YAPI PUSAT PENYEBARAN AQIDAH SYI'AH

Posted in Rabu, 30 Maret 2011
by Unknown



Perselisihan antara Sunni (Ahlus Sunnah) dan Syi’i (Syiah) di Bangil Pasuruan sesungguhnya telah berlangsung lama. Insiden bentrok di pesantren YAPI (Yayasan Pesantren Islam ) Bangil beberapa waktu lalu, 15 Februari 2011, adalah akumulasi dari perselisihan yang telah mengakar sejak awal tahun sembilan puluhan.

Bermula dari ditemukannya surat rahasia Habib Hussein al-Habsyi –-pendiri YAPI-– yang ditujukan kepada seseorang di Iran pada tahun 1993. Pihak YAPI tentunya kaget dengan terpublikasinya surat kepada seorang Syi'ah Iran itu. Sebab, surat itu berisi pernyataan Habib Hussein al-Habsyi, bahwa ia membuat kedok menyembunyikan ke-Syi’ah-annya sebagai setrategi dakwah. Padahal sebelumnya ia dikenal sebagai ulama’ Sunni yang masyhur di kota Bangil.

Inilah sebagian isi terjemahan surat yang ditulis berbahasa Arab tersebut:

“Saya ucapkan terima kasih kepada tuan atas usulan yang benar terhadap saya dan sudah lama menjadi pemikiran saya. Yaitu sejak kemenangan Imam atas Syi’ah. Walaupun saya tangguhkan hal itu, namun saya tidak ragu sedikitpun tentang kebenaran Ahlul Bait dan bukan karena takut kepada orang-orang atau jika saya tinggalkan taqiyah maka bukan supaya dipuji orang-orang. Sama sekali tidak! Akan tetapi saya sekarang mempertimbangkan situasi disekitar saya. Fanatisme Sunni secara umum masih kuat. Untuk mendekatkan mereka (kaum Sunni), saya ingin nampak dengan membuka kedok, kemudian membela serangan ulama mereka yang Nawasib (anti Syi’ah) mereka akan mengatakan: Syi’i membela Syi’ah. Saya telah berhasil merangkul sejumlah ulama mereka yang lumayan banyaknya, sehingga mereka memahami jutaan madzhab Ahlul Bait atas lainnya. Saya anggap ini sebagai kemajuan dalam langkah-langkah perjuangan kita”.

Majalah AULA – majalah milik Nahdlatul Ulama– pada edisi November 1993 pernah menurunkan berita tentang Syi’ah Bangil dan memuat terjemahan surat itu.

Surat ini juga sempat menjadi berita heboh di Pasuruan. Sebab selama ini, Habib Hussein al-Habsyi dikenal masyarakat Pasuruan yang mayoritas Sunni sebagai ulama dari kalangan habaib yang mumpuni. Sebelum itu, pengajiannya di Masjid Agung Bangil dipenuhi jama’ah yang menganut Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Terungkapnya surat rahasia tersebut membuat masyarakat Bangil berbelok arah. Banyak para asatidz dan santri kemudian keluar dari pesantren YAPI. Sejak itu konflik dalam skala kecil sering terjadi di kota Bangil dan sekitarnya. Hingga pada tahun 2007 masyarakat Bangil dan sekitarnya melakukan demo besar setelah shalat Jum’at untuk menolak paham Syi’ah.

Menurut pengakuan seorang warga Bangil, penganut Syi’ah bahkan sudah tidak segan lagi melakukan aktifitas dan pengajian dengan isi doktrin Syi’ah.

Masyarakat Sunni Bangil tentu tidak asal menolak. Beberapa ulama sebenarnya telah mengingatkan mengenai keberadaan paham Syi’ah di propinsi yang mayoritas berbasis Nahdliyyin ini. Di harian Surabaya Post, 27 April 1985, yang sebagaian isinya dimuat lagi oleh majalah AULA tahun 1996, KH. As’ad Syamsul Arifin (almarhum) cukup lugas mengomentari dakwah Syi’ah.

“Syi’ah di Jawa Timur adalah gerakan yang harus dihentikan. Langkah yang tepat untuk mencegah meluasnya aliran Syi’ah di Indonesia adalah dengan meningkatkan kewaspadaan seluruh umat Islam,” tutur Kyai kharismatik asal Situbondo dalam koran itu.

Pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Maret 1984 telah menurunkan fatwa tentang perbedaan pokok dan rambu kewaspadaan umat Islam terhadap keberadaan Syi’ah. Poin keputusan itu adalah;

Pertama, Syi’ah menolak hadits yang tidak diriwayatkan oleh Ahul Bait. Sedangkan Ahlussunnah tidak membeda-bedakannya, asalkan hadits itu memenuhi syarat ilmu mustholah hadis.

Kedua, Syi’ah memandang Imam itu ma’sum (orang suci) sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ah memandang sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan.

Ketiga, Syi’ah tidak mengakui Ijma’ tanpa adanya Imam. Sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ah mengakui Ijma’ tanpa mensyaratkan ikut sertanya Imam Syi’ah.

Keempat, Syi’ah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan (Imamiyah) adalah termasuk rukun agama. Sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ah memandang dari segi kemaslahatan umum dengan tujuan keimanan untuk menjamin dan melindungi dakwah dan kepentingan umat.

Kelima, Syi’ah pada umumnya tidak mengakui ke-Kholifahan Abu Bakar, Umar, Usman sedangkan Ahlussunnah empat Khulafaurraasyin.

