PANCASILA DALAM RUANG DAN WAKTU

Posted in Rabu, 08 Juni 2011
by Unknown




Merujuk kepada peristiwa tanggal 1 Juni yang disampaikan sebagai Hari Kelahiran Pancasila, ijinkan berbagi dari proses pemahaman diri dalam forum ini. Pemaknaan kata di-awal-i dengan proses memaknai kata "ke-lahir-an".



Kata kelahiran secara umum dipahami sebagai proses lahir atau hadirnya satu kehidupan. Dalam konteks kehidupan manusia, kelahiran adalah MOMEN / SAAT di mana satu ujud hadir dari AKHIR proses alam ketiadaan yang merupakan PER LAMBANG rahim atau alam pikir / alam rasa di diri manusia menjadi proses AWAL proses alam keber-ada-an yang merupakan PER LAMBANG bayi. Analog demikian PUN terjadi bagi PANCASILA.



Dalam konteks ruang dan kurun waktu, seorang bayi mengalami PER-ULANG-TAHUN-AN, di mana pada tanggal atau waktu saat kelahiran dijadikan satu hari yang terus menerus ber-ulang dengan dalam tahun (demensi waktu lainnya) di ruang kehidupan yang berbeda dan seiring dengan proses evolusi si bayi yang terus menerus menuju masa tuanya. Melalui ini, semoga menjelaskan bahwa apa yang disebutkan sebagai kelahiran Pancasila merupakan satu proses yang JUGA mengalami proses ruang dan waktu kehidupan.



Katakanlah, setiap manusia ada di dalam ruang dan kurun waktu semenjak masa kelahirannya, lalu apakah respon atau pola diri manusianya tetap menganut hal-hal yang sudah sejatinya dalam KADAR kemurnian sang bayi itu sendiri? Ini dalam tataran putaran ke-hidup-an manusia, bagaimana dengan tataran putaran Pancasila?



Kita semua memahami terpilihnya tanggal 1 Juni tidak lepas dari momen di mana Bung Karno memberikan / menyampaikan konteks Pancasila dan Beliau dalam keyakinan dengan demikian melalui proses kehidupan di era Beliau pada tahun 1945 hingga berpulangnya Beliau dalam tahun 1970. Dalam kurun Beliau saat bersamaan juga terjadi dinamika kehidupan yang Beliau lakoni dan ke semuanya ber-muara kepada sejauh mana Beliau bertahan dan berupaya mewujudkan NILAI-NILAI PANCASILA sesuai dengan dinamika kehidupan yang dihadirkan di era Beliau tersebut. Di dalam itulah, perjuangan Beliau upaya menjaga KEMURNIAN Pancasila. Melalui  upaya naik turun aplikasi kemurnian Pancasila proses pengaplikasian disesuaikan dengan dinamika kehidupan TANPA lari dari kemurnian isi Pancasila. Jadi, Beliau SUDAH melakoni kehidupan dan menjadikan apa yang disebutnya sebagai AWAL pencetusan di era Beliau dan menjadikan Pancasila bisa dipahami dan diterima bersama dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara SESUAI dengan tantangan di era Beliau. Lalu, bagaimana sejatinya kata kelahiran Pancasila bagi kehidupan di era saat ini dan ke depan bagi setiap diri dan yang mengaku sebagai WARGA NEGARA INDONESIA?



Kalau merujuk dalam kehidupan JELAS2 nyata dan gamblang, TIDAK setiap manusia yang mengaku sebagai WARGA NEGARA INDONESIA menghadirkan kecocokkan kepada Pancasila. Terjadi PEMISAHAN bahwa Pancasila itu LEPAS dari nilai-nilai keyakinan kepada Yang Maha Kuasa dari nilai-nilai keagamaan yang dianutnya. Di sisi yang berbeda, juga ada yang menghadirkan ketidakcocokkan karena seharusnya TIDAK perlu adanya manusia itu dalam tatanan menjadikan urusan kepada Tuhan sebagai satu persamaan dalam kehidupan. Dan ini banyak di-ilham-i atas keyakinan SETIAP manusia atas keyakinan dirinya dari proses kehidupan yang TELAH menawarkan berbagai bentuk cara pandang, baik dalam tataran agama atau pun ideologi.



