PENDIDIKAN ALA RASULULLAH SAW .. PART 2 END

Posted in Selasa, 21 Juni 2011
by VIAN

Sebelumnya..

PENDIDIKAN ALA RASULULLAH SAW .. PART 1

               Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa datangnya ajaran Islam yang dibawa oleh para Rasul yang telah di utus oleh Allah, adalah untuk meluruskan dan memacu perkembangan budaya ummat manusia. Demikian pula dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad, yang dalam bentuknya yang terakhir, berfungsi untuk meluruskan budaya umat manusia yang ada pada zamannya dan memacu perkembangan selanjutnya. Dengan demikian tugas Muhammad adalah menata kembali unsur-unsur budaya yang telah ada dikalangan bangsanya dan meletakkan unsur-unsur budaya baru yang akan menjadi dasar bagi perkembangan budaya berikutnya. Dan tugas ini bukan tugas hanya tertuju kepada bangsanya sendiri, tetapi mengarah pada kepada perkembangan budaya seluruh umat manusia, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah :


“ Dan kami tidak mengurus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan…” [1]
dan pada ayat :


“ Dan tiadalah kami mengurus kamu,melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi  semesta alam”[2]
               Namun Rasulullah dalam berdakwah tidak mengarah langsung kepada dunia global. Akan tetapi, yang lanGsung beliau hadapi adalah bangsa Arab yang masih merupakan keturunan Nabi Ibrahim as dan Ismail as. Pada hakikatnya kebudayaan bangsa Arab merupakan adalah warisan Budaya Nabi Ibrahim, tetapi karena rentang waktu yang begitu panjang maka unsur-unsur ajaran Tauhid mengalami penyelewengan dan penyimpangan-penyimpangan, bahkan tidak lagi ke dalam bentuk yang jelas.
            Dalam usahanya menemukan kembali mutiara warisan Nabi Ibrahim, Muhammada saw menempuh jalan merenung dan memikirkan keadaan situasi masyarakat sekitarnya. Maka  metode dakwah yang beliau gunakan -dengan berbagai pendekatan- harus sesuai dengan kondisi, keadaan atau situasi masyarakat yang merupakan Obyek dakwah. Tentu saja metode yang beliau gunakan harus sesuai dengan keadaan, perkembangan dan tingkat kecerdasan obyek tersebut.  Dan hal tersebut tidak lepas dari ide gagasan yang Al-Qur`an munculkan. Dengan harapan obyek dakwah tersebut menjadi pilot proyek dalam pengembangan ide gagasan Al-Qur`an tersebut  kepada semua tempat sepanjang masa.
               Haekal melukiskan:” Di kalangan masyarakatnya, dialah oang yang paling banyak berpikir dan merenung. Jiwa yang kuat dan berbakat ini, jiwa yang sudah mempunyai persiapan kelak akan menyampaikan risalah Tuhannya kepada umat manusia, serta mengantarkannya kepada kehidupan rohani ynag hakiki, jiwa demikian tidak mungkin berdiam diri saja melihat manusia yang sudah hanyut ke dalam lembah kesesatan. Sudah seharusnya ia mencari petunjuk dalam alam semesta ini, sehingga Tuhan nanti menentukannya sebagai orang yang akan menerima risalah-Nya”.[3]
               Keberhasilan Beliau dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang da’i, selain dari Fathonahnya  baliau, tak lepas dari didikan dan bimbingan Allah -melalui wahyu-wahyu yang diilhamkan kepadanya-, yang memberikan gambaran metode pendekatan-pendekatan dakwah beliau. Sehingga Ajaran Islam mudah berkembang di masa tersebut. Diantara pendekatan-pendekatan tersebut, pendidikanlah faktor yang mendominasi keberhasilan beliau di dalam membangun kembali puing-puing budaya Millah Ibrahim  yang telah runtuh.
               Dengan pendidikan, beliau mampu membangun masyarakat madani yang plural hidup dalam kerukunan dan kedamaian. Serta membangun peradaban Islam yang mampu memberikan cahayanya ke seluruh belahan dunia. Keberhasilan beliau dalam waktu yang sinGkat, membangun masyarakat yang berwatak keras dan tidak memiliki moralitas menjadi masyarakat yang religius dan beradab, merupakan prestasi terbesar yang penah dicapai sepanjang sejarah perkembangan manusia.
               Seperti yang telah dikemukakan, keberhasilan beliau tidak lepas dari metode-metode yang diisyaratkan Al-Qur`an. Dikarenakan Rasulullah adalah penyampai risalah-risalah al-Qur`an, menjelaskan hukum dari ayat-ayatnya serta menafsirkannya. Dan Al-qur`an sendiripun turun dengan berangsur-angsur, hikmahnya agar dakwah beliau terarah dan sesuai dengan metode yang Allah kehendaki sehingga dapat dengan mudah diterima oleh para Shahabatnya.
               Dalam memberikan  pendidikan kepada shahabatnya, Nabi Muhammad telah menggunakan –sedikitnya- beberapa metode dan karakteristik sebagai berikut :