Berangkat dari konflik kecil yang terjadi di Bangil, Pasuruan itu, para Ulama merasa perlu untuk membahas pada tingkatan yang lebih luas. Hingga persoalan Syi’ah kemudian terangkat menjadi isu nasional.

Maka, pada 21 September 1997 Majelis Ulama Indonesia Pusat dan Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) mengadakan seminar Nasional sehari tentang Syi’ah di Masjid Istiqlal Jakarta. Seminar itu bahkan dihadiri oleh pejabat pemerintah dan pejabat kementrian.

“Kita sebarkan kepada masyarakat, supaya mereka mengerti secara luas tentang apa arti Syi’ah itu” kata KH. Hasan Basri Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam sambutannya. Seminar tersebut menghadirkan pemakalah yang pakar di bidang Syi’ah, antara lain; Drs. KH. Moh. Dawam Anwar, KH. Irfan Zidny, MA, Habib Thohir Abdullah al-Kaff, Drs. HM. Nabhan Husein, KH. Abdul Latief Muchtar, MA, Dr. Hidayat Nur Wahid dan Syu’ba Asa.

Disebut dalam salah satu pemakalah, bahwa pesantren YAPI merupakan yayasan milik Syi'ah yang tertua dibanding yayasan lainnya. Dibahas pula dalam seminar itu, bahwa tokoh-tokoh Syi’ah di Indonesia banyak yang alumni YAPI.

“YAPI di Jawa Timur menjadi sentra dakwah Syi’ah di propinsi ini” tulis Habib Thohir dalam makalahnya.

Dalam penelitian Disertasinya di IAIN Sunan Ampel Surabaya, Dr. Mohammad Baharun, MAg mengkategorikan Syi’ah di YAPI sebagai Syi’ah ideologis yang gerakannya rapi dan militan. Untuk penelitian disertasi ini, Baharun yang pernah menjadi wartawan Tempo ini menggunakan 'informan' untuk menyelidiki aktivitas Syi’ah di Bangil.

Baharun, yang kelahiran Bangil itu, dalam disertasinya menjelaskan, Syi’ah ideologis adalah Syi’ah yang tumbuh melalui pengkaderan cukup intensif. Kaderisasi ini melalui pendidikan (sekolah dan pesantren) yang disipakan dengan guru-guru. Ia menemukan bahwa YAPI mengkhususkan diri sebagai lembaga yang sengaja menyiapkan kader-kader (santri yang diharapkan jadi guru/ustadz atau da’i Syi’ah Itsna ‘Asyariyah) yang berkualitas, sehingga dapat menyebarkan doktrin Syi’ah Imamiyah kepada masyarakat luas.

Merespon terhadap keberadaan Syi’ah, maka sejak tahun sembilan puluhan hingga kini di beberapa kota di Jawa Timur seperti di Pasuruan, Malang, Surabaya dan Jember mengadakan kajian halaqah pemikiran Syi’ah. Mereka terdiri dari para santri, mahasiswa dan asatidz. Ini sebagai respon akademik menanggapi pemikiran Syi’ah. Termasuk pendirian Kelompok Pengajian ASWAJA di Bangil adalah sebagai bentuk respon untuk meredam berkembangnya aliran Syi’ah di Pasuruan.

Kitab-kitab rujukan Syi’ah yang tidak beredar secara terbuka dikaji secara intensif di halaqah-halaqah tersebut. Di antara doktrin dan ajaran yang mereka tolak adalah; riwayat kitab al-Kafi (kitab hadis rujukan Syi’ah) tentang tahrif al-Qur’an. Dalam al-Kafi juz 1 halaman 240 dan juz 2 halaman 634 disebut bahwa al-Qur’an itu tidak otentik. Hal ini sebagaimana dinyatakan ulama-ulama klasik Syi’ah seperti an-Nuri dan al-Thabarsi.

Hal paling pokok yang juga dipersoalkan adalah rukun Islam. Dalam al-Kafi juz 2 halaman 18 disebutkan rukun Islam Syi’ah ada lima; yaitu Shalat, Zakat, Puasa, Haji dan Wilayah (keimamahan Ali dan 11 keturunannya). Satu lagi ajaran yang dikhawatirkan meresahkan masyarakat adalah penghalalan nikah mut’ah (nikah kontrak). Ajaran ini dikhawatirkan menumbuhkan free sex dengan mut’ah sebagai kedoknya.

Beberapa ajaran Syi'ah menurut beberapa warga Bangil, dinilai membikin ‘gerah’ masyarakat Sunni. Dan masih banyak ajaran-ajaran yang dinilai ‘aneh’ yang dipersoalkan. Seperti menista istri Nabi SAW, kultus berlebihan kepada Ahlul Bait, doktrin taqiyyah dan lain-lain, dimana hal tersebut tertera dalam kitab-kitab rujukan Syi’ah.

Sebagaimana telah ditulis di beberapa media, yang diprotes ASWAJA Bangil lebih pada persoalan dakwah mereka dan ajaran yang dinilai menista Ahlussunnah.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka pemerintah perlu menyelidiki akar persoalan yang terjadi. Perkara tindak kriminal memang bisa diselesaikan dengan hukum yang berlaku. Namun akar persoalan utama dan yang paling mendasar, juga harus lebih jadi perhatian dan penyelesaian