Melalui konteks di atas pulalah, sejatinya proses kehidupan TIDAK berada di dalam ruang yang kosong / hampa atau pun sendiri. Kehidupan TERNYATA merupakan KEANEKARAGAMAN WARNA dari berbagai keyakinan manusia. Dan kalau saja SETIAP manusia itu paham dan mau terbuka dengan sejujur-jujurnya, itulah sejatinya NILAI-NILAI manusia itu ber-TUHAN. Dan ini menjadikan SALING bertentangan dan diributkan karena manusia sudah SE-AKAN2 mengenal Tuhan dalam SOSOK yang ada di dalam dirinya itu. Di saat yang sama, manusia-manusia yang berkeyakinan adanya SOSOK Tuhan dan juga tidak, semuanya JUGA mengumandangkan keyakinan bahwa manusia itu perlu dibawa kepada bentuk kehidupan yang sejahtera dalam kemakmuran dan berkeadilan. TIDAK ada satu pun bentuk agama dan ideologi yang tidak demikian, bukan? Lalu, kenapa kemudian malah menjadi SALING menghancurkan sesama manusia dalam koridor kepada yang diyakini sebagai muara keyakinannya?



Jika dari setiap kita bersedia jujur dengan hati nurani TANPA diganggu dengan segala bentuk egoisme yang berlebih-lebihan, sebenarnya setiap manusia itu PAHAM akan suara hatinya. Mana yang sebenarnya membohongi, mana yang sebenarnya menutupi kemurnian dirinya, dan mana yang digunakan untuk sekedar bertahan dalam kehidupan. Inilah sebenarnya PROSES perjuangan di setiap manusia itu melakoni perjuangan kepada KEYAKINAN diri yang BERTUHAN. Proses ini TIDAK kasat mata, namun bisa terefleksikan dari PERBUATAN dan MANFAAT kehadiran manusia itu sendiri. Sudah menjadi kodrat dari setiap diri manusia dan proses kehidupan, TIDAK mungkin semua harapan itu menjadi bersamaan kepada pilihan kehidupan manusia itu sendiri. Sebagai contoh, ada manusia memiliki kendaraan banyak, tetap saja, tidak bisa menikmati yang demikian dalam waktu bersamaan untuk semua kendaraan yang dmilikinya. Apa esensinya semua ini? Manusia sudah diberi kodrat untuk merasakan proses kehidupan

yang beraneka ragam ini. Saat itu dilakoni, KEMBALI apa yang menjadi proses di dalam dirinyalah yang menentukan. Terdorong rasa ingin memiliki semua atau kah menjadikan itu semua membawa manfaat bagi diri, apalagi kepada lingkungan. Dari hal yang sederhana ini, SEBENARNYA proses kelahiran setiap anak manusia TIDAK terpaku kepada HANYA kepada satu tanggal di mana itu adalah momen di mana hadir anak manusia pertama kali dimuka bumi ini. Kontek kelahiran merupakan proses SETIAP SAAT manusia itu menjaga kemurnian diri dengan apa yang SUDAH diberikan oleh YMK melalui Kuasa dan IjinNYA.



Melalui pemahaman proses kelahiran demikian, memang TEPAT dan BIJAK, bila mana SETIAP manusia bersedia KEMBALI atau melakukan proses menjadikan kelahiran TIDAK sekedar ditempatkan sebagai lahir karena ada momen lahir itu sendiri. Namun, jauh lebih utama menjadikan diri dengan segala ketulusan dan ketabahan menjaga kemurnian diri seperti kehadiran sang bayi. Apakah proses ini harus diyakin-yakinkan?