              

1.      Graduasi (al-Tadarruj)

Metode Garduasi atau penahapan ini sebenarnya merupakan metode al-Qur’an dalam membina masyarakat, baik dalam melenyapkan kepercayaan dan tradisis jahiliyah maupun yang lain. Demikian pula dalam menanamkanakidah, al Qur’an juga memakai metode graduasi ini.[4] Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi saw secara bertahap (berangsur-angsur), begitu pula Nabi saw menyampaikan hal itu kepada para sahabat. Karenanya, sangatlah wajar apabila salah satu metode pendidikan Nabi Muhammad saw adalah graduasi.
Namun tampaknya, metode graduasi dalam pendidikan Nabi saw bukan semata-mata karena Al-Qur’an diturunkan secara graduasi, melainkan juga merupakan kebijaksanaan Nabi saw sendiri dalam pendidikan.[5] Sebab banyak contoh yang menunjukkan Nabi saw tetap memakai metode itu meskipun hal itu terjadi pada saat-saat akhir dari kehidupan beliau di mana Al-Qur’an sudah hampir tuntas diturunkan. Misalnya, ketika Beliau mengutus sahabat Mu’adz bin Jabal untuk berdakwah di Yaman pada tahun 10 H menjelang Haji Wada’ dimana sekitar empat bulan lagi beliau wafat. Mu’adz bin Jabal tidak ditugaskan untuk mengajarkan agama Islam secara sekaligus, melainkan secara bertahap seperti akan disebutkan berikut ini, padahal ajaran Islam pada saat itu sudah hampir lengkap karena masa turunnya Al-Qur’an hampir selesai.
Kepada Mu’adz  Nabi saw berpesan,

 “Kamu akan mendatangi orang-orang Ahli Kitab (Nasharani). Apabila kamu sudah sampai di sana, maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada tuhan selaIn Allah dan bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah. Apabila kamu sudah patuh kepadamu dalam hal itu, maka beritahukan mereka bahwa Allah telah mewajibkan mereka untuk mengerjakan shalat lima kali dalam sehari semalam. Apabila mereka sudah patuh kepadamu dalam mengerjakan shalat, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan mereka untuk mengeluarkan zakat yang di pungut dari orang-orang kaya di antara mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir di kalangan mereka juga. Dan apabila mereka sudah patuh kepadamu dalam hal membayar zakat, maka hindarilah olehmu harta-harta yang yang bagus milik mereka, dan takutlah kepada doa orang yang didhalimi karena antara dia dengan Allah tidak ada penghalang sama sekali.” [6]

