin Soekarno telah mati? Bahwa bumi berputar? Dan bahwa matahari itu panas? ” Ejek Ksatria Kunang.

“Jika pun itu disebut pengetahuan yang benar karena ada informasi yang benar, maka pertanyaannya: kapan? Sejarah membuktikan bahwa sesuatu yang awalnya dianggap valid, paten, pakem, pada akhirnya terjungkal oleh fakta-fakta baru yang mengejutkan semua orang. Pertanyaan “kapan” ini menjadi penting sekali terutama saat kau belajar hermeneutika! Kebenaran itu mesti dialektis, terbuka, dan terus menerus menerima tantangan ruang dan waktu! Dia tidak lahir di ruang hampa. Dia lahir di dalam ruang yang terus bergerak, dan dalam waktu yang terus mengalir. Jika satu pengetahuan yang dianggap benar lalu berhenti digali lagi, maka tamatlah sejarah manusia, tamat pulalah riwayat akal, tamat pulalah…”

“Tunggu, tunggu! Kau mau menegasikan kesakralan kitab-kitab suci, hah? Kau mau merombak tatanan, hah?” Ksatria Kunang terbelalak. Aku meringkuk di pojokan.

“Terserah apa tafsirmu. Tapi teorimu yang tadi itu hanya jalan buntu! Apatis! Tidak kongkrit dan menyesatkan!” Kelinci Putih mencibir. Masih saja ia berkacak pinggang.

“Keparat! Habis baca apa kau?” Ksatria Kunang menubruk Kelinci Putih dan merebut sebuah buku yang ia sembunyikan sedari tadi di balik punggungnya. Kelinci Putih terkejut, namun terlambat, buku itu telah berpindah tangan. “Pantes saja..” Gumam Ksatria Kunang menggeram. Aku melongok ikut penasaran apa gerangan yang ia baca. Selintas kulihat sebuah buku itu berwarna merah berjudul: “24 Posisi Senggama Ala Kamasutra.”

Apa? Kau tak paham apa kaitannya buku itu dan ceramah Kelinci Putih yang biasanya pendiam? Goblok! Ketahulilah, buku semacam itu membuat keseimbangan hormon dalam tubuh sementara orang sedikit terganggu sehingga berakibat sistemik pada meningkatnya aliran darah ke otak yang efeknya sungguh tak terduga: meningkatkan kecerdasan secara tiba-tiba, gairah melonjak, suhu tubuh akan naik, dan sementara orang akan cenderung lebih aktif dari biasanya. Semakin sering membaca buku-buku semacam itu akan berakibat fatal pada lumpuhnya saraf keseimbangan secara perlahan, serta melemahnya ingatan jangka pendek. Belakangan orang itu akan terlihat sering melamun, mengalami rasa ngantuk yang tidak normal, tatapannya kurang awas kecuali pada hal-hal “tertentu”. Satu-satunya obat untuk orang yang telah terlanjur menderita mmmm.. mmmm.. katakanlah “semacam penyakit” ini adalah: KAWIN!! Dadah..Wkwkwkwkwk...


NB lagi:
Kebenaran untuk para jombolers -termasuk saya- terungkap!!! :P

NB nya NB:
HARAP TENANG, UJIAN TESIS SEDANG BERLANGSUNG!! :D