Dalam tatanan kehidupan yang mencakup diri, keluarga, maysarakat, negara, antar-negara, dan muka bumi ini, apa yang tersaji di Pancasila SUDAH merupakan satu hal yang tidak akan pernah bertentangan dengan fakta kehidupan. Tidak ada manusia yang tidak bertuhan. Tidak ada manusia yang tidak berharap bisa melakoni kehidupan dalam adil dan beradab. Dan tidak ada tatanan manusia yang tidak berharap mewujudkan keadilan sosial dalam tatanannya. Yang menjadikan SALING bertentangan adalah METODE atau LANGKAH2 manusia itu sendiri. Langkah ini tidak akan bisa dilepaskan dari proses setiap manusia memahami dan menerapkan KEMBALI nilai-nilai kelahiran manusia itu sendiri. Tanpa proses ini, TIDAK bisa proses tatanan yang sudah ada komitmennya akan berjalan lancar.



Dalam tatanan bernegara, Indonesia SUDAH berkomitmen dengan Pancasila. Dalam koridor ini sudah menjadi hal yang suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, bahkan benci atau pun sayang, TIDAK dulu ditempatkan sebagai sesuatu yang kemudian melawan dalam segala bentuknya. Namun, coba KEMBALI kan dulu kepada setiap diri, Perhatikan kepada SEPAK TERJANG diri kepada lingkungan. Sinyalnya amat sangat sederhana sekali, Jika ada manusia berjanji akan membantu kehidupan masyarakat banyak ternyata belum bisa dipenuhi, apakah kemudian menyalahkan banyak orang? JIka ada manusia mengatakan bahwa keyakinannya membawa kedamaian, ternyata kemudian malah menzalimi kehidupan orang lain, apakah kemudian yang demikian layak disebut pembawa kedamaian? Di dalam itulah, sejauh mana KADAR diri atas pemahaman kehadiran diri melalui kelahiran menjadi terefleksikan. Bagaimana kalau seseorang itu ternyata sudah terkenal sebagai pemimpin atau pemuka masyarakat?



Setiap dari kita memang tidak bisa meyakin-yakinkan apalagi menghakimi kepada diri mau pun pihak mana pun untuk menerima PANCASILA secara utuh sebagai JIWA KEMURNIAN PANCASILA awalnya. Namun, dalam tataran bermasyarakat dan bernegara, TIDAK mungkin juga satu pandangan / keyakinan kemudian diterjemahkan menjadi menzalimi kehidupan orang lain. Di sinilah peranan SETIAP manusia yang diangkat sumpah dalam jabatannya untuk MENEGAKKAN apa itu sejatinya PANCASILA melalui rumusan MUSYAWARAH terlebih dahulu. Dan ini KEMBALI kepada proses kelahiran itu sendiri dalam dirinya. Tanpa ini, segala bentuk musyawarah tetap tidak akan memberi kontribusi kehidupan dalam tatanan bersamanya.



Melalui demikian, sudah SEMAKIN menjelaskan kalau NILAI-NILAI PANCASILA tidak dilandasi kepada urusan kekuasaan, perpolitikan, dan hanya sekedar cara pandang (ideologi). Nilai-nilai Pancasila HANYA bisa murni kembali selaras dengan proses kemanusiaan yang bersedia dilakoni setiap diri seperti kelahirannya di muka bumi ini, Tanpa hal ini, segala bentuk perayaan kelahiran Pancasila, hanyalah acara rutinitas atau pun seremonial belaka TANPA kemurnian isi PANCASILA. Dan kalau kemudian demikian, kembali Pancasila menjadi kambing hitam. Padahal, manusianya yang TIDAK paham JIWA PANCASILA sejatinya.



Semoga melalui tuturan kata seadanya ini, semakin menjelaskan SEJATINYA PANCASILA tidak untuk diyakin-yakinkan. Pancasila itu hadir di dalam hati dan diri manusia yang SUNGGUH2 menghadirkan KEDAMAIAN dan KESEJUKAN dalam diri melalui upaya selalu menjaga kemurnian nilai-nilai kemanusiaan sebagai manusia yang SUNGGUH2 bertuhan. Hanya melalui demikian, segala bentuk keganasan kehidupan akan bertransformasi menjadi kedamaian melalui proses kekuasaan yang sejatinya berisi BERBAGI KEDAMAIAN dan KEMAKMURAN, sehingga kekuasaan TIDAK lagi menjadi sarana dan prasarana menghadirkan perebutan kuasa mengatasnamakan orang lain atau banyak orang.