2.      Levelisasi (Mura’at al-Mustawayat)

Penyampaian materi-materi dakwah atau pelajaran yang dilakukan Nabi saw sering berbeda antara satu orang dengan orang lain. Hal ini karena beliau sangat memperhatikan level-level atau tingkat-tingkat kecerdasan orang-orang tersebut agar materi-materiyan diajarkan itu tidak sia-sia. Kepada orang-orang badui, Nabi saw berbicara sesuai dengan tingkat kecerdasan mereka, begitu pula kepada oarang-orang prkotaan,orang-orang yang pandai , dan orang-orang yang memiliki nalar yang tinggi, Nabi saw berbicara sEsuai dengan tingkat kecerdasan dan budaya mereka.[7]
Dalam kaitan ini ada sebuah Hadist yang menyebutkan, “Kami(para nabi) diperintahkan untuk berbicara kepada manusia menurut kemampuan akal mereka.” Para sahabat,misalnya ‘Abdullah bin Mas’ud, mengaakan, “Anda tidak akan menyapaikan sebuah Hadist itu kecuali hal itu akan menjadi fitnah bagi mereka”.[8] Begitu pula Siti ‘Aisyah mengatakan, “Kami diperintahkan Rasulullah saw untuk menempatkan orang-orang sesuai dengan tingkatan-tingkatannya”.
Terkadang Nabi saw berbicara tidak hanya memperhatikan tingkat kecerdasan seseorang melainkan juga memperhatikan tingkat emosionalnya. Misalnya ketika ada seorang pemuda yang datang menghadap Nabi saw yang ketika itu sedang dikelilingi para sahabat, pemuda itu minta diizinkan untuk berzina. Tentu saja, karena dianggap tidak menghormati Nabi saw, pemuda itu hendak diusir oleh para sahabat. Namun Nabi saw justru memanggilnya agar mendekat. Kemudian beliau bertanya, “Sukakah kamu andaikata ibu kandungmu dizinai orang?” “Tidak, dEmi Allah, saya tidak suka,” jawabnya. Semua orang juga tidak akan rela bila ibu kandung mereka dizinai orang,” tambahnya.
Nabi saw bertanya lagi, “Sukakah kamu bila anak gadismu, seandainya kamu punya anak gadis dizinai orang?” “Tidak, demi Allah. Semua orang tidak akan suka jika anak gadisnya dizinai orang?” jawabnya. Dan begitulah, Nabi saw terus menanyakan tentang sikap dan perasaanya apabila adik perempuannya tau bibinya dizinai orang. Dan ia selalu menjawab seperi jawaban yang pertama. Kemudian Nabi saw mendoakan pemuda tersebut agar diampuni dosanya dan disucikan hatinya, serta dijaga kemaluannya. Akhirnya pemuda tersebut tidak pernah berpikir unuk melakukan zina sama sekali.

3.      Variasi (At Tanwi’)

               Untuk menghindari kejenuhan, Nabi membuat variasi dalam materi-materi yang diajarkan, sebab yang Beliau ajarkan adalah wahyu Allah yang sedang mengalami proses diturunkan. Karena materi-materi dalam wahyu itu bervariasi maka secara otomatis materi yang diajarkan Nabi juga bervariasi.[9] Selain itu juga memberikan variasi waktu dalam memberikan pelajaran kepada shahabatnya. Abdullah Ibn Mas’ud, menuturkan bahwa beliau pernah ditunggu-tunggu orang banyak yang ingin belajar dari bliau. Namun beliau tidak mau keluar, dan berkata, “saya tidak mau keluar itu tidak lain hanyakareNa saya khawatr nanti kalian akan jenuh. Sebab Rasulullah saw memberikan pelajaran kepada kami pada hari-hari tertentu agar kami tidak jenuh.”[10]

4.      Keteladanan

               Al-Qur’an memerintahkan para shahabat agar mengambil suri eladan yang baika yang terdapat pad pribadi Rasululah saw. [11] Dan Rasulullah pun di dalam menyuruh shahabatnya, selalu memberikan contoh atau teladan. Hal ini tampak sangat efektif, karena para shahabat langsung dapat melihat sendiri bagaimana ajaran Nabi dipraktekkan. Dalam masalah shalat beliau bersabda :” Shalatah kalian sebagaimana kalian melihat aku Shalat”. [12] Dan dalam masalah haji Beliau bersabda:”Kerjakanlah ibadah haji kalian dengan mencontoh ibadah haji ku”. [13]

5.      Aplikatif

Pendidikan Nabi saw, tidak hanya penyampaian pelajaran saja, akan tetapi juga langsung diamalkan. Misalkan didalam mempelajari al-Qur’an, metode Nabi adalah mengajarkan beberapa ayat terlebh dahulu seraya menerangkan maksudnya. Sesudah para shahabat memahaminya dan mengamalkannya, barulah Beliau menambah dengan pelajaraN yang baru. Seorang tabi’in senior, Abu ‘Abd Rahman al-Sulami[14] menuturkan bahwa ia diberitahu gurunya yang mengajarkan al-Qur’an, seperti Ustman Ibn ‘Affan, ‘Abdullah Ibn Mas’ud dan lain-lain. Apabila mempelajari sepuluh ayat al-Qur’an dari Nabi saw, mereka tidak akan pindah ke ayat-ayat yang lain sebelum memahami dan mengamalkan maksudnya. Mereka Berkata,”Kami mempelajari           al-Qur’an, ilmu dan amal sekaligus”. [15]

6.      Mengulang-ulang

Nabi Muhammad saw dalam memberikan pendidikan juga melalui metode pengulangan. Bahkan ini selalu dilakukan dalam hal-hal khusus yang dianggap begitu penting.
Anas Ibn Malik, Seorang shahabat yang lama tinggal bersama Nabi saw, menuturkan bahwa apabila berbicara mengenai sesuatu, Nabi saw selalu mengulanginya sampai tiga kali, sampai hal itu dipahami benar oleh para shahabat. Apabila mengunjungi orang-orang, beliau memberikan salam sampai tiga kali. [16]

7.      Evaluasi

               Selain memberikan pelajaran, Nabi juga selalu memonitor dan mengevaluasi para shahabat dalam mengamalkan apa yang pernah disampaikannya. Ketika diketahui ada seorang shahabat yang melakukan kekeliruan, Beliau langsung mengoreksinya. Dan terkadang Beliau mengetahui hal tersebut melalui laporan salah seorang shahabat. [17]

8.      Dialog

Metode berikutnya adalah metode tanya jawab. Metode ini banyak mewarnai sistem pendidikan Nabi saw. Nabi saw bertindak sebagi penanya semantara para shahabatnya sebagai orang yang diajak berdialog. Terkadang metode ini di ppandu langsung oleh malaikat Jibril. Maka dalam hal ini jibril bertindak sebagai penanya, Nabi saw sebagai orang yang ditanya, sementara para shahabatnya sebagai pendengar aktif. Seperti ketika jbril mengajarkan tentang Iman, Islam, dan Ihsan. [18]
Dan adakalanya Nabi bertindak sebagai orang yang ditanya, sementara salah seorang shahabat yang bertanya sudah mengetahui permasalahannya, karena misalnya ia telah diberi tahu utusan Nabi saw tentang ajaran Islam. Namun ia bertanya kepada Nabi saw hanya untuk memperoleh kepastian. Seperti ketika orang badui menanyakan ajaran-ajaran Islam kepada Beiau. [19]

9.      Analogi

Metode ini juga dipakai oleh Nabi saw agar para sahabat lebih dapat memahami apa yang dimaksud oleh Beliau. Misalnya, ketika Nabi memberikan perumpamaan orang-orang Mukmin yang saling brkasih-kasihan laksana satu tubuh,jika salah sAtu anggota merasakan sakit maka anggota yang lainpun terasa sakit.
 

“Perumpamaan orang mukmin dalam kasih sayang dan penderitaanmereka tak ubahnya ibarat sebuah jasad manusia. Apabila ada satu bagian dari jasad merasa sakit, maka seluruh badan akan ikut merasakan sakit panas dan demam.” [20]

10.  Cerita atau Kisah

               Untuk menanamkan ajaran-ajaran Islam kepada para shahabat, Nabi sering menuturkan kisah-kisah orang terdahulu. Terkadang disebutkan dengan jelas, baha kisah itu adalah kisah bani Israel. Contoh seperti kisah Ashhab al-Ghar al-Tsalatsah seperti diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

11.  Memberikan kemudahan

               Rasulullah saw dalam menjelaskan ajaran-ajaran Islam selalu memberikan kemudahan. Dan Belaiau melakukan pendidikan kepada shhabatnya mengenai urusan-urusan agama dengan jalan yang mudah dan sesuai dengan jiwaatau kondisi kejiawaanshahabat yang bersangkutan. Dan beliau melarang kepada para shahabatnya di dalam memberatkan menyempitkan hukum-hukum Islam. Oleh karena itu Beiau selalu menggunakan bahasa syariah ayng penuh toleransi yang memudahkan para shahabatnya untuk mengamalkannya. Sebagaimana yang disabdakan Beiau kepada shahabatnya –sesungguhnya kalian diutus untk memberikan kemudahan dan bukan untuk menyulitkan- ketika para shahabatnya mendapati seorang badui yang buang air di dalam lingkungan masjid. Dari hal ini menunjukkan kasih sayang Beliau dan kecintaan kepada umatnya. [21]
               .



[1] Q.S. Saba’ ayat 28
[2] QS. Al-Anbiya ayat 107
[3] Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Terj. Ali Audah), Tintamas: Jakarta 1972  I/30-32
[4] Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Ushul al-Hadist: Dar al-Fikr : Beirut 1409 H/1989 M  h. 57
[5] Ya’kub, Ali Mustafa, Sejarah dan Metode dakwah Nabi; Pustaka Firdaus; Jakarta: 1997  h.138
[6] Al-Bukhari, Muhammad Ibn Ismail. Al-Jami’ As-Shahih; Mahkota Surabaya : Sura baya tth.  III/73
[7] Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Ushul al-Hadist: Dar al-Fikr : Beirut 1409 H/1989 M  h. 62
[8] Muslim Ibn Hajjaj, Shahih Muslim : Dar al-Fkr; Bierut: tth, I/7
[9] Ya’kub, Ali Mustafafa. Sejarah dan metode Dakwah NaBi:Pustaka Firdaus: Jakarta; 1997 h.141
[10] Al-Bukhari, Muhammad Ibn Ismail. Al-Jami as-Shahih. Mahkota Surabaya: Surabaya tth. I/ 24
[11] QS. Al-Ahzab ayat 21
[12] Al-Bukhari, Muhammad Ibn Ismail. Al-Jami as-Shahih. Mahkota Surabaya: Surabaya tth. I/117, IV/52
[13] Muslim Ibn Hajjaj, Shahih Muslim : Dar al-Fkr; Bierut: tth, I/543
[14] Ia Adalah, Abdullah Ibn Habib Ibn Rabi’ah w. 72 H. Imam Bukhari mengatakan bahwa ia wafat diantara tahun  70-80 H. Lihat  Ushul al-Hadis Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib  h. 60 
[15]* Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Ushul al-Hadist: Dar al-Fikr : Beirut 1409 H/1989 M  h. 60
   *Ibn Taymiyah, Ahmad Ibn ‘Abd Halim, Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir; Dar al-Qur’an al-Karim,  Beirut: 1399 H/ 1979 M h. 36
   *Ya’kub, Ali Mustafafa. Sejarah dan metode Dakwah Nabi:Pustaka Firdaus: Jakarta; 1997 h.142
[16] Al-Bukhari, Muhammad Ibn Ismail. Al-Jami as-Shahih. Mahkota Surabaya: Surabaya tth. I/29,
[17] Ya’kub, Ali Mustafafa. Sejarah dan metode Dakwah Nabi:Pustaka Firdaus: Jakarta; 1997 h.144
[18] *Muslim Ibn Hajjaj, Shahih MUslim : Dar al-Fkr; Bierut: tth, I/22
    *Al-Bukhari, Muhammad Ibn Ismail. Al-Jami as-Shahih. Mahkota Surabaya: Surabaya tth. I/18-19
[19] Muslim Ibn Hajjaj, Shahih Muslim : Dar al-Fkr; Bierut: tth, I/25
[20] Al-Bukhari, Muhammad Ibn Ismail. Al-Jami as-Shahih. Mahkota Surabaya: Surabaya tth. IV/53
[21] Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Ushul al-Hadist: Dar al-Fikr : Beirut 1409 H/1989 M  h. 